Mimpi Buruk

1297 Words
Dua tahun yang lalu, Raiya mempercepat langkahnya. Dengan masih terus menunduk tanpa berani membalas cemoohan murid-murid yang seakan memang sengaja berjajar rapi di sepanjang koridor kelas untuk membulinya. Hari itu untuk pertamakalinya dia mengalami hari buruk sebagai siswa SMA. Raiya samasekali nggak menyangka kalau tindakannya sudah membawanya masuk ke mulut macan saat dia terus berjalan tanpa henti entah kemana menabrak seseorang yang sudah berdiri tegap di hadapannya. Chiko! Ketakutan Raiya semakin menjadi saat Chiko tanpa sedikit pun bicara, menariknya paksa meninggalkan kerumunan yang ingin tahu apa yang akan dilakukan Chiko terhadap penghianat baru itu—Raiya. Yah karena Raiya menolong murid SMA musuh sekolahnya dan menghalangi Chiko untuk menghajarnya. Sejak itulah neraka dimulai. Chiko sudutkan paksa Raiya ke tembok luar gudang, memulai tugasnya untuk menghakimi siapa saja yang sudah menjadi penghianat sekolah. Chiko tinju kasar tembok di samping Raiya, dan berhasil membuat Raiya kembali menunduk, butiran-butiran bening di sudut matanya jatuh sudah untuk pertamakalinya saat dia baru saja menjadi siswa SMA. Raiya nggak pernah melupakannya, dia menangis untuk Chiko. "Mau lo apa hah?!" desis Chiko lirih tapi tajam samasekali nggak peduli dengan air mata gadis yang ada di depannya saat itu. Raiya hanya bergeming, lidahnya tiba-tiba ngilu, apa yang ingin dia katakan menguap begitu saja, cuma sesenggukan yang bisa Raiya lakukan saat itu. "Lo mau sok jadi pahlawan? Mau sok jadi dewi penolong?!" "Itu, itu saya cuma, c*m—" "CUMA??!" Bentak Chiko kali ini tersenyum kesal mengalihkan pandangannya menendang balok kayu yang tertumpuk tak beraturan di bawahnya. Kalau saja yang dihadapi saat itu laki-laki pasti tanpa ragu Chiko sudah menghajarnya. Chiko diam sejenak, mengatur napas dan kembali menatap tajam Raiya, menatapnya dengan seluruh kekesalan karena harga dirinya yang jatuh saat tahu murid SMAnya malah membela SMA lawan, "Elo, kalo mau jadi makhluk sosial, juga harus tahu tempat!" ucapnya lirih dengan penuh penekanan di setiap katanya, "Kebodohan lo ini udah bikin kacau semuanya, dan lo pikir Marcel bakal bilang makasih sama lo, terus mengakhiri perseteruan ini?" "Ma-ap Kak." "Denger baik-baik, mulai sekarang lo ada dalam pengawasan gue! Kalau lo bikin ulah lagi, gue sendiri yang langsung habisin lo!" *** Satu kata, kehilangan. Meninggalkan, ditinggalkan. Mencari, dicari. Merindukan, dirindukan. Berada di satu titik yang sama, berpusar di tempat yang sama. Tapi ternyata takdir lebih ingin membuat mereka saling tak terlihat, saling tak merasa meski terasa, saling mencela meski ingin memuji, saling membenci meski ingin mencintai. Entah untuk apa takdir melakukan itu semua. Satu persatu kejadian menarik mereka ke masalalu, ke tempat dimana rasa itu mulai muncul. Raiya menghela napas panjang, kembali menaruh miniatur lamborgini hitam itu di meja dekat jendela. Kenangan itu selamanya nggak akan pernah hilang, luka yang masih menganga itu entah kapan bisa sembuh. Kenyataannya, dia sekarang sendiri. Air matanya lagi-lagi menetes dan itu masih untuk orang yang sama—Chiko! "Kak Chiko kenapa sama gue? Gue harus selalu berurusan sama preman sekolah. Gue harus gimana sekarang kalau nggak ada lo? Kenapa lo pergi? Gue sekarang sendiri, gue butuh lo Kak ...." *** Saat lo nggak berpikir pakek logika, saat itulah masalah muncul. Kekalahan Miko 2 tahun lalu mestinya sudah cukup untuk Marcel. Jelas, dia menang telak. Tapi tanpa Marcel sadar persaingan ini nggak lagi mengatasnamakan gengsi melainkan sesuatu yang lain, yang mampu membuat Marcel berhenti merokok. Baginya perang masih berlanjut. "Rokok?" tawar Jodi menyodorkan sebatang rokok ke Marcel yang sepertinya tengah melamun, karena sedari tadi sampai di bengkel, Marcel hanya duduk diam mengamati pekerjaannya dengan tatapan kosong. Marcel mengerjapkan mata, tersenyum lantas menggeleng. Dia rogoh saku celana jeansnya, ternyata masih tersisa satu lolipop. Barang candu yang dulu hampir setiap hari Marcel hisap tergantikan begitu saja dengan lolipop. Sambil mengulum lolipopnya, Marcel berdiri mengitari lamborgini hitam yang sekarang sudah bisa dia pakai. "Udah beres kan?" "Beres, rem pakem, gas dijamin kenceng, desain interior oke seperti dulu, bahkan stiker di jendela kemudi pojok kanan atas udah nempel sesuai keinginan lo!" jelas Jodi puas dengan hasil kerjanya sendiri. Setelah berbulan-bulan akhirnya selesai juga mengembalikan rongsokan lamborgini itu ke bentuk semula. "Bagus, thanks." "Jadi nih serang balik Gajah Mada?" "Jadilah, udah waktunya! Lagipula yang gue cari sekarang juga ada disana. Gue bisa menang dobel kalau gini." "Oke, besok kita kesana, gue bakal siapin pasukan buat lo!" "Oh iya ini," Marcel ambil kardus kecil dari meja di sampingnya menyerahkannya ke Jodi, "pastiin itu sampek ke tangan Miko sendiri! Satu persatu bom bakal gue letusin buat pangeran Miko!" *** Pukul 6.50 tepat. Sepuluh menit lagi bel bunyi, syukurlah nggak telat. Raiya mengelus d**a memparkirkan sepedanya lalu duduk sebentar di bawah pohon beringin yang konon ceritanya tempat ini adalah markas Ali cs, nggak ada yang berani duduk disana. Tapi semenjak sang pentolan hengkang, tempat duduk di bawah pohon beringin ini sudah mulai dibuka untuk umum. Baru dia siap-siap akan menuju kelas, ponselnya bunyi. Ada w******p dari Niken. Berhasil membuat Raiya tercengang seketika. Tangannya gemetar tanpa dia sadar. Meski sudah menduga akan secepat itu, tapi tetap saja dia masih belum siap dengan kejutan-kejutan busuk yang bakal dia alami. Langsung Raiya membatalkan niatnya untuk masuk kelas. Demi keselamatan, Raiya lebih memilih terlambat dan kembali duduk. Niken : Ray lo dimana? Jangan ke kelas dulu, disini ada Kak Miko! Raiya : Ngapain tuh orang disana? Niken : Nyariin lo lah, kenapa tiba-tiba dia cari lo? Mendingan lo jangan ke kelas dulu sampek Kak Miko pergi! Ngeri disini, dia lagi du2k di bangku lo, gue pindah ke sebelah Dion. Raiya : Oke, kabari gue kalau dia udah pergi, ntar gue cerita! *** Baru 15 menit Raiya dapat w******p dari Niken bilang kalau Miko sudah pergi setelah kena tegur Pak Wito guru PKN yang untungnya nggak killer. Bahkan sebaliknya, Pak Wito itu suka becanda. Saking becandanya beliau kasih hukuman Raiya buat nyalin isi diktat ke whiteboard sambil hafalin sila pancasila. Gila! Bisa-bisa dia dituntut kayak artis dangdut yang lagi heboh di infotaiment kalau salah sebutin sila pancasila. Raiya langsung ngibrit duduk ke bangkunya dengan muka sudah memerah banget, menggigit bibirnya malu abisss. Semakin malu waktu Edo, cowok yang hobi ngoceh meledeknya, "Untung aja nggak ada yang salah silanya, kalo sampai salah jadi duta pancasila juga deh!" serunya mengundang gelak tawa anak sekelas. "Hahaha, selamet deh lo Ray, nggak akan ada yang nuntut lo!" tambah Dion semakin membuat ricuh. Raiya jadi semakin frustasi, meringis, merutuk semua hal buruk buat Miko, semoga dengan begitu Miko bisa segera enyah dari permukaan bumi Gajah Mada. Dannnn Raiya semakin geregetan, tangannya menggenggam tangannya yang lain keselll banget lihat Pak Wito ikutan ketawa, keras lagi. Emang sih nggak killer, cuma resek banget. Gosipnya ini guru jadi suka ngerjain murid karena kangen sama salah satu murid favoritnya Wahyu Dirgantara. Tunggu, tunggu, Raiya memicingkan matanya, menatap Pak Wito penuh curiga, jangan-jangan beliau itu kerjasama dengan Miko buat ngerjain dia? "Kenapa Kak Miko cariin lo?" sentak Niken membuyarkan lamunannya. Niken lah satu-satunya murid yang nggak ikut ketawa, dia lebih pengen fokus sama masalah temannya itu. Raiya cuma diam , nggak mau mencuri perhatian Pak Wito. Bisa-bisa dia kena hukuman lagi. Raiya sobek kertas bagian tengah buku PKNnya, lalu menulis semua kejadian yang dia alami kemarin, kemudian menyodorkannnya ke hadapan Niken. Nggak ada 2 menit baca, Niken langsung melotot melirik Raiya di sebelahnya nggak habis pikir, "Nih anak pasti udah gila!" batinnya jadi kesal. Sudah berkali-kali dia bilang jangan pernah cari masalah dengan Miko, tapi apa? Raiya jelas-jelas menyodorkan diri ke mulut singa! Sekali happss, habis sudah! Niken cuma menulis tiga kata dengan huruf besar semua. LO GILA HAH??? Raiya hanya mengangkat bahu pasrah membaca tulisan itu. Pasrah dengan apa yang bakalan terjadi. Hari-hari menyenangkannya berkahir sudah. Yang ada cuma mimpi buruk sekarang. Mimpi buruk yang terulang lagi. Mimpi buruk yang sengaja diciptakan sang pentolan sekolah. Bahkan dia sudah menempatkan Aji untuk terus mengawasi Raiya dari balik jendela luar kelas XI IPA 1, "Iya bos, udah masuk kelas! Pasti bos, tenang aja. Gue udah bolos demi jagain dia nih." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD