Insiden

1400 Words
Safira mendadak menekan rem pada motornya ketika sebuah mobil muncul dari tempat tak terduga. Dan hal tersebut membuatnya hilang keseimbangan, sehingga dia oleng ke sebelah kiri. Perempuan itu terjatuh dengan sebelah sikut membentur aspal dan kepalanya yang terlindung helm juga mengalami hal sama, sementara kakinya juga tertimpa body motor. Meski tidak terlalu keras, tetap saja membuatnya cukup terkejut. "Astaga, Fir?" Adnan, yang ternyata adalah si pengemudi mobil tersebut segera turun begitu dia menyadari sebuah motor hampir saja menabrak kendaraannya. "Kenapa kamu muncul tiba-tiba? Abang tidak melihat!" Pria itu dengan cepat menghampirinya yang tengah berusaha bangkit. Dia mengangkat motor sehingga Safira bisa melepaskan kakinya dan segera bergeser ke sisi aman tak jauh dari kendaraan roda duanya tersebut. "Kamu tidak apa-apa?" Adnan mendekatinya setelah berhasil menepikan motor, sementara Safira memeriksa keadaannya sendiri masih dengan wajah meringis kesakitan. "Ada yang luka?" Pria itu melakukan hal yang sama. Di melihat tangan yang terbentur aspal kemudian membantu Safira melepaskan helm. Lalu memeriksa apakah ada bagian tubuh perempuan itu yang terluka? Safira mengatupkan mulutnya rapat-rapat untuk menahan tangis yang tiba-tiba saja menyeruak seiring rasa sakit yang merambat di sebelah tangan dan kakinya. "Fir? Kamu tidak apa-apa?" Dan Adnan kembali bertanya seraya menyentuh pundak perempuan itu sambil sedikit memiringkan kepala untuk bisa menatap wajahnya. Safira mengangguk dengan wajah memerah dan mata berkaca-kaca. Hidungnya bahkan mulai memerah dan buliran bening luruh dari netranya. "Ada yang sakit? Sebelah mana? Tanganmu ya? Atau … kakimu?" Yang tentu saja membuat Adnan merasa panik, begitu pun beberapa orang yang menghampiri. Namun Safira segera menggelengkan kepala sambil menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Tidak apa-apa, Pak. Saya baik-baik saja." Lalu dia buka suara. "Benarkah? Tapi sepertinya kamu …." Perempuan itu segera menarik kedua tangannya yang Adnan sentuh, kemudian kembali mengenakan jaketnya. "Hanya luka kecil, Pak. Tidak apa," katanya lagi, lalu Safira mencoba untuk bangkit. Tapi ternyata, dia terhuyung ketika merasa bahwa pergelangan kakinya lemas, dan sudah bisa dipastikan akan kembali ambruk jika saja Adnan tak sigap menangkapnya. "Diam dulu lah sebentar! Kakimu tertimpa motor kan? Kenapa kamu ini?" Pria itu berujar, lalu kembali mendudukkannya di trotoar. Safira meringis seraya menyentuh kakinya sendiri. "Mungkin harus ke dokter, Pak." Sally yang muncul setelah mengetahui peristiwa itu pun bersuara. "Apakah perlu?" Membuat Adnan kembali menatap wajah Safira. "Kita harus ke dokter?" tanya nya lagi, yang diamini orang orang-orang yang berkerumun. "Eee … tidak usah, Pak. Tidak apa-apa. Hanya pulang saja dan besok saya pulih." Perempuan itu segera menjawab. "Kamu yakin? Tapi sepertinya ini …." "Saya akan menelpon suami saja, dan meminta dia menjemput." Lalu Safira merogoh ponselnya di dalam tas dan segera menyalakan benda tersebut untuk menghubungi Fahri. Satu kali, Dua kali, Tiga kali. Bahkan di panggilan ke empat pun pria itu tetap tak mengangkat telepon. Sehingga Safira terdiam untuk beberapa saat. "Tidak bisa?" Adnan segera bertanya. Safira kembali menyeka sudut matanya yang basah. Bahkan di saat seperti ini pun suaminya tak bisa dia andalkan untuk menjemput karena saking sibuknya. "Mungkin suami saya sedang bekerja, jadi …." "Saya antar kamu pulang." Lalu Adnan berujar. Semua orang yang berada di tempat itu saling tatap dengan pikiran yang bermacam-macam. "Karena saya yang menyebabkan kecelakaan ini, maka … saya harus bertanggung jawab, bukan?" Pria itu dengan ide brilian nya. Dia baru saja menemukan cara untuk memiliki waktu bersama Safira, mungkin untuk sekedar berbicara. "Rumah sakit terdekat ada satu blok dari sini, Pak. Dan itu …." Sally bermaksud untuk memberi tahu, dan dia menunjuk ke arah kanan jalan. "Kalau begitu cepat!" Namun Adnan segera membantu Safira bangkit. "Pak?" "Tolong buka pintu mobilnya. Biarkan saya membawa Safira ke rumah sakit. Dia harus diobati, bukan?" katanya, dan Sally yang posisinya dekat dengan mobil pun segera melakukan perintahnya. "Tapi, Pak? Tidak usah. Serius saya tidak apa-apa, lagipula ini hanya luka kecil. Jadi …." "Diamlah, ini juga hanya pengobatan kecil. Jadi sebaiknya kamu menurut saja." Adnan segera menggiringnya masuk ke dalam mobil, dan tanpa perlawanan membawanya pergi dari tempat tersebut. *** "Tidak apa-apa, ya Bu Safira. Ini hanya terkejut saja. Jika benturannya tidak sekeras itu, maka tidak ada yang parah." Dokter menyudahi sesi pengobatannya setelah memastikan bahwa keadaan Safira baik-baik saja. "Dokter yakin? Tidak ada yang retak di bagian sini?" Namun Adnan seolah tidak percaya dengan ucapan pria tersebut. "Tidak, Pak. Pada sebagian orang, rasa terkejut memang bisa menimbulkan dampak yang cukup serius. Apalagi jika orang tersebut mengidap anxiety yang parah. Dan sepertinya Bu Safira punya gejala itu ya?" Dokter menatap perempuan yang dia obati. "Anxiety?" Adnan pun melakukan hal sama. "Tahap lebih parah dari asam lambung, Pak." "Maksud dokter, maagh?" "Lebih dari itu." Adnan mengerutkan dahi. "Dan sepertinya asam lambung Ibu juga sedang kambuh ya? Jadi sebaiknya ditenangkan dulu. Tidak apa-apa, Bu. Semuanya baik-baik saja." Sang Dokter berucap. "Terima kasih, Dokter. Saya sudah tidak apa-apa, jadi … sepertinya saya harus pulang." Sedangkan Safira hampir saja turun dari blankar, meski itu tak berhasil karena Adnan segera menghentikannya. "Dokter bilang kamu harus tenang dulu!" Pria itu menahan lututnya, membuat Safira meringis karena bekas benturan tadi masih menyisakan rasa sakit. Adnan menarik tangannya lalu mundur satu langkah ke belakang. "Maaf," katanya. "Kalau yakin tidak apa-apa, boleh saja, Bu. Tapi kalau merasa masih lemah, sebaiknya tunggu dulu sebentar," ucap dokter lagi, dan dia segera pergi setelah yakin semuanya baik. Suasana mendadak hening untuk beberapa saat, dan dua orang itu masih tak mau berbicara. Terutama Safira yang mencoba mengalihkan perhatian pada ponsel di tangannya dengan mengirimkan beberapa pesan ke nomor Fahri. Yang sejak tadi aktif namun tak mendapat balasan. Berkali-kali dia menghembuskan napas keras yang akhirnya membuat Adnan yang tengah menunggu di kursi tak jauh darinya bereaksi. "Dengar, Fir. Abang minta maaf soal kejadian hari ini. Abang bersumpah tidak melihat keberadaan mu di sana, jadi …." "Jangan dibahas terus, dan jangan minta maaf lagi. Sudah cukup, Pak." Dan Safira pun kini merespon. "Saya tahu dan mengerti. Mungkin itu kesalahan saya yang tidak menyadari kalau ada yang akan lewat. Jadi, sudahlah." Perempuan itu melirik. Dan Adnan hampir kembali membuka mulutnya untuk berbicara ketika pintu Unit Gawat Darurat terbuka dan seorang pria menerobos masuk. "Sayang? Kamu tidak apa-apa?" Adalah Safir yang segera menghambur memeluknya. "Mas?" Perempuan itu terhenyak. "Maaf, aku baru membuka ponsel dan batu tahu kalau kamu menelpon. Waktu mau aku telpon balik hapeku mati, jadinya aku langsung ke kantor saja." Fahri memberikan penjelasan. "Tapi satpam mengatakan kalau kamu ke sini," lanjutnya ketika melihat Safira yang mengerutkan dahinya. "Umm …." "Kamu tidak apa-apa? Bagian mana yang terluka? Kenapa bisa sampai begini?" Lalu Fahri bertanya soal keadaannya. "Tidak, Mas. Aku baik-baik saja. Hanya …." "Lalu bagaimana dengan orang yang menabrakmu? Apa dia bertanggung jawab? Awas saja kalau tidak, aku akan mengejarnya sampai dia mengalami hal yang sama!" geram pria itu yang kembali memeluk sang istri dengan perasaan cemas tak terkira. "Umm … Mas?" Namun Safira berusaha melepaskan diri ketika menyadari bahwa di ruangan itu dia tak sendirian, melainkan ada Adnan yang menemaninya. "Ada apa? Ayo kita pulang? Ibu sudah menanyakanmu." Dan Fahri hampir saja menariknya ketika Adnan berdeham untuk membuat dua orang itu berhenti bicara. "Ehm." Dia masih duduk di tempatnya dengan kedua tangan terlipat di d**a. Fahri menoleh, dan keningnya segera berjengit saat mendapati keberadaan pria itu di dalam sana. "Mas, ini atasanku. Pak Adnan." Dan Safira segera memperkenalkannya sambil menatap pria di depan sana. "Oh … selamat … malam, Pak?" Fahri segera menyapanya. "Ya, malam." Adnan menjawab. Dia bangkit sambil merapikan pakaiannya yang sedikit kusut, kemudian berjalan mendekat pada pasangan itu. "Saya yang menabraknya ketika kami hampir pulang. Tapi saya bersumpah kalau itu tidak disengaja. Dan saya sudah bertanggung jawab untuk itu." Adnan dengan suaranya yang datar dan tenang, namun membuat Fahri dan Safira terdiam. "Sekali lagi maaf, Safira? Semoga kamu cepat pulih," katanya lagi yang memutar tubuh kemudian melenggang keluar dari ruangan tersebut. "Atasan mu?" Namun terdengar percakapan berlanjut di antara suami istri tersebut. "Ya, manager promosi yang baru, Mas." Safira menjawab. "Kamu benar-benar sudah pindah?" Fahri kembali bertanya. "Ya. Tapi sepertinya aku akan pindah lagi. Mungkin kembali ke bagian keuangan." "Lho? Kenapa?" "Tidak apa-apa, hanya ingin saja." Adnan menghentikan langkah ketika mendengar hal tersebut. Dia terdiam sebentar untuk mendengarkan percakapan itu lebih jauh dan mengetahui apa saja yang mungkin akan Safira lakukan. Dan sesuai prediksi bahwa perempuan itu akan terus menghindar. "Ayo, Mas. Aku mau pulang! Tidak enak lama-lama di rumah sakit!" Lalu terdengar lagi suara perempuan itu yang terdengar agak manja dari sebelumnya, seolah pria di dalam sana akan memperlakukannya sebaik itu. Adnan mendengus keras, lalu dia melanjutkan langkahnya dan segera pergi dari tempat tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD