Sangkar Emas Miko

3343 Words
Miko diam menatap kardus itu dengan tatapan kosong yang nggak bisa diartikan Aji bahkan Angga. Jari-jarinya masih memainkan gitar dengan nada nggak bertuan. Kejadian tadi siang di sekolah masih membuatnya bingung. Dia harus membuat rencana sematang mungkin untuk memukul mundur Marcel. Dia harus bisa memanfaatkan keberadaan Raiya di sisinya. Miko yakin, Raiya lah kartu as untuk menjatuhkan Marcel. Marcel, seseorang yang tiba-tiba muncul di kehidupannya setahun yang lalu, yang sudah membuat usahanya bangkrut di saat dia terpuruk, di saat Miko masih mencari jati dirinya sendiri pasca kejadian besar yang dia alami. Marcel sudah berhasil menumbuhkan rasa dendam di hatinya. Miko berjanji pada dirinya sendiri akan membuat Marcel bertekuk lutut di hadapannya, gimana pun caranya. Tapi apa yang harus Miko lakukan? Miko letakkan gitarnya, meraih kardus yang ada di meja belajar lalu kembali memandangi isinya. Sebuah sobekan koran lama foto sebuah mobil yang hangus terbakar, juga pisau lipat yang dilumuri cairan merah dimaksudkan sebagai darah, dan surat bertuliskan tantangan untuk adu balap di sirkuit milik Eza. "Bos, lo bukannya takut mikirin balapan ini kan?" celetuk Aji akhirnya memecah kesunyian kamar Miko di jam 10 malam. Serius, Aji ini paling nggak bisa kalau disuruh diam terlalu lama, mulutnya selalu gatal untuk bikin suasana ramai. Bahkan tatapan dingin Miko nggak membuatnya jera sedikit pun, Aji cuma nyengir karena nuduh Miko yang nggak-nggak, "Abisan lo dari tadi diem aja, kenapa sampai segitunya mikirin tantangan si Marcel?" tambah Aji membela diri. "Nggak usah dipikirin gitulah Mik, gambar di koran itu, lalu pisau, itu semua cuma gertakan aja!" timpal Angga kali ini tahu apa yang ada di pikiran Miko. Bukan tentang tantangan adu balap yang Miko pikirkan, tapi kenapa Marcel kasih itu semua? "Gertakan?" tanya Miko balik tersenyum kesal melirik kedua sahabatnya, "Kalian pikir Marcel preman ingusan yang gertak gue, nakut-nakutin gue dengan hal kayak gini? Ini bukan gertakan." "Terus?" Aji menghampiri Miko menyahut itu kardus dan mengamati kembali isinya, mencoba mencari tujuan Marcel sebenarnya. Tapi hasilnya, Aji cuma menghela napas, mengangkat kedua bahunya, "Kalo ini bukan gertakan terus apa? Apa potongan koran ini ada artinya buat lo? Apa pisau lipat ini s*****a buat pukul lo mundur?" "Kita bisa cari tahu nanti, sekarang yang penting kita persiapkan buat besok!" pungkas Angga akhirnya. Sekarang bukan waktunya memikirkan kenapa, tapi apa yang harus dilakukan! Ahhh, Angga selalu jadi yang paling bijaksana. "Oh, iya lo udah dapet nomornya kan?" Miko mengalihkan pandangannya ke Angga. "Udah gue whatsaap ke elo, buka aja!" "Bagus, gue yakin ini s*****a yang bisa matiin tuh brandal!" *** Hari minggu adalah anugrah tersendiri untuk Raiya. Hari yang nggak akan dia sia-siakan. Sebelum neraka di hari senin sampai sabtu datang, dia harus memulihkan tenaga juga pikirannya sebelum perang dengan cara tidur sampai siang, mumpung dia lagi ngekos nggak tinggal dengan orang tua. Tapi rencananya itu sia-sia ternyata, saat pintu kamar diketuk nggak berhenti. Seolah kalau sekarang lagi ada bom di kosnya. "Ray, Ray lo di dalam kan?" seru seseorang dari luar kamarnya, Raiya tahu sih siapa siempunya suara cempreng itu. Sahabat sejati yang baru dia temui lagi setelah kelulusan SMP—Niken. "Masuk, nggak dikunci!" teriak Raiya balik masih memejamkan mata memeluk gulingnya erat. "Astaganaga Ray, ini udah jam 11 siang lo masih molor aja!" "Naga astaga Nik, ini hari libur emang apa masalahnya?" balas Raiya masih belum juga buka mata. "Bentar, bentar ...," Niken menyipitkan mata, menyibakkan rambut yang menutupi kening Raiya lalu melotot marah, "Lo ini gila hah? Kenapa kening lo nggak diobatin juga?" Baru Raiya membuka matanya bangun. Mengerjap, nyengir memandang sahabatnya itu. "Bukan masalah besar, santai aja. Masalah besarnya ada disana tuh!" Raiya mengarahkan matanya ke dua ponsel yang ada di meja belajar. Dua ponsel yang dari semalam nggak berhenti bergetar. Penasaran, Niken ambil ponsel-ponsel itu kembali melotot. Dua ponsel itu sama-sama bergetar, tanda ada panggilan masuk dari dua nama yang punya awalan huruf yang sama 'M', "Kak Miko? Marcel? Kenapa mereka bisa barengan telpon lo gini?" Raiya menggidikkan bahu, "Gue pernah cerita kan kalo gue pindah ke Gajah Mada karena kabur?" Niken mengangguk cepat, melempar dua ponsel itu di depan Raiya yang masih duduk di kasur. "Gue kabur dari Marcel." "Cowok yang lo lihat kemarin? Yang sampai bikin lo kayak batu? Yang naik lamborgini hitam itu?" Raiya mengangguk, "Itu bukan lamborgini punya Marcel. Itu punya Kak Chiko. Kak Chiko itu pentolan sekolah lama gue dan musuh dari Marcel, sekolah kita musuhan, ya kayak Gajah Mada sama Erlangga gitu." Jelas Raiya tiba-tiba raut mukanya muram begitu menyebut nama Chiko, tapi nggak lama Raiya tersenyum melanjutkan ceritanya. Gimana dia bisa kenal Marcel, gimana dia bisa berurusan dengan Chiko karena dituduh sebagai penghianat karena menolong Marcel. "Bentar, gue masih belum paham nih, sekarang Kak Chiko dimana? Terus kenapa lamborgini punya Kak Chiko bisa dibawa sama Marcel? Terus kalo lo udah nolong Marcel, kenapa lo harus kabur dari dia?" "Kak Chiko?" tanya Raiya balik bangkit duduk di depan mejanya, dia tatap miniatur lamborgini hitam seolah itu lamborgini sungguhan. Pertanyaan dimana Chiko, bahkan sampai sekarang Raiya juga masih mempertanyakannya. Hari terakhir dia melihat Chiko adalah dua tahun lalu, sore hari, hujan deras, di taman kota, saat mobil yang tiba-tiba di luar kendali bertabrakan dengan truk gandeng terpental tepat di depannya, terbakar. Jadi gimana Raiya bisa menjawabnya? Kalau setelah itu Chiko menghilang seperti ditelan bumi, entah masih hidup atau sudah meninggal pun Raiya nggak tahu. "Gue nggak tahu dimana dia sekarang dan gue juga nggak tahu kenapa tiba-tiba lamborgini itu dipakek Marcel. Yang jelas sekarang gue harus berhadapan dengan Marcel sendiri, gue sebenernya ..." ucap Raiya menggantung, meringis kesal sendiri. Menelungkupkan mukanya ke meja sebentar, berharap masalahnya dengan Marcel itu cuma mimpi, bukan kenyataan. Masalah konyol yang bisa membuatnya kabur sampai ke Bandung. "Gue sebenernya Nik ...," "Lo sebenernya kenapa sih Ray, jangan bikin gue mati penasaran dong!" omel Niken jadi jengkel menarik kursinya mendekat ke Raiya. Sepertinya memang kisah Raiya dengan beberapa preman sekolah terlalu complicated. "Gue punya hutang sama Marcel." "Hah? Hutang?" "Beberapa bulan lalu, gue nggak sengaja pecahin liontin punya Marcel, dan lo tahu berapa harga liontin itu?" Niken menggeleng, masih terpana dengan cerita Raiya. Seperti fiktif tapi nyata. "Lima juta. Gue harus bayar 5 juta ke dia. Tiap hari gue terus-menerus diganggu sama dia. Gue nggak mau sampek nyokap bokap tahu, makanya gue minta dipindahin kesini. Seenggaknya sampek gue bisa kumpulin duit itu." Raiya menghembuskan napasnya panjang, lega juga bisa cerita ke seseorang meski nggak semuanya dia ceritakan ke Niken. Seenggaknya beban di benaknya sedikit berkurang, meski aslinya masalah semakin bertambah. "Terus langkah lo selanjutnya?" "Ini!" Raiya mengacungkan ponselnya yang sudah berhenti bergetar, "Kak Miko, dia bisa jadi tameng buat gue!" ucap Raiya mantap, yakin. Yakin kalau dia siap berperang dalam neraka SMA Gajah Mada. Niken tercengang seketika. "Lo sadar kan apa yang barusan lo ucap?" "Gue sekarang anak Gajah Mada, dan Kak Miko adalah pentolan sekolah kita. Gue yakin kalau Kak Miko nggak akan mungkin ngebiarin anak sekolahnya diapa-apain sama Marcel!" "Tapi kan Ray, lo sendiri aja diapa-apain sama Kak Miko!" Glekkk, Raiya menelan ludah mendengar pernyataan Niken yang sesuai dengan fakta itu. Gimana bisa dia berlindung pada singa yang tiap hari pengen memangsanya, jelas banget kalau Raiya lagi nggak waras. "Terus gimana dong?" kali ini Raiya pasrah mengabaikan idenya tadi kembali menelungkupkan mukanya ke meja saat dua ponsel itu kembali getar. "Lo harus terus menghindar dari mereka sambil cari solusi gimana cara pukul mundur mereka, sampai lo punya duit 5 juta!" "Gitu?" Niken mengangguk pasti, "Sebelumnya mending lo angkat dulu telepon dari Kak Miko, daripada besok lo dapet masalah!" "Katanya suruh ngindar, gimana sih? Kok sekarang malah suruh angkat telpon? Lo tahu nggak udah 10 sms masuk dari dia dan isinya sama, gue takut Nik, gue pikir dia ini psikopat!" "Emang sms apa?" Raiya menyodorkan ponselnya ke Niken setelah berhenti bergetar. Raiya beneran nggak habis pikir, gimana bisa si Miko juga Marcel bisa bebarengan menghubungi dia. Nggak masuk akal banget! Seolah Raiya ini buronan gembong n*****a yang sedang dicari-cari sama aparat polisi se Indonesia. Dan juga gimana bisa coba Miko punya nomor ponselnya? Sms from Miko D. Gimana sama kening lo? Udah diobatin? Miko. "Kalo ini sih bukan psikopat, tapi khawatir Ray, mungkin aja Kak Miko beneran ... eh eh getar lagi nih!" "Ogah!" Raiya beringsut menjauh saat Niken menyodori ponselnya sendiri. Sumpah rasanya Raiya pengen buang aja semua ponselnya itu ke tong sampah, kalau nggak inget itu hadiah dari orang tuanya. "Udah angkat aja! daripada kena damprat besok! Menghindar itu bukan menjauh, tapi harus cari aman, supaya nggak kena masalah, nih udah ...," Niken nyengir iseng menyentuh tombol hijau lalu menaruhnya di meja depan Raiya, sontak Raiya melotot kesal kepaksa juga terima telepon si penjagalnya itu. "Wowww, baru kali ini gue ngabisin waktu cuma nunggu telepon diangkat! Rekor muri gue rasa!" celoteh dari seberang telepon tanpa basa-basi 'halo', Raiya cuma bisa menggigit bibirnya takut. Padahal nggak tatap muka, tapi denger suaranya aja sudah berhasil bikin Raiya merinding. "Maaf Kak, nggak denger." "Hobi lo minta maaf mulu ya?" "Ada apa Kak?" "Ada sms masuk nggak lo baca?" Astaga, Raiya menghentak-hentakkan kakinya geregetan, bisa nggak cuti masuk neraka sehari aja di hari minggu ini? "Ehhh, nggak punya pulsa Kak!" kilah Raiya bohong. "Oke, 5 menit lagi ada pulsa masuk. Jadi nggak ada alasan lo nggak bisa bales! Gimana sama kening lo?!" tanya Miko lebih ke menuntut untuk dijawab sih, Raiya rasa itu bukan pertanyaan karena khawatir. Nada bicara otoriter dari Miko nggak bisa membuat Raiya santai atau bahkan merasa terharu karena diperhatikan oleh seorang Miko Dirgantara. "Ehh baik, udah baikan kok!" "Besok gue jemput lo ke kosan, setengah tujuh pagi! Nggak ada penolakan, nggak ada terlambat, dan yang paling penting nggak ada kabur-kaburan! Inget, setengah tujuh pagi!" Tut ... tut ... tut, dan sambungan terputus tanpa Raiya bisa menjawabnya, ataupun menolaknya. Masalah seperti nggak mau jauh dari Raiya. Terbesit pertanyaan di benak Raiya, tanggal berapa ya Miko lulus dari SMA Gajah Mada? Raiya harap secepatnya. *** Monday! Hari yang kata orang terlalu cepat datang, merenggut kebahagiaan di hari minggu. Seakan liburan di hari minggu itu kurang banget. Kali ini Raiya sangat merasakannya. Dia sengaja berangkat sepagi mungkin sebelum si penjagalnya datang untuk menjemput. Pukul 6.15 tepat sudah sampai sekolah, tanpa membuang waktu setelah memparkirkan sepedanya dia langsung ngibrit ke UKS, yes sembunyi disana selama upacara berlangsung. "Lo dimana? Jangan masuk kelas dulu deh! Nih anak-anak ngantri pengen denger penjelasan lo soal gosip lo pacaran sama Kak Miko! Lagian juga ntar 2 jam pertama guru kelas XI rapat." terocos Niken begitu telepon darinya Raiya angkat. Saat ini Raiya sudah ada di UKS menemani anak-anak PMR persiapan tugas di lapangan upacara. Lebih tepatnya sih numpang sembunyi. "Tenang aja, gue ada di tempat aman. Sorry gue nggak kasih tahu ya, ntar takutnya lo keceplosan, stay cool aja disana, langsung kabari kalo ada hal yang darurat!" Raiya nyengir sedikit senang karena berhasil lolos dari Miko. Kabur adalah keahlian Raiya selama ini, lebih tepatnya menghindari masalah yang membuatnya semakin bermasalah. Seperti saat ini, saat masalahnya akan semakin runyam karena Angga nggak sengaja melihatnya jalan buru-buru menuju UKS. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, sang pentolan sekolah yang baru sampai di depan kos an Raiya langsung mendapat info dari Angga bahwa si buronan sudah kabur ke UKS. "Buronan udah ada disini Mik, tepatnya di UKS." *** Pagi itu hujan lebat banget, terpaksa Raiya harus menunggu reda baru berangkat sekolah. Alhasil dia terlambat, sekitar 1 jam. Rencananya, Raiya kepengen bolos aja, selain males kalau harus kena hukuman guru piket juga males kalau harus ketemu Chiko, tapi mengingat di jam terakhir ada ujian dia nekat masuk. Dan kenekatannya itu malah berujung dengan keapesan yang disesali Raiya sampai sekarang. Pengawasan ketat Chiko setelah dia dituduh sebagai penghianat, membuatnya selalu terpojokkan, bahkan saat nggak sengaja dia terjebak di tengah-tengah tawuran sekolahnya. Dari halte yang nggak jauh dari sekolah, Raiya terkejut saat segerombolan murid-murid SMA datang dari g**g kecil sebelah sekolahnya membawa balok kayu, besi juga melempari batu ke sekolahnya. Sedang murid sekolahnya sendiri sudah berhamburan keluar untuk membalas serangan yang makin lama makin menjadi, kisruh. Raiya yang pertamakalinya melihat tawuran nggak bisa melakukan apapun selain diam mematung di halte. Kepalanya semakin pusing melihat keramaian itu, sampai nggak sadar kalau Chiko sudah berlari ke arahnya, menariknya ke belakang punggung Chiko sendiri, "Ngapain lo kesini b**o! Mata lo buta hah, nggak liat ada tawuran?!" bentak Chiko menghalangi lemparan batu yang akan mendarat ke kepala Raiya dengan balok kayu yang dia bawa. Tapi Raiya nggak menjawab, dia cuma diam pegangan seragam Chiko erat, kepalanya semakin pusing, pandangannya mengabur dan nggak lama Raiya limbung nggak sadarkan diri. Raiya ingat betul hari itu, hari pertama dia pingsan di tangan Chiko. Tanpa memikirkan kepalanya sendiri yang berdarah karena berkali-kali kena timpuk batu, Chiko menembus arena tawuran menggendong Raiya dan membawanya ke UKS. *** Ceklek ... suara pintu terbuka, deritnya membangunkan Raiya yang sedang tertidur pulas di kursi periksa. Tubuhnya hanya menggeliat sebentar, nggak mempedulikan ada langkah kaki masuk, paling juga petugas PMR ambil obat pikir Raiya semakin merapatkan matanya, menidurkan kepalanya di meja. "Eghemm ..., ngapain lo tidur disini?" "Kan tadi udah bilang, numpang tidur Kak, capek banget. Nanti jam ke 3 gue balik kok, serius!" gumam Raiya menjawab suara yang terdengar di sampingnya, masih menganggap kalau itu suara petugas PMR untuk beberapa detik. Dan detik berikutnya Raiya tersadar, masih memejamkan mata, dia langsung waspada memastikan kalau suara itu beneran suara petugas PMR. "Lo mau nantang gue hem?" tanyanya lagi kalem. Mati lo Ray! Sumpah demi apa, Raiya penasaran banget dengan jalan hidupnya, harus sampai kapan dia terlibat dengan preman sekolah! Itu suara Miko Dirgantara, si penjagal yang sudah memperkeruh suasana kaburnya. Pelan dia buka mata, menegakkan tubuhnya, tersenyum kaku saat melihat Miko sudah duduk di depannya melipat tangan di d**a. Ciri khas Miko yang Raiya mulai kenali, cara mengintimidasi seseorang dengan tersenyum santai, ternyata berhasil 110% membuat buronannya mengkerut. "Eh Kak Miko ...," "Lo ngerti bahasa indonesia kan? Atau lo mengalami gangguan pendengaran?" Miko memutar jarinya ke dekat telinga, seolah ingin memperjelas perkataannya, seperti beneran mengkhawatirkan pendengaran Raiya. Dan Raiya? Dia cuma diam, was-was ragu memandang sang pentolan sekolah. "Maap Kak, saya seriusan nggak mau ngerepotin Kak Miko, saya ...," "Cukup turutin apa yang gue omongin, dan itu nggak akan bikin gue repot!" "Iya Kak!" ucap Raiya bohong. Turutin omongan penjagal itu adalah penderitaan yang nggak mau Raiya jalani. Tapi kalau melawan juga gimana caranya? Raiya merutuk dirinya sendiri kesal dalam hati, sepertinya nanti pulang sekolah harus survey lokasi persembunyian yang baru. "Mau kabur kemana pun gue tetep bisa temuin lo!" tandas Miko menatap tajam Raiya seolah tahu isi pikiran Raiya, kali ini raut mukanya berubah serius. Memang sepertinya Miko nggak bisa terlalu kasih kebebasan sama tawanannya ini, dia harus cari cara lain. Miko khawatir, kalau sedikit saja lengah pasti Raiya akan beneran mendatangi Marcel, kembali ke Marcel! Ahhh, kalau saja Miko tahu, kekhawatirannya itu nggak akan pernah terjadi. Buat Raiya Marcel itu sama saja dengan Miko, sama-sama setan yang harus Raiya jauhi. Cuma jebakan batman atau perangkap spiderman yang bisa membuatnya mendatangi Marcel, dan Raiya nggak mau hal itu terjadi lagi. Cukup 5 juta nggak mau nambah. "Ehhmm, Kak saya harus balik ke kelas sekarang, misi!" pungkas Raiya buru-buru beranjak berdiri tapi langkah kakinya langsung terhenti, nggak tahu deh Miko ini belajar ilmu hipnotis dari mana. Cuma dengan isyarat gelengan kepala, menggerakkan matanya menyuruh Raiya untuk kembali duduk bisa membuat kaki Raiya membeku di tempat dan menuruti keinginan Miko, "Apa lagi sih ini? Apa kalo gue protes, gue bakal mati? Nggak, nggak, gue harus coba ngelawan. Dia bukan Kak Chiko, lagi pula gue juga belum pernah liat Kak Miko main tangan, oke aman. Gue harus tetep pergi dari sini!" Raiya komat kamit dalam hati, memantrai dirinya sendiri supaya bisa melawan Miko. Kemungkinan besar kalau Miko tetap menyuruhnya disini, dan pakek k*******n Raiya bisa teriak minta tolong. Kali aja pas teriak kepala sekolah lewat, terus kepergok. Miko dikasih hukuman, syukur-syukur deh dia di DO sekalian. "Saya ada ulangan jam pertama Kak, saya harus—" "Gue bisa lebih nekat dari Marcel!" Deggg!!! Pupus sudah harapannya, hati Raiya langsung mencelos. Kalimat yang singkat jelas padat, berhasil membuat Raiya takluk. Bahkan keberadaan kepala sekolah pun sepertinya nggak akan bisa menolongnya. Chiko itu setan, Marcel juga setan, kekuatan mereka sama menurut Raiya. Tapi kalau sudah ada yang berani bilang lebih nekat dari setan berarti dia ini Lucifer dong? Iblis berwajah malaikat? Astaganaga! "Marcel? kenapa Kak Miko bawa-bawa Marcel? Marcel siapa? Saya nggak ken—" Sretttt!!!GEDEBUG! Gesit! Tanpa aba-aba, tanpa permisi, kaki kanan Miko dengan mudah menarik kursi Raiya mendekat ke hadapannya. Raiya yang nggak menduga dengan tindakan Miko itu, sontak terkejut tubuhnya terhuyung ke depan menimpa Miko, BUGG!! Hening! Cuma suara denting jam yang kali ini terdengar di ruang UKS, ahh satu lagi degup jantung Raiya mendadak ngalahin suara bedug buat buka puasa, dug dug dag dig dug nggak karuan. Gimana nggak, kalau posisi Raiya sekarang nimpa si Miko, kedua tangannya refleks memegang kedua bahu Miko erat. Alih-alih nggak berani liat muka Miko yang sekarang jaraknya nggak ada satu centi, Raiya menundukkan kepalanya di bahu Miko, sebentar mengatur napas, menghilangkan keterkejutannya lantas baru melepas pegangannya pada bahu Miko. Cuma dua harapan Raiya saat ini, semoga pendengaran Miko nggak terlalu tajam sampek bisa dengar degup jantungnya, dan juga mata Miko nggak akan melihat pipinya merah padam seperti kepiting rebus yang disaosin. Tapi ternyata harapannya itu nggak terwujud. Dengan jarak yang begitu dekat, nggak mungkin banget Miko nggak lihat muka Raiya yang sudah panik, salah tingkah. Buktinya Miko malah tersenyum geli sambil masih menahan kursi Raiya, menguncinya supaya nggak lepas. Detik berikutnya setelah puas menikmati kepanikan cewek yang ada di depannya itu, Miko merogoh saku celananya mengambil plester yang tadi dia ambil di kotak obat UKS. Tanpa ijin dan juga tanpa penolakan dari Raiya, pelan Miko sibakkan poni Raiya yang menutupi keningnya, "b**o!" celanya asal sambil memasang plester ke kening Raiya yang waktu itu kena lempar batu, lalu menepuknya pelan. "Lain kali bisa kan nggak bikin gue buang-buang waktu cuma ngurusin kening lo itu?" "Makasih Kak!" sahut Raiya pendek menunduk mengabaikan pertanyaan Miko, beneran deh Raiya nggak berani balik natap mata si penjagal. Lagian siapa juga yang nyuruh dia ngurusin kening orang lain? Kurang kerjaan banget kan tuh si penjagal, sok sok an baik, tapi malah bikin orang ketakutan. "Gue akan bikin lo ngerasa aman!" deggg, hah? Raiya refleks mengangkat kepala, nggak salah denger? "Lo nggak perlu takut, lo aman sama gue selama lo turutin perintah gue, selama lo nggak ngelawan gue!" lanjut Miko melempar senyum, kali ini bukan senyum sinis, juga bukan bentuk intimidasi yang selama ini Raiya rasakan, senyumnya beda, Raiya sadar itu. Kenapa sama Miko? Senyum itu, sepertinya Raiya pernah melihatnya. Miko mengusap pucuk kepala Raiya lembut, "Gue janji! Dan satu lagi, kalo lo pengen aman ada disini, jangan pernah lo lari ke Marcel, apapun yang terjadi!" Hah? Jadi syaratnya gitu doang? Supaya aman dari gangguan si penjagal cuma gitu doang? Raiya mengangkat sebelah alisnya, menyelidik muka Miko apa dia serius atau nggak? Kalau cuma gitu doang mah urusan kecil, siapa juga yang mau lari ke mulut buaya? Secercah harapan ada di depan Raiya sekarang. Tapi kenapa tiba-tiba Miko jadi berubah? "Paham kan?" Raiya mengangguk cepat-cepat tanpa ragu sedikitpun, "Paham Kak!" "Bagus, nih sarapan!" Miko melepas kakinya dari kursi Raiya, mengambil bungkusan yang ada di meja dan menaruhnya ke pangkuan Raiya, "Sebelum balik kelas, lo sarapan dulu!" "Sarapan?" kembali Raiya melongo, ngliat bungkusan kresek hitam di pangkuannya sendiri. Bentar-bentar, yang ada di depannya sekarang ini beneran Miko nggak sih? Atau jangan-jangan ini kembaran Miko? Sumpah kebaikan Miko ini semakin membuat Raiya waspada, apa yang lagi direncanakan Miko? "Lo belum sarapan kan?" "Iya sih Kak, cuma ...," "Lo abisin sekarang jangan ngelawan! Sebenernya gue mau temenin lo disini, cuma gue ada ulangan MTK, pelajaran favorit gue yang nggak bisa gue tinggalin!" pungkas Miko berdiri meninggalkan keplongoan Raiya menuju pintu UKS, sumpah kalau dia lama-lama disitu liat muka Raiya yang saat ini cuma plonga plongo heran dengan sikap baiknya, dipastiin Miko bakal ketawa keras sampek guling-guling. Tapi nggak deh, Miko masih bisa menahan supaya wibawanya nggak jatuh begitu saja. "Kak Miko!" panggil Raiya buru-buru akhirnya tersadar kalau dia kelamaan terpesona dengan sikap Miko barusan. "Hemm," dehem Miko tanpa menoleh memegang handle pintu. "Makasih, Kak." *** NQ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD