***
Setelah selesai makan malam, Tante Irene sengaja mengajak Raina untuk berbicara berdua di taman belakang. Raina masih bingung, tidak tahu apa yang akan dibicarakan calon mertuanya itu, yang jelas mimik wajah Tante Irene sangat serius, membuat Raina tidak lagi memikirkan tugas-tugas kuliahnya yang terus memburu.
Karena selah 5 menit masih belum ada percakapan, Raina lebih dulu membuka pembicaraan.
"Tante mau ngomong apa ya?" tanya Raina pelan, ia duduk menghadap ke arah Tante Irene.
"Kamu tau kan, kalau Arman itu sangat sayang sama kamu. Sebelum kalian menikah, Mamah ingin jujur satu hal sama kamu, Rain."
"Tentang apa, Tante?" tanya Raina penuh selidik.
"Tante mau kamu berjanji satu hal dulu, jika kamu tahu hal ini, kamu tidak akan meninggalkan Arman."
Kering Raina berkerut bingung, tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Tante Irene, tapi ucapan perempuan itu barusan, telah berhasil melintaskan pertanyaan-pertanyaan mencurigakan di benak Raina, terlebih ini soal Arman, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya, apakah lelaki itu menyimpan suatu rahasia besar? Entahlah, Raina sendiri tidak bisa menjawabnya.
"Emangnya ini ada apa tante? A--apa ini tentang hidup Arman?" tanya Raina was-was, takut-takut ia tidak siap mendengar sesuatu yang menyangkut laki-laki itu,
"Bukan, ini tentang Kamu. Dan Mamah benar-benar minta sama kamu, berjanji untuk tidak meninggalkan, Arman."
Raina mendesah resah, mendadak jantungnya berdetak tidak normal, bukan karena sedang gugup atau pun salah tingkah, tapi ini lebih tepatnya perasaan cemas, cemas yang dibungkusi rasa penasaran yang teramat.
"Kamu mau kan berjanji? Setelah mamah mengatakan ini, kamu harus tetap bersama Arman, kalau kamu tidak mau berjanji, lebih baik, mamah tidak bicarakan ini sama kamu."
Telak Raina memegang kedua tangan calon mertuanya itu, memasang wajah penuh permohonan agar perempuan
Itu segera menghilangkan rasa cemas yang melandanya, ia harus mengatakan apa yang ingin ia sampaikan.
"Tante, kasih tau Raina, Raina mohon, gimana Raina bisa janji, kalau Raina aja nggak tau apa masalahnya."
"Maka dari itu, kamu harus berjanji."
"Baiklah, Raina janji, apa itu?"
Dalam beberapa detik, ingatan Tante Irene kembali ke masa lalu, semuanya berputar sangat jelas di benaknya, bak rekaman CD yang kian membawanya hanyut dalam histerical masa itu, saat itu ia sedang menangani salah satu pasien anak kecil, yang katanya korban kecelakaan. Segala upaya sudah dia lakukan agar bisa menyelamatkan nyawa anak laki-laki itu, tapi ia justru salah dalam menangani anak kecil itu, tindakannya terlalu lambat untuk melakukan RJP pada jantungnya yang sudah tidak berdetak lagi, ia justru terfokus untuk menghentikan pendarahan yang terjadi pada otak kecil anak itu, andai saja saat itu ia mau melakukannya dengan cepat, pasti nyawa anak laki-laki itu akan terselamatkan, untuk pertama kalinya, ia gagal dalam menyelamatkan nyawa seseorang, dan itu semua terjadi karena kelalaiannya.
"15 tahun yang lalu, Mamah gagal menyelamatkan nyawa seseorang, anak laki-laki kecil yang begitu sangat dicintai kedua orangtuanya, dan kamu tau? Itu semua terjadi karena kesalahan Mamah." Kata Tante Irene sesak, ada yang menohok dadanya kuat, terasa begitu perih di ulu hati, bertahun-tahun ia telah menyimpan rahasia ini, karena dulu, ia tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya, hingga memutar balik fakta dan mengatakan anak itu meninggal karena terlambat di bawa ke rumah sakit.
Raina yang masih tak mengerti hanya memasang wajah bingung sebagai respons.
"Mamah terlalu lalai dalam menangani anak laki-laki itu, hingga akhirnya, dia meninggal dan itu karena kesalahan, Mamah. Mamah benar-benar minta maaf, Raina..."
"Kenapa Tante minta maaf sama aku?" tanya Raina semakin bingung,
"Karena anak laki-laki itu adalah kakak kamu, Rain."
Raina tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, refleks ia meneggakan tubuhnya, menutup mulutnya dengan telapak tangannya, apa yang dikatakan wanita itu benar-benar sangat mengejutkan.
Tante Irene masih menunduk, ia sudah lama menyimpan ini, setelah pertemuan acara lamaran beberapa bulan yang lalu, membuat Tante Irene kembali terpuruk pada dosa masalalunya, ternyata orang yang selama ini membuatnya merasa bersalah adalah calon besannya sendiri.
Saat pertemuan itu, Om Rudi pun sempat kaget, entah dunia yang memang sempit, atau mungkin takdir selucu itu, mereka kembali bertemu, dokter yang dulu pernah menangani anaknya akan menjadi besannya, tapi saat itu, Tante Irene masih belum sanggup untuk berkata jujur, ia takut semuanya akan berdampak pada pernikahan anaknya, takut kalau Rudi akan membatalkan pernikahan putrinya dengan anak wanita yang telah membunuh jagoannya dulu.
"Ja-- jadi, yang tante maksud itu kak, Ian?" tanya Raina pelan, ia kembali terduduk, merasa lemas dengan kedua kakinya, hingga rasanya tak sanggup menopang tubuhnya, ini masih sangat mengejutkan.
"Kamu sudah berjanji tidak akan meninggalkan, Arman kan? Ini semua salah mamah, dan tidak ada sangkut pautnya sama Arman."
Raina masih belum bisa merespon, tapi tante Irene bisa melihat, gadis itu sedang menangis.
"Kak Ian itu kakak yang baik, dia itu kecelakaan gara-gara aku. Andai aja saat itu aku nggak sakit, aku nggak manja, pasti kak Ian nggak akan bela-belain samperin ayah sama ibu pake sepedanya..." lagi-lagi Raina mengingat masa itu, setelah pedihnya dulu ia menceritakan pada Arman, sekarang, Tante Irene adalah orang kedua yang tau hal itu.
"Mamah tau, Mamah juga yang menangani kamu saat kamu sakit dulu, mungkin kamu lupa, karena kamu masih terlalu kecil."
"Ini bukan salah tante, tapi salah aku,"
Tante Irene menggeleng, pertanda tidak setuju. Yang patut disalahkan adalah dirinya, bukan gadis itu, rasanya ia benar-benar gagal menjadi seorang dokter, karena tugas seorang dokter menyembuhkan pasiennya bukan menghabiska nyawanya.
Arman yang sedari tadi berdiri di belakang mereka telah mendengar semua percakapan itu, segera Arman meninggalkan tempat itu, tak ada yang tahu, bahwa baru saja Arman menitikan air matanya.
Dua wanita yang sangat ia sayangi sama-sama terluka, yang satu terluka karena rasa bersalah, yang satu lagi terkuka karena kehilagan saudaranya, bahkan saat ini timbul rasa takut di hati, takut Raina berubah pikiran dan memilih pergi meninggalkannya, seperti ia dulu, pergi meninggalkan gadis itu sendirian.
Om Ardi yang melihat putranya bersikap tidak seperti biasanya langsung menyusul, karena anak itu lewat tanpa menyapa, dan sudah di pastikan, kalau anak laki-lakinya itu sedang menyimpan masalah.
***
Di dalam mobil tidak ada percakapan, Arman mengantar Raina pulang, tapi sama sekali ia tidak mau bicara, dan itu membuat Raina sedikit bingung, tidak seperti biasanya laki-laki itu pasti akan selalu mengajaknya berbicara, memancing emosinya bahkan tertawa dengan puas saat Raina berhasil marah.
"Arman, kamu kenapa?"
Arman hanya memasang senyum tipis sebagai respons,
"Hei? Kamu kenapa?" sentak Raina lagi, refleks Arman menginjak rem mobil, hingga tubuh keduanya sempat terdorong kedepan, untung saja saat itu jalanan sepi, hingga tak terjadi kecelakaan yang akan melukai siapa pun.
"Arman, kamu gila? Kamu mau kita mati sia-sia?"
"Maafin aku, Rain."
"Maaf?"
"Maafin aku, aku udah dengar semuanya tadi, aku dengar pembicaraan kamu sama Mamah aku, aku minta maaf, karena mamah aku udah bikin kamu sedih, mamah aku udah bikin kamu kehilangan kakak, kamu."
Raina menghela nafas, dipegangnya bahu Arman, lalu disentuhnya lembut penuh sayang.
"Ini bukan salah mamah kamu, ini itu takdir. Kamu ingat nggak, saat itu kamu bilang apa sama aku?"
Arman mengalihkan wajahnya, hingga kedua pasang mata utu saling beradu, "Kamu pernah bilang sama aku, kepergian kak Ian itu adalah takdir, takdir yang emang udah Allah tulis, saat itu aku rapuh, aku salahin diri aku atas kematian kak Ian, kalau seandainya waktu itu aku nggak sakit, pasti kak Ian nggak bakal kecelakaan. Tapi kamu bilang sama aku, kalau itu sama sekali bukan salah aku,"
Arman diam, ia ingat apa yang sempat ia katakan dulu, dan semuanya masih terlintas begitu sangat jelas.
"Ini salah aku! Aku yang udah nyebapin ini semua!" bentak Raina, gadis itu mulai hilang akal dan mulai mengelugut, ini benar-benar sangat mengoyak relung hatinya, tapi Arman tak tinggal diam dia kembali memeluk Raina erat, berusaha membuat gadisnya tenang.
"Ini semua takdir sayang, semua udah dicatat sama Allah. Kita diberikan bekalan umur, jodoh, dan rezki. Kalau Kak Ian, meninggal dengan cara seperti itu, itu semua sudah kehendak tuhan, sayang. Semua udah tercatat, dan nggak ada satupun, yang bisa ngerubah itu semua. Seperti kamu, waktu itu kamu sakit. Itu juga kehendak tuhan. Kalau tuhan mengkehendakan kamu yang meninggal saat itu, mungkin kita gak akan bisa ketemu. Dan tuhan mempertemukan kita, itu juga udah takdir, takdir yang udah Allah rencanain dan kita gak tau kedepannya, bisa jadi juga, kalau takdir aku meninggal setelah aku pulang dari sini, ya aku meninggal Rain. Dan ka---" ucapan lelaki itu terhenti, Raina tak mampu mendengarkan lagi, cukup, ia tak mau kehilangan lagi.
"Cukup, man. Cukup, aku nggak mau denger, aku nggak mau, kamu ninggalin aku, aku nggak mau."
Raina menggeleng, penuh permohonan, merasa lelaki itu sudah berbicara di luar topik.
"Rain, denger aku baik-baik. Berhenti menyalahkan diri kamu sendiri, berhenti merasa bersalah, karena ini bukan salah kamu, ini saatnya kamu buat ilangin semua rasa bersalah kamu,"
Tangan lelaki itu mengelus pelan pipi putih Raina, menghapus sisa-sisa air mata yang tidak terlalu kentara. Pria itu merengkuh tubuh Raina untuk kesekian kalinya, membawa Raina kedalam pelukannya, setidaknya pelukan itu mampu mengirim partilel-partikel kenyamanan yang bisa membuatnya sedikit lebih tenang.
"Kamu ingat? Dan sama halnya Arman. Ini bukan salah mamah kamu, kalau seandainya saat itu mamah kamu berhasil selamatin kak Ian, tapi enggak dengan aku, kita pasti nggak ketemu juga kan? Kamu sendiri yang bilang hal itu sama aku. Dan ini sama sekali bukan salah kamu."
Arman tidak bisa berbicara apa-apa lagi, yang jelas ia benar-benar sangat beruntung, memiliki pasangan yang bisa mengerti dirinya, dan ia rasa tidak ada lagi perempuan sebaik calon istrinya itu.
"Makasih, Rain. Aku sayang kamu, dan aku takut kehilangan kamu, aku nggak bisa bayangin kalau sampai ayah kamu tau."
"Ayah aku nggak akan pernah tau, karena aku udah bilang sama mamah kamu, supaya ini nggak sampai di telinga ayah. Biarin aku yang tau, dan aku ngertiin mamah kamu, karena ini emang bukan salah mamah kamu."
Lelaki itu tersenyum lega, setidaknya ucapan yang tercetus dari bibir Raina bisa membuatnya tenang, dan tidak perlu takut, kalau perempuan itu malah pergi meninggalkannya, bahkan Raina pun sudah berjanji, apapun yang terjadi ia tidak mungkin meninggalkan Arman, karena ia begitu sangat mencintai pria itu, terlebih setelah masalah yang pernah singgah di hubungan mereka, membuat ia semakin yakin, kalau Arman memang pantas untuknya.
***
Salsa uring-uringan di atas sofa, dia begitu kesal, bisa-bisanya Raina tidak memberi tahunya kalau sekarang Ferrel tidak bersamanya, jika ia sudah mengatakan sejak awal pasti ia akan langsung mendatangi rumah Arman, tidak perduli kalau Rafa harus cemburu, padahal ia benar-benar sudah merindukan anak yang lucu itu.
"Awas aja, kalau Raina pulang, gua bakal adu mulut sama dia, pelit banget mau nemuin gua sama Ferrel." kata Salsa kesal, sangat kesal, bahkan ia sempat melompat-lompat saking kesalnya.
"Yaelah Sal. Biasa aja, masa dia harus laporan sama lu, kan itu anak dia sama Arman,"
"Ahh, bukan anak kandung kok."
"Eh janga kenceng-kenceng kalau ngomong. Ntar kalau kedengeran sama ayahnya dia, rasain loh, kamu."
"Ya biarin, kan gua kesel."
"Kok kamu malah nyolot ke aku?" tanya Rafa kesal, bisa-bisanya perempuan itu malah melampiaskan kekesalannya pada Rafa,
"Bodo!"
"Dasar, cewek kalau lagi dapet suka sensian."
"Dapet, dapet, dapat apa? Nggak ada yag dapet di sini!"
Rafa menggeram kesal, menggepalkan kedua tangannya, dengan hati yang bermura durja, rasanya Ia ingin sekali mencubit-cubit pipi perempuan itu, kalau bukan calon istrinya, pasti ia sudah melakukan itu.
"Dasar cewek, nggak ngerti apa maunya, marah-marah gak jelas sakit hati gua," Rafa berbicara di dalam hati, sambil matanya mendelik menatap perempuan itu.
Om Rudi kini tiba di ruang tamu, ikut duduk bersama Rafa dan juga Salsa.
"Nggak usah kesel kaya gitu, bisa jadi nanti Ferrel nggak jadi nginep di sana. Biasanya kan gitu, Ferrel selalu nggak mau ditinggal sama Raina."
"Tapi kalau nanti Raina pulang nggak bawa Ferrel gimana, Om? Kan aku kangen sama dia, sehari gak ketemu dia berasa setahun," bibir Salsa mengerut, "kan dia lucu,"
Om Rudi hanya terkekeh pelan, begitu banyak ya g menyaangi Ferrel, setelah anak itu kehilangan ibunya tuha tela menggantinya dengan dua ibu sekaligus, Raina dan Salsa. Mereka berdua sangat menyayangi Ferrel.
"Kamu samperin aja ke rumah, Arman."
"Nggak mau ahk, Om. Mana mungkin aku ke rumah si Arman, nih dia pasti cemburu, dibilang aku malah samperin mantan."
Om Rudi hanya menggelngkan kepalanya pelan, sungguh lucu tinggak keduanya, padahal mereka aka segera menikah, tapi keduanya masih sama seperti anak SMA ya g berpacaran, sama hal nya denga Arman dan Raina, Raina masih suka ngembek tak jelas, tidak mau menemui Arman jika sudah terlanjur kesal, untung saja Arman selaku berhasil mengembalikan mood putrinya, hingga hubungannya masih terjaga hingga serakang.
***
Bersambung....