***
Pagi itu langit masih menurunkan hujannya, sepertinya tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Angin kencang di luar sana seolah mengamuk pada pohon-pohon kokoh yang berdiri menjulang ke langgit tinggi, membuat pohon-pohon di pinggiran jalan bergerak kencang ke sana kemari, seolah-olah angin itu memaksanya untuk enyah dari tempat itu. Di jendela kamar, saat itu tatkala Arman berdiri, pikirannya seolah-olah kosong, menyisakan kejadian kemarin di otaknya yang benar-benar serasa mimpi buruk, ada yang mengukung di hatinya, ingin sekali ia berteriak, memaki laki-laki itu karena telah berlaku seenaknya, mengambil sesuatu yang juga menjadi haknya secara paksa, Ia muak dengan semua ini, muak, sangat muak!
Perasaan marah sekoyong-koyong menjalar di dalam hatinya, memanas bagaikan kobaran api yang ingin menghabisi bangunan rumah, apa dia egois? Karena belum siap untuk berpisah dengan bayi yang sudah ia anggap sebagai anaknya, rela bergadang menjaganya dengan penuh kasih sayang, lalu orang asing datang dengan alasan yang ia anggap kuat untuk mengambil harta berharganya, apa itu yang di kataka egois? Kalau iya, Arman tidak perduli.
Ulu hati Arman masih sangat terasa nyeri, baru satu hari Ferrel tak ada di sisinya, ia sudah merasa sangat kehilangan, sangat merasa sepi. Niasanya, pagi seperti ini, ia sudah selesai memandikan Ferrel, memasangkan dia baju, memberinya makanan dan s**u hangat, bermain bersama bahkan masih banyak, Arman sendiri tidak sanggup untuk menjelaskannya satu persatu.
Belum lagi dengan barang-barang milik Ferrel, mainannya dan baju-baju yang masih tersimpan di kamar Arman, beberapa botol s**u yang masih terisi sisa minumnya, mainan bebek yang tanpa sengaja ia injak, menimbulkan bunyi lucu kesukaan Ferrel, itu semua semakin membuat Arman rindu, tidak bisa ia unggapkan dengan kata, yang mampu terucap hanya kata 'Rindu'.
Raina yang masih berdiri di lawang pintu sejak tadi, kini mulai membawa tungkainya masuk ke kamar Arman, dengan sarapan yang ada di atas nakas di tangannya, sebab sejak kemarin pria itu tak kunjung mengisi perutnya dengan asupan makanan, membuat Raina menjadi khawatir.
"Kamu makan dulu ya.."
"Aku nggak lapar." jawab Arman pelan, sangat pelan, bahkan nyaris tidak terdengar.
"Kalau kamu nggak makan, nanti kamu sakit."
"Gimana mungkin aku bisa makan, sementara aku nggak bisa ketemu Ferrel, nafsu makan itu nggak ada sama sekali, yang aku pikirin cuma Ferrel." jawab Arman penuh penekanan.
Raina mendesah resah, kalau Ia tidak berhasil membujuk Arman makan, berarti dia gagal menjaga amanah, sebab tadi Tante Irene dan Om Ardi sudah menitipka Arman padanya, sebenarnya Tante Irene tidak tega meninggalkan Arman. Tapi, ada pasien yang membutuhkannya untuk melakukan tindakan operasi, jadi tidak mungkin ia harus mengabaikan pasiennya, ia harus profesional dan tidak boleh mengorbankan nyawa orang lain. Begitupun Om Ardi, ia harus segera datang ke kantor, ia dapat kabar kalau orang yang selama ini menggelapkan uang perusahaan adalah orang kepercayaannya sendiri, rasanya masalah terus datang, berganti masalah baru tanpa membiarkan masalah kemarin selesai.
"Kamu harus makan, Arman. Aku mohon kamu jangan kayak gini terus, aku butuh kamu yang dulu, bukan kamu yang lemah kayak gini. Aku tau ini berat buat kamu, tapi ini juga berat buat aku, Man. Kamu pikir aku nggak tersiksa? Ferrel pergi dan kamu jadi dingin, kamu cuekin aku tanpa mikirin perasaa aku juga. Arman, kamu juga harus tau, dengan kamu yang kayak gini, itu nggak akan nyelesaiin masalah, dari kemarin aku nemenin kamu di sini, biar kamu nggak ngerasa sendiri, tapi kayaknya kehadiran aku di sini nggak akan ngaruh buat kamu, jadi lebih baik aku pulang.
Ini makanan kamu, terserah kamu mau makan atau enggak." Raina beranjak setelah meletakkan nakas di atas meja di samping ranjang Arman, lalu melangkah pergi menjauhi Arman.
Lantas, baru beberapa langkah, Raina merasakan tubuhnya tertahan, sebuah tangan melingkar di perut datarnya, lalu berubah menjadi pelukan,
"Jangan pergi, maafin aku. Aku terlalu sedih, sampai aku nggak sadar udah ngabaiin kamu."
"Kita sama-sama sedih, bukan cuman kamu aja. Orangtua mana yang nggak sedih kalau berpisah sama anaknya,"
"Aku nggak bisa berfikir jernih, Sayang. Aku nggak tau, nggak seharusnya aku kayak gini, tapi coba kamu lihat ruangan ini!" mata Arman bergerak kesamping lalu menjelajahi setiap inci ruangan itu, di ikuti dengan sepasang mata Raina, "Kamu lihat, di sini semuanya barang-barang milik Ferrel. Mainannya, baju-bajunya, semua barang-barang ini ngebuat aku semakin inget sama dia. Ruangan ini jadi bisu, hambar tanpa ada bau wanginya Ferrel, aku--" rasanya sangat sesak, seperti di himpit beban berat, Arman sulit untuk bernafas, dia sudah terlanjur menyayangi Ferrel, jadi hal yang sangat wajar jika ia bisa seperti ini.
"Nanti, kita bakal ketemu Ferrel. Aku harap kamu mau sabar,"
Arman hanya mengangguk, meski masih bersedih, karena tidak mudah mengembalikan keadaan seperti semula, kehilangan bayi itu seolah merenggut separuh nafas Arman, karena setiap manusia tidak akan mampu bernafas dengan udara yang tidak sempurna.
***
Setelah dari rumah Arman kemarin, Aldi langsung menuju badara, terbang meninggalkan negara indonesia, di sini ia akan memulai hidup baru, tidak akan membiarkan siapa pun mengusik dunianya, Aldi tahu, ia adalah lelaki b******k, terpaksa menipu Arman, dengan memberikan Alamat palsu tempat tinggalnya di Australia, ia tidak ingin mengambil resiko jika suatu saat Arman mengambil Ferrel kembali, karena bagaimana pun, Arman menyayangi Ferrel.
Aldi duduk di tepi ranjang, di atas ranjang Ferrel sudah tertidur pulas, mungkin ia lelah dengan perjalanan hampir 12 jam, Aldi sedikit lega, Ferrel mulai nyaman bersamanya, mungkin ikatan batin seorang ayah dan anak tidak akan pernah bisa diputuskan, meski pun belum pernah bertemu.
"Maafin Saya, Arman. Jika Ferrel besar nanti, baru saya akan mengajaknya bertemu denganmu. Dengan begitu, kamu tidak akan bisa mengambilnya dariku. Aku tahu, aku lelaki yang egois. Tapi aku tahu, seperti apa dirimu. Kamu seorang lelaki keras kepala, yang akan melakukan apa pun demi yang kamu mau, itu sebabnya aku menyembunyikan alamat tempat tinggalku." kata Aldi di dalam hati, cuma ini yang bisa ia lakukan untuk sekarang, hanya keegoisan yang mampu ia tunjukan, tak perduli akan menambah deretan orang-orang yang akan membencinya, yang jelas ia tidak akan membiarkan siapa pun yang menjadi ayah dari anaknya.
***
Sore itu Arman dan Raina sengaja membeli bakso didepan rumah Arman, merasa bosan dengan menu masakan hanya itu-itu saja, di tambah Arman yang tidak nafsu memakan nasi, jadi bakso sepertinya akan kembali memancing selera makan Arman, terlebih tukang bakso yang sering lewat di depan rumah Arman, selain baksonya yang enak, tukang bakso itu juga sangat ramah, porsi satu mangkuk pun lebih banyak di bandingkan tukang bakso lainnya, jadi sudah sangat wajar jika pelanggannya nyaris tidak bisa berpindah lidah.
Raina masih berdiri di pinghir jalan, sibuk dengan poselnya yang merenggut perhatian Raina pada sisi jalan, tidak menyadari sebuah mobil kini melaju dengan cepat dan sengaja mengarah padanya, hingga dalam hitungan detik tanpa bisa dicegah, tubuh Raina terpental jauh pada sisi jalan, mobil itu kini meleset jauh meninggalkan korban yang ia tabrak dengan sengaja. Arman yang menyaksikan kejadian itu langsung menjatuhkan dua mangkok bakso di tangannya, hingga benda itu pecah dan berserakan di bawah.
Beberapa pembeli pun ikut terkejut dengan kejadian barusan, semuanya berlari mendekati tubuh gadis yang sudah tergeletak itu, di antara mereka ada yang sibuk menelfon ambulance agar korban segera mendapatkan pertolongan pertama.
Arman berlari dengan telak, memaksa masuk ke dalam kerumunan orang-orang yang di anggap tidak penting, darah merah mengalir dengan kentara, membahasi rambut tebal milik Raina, kedua matanya ikut tertutup.
"Raina..." panggil Atman serag, kedua tangan lelaki itu bergerak bingung entah kemana, perasaan takut berhasil menggerogoti tubuhnya, masuk menyelinap lalu meramas jantungnya dengan kuat, membuat Arman nyaris tidak bisa bernafas karena sesak yang teramat.
"Minggir kalian!." sentak Arman, ia mengangkat tubuh Raina, gadis itu harus segera dibawa ke rumah sakit, bagi Arman, menunggu ambulance yang belum tentu kapan sampainya sama saja halnya dengan ia melepaskan nyawa Raina secara suka rela, ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi, kalau sampai tuhan mengambil Raina dari sisinya, Arman akan menyalahkan takdir yang tidak pernah mau bersahabat dengannya.
Di tempat lain Ruri tertawa puas, setelah sekian lama ia ingin membalaskan dendam dengan keluarga itu, kini sudah berhasil ia lakukan dengan mulus, tanpa cacat sedikit pun, karena jika harus mengharapkan Salsa itu tidak akan mungkin, sebab keponakannya itu telah bersahabat dengan Raina anak dari orang yang sudah menyebabkan kakaknya meninggal, orang yang tak lain adalah orangtua kandung Salsa sendiri, anak itu telah melupakan janjinya, untuk membalaskan dendam pada keluarga tak berhati itu.
Semuanya masih sangat jelas di benak Ruri.
Saat itu ia baru saja pulang sekolah, menyaksikan Titi yang kesakitan memegang perut buncitnya, Alvin yang bersusah payah memapah istrinya untuk segera di bawa ke rumah sakit, sementara Salsa kecil menangis memekik, khawatir melihat mamahnya kesakitan, berteriak tidak ingin punya adik lagi, sebab adik di dalam perut mamahnya telah membuat mamahnya kesakitan.
"Kak, ini kak Titi udah mau ngelahirin? Kakak udah punya uangnya?"
"Belum, tapi pasti aku akan dapat uangnya. Aku akan mencoba pinjaman sama temenku, dia pemilik perusahaan ditempat aku bekerja."
"Aku cariin kakak taxi dulu, biar Salsa aku yang jaga."
Alvin mengangguk, ia sangat tidak tega melihat Titi kesakitan seperti itu, padahal dulu saat proses kelahiran Salsa berlangsung dengan cepat, bahkan Titi tidak merasakan sakit sama sekali.
Hingga saat itu operasi secar harus di lakukan, karena kondisi Titi tidak memungkinkan untuk melahirkan normal. Alvin berusaha meminjam uang pada Rudi, karena jika ia belum melunasi administrasi operasi tidak akan bisa dilalukan, tapi saat itu Rudi menolak mentah-mentah, karena selain Alvin yang sudah menjual aset-aset perusahaannya, menyelinap sebagai OB, dan sekarang Fabian dan Raina pun juga berada dirumah sakit yang sama, Fabian baru saja mengalami kecelakaan dan tidak mungkin ia meninggalkan istrinya hanya untuk mencairkan uang, apalagi Tania yang dalam keadaan kacau, hingga semuanya terjadi, nyawa Titi tidak bisa di selamatkan, begitupun dengan bayi di dalam perutnya, sampai akhirnya Alvin jatuh sakit dan ikut menyusul istrinya.
Ruri meremas stir mobil dengan luapan emosi yang tak tertahankan, matanya merah, berkaca-kaca. Andai orang kaya tidak sepelit itu, karena baginya kakaknya tak pernah salah, jadi ia akan melakukan apa pun untuk membalas pria pelit itu, dan gara-gara itu juga Ruri harus putus sekolah, dan membesarkan Salsa hingga sekarang. Lantas, pantaskah Ruri disebut egois?
***
Arman sampai di rumah sakit tanpa bantuan ambulance, kebelutan saat itu Mamahnya baru selelasi melaksanakan operasi pada pasiennya, Sekarang Raina sudah berada di dalam UGD, dan ditangani oleh tante Irene, Arman sangat berharap, mamahnya bisa menolong Raina, sebab jika terjadi sesuatu hal yang buruk dengan Raina, ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
Arman bersandar di dinding, lalu menggosokan punggungnya yang sudah tak tegap, ia menjenggut rambutnya frustasi, menangis layaknya anak kecil yang terpisah dari ibunya, menanggis dengan bahu yang tak mau diam, Arman merasa bersalah, andaikan saat itu ia tidak mengajak Raina untuk makan di luar, pasti ini semua tidak akan terjadi, semuanya sangat cepat, bahkan Arman tidak bisa melihat jelas, mobil jenis apa yang telah menabrak kekasihnya tanpa mau bertanggung jawab.
Di dalam sana, ada gadis yang termat dia cintai, ia adalah segalanya, perempuan kedua yang ia cintai setelah ibunya. Arman tidak bisa membayangkan bagaimana melangsungkan hidup tanpa Raina, pikirannya kacau, menghantarkan rasa takut ke sana kemari, menjalar-jalar liar tak berhenti, padahal sebentar lagi mereka akan menikah, ia tidak ingin nasib penikahannnya sama dengan berita-berita di medsos, salah satu pengantin yang meninggal saay dekat dengan hari pernikahan, dan itu semakin membuay Arman takut.
Baru kemarin ia kehilangan Ferrel, jika hari ini ia juga kehilangan Raina, mungkin lebih baik, ia tidak melanjutkan hidupnya lagi, bahkan ia akan mengalami kegilaan, dimana orang-orang melihatnya tidak wajar, tanpa hormat bahkan hanya bisa mencemooh seorang yang tak waras.
"Kamu harus baik-baik aja, Rain. Kamu punya janji sama aku." lirih Arman pelan, sangat pelan. Bahkan nyaris tidak terdengan telinga.
***
Bersambung