Antara Miko dan Marcel

3343 Words
Permainan sudah berjalan, baik dari kubu Miko maupun Marcel. Mereka sama-sama sudah menyiapkan amunisi yang dijamin akan mengobrak-abrik seluruh tatanan perasaan musuh. Dan objeknya kali ini nggak lain adalah gadis mungil dari masalalu. Bukan lagi antara Chiko dan Marcel, tapi antara Miko dan Marcel. Satu persatu luka lama akan terbuka kembali. Miko entah apa dia sadar atau nggak, dia telah melanjutkan kisah Chiko yang tertunda dalam dirinya. Sedang Marcel, dia ingin melanjutkan kisahnya sendiri yang tertunda karena Miko. Baginya, Miko harus membayar semua hal yang telah dia rasakan, seenggaknya Miko harus merasakan apa yang dia rasakan. Sebuah penolakan. Nggak sulit untuk mengendalikan Raiya. Miko hanya bersantai memainkan game di ponselnya sembari menunggu laporan dari Aji yang masih terus mengawasi Raiya dari jam pertama. Bak detektif profesional, tanpa sedikit pun terlihat mencurigakan, Aji mengikuti Raiya juga Niken. Mereka berdua terus menempel di belakang Pak Wito sampai beliau masuk ruang guru. Aji berdecak kagum, nggak nyangka Raiya bakal segitu antipasinya menghadapi Miko. Segera Aji menghubungi Miko, setelah dipastikan si target sudah duduk manis di depan ruang guru, dengan muka cemas nggak ketulungan. Duhhh, ngenes banget! "Sekarang target lagi duduk di depan ruang guru bos! Dia pikir pasti bisa berlindung disana deh." Lapor Aji mengintip Raiya dari balik pohon mangga depan ruang guru. "Oke, thanks laporannya. Lo bisa ke kantin sekarang. Beli apa aja yang lo mau, ajak Angga juga. Ntar gue yang bayar!" pungkas Miko langsung menutup ponselnya tanpa menunggu jawaban dari Aji. Tapi Aji samasekali nggak mempermasalahkan hal itu. Dia langsung ambil langkah seribu sebelum jam istirahat habis. *** "Lo yakin mau disini terus?" Raiya mengangguk tersenyum tipis, menutupi kekhawatirannya. Nggak tahu sampai kapan dia bisa menghindar. Nggak cuma dari Miko, tapi juga dari serbuan pertanyaan anak-anak di kelasnya yang Raiya yakin bakalan datang kalau tadi dia nggak segera ambil inisiatif keluar kelas bareng pak Wito. Kemunculan Miko tadi pagi di kelasnya sudah membuat heboh seisi kelas, kata Niken sih gitu. Raiya sendiri belum tahu, karena dia datang setelah ada pak Wito dan langsung keluar bareng pak Wito. "Mau sampai kapan lo gini?" pertanyaan lagi dari Niken. Raiya hanya menggeleng, bingung juga. Sampai kapan? Entahlah, tiba-tiba dia berharap Chiko muncul untuk menyelamatkannya. Harapan yang Raiya tahu cuma 0,0001 % bakal terjadi, "Gue nggak tahu apa yang bakalan dilakuin Kak Miko, gue pikir untuk sementara waktu ini tempat yang aman, disini kan bukan zonanya Miko Dirgantara!" Niken jadi nelangsa sendiri. Nggak tega lihat sobatnya itu. Baru saja pindah, eh sudah dapat masalah lagi. Sepertinya memang Raiya kena kutukan seumur hidup buat deket-deket dengan preman sekolah deh, "Ya udah, gue tinggal ke kantin bentar nggak apa kan? Nanti gue balik lagi kesini." "He"em, nitip gorengan sama teh anget ya, perut gue kosong dari pagi!" Niken mengacungkan jempolnya, menepuk bahu Raiya memberinya semangat sebelum pergi. Tiba-tiba saja Raiya ngerasa seperti ditinggal sendirian di kutub utara dan siap-siap menunggu dimangsa beruang kutub! HAPPSS!!! Langsung ketangkep! Sontak Raiya menegang, ini bukan halusinasinya soal beruang kutub. Ada lengan yang merangkul lembut dari sampingnya, dan itu nyata, bukan beruang kutub sih. Raiya lebih suka menyebutnya si singa-Miko. Kedua tangan Raiya sampai erat memegang pinggiran kursi, takut seakan dia bakalan di bawa ke kutub utara beneran, kalau pegangannya terlepas. "Tadi kenapa telat?" suara itu, ahhh Raiya berharap itu cuma halusinasi. Miko yang sadar kalau pertanyaannya nggak akan segera dijawab, semakin memeperat rangkulannya lalu mendekatkan dirinya ke telinga Raiya berbisik, "Kalo muka lo tegang gitu, orang pikir gue bakal bawa lo ke kutub utara, santai aja! Gue ini kan pacar lo bukan penjagal." Deggg!!! Pacar? Pacar? Sekuat tenaga, dengan keberaniannya yang cuma 50%, karena sudah banyak juga pasang mata memperhatikan mereka, Raiya memberanikan diri melepas rangkulan Miko. Untung saja Miko nggak melawan. Miko malah menuruti bimbingan Raiya menurunkan tangannya sendiri dari bahu Raiya. Gantinya Miko duduk menyender santai, menopangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Tiba-tiba Raiya terkesiap sesaat melihat tingkah Miko itu, cara duduk Miko mengingatkannya dengan Chiko, kebiasaan yang sama persis dari posisi kaki bahkan sampai cara menyendernya. Miko, yang Raiya pikir bakal meresepon dengan hal berbahaya, ternyata dia malah acuh pasang muka ramah, melempar senyum ke setiap guru, murid sampai kepala sekolah yang melewati mereka. Sedang Raiya cuma diam menunduk, pasang muka masam nggak berkutik sama sekali. Ini pilihan sulit buatnya. Kalau pergi dari sini, pasti Miko akan mengikutinya dan entah apa yang akan terjadi. Yang jelas, hanya hal-hal berbahaya yang terlintas di benak Raiya. Jadi duduk sementara waktu di sebelah Miko sampai jam istirahat habis, mungkin jauh lebih baik. Dia akan segera pergi bersama guru pengajar di kelasnya nanti. Miko pasti nggak akan berani macam-macam. "Lo pikir gue nggak bisa ngapa-ngapain lo kalo disini?" monolog Miko lagi. Ucapan-ucapan yang dia yakin bisa membuat cewek di sampingnya ini keringat dingin, "Gue pernah tinju muka kakak kelas di dalam ruang guru," berhasil, Raiya kembali menegang, "gara-gara dia bawa n*****a ke sekolah dan nggak mau ngaku, padahal udah kepergok sama gue. Gue juga udah sering kena hukuman di dalam sana, nama gue udah full di catetan guru piket. Mereka bahkan sekarang udah bosen ngurusin gue!" pungkas Miko tersenyum geli. Ekspresi ngeri Raiya karena mendengar ceritanya benar-benar lucu. "Mau Kak Miko apa sih sebenernya?" tanya Raiya akhirnya buka suara tanpa menoleh ke samping tetap menunduk. Sungguh pemandangan yang miris. Raiya jadi seperti anak ayam ketakutan deket-deket singa yang lagi tidur. Singa yang sewaktu-waktu bisa menerkamnya kapan aja. "Huhhh, gue cuma mau ngapelin pacar gue. Ini pertamakalinya gue pacaran, jadi nggak salah kan kalo gue kasih perhatian ekstra?" "Tapi Kak Miko, kemarin saya lakuin itu karena Mia, dan apa yang saya bilang kemarin nggak serius!" "Tapi gue serius!" Potong Miko menarik tangan Raiya paksa mendekat ke arahnya. Miko angkat dagu Raiya pelan, memaksa Raiya untuk menatap matanya, "Denger, gue nggak pernah main-main sama ucapan gue! Gue nggak pernah tarik omongan gue sendiri, masih inget apa yang gue omongin di hari pertama kita ketemu?" "Nggak!" putus Raiya, mengempaskan tangan Miko dari dagunya. Permainan ini nggak boleh dilanjut. Cukup dulu dia berurusan dengan Chiko. Nggak lagi dengan Miko. Raiya mendesah kesal, kenapa juga nama mereka hampir mirip? Dengan sisa keberanian yang Raiya yakin semakin surut kalau nggak segera digunakan, demi menghentikan semua kekeliruan, dengan semua kekalutannya saat ini, Raiya mantap menarik tangan Miko paksa melepas tatapan semua murid ke pagar depan sebelah ruang guru. Untung aja lagi sepi. Raiya lepas kasar genggamannya pada Miko, menatap ragu kedua manik mata yang ada di depannya sekarang yang ternyata samasekali nggak menunjukkan kemarahan. Seharusnya dia marah, karena ada seorang cewek berani menarik tangan pentolan sekolah SMA Gajah Mada di depan seluruh warganya. Miko cuma pasang muka datar, tanpa ekspresi melipat tangannya di d**a. Sungguh diamnya ini jauh lebih bahaya! Dia memang sengaja diam mengikuti alur permainan, penasaran dengan apa yang bisa Raiya lakukan untuk melawannya. "Kak Miko ...," panggil Raiya mengatur napas, mencari-cari kata yang tepat untuk memukul Miko mundur. "Hemm ...," "Maaf karena saya nggak sengaja tabrak Kak Miko waktu itu. Maaf karena kemarin saya ngomong gitu ke Mia. Kemarin saya pikir itu satu-satunya cara supaya Mia nggak gangguin saya lagi!" "Cara yang tepat!" puji Miko tulus tersenyum, tulus banget ngebuat Raiya melotot menelan ludah nggak habis pikir. Nggak ada sedikitpun kemarahan yang terlihat dari raut muka Miko. Aneh, pikir Raiya. Beda banget dengan Chiko. Chiko selalu menunjukkan kemarahannya setiap dia terusik. Dan Raiya sudah terbiasa menghadapi pentolan sekolah seperti itu. Kalau seperti Miko? Ini kali pertama. Sikap Miko ini malah membuat Raiya semakin takut, dia nggak bisa menebak hal mengerikan apa yang bisa dilakukan Miko. "Saya nggak serius dengan omongan kemarin. Maaf kalo kemarin saya ngaku jadi pacarnya Kak Miko." Diam sejenak. Nggak ada respon dari Miko. Dan Raiya malah semakin kikuk dibuatnya, keterdiaman Miko ini selalu menambah sinyal kewaspadaan Raiya. Juga sudah habis kata-katanya untuk membujuk Miko. Tapi Raiya nggak menyerah, dia masih terus mencari kata-kata selanjutnya untuk berkelit sampai kedua tangan kekar Miko tanpa Raiya bisa menghindar sudah mencekal kedua bahunya. Memang benar, Miko mendekati Raiya hanya untuk balas dendam. Tapi sejak pertama bertemu, setiap menatap kedua mata mungil di depannya ini, Miko merasa ada sesuatu disana. Sesuatu yang tertinggal untuknya entah apa. Dan alam bawah sadar Miko mengatakan kalau dia nggak akan pernah bisa berlaku kasar terhadap gadis di depannya itu. Padahal logika seluruh murid SMA Gajah Mada bahkan dirinya sendiri tahu dia akan melakukan hal s***s kalau ada yang berani mengusiknya, tanpa membedakan gender. Kali ini semua tindakannya itu hilang begitu saja, parahnya Miko nggak menyadari itu semua. "Gue bilang, gue serius," Ucap Miko lirih hampir nggak terdengar, "gue nggak pernah tarik omongan gue. Sekali aja lo muncul di hadapan gue, lo jadi milik gue!" "Tapi kan Kak, itu ... auchhhh!!!" pekik Raiya kesakitan mengagetkan Miko yang langsung melepas cekalannya, tiba-tiba ada sesuatu mengenai keningnya, refleks Raiya menyentuh keningnya sendiri dan, "Darah?!" "Lo kena lempar batu? s****n! Apaan sih ini?!" umpat Miko menoleh ke arah pagar. Lemparan batu semakin bertambah seiring suara riuh dari luar sekolah. Miko langsung menarik Raiya ke pelukannya, menunduk, jongkok merapat ke pagar. Miko semakin memperat pelukannya, melindungi Raiya dengan tubuhnya sendiri dari hantaman batu yang semakin nggak beraturan. Sedang Raiya yang tadinya sudah heboh dengan kekalutannya sendiri menghadapi Miko, tiba-tiba langsung diam membeku begitu melihat darah di keningnya. Dia nggak melawan samasekali saat Miko tanpa ijin menariknya kepelukan, meringkuk dalam-dalam ke d**a cowok yang tadi ingin dia hindari. Pikirannya langsung melesat ke masalalu, insiden yang sama, kena lempar batu. Raiya ingat betul itu, kejadian ini nggak lain karena satu hal. Tawuran. "b******k!" umpat Miko setiap kali ada batu yang mengenai punggungnya. Miko ingin membawa Raiya balik ke kelas, tapi kalau dia melangkah sedikit saja, lemparan batu itu pasti bakalan mengenai Raiya. "Bos gawatttt bos!!!!" seru Aji ngos-ngosan lari menghampiri Miko. Ikutan jongkok sambil melindungi kepalanya sendiri dengan kedua tangannya, "Anak Erlangga nyerang balik!" "Apa??!! Mereka nyerang balik?" ulang Miko memastikan. "Iya bos, mereka nyerang balik. Sekarang Angga mimpin anak-anak di depan!" "s****n, berani banget mereka!" Miko mendongak ke atas, memastikan kalau lemparan batu dari luar sudah mereda, itu tandanya kalau pasukan Gajah Mada sudah bisa mengatasinya, terdengar suara teriakan saling bersahutan menambah suasana semakin menegang di luar. Lalu Miko melirik gadis yang sekarang berada dalam dekapannya cuma diam, nggak bergerak samasekali. Raiya masih menyembunyikan mukanya di d**a Miko, memegangi erat seragam Miko. Entah apa yang ada di pikiran gadis ini. Miko nggak bisa menebaknya. "Lo bawa Raiya ke UKS, obatin keningnya dulu baru nyusul ke depan!" pelan Miko mengurai pelukannya dan menyerahkan Raiya ke Aji. Sekali lagi tanpa protes atau bahkan melawan, Raiya cuma diam saat dia sudah pindah ke pelukan Aji. Aji lantas memapahnya menjauhi pagar menuju ke UKS yang nggak jauh dari tempatnya sekarang. Sebentar Raiya tersadar dan menoleh ke belakang, melihat Miko dengan gesit melompati pagar, hilang di balik semak-semak tanaman depan sekolah. Kembali Raiya teringat masalalunya, ini sama persis tapi ada yang beda. *** "Ray, lo bisa sendiri kan ke UKS? Gue harus bantu Miko nih, gue nggak bisa kalo lama-lama ninggalin dia!" terocos Aji tanpa henti, sesekali menoleh ke arah gerbang sekolah. Lemparan batu sudah berhenti, para guru juga murid-murid yang tadi jadi penonton sudah kembali ke ke ruang masing-masing. Istirahat yang sebenarnya belum selesai, terpaksa dipercepat agar murid-murid nggak berhamburan keluar. Hal semacam ini seharusnya nggak terjadi lagi setelah ditinggal Ali, tapi hari ini ternyata di luar dugaan semua warga SMA Gajah Mada. Sang kepala sekolah yang notabene adalah ayah angkat dari mantan pentolan sekolah Eza yang dulu nggak pernah panik setiap ada tawuran di sekolanya segera melapor ke kantor polisi. Mungkin 30 menit lagi polisi bakal datang. Tapi selama 30 menit itu, Miko cs harus berusaha mengatasinya sendiri. "Raiyaaa!!!!" pekik Niken panik langsung lari begitu melihat sobatnya berada di pelukan Aji, asisten si preman sekolah. Yang ada di pikiran Niken saat itu cuma satu, bahaya. Bahaya kalau Raiya berada di sekitar anak buah Miko. Niken tarik paksa Raiya dari Aji, semakin panik karena kening Raiya berdarah, sedang yang punya luka cuma diam, dengan ekspresi datarnya. Benar-benar diam dengan tatapan kosong, "Ray, lo kenapa? Kenapa sama kening lo? Kak Aji apain temen gue hah?" kali ini matanya mengarah sinis ke Aji yang juga langsung dibalas Aji dengan pelototan mengingatkan. "Lo nuduh gue hah?!" bentak Aji frustasi. "Terus? Raiya lagi sama Kak Aji, gue harus nuduh Pak Wito gitu?" debat Niken semakin membuat Aji frustasi menjabak rambutnya sendiri. Nggak untuk sekarang, dia nggak punya waktu meladeni pembangkang baru yang berani melawannya. "Sobat lo ini kena lempar batu, dan Miko nyuruh gue bawa dia ke UKS, bisa lo urus dia sekarang?" Niken diam seketika, salah tingkah. Jadi dugaannya salah kaprah? Atau ini cuma akal-akalan Aji aja? "Lo nggak denger rame-rame di depan? Terserah lo mau pikir apa, gue harus bantu Miko sekarang!" putus Aji akhirnya meninggalkan kedua adik kelasnya itu buru-buru. Baru Niken mau protes, tapi Aji menoleh sebentar memberi isyarat Niken untuk diam dan menyuruhnya untuk segera membawa Raiya ke UKS. *** Ricuh. Satu kata untuk menggambarkan keadaan di depan SMA Gajah Mada sekarang. Terlihat Angga yang kewalahan sendiri memimpin tawuran ini, lemparan batu berkali-kali mengenai dia. Tapi Angga yang memang bermental baja, sepertinya lemparan batu yang membuat pelipisnya berdarah, nggak dia rasa. Angga sudah mati rasa, terbiasa dengan semua ini. Balok kayu yang dia bawa dengan cepat mengayun ke tekuk leher anak SMA Erlangga yang hendak melawannya. Dia tendang bagian perutnya dengan sekali hentakan. Miko yang sedari tadi masih santai duduk di trotoar langsung berdiri, melangkah santai, tanpa membawa s*****a apapun, bahkan Miko bukan terlihat seperti ada di arena tawuran melainkan sedang jalan santai di mall besar, memasukkan kedua tangannya di saku celana. Tanpa tameng apapun, Miko langsung menunduk saat lemparan batu mengarah padanya, lalu kembali berdiri, melangkah lagi pelan. Baru saat ada yang akan menyerang Angga dari belakang, Miko percepat langkahnya merapat, kaki kanannya dengan hentakan keras menendang punggung si lawan, langsung ambruk. Miko injak tangan kanan lawan yang tadi membawa pentungan besi sampai membiru lalu merampas pentungannya dan membuangnya ke selokan, "Laki-laki jantan nggak main s*****a bro!" "Thanks bro!" ujar Angga menoleh ke belakang menyaksikan aksi heroik sang pemimpin sebelum memberi tonjokan keras ke muka lawan, lalu ikut menepi ke trotoar dengan Miko. "Siapa?" "Jodi, Jodi pemimpin Erlangga!" "s****n! Menurut lo ini ada hubungannya dengan Marcel?" "Keliatannya sih gitu, awasss!!!" Angga menarik Miko saat dengan tiba-tiba ninja hitam datang dengan kecepatan tinggi berhenti tepat di depan mereka. Tanpa membuka kaca helm, si pengendara memberi isyarat anak Erlangga untuk mundur, dan langsung mereka turuti. Miko langsung naik pitam, hampir saja dia menarik jaket si pengendara itu untuk memberi bogem tapi langsung Angga tahan. Si pengendara mengeluarkan kardus kecil dari balik jaket kulitnya, lalu melemparkannya kasar ke muka Miko sebelum dia menyalakan gas motornya meninggalkan Gajah Mada. "BRENGSEKKK! s****n!!! b*****t, MATI LO!!!" u*****n dan sumpah serapah meluncur dengan mulusnya dari mulut Miko, dia lempar batu ke arah motor itu pergi dengan geram. Baru kali ini ada yang berani memperlakukannya seperti itu, baginya ini sama saja menghina harga dirinya sebagai pentolan SMA Gajah Mada. Tapi meski begitu tetap saja kardus kecil yang tadi dilempar ke mukanya diambil juga. Angga cuma geleng-geleng melihat tingkah sobatnya itu. Selalu konyol, emosi meledak-ledak nggak jelas, dan tetap tenang di saat yang lain panik. Itulah Miko, punya respon yang selalu nggak normal. "Dia itu yang namanya Jodi!" jelas Angga tanpa diminta, "Mungkin isinya tantangan buat lo!" Miko hanya diam meredam emosinya sendiri, lebih memilih membuka kardus itu, yang berhasil membuatnya terkejut seketika. *** Akhirnya Niken memapah juga Raiya ke UKS, meski dirinya nggak terima diperintah seenak jidat sama Aji. Dan Niken yang tadinya sudah emosi semakin emosi karena ternyata ruang UKS kosong, nggak ada petugasnya sama sekali. Pasti mereka ketakutan karena ada tawuran, bisa dipastiin kalau gini mereka langsung ngibrit masuk kelas. Sedang perawatnya pasti lebih memilih sembunyi di ruang guru. Astaga! Niken mendudukkan Raiya yang masih saja diam ke ranjang, lalu lanjut mengobrak-abrik kotak obat dan nggak menemukan plester atau obat merah sekali pun. "Astagaaaa, ini UKS kenapa nggak lengkap sih?" omelnya mengeluarkan seluruh isi kotak. "Itu tadi SMA mana?" tanya Raiya akhirnya buka suara, tapi tatapannya tetap kosong, menatap jendela UKS. Pikirannya masih melayang ke kejadian dua tahun lalu, tawuran, lemparan batu, Chiko dan Marcel. Apa kali ini juga Marcel? "Owh itu, Erlangga, musuh bebuyutan Gajah Mada dari jaman bahula!" "SMA Erlangga?" "He"em, tapi aneh deh. Sejak ditinggal Kak Ali, nggak ada lagi sekolah yang berani nyerang Gajah Mada. Bahkan meski Kak Miko bikin keonaran lagi dari tahun kemarin, baru kali ini Erlangga nyerang Gajah Mada!" "Baru kali ini?" Raiya terhenyak, baru dia menoleh ke Niken yang masih mencari plester, "Pentolannya SMA Erlangga siapa?" "Hemmm, kalo itu gue nggak tahu!" Firasat Raiya mengatakan kalau ini pasti ada hubungannya dengan Marcel. Entah apa yang dipikirkan Marcel. Apa Marcel serius mengikutinya sampai sejauh ini? Memimpin Erlangga untuk menyerang Gajah Mada? Dan itu cuma untuk mencarinya? Raiya menggeleng pelan, berusaha mengaburkan firasatnya itu. Tapi ucapan Marcel saat itu, saat sebelum dia pindah sekolah, jelas banget bukan main-main. Marcel nggak akan melepasnya gitu aja. Dan parahnya kalau ini benar, bukan lagi tentang dia dengan Marcel, otomatis pentolan sekolah SMA Gajah Mada juga bakalan ikut terlibat, Miko Dirgantara. Nggak, Raiya nggak bisa kalau cuma menebak-nebak saja. Dia harus memastikan itu semua. Segera dia meninggalkan UKS, mengabaikan teriakan Niken. Dia percepat langkahnya menuju gerbang sekolah yang tertutup rapat, cuma satpam yang berjaga-jaga disana mengawasi jalannya tawuran. Semakin dekat pagar, Raiya langsung lari buru-buru membuka pagar, tapi langsung dihadang si satpam. "Mau ngapain non? Masih ada tawuran, masuk kelas sana! Bahaya disini non!" hardik si satpam tapi nggak diindahkan Raiya. Raiya cuma diam, mendorong sedikit kasar si satpam sampai terhuyung, lalu membuka grendel pagar, dan mendorong pagar itu sampai membuka setengah. Napasnya jadi ngos-ngosan sendiri, dilihatnya jalanan sudah mulai sepi. Cuma ada anak-anak Gajah Mada yang terduduk di pinggir trotoar. Sepertinya tawuran sudah selesai, anak-anak Erlangga juga sudah mundur. Raiya menelusuri seluruh jalanan sekitar sekolah dengan kedua matanya, nggak menemukan sosok yang dia cari sampai lamborgini hitam datang dari arah selatan. Raiya tersentak seketika, jantungnya, pikirannya seakan membeku sesaat, menyeretnya ke peristiwa ledakan mobil yang dulu terjadi tepat di depan matanya. Lamborgini hitam itu berhenti nggak jauh dari tempatnya berdiri. Dan pintu mobil itu terbuka. Rasanya Raiya hampir saja limbung kalau Niken nggak buru-buru datang menahan tubuhnya. Seseorang yang dia hindari, seseorang yang beberapa bulan lalu mengancamnya, sekarang sudah berdiri memandangnya dari balik kaca mata hitam menyender pada mobil sambil mengulum lolipop, dia-Marcel. Raiya nggak salah lihat, samasekali nggak, Marcel melambai-lambaikan tangannya tersenyum sambil menunjukkan lolipop yang dia pegang. Juga, lamborgini itu ... mata Raiya langsung teralihkan ke mobil hitam itu, yang dulu pernah meledak di hadapannya dan kini sudah kembali? Baru Raiya akan melangkah ingin menghampiri Marcel, tapi Marcel sudah lebih dulu kembali ke dalam mobil dan mengendarai lamborgini itu melewati Raiya begitu saja, cepat. Sangat cepat, sampai Raiya sempat membayangkan si pengemudi aslinya. Kecepatan itu, Raiya pernah merasakannya, Raiya pernah duduk di dalamnya, dengan kecepatan yang sama tapi dengan si pengemudi yang beda. "Itu, Itu Marcel ... dia pakek lamborgini itu Nik, itu Marcel!" gumam Raiya masih nggak melepas tatapannya dari lamborgini hitam yang sudah jauh berada di ujung jalan, "Itu ... nggak, nggak mungkin Marcel ...." "Udah Ray, kita masuk yuk, kening lo harus diobatin dulu Ray!" "Nggak Nik, Marcel, Marcel datang kesini dan ...," "Kita ngomongin Marcel nanti, sekarang kita masuk!" ajak Niken paksa menarik Raiya yang masih merancau nggak jelas. Niken beneran bingung dengan tingkah Raiya. Tadi pagi ketakutan karena Miko, terus diam seperti patung habis kelempar batu, dan sekarang tiba-tiba nangis setelah melihat lamborgini hitam. Tapi yang dirasakan Miko bukan bingung lagi, entah apa. Miko sudah mengunci kejadian barusan di memorinya dari pinggir trotoar saat dia melihat Raiya tiba-tiba muncul di depan pagar, dia ingin menyusulnya tapi langsung terhenti saat mata Raiya mengarah ke sosok yang dia kenal betul, musuh bebuyutannya-Marcel. Miko langsung mengartikan perubahan sikap Raiya dengan kejadian barusan. Raiya kena lempar batu, teringat Marcel sampai nggak diobati itu kening. Raiya memilih lari keluar sekolah untuk memastikan kalau Marcel akan datang melihatnya. Dan benar Marcel datang, Raiya pun menangis, dia ingin mengejar tapi Marcel sudah pergi duluan. Jadi persepsi Miko kali ini adalah Raiya menginginkan Marcel datang, "Oke Cel, lo udah beneran ngebangunin singa tidur sekarang!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD