Kunjungan Adnan

1430 Words
"Tidak usah dengarkan ucapan ibu ya?" Fahri duduk di pinggiran tempat tidur di mana Safira berada. "Makanya, jadi perempuan itu menurut kepada suami. Apa salahnya sih mengalah dan berhenti bekerja? Padahal untuk kebaikan bersama. Takut sekali dibawa susah padahal Fahri jelas-jelas sangat mapan!" Namun suara Hasna masih terdengar meski pintu sudah ditutup. Perempuan itu sedikit meradang ketika menerima kepulangan menantunya dan mengetahui jika dia mengalami kecelakaan di tempat kerja. Namun bukan menunjukkan kekhawatiran, malah bersikap di luar kebiasaan. Fahri meraih tangan Safira dan menggenggamnya erat-erat. "Yang sabar, Fir. Kamu tahu maksud ibu tidak seperti itu, tapi …." "Aku mau tidur, Mas. Aku ngantuk." Safira segera memotong ucapannya. "Makan dulu, Fir. Bukankah setelah ini kamu juga harus minum obat?" Fahri mencoba membujuknya. "Nanti saja, Mas. Aku tidak lapar." Perempuan itu segera merebahkan tubuhnya dan menarik selimut untuk membuat dirinya senyaman mungkin. Dan Fahri tak berusaha untuk memaksanya karena dia tahu jika itu tak akan berhasil. "Mas?" Namun Safira kembali buka suara setelah beberapa saat. "Ya? Aku pikir kamu sudah tidur?" Fahri segera meletakkan ponsel di atas nakas setelah memeriksa beberapa pesan. Dia kemudian merebahkan tubuh di dekat istrinya dan berusaha menariknya ke pelukan. "Menurutmu, apa aku salah karena memilih terus bekerja?" Safira kembali memulai percakapan. "Tidak. Kenapa kamu bertanya begitu?" "Kamu tetap ridho kalau aku tidak berhenti bekerja?" Safira mendongak untuk dapat menatap wajah suaminya. "Ya. Memang apa masalahnya?" Perempuan itu terdiam. "Apa dengan bekerja bisa membuatmu bahagia? Kamu senang?" Lalu Safira menganggukkan kepala. "Bisa bertemu dengan banyak orang membuat wawasanku bertambah dan aku senang dengan interaksi di setiap harinya." "Lalu mengapa itu bisa membuatku tidak ridho? Selama kamu tidak melupakan kewajibanmu sebagai istri, maka lakukan saja." Pria itu mengulurkan tangan untuk memeluk tubuh istrinya. "Tapi ibu …." "Sudah aku katakan untuk tidak usah mendengarkan ucapan ibu. Orang tua mana tahu apa yang kita butuhkan? Lagipula apa yang menurut mereka baik belum tentu baik buat kita juga kan?" "Tapi apa yang ibu katakan tadi setelah tahu aku kecelakaan membuatku berpikir lagi." "Berpikir soal apa?" "Soal keridhoanmu tentang pekerjaanku." Fahri tertawa pelan sambil mengusak rambut di kepalanya. "Aku akan membebaskanmu untuk melakukan apa pun yang kamu mau. Selama kamu menyenanginya, ya kerjakan saja. Tidak usah mendengarkan perkataan orang lain termasuk ibu." Safira terdiam lagi. "Lagipula … jika kamu tetap di rumah dengan keadaan kita yang seperti ini, mungkin itu tidak akan baik." Suara Fahri terdengar tercekat. "Ingat jika kita punya cita-cita. Bukankah kamu ingin membangun rumah untuk kita sendiri? Agar kita bisa segera keluar dari rumah ini?" Fahri menatap wajah Safira dengan antusias. "Tabungan kita sepertinya sudah cukup, Mas. Setidaknya untuk membeli tanah dan memulai pembangunan. Sisanya bisa kita kumpulkan lagi sambil jalan." Wajah Safira tiba-tiba saja tampak sumringah. "Benarkah?" "Ya. Bukankah itu bagus?" "Kalau benar, mengapa tidak kita pikirkan saja dari sekarang? Mau beli jadi atau bangun dari nol?" Kedua sudut bibir Safira tertarik membentuk sebuah senyuman. "Menurut Mas bagaimana sebaiknya?" "Aku hanya akan menyerahkan segala keputusan padamu. Apa yang kamu inginkan dan bagaimana seharusnya membangun sebuah rumah. Tentukanlah, dan aku hanya akan memberikan dukungan saja." "Mas serius?" "Ya. Kapan aku tidak serius? Dan menikahimu adalah keputusan paling serius yang pernah aku buat." Pria itu tertawa lagi kemudian memeluk tubuh Safira erat-erat. "Baiklah, Mas. Kalau begitu besok aku akan mencari referensi perumahan atau kavling dan sebagainya. Kalau sudah menemukan yang cocok aku akan mendiskusikannya denganmu, ya?" Fahri menganggukkan kepala. "Terima kasih, Mas. Aku merasa lebih baik sekarang!" Lalu Safira membalas pelukannya tak kalah erat. Dia bersyukur karena memilih untuk menerima pria ini sebagai suaminya, karena terbukti dia selalu menjadi pendukung paling kuat yang menjadi sandaran baginya untuk tetap pada pendiriannya. "Itu bagus. Nah, jangan sedih lagi ya? Selama aku mendukungmu, maka tidak usah menghiraukan siapa pun. Hanya dengarkan saja aku." Safira menganggukkan kepala. "Sekarang tidurlah. Besok kita harus bekerja, bukan?" ucap Fahri lagi yang semakin mengeratkan pelukannya. "Tapi kalau ibu ngomel lagi seperti tadi, bagaimana?" "Tidak usah didengarkan. Tapi kalau kamu merasa tidak baik-baik saja untuk pergi bekerja, ya ambil cuti saja. Atasanmu pasti mengerti. Bukankah dia yang telah menyebabkanmu begini?" Safira berpikir sebentar. "Eh, sebaiknya aku bekerja sajalah. Malas juga kalau harus di rumah seharian. Nanti kena omel ibu lagi." Fahri mengacak puncak kepalanya, lalu mereka berdua tertawa. "Terserah padamu saja, asalkan kamu merasa senang dengan itu." katanya lagi, dan kemudian keduanya memutuskan untuk memejamkan mata. *** Adnan berdiri di depan sebuah rumah yang adalah milik Melia. Dia memutuskan untuk mengunjungi perempuan itu setelah beberapa hari hanya melihatnya saja dari jendela kamar. Pintu terbuka, dan sosok itulah yang muncul. Yang segera menghambur memeluknya begitu dia mengenali siapa yang datang. "Adnan!" Melia merangkul pundak sang keponakan yang sudah beberapa tahun tak bersua. "Tante, apa kabar?" Dan Adnan membalas pelukannya dengan perasaan yang tidak menentu. "Kapan kamu datang? Mengapa malam-malam begini? Sendiri?" Pertanyaan itu segera muncul secara bertubi-tubi, sementara Adnan hanya terkekeh saja. "Ayo masuk! Kenapa hanya berdiri saja?" Lalu Melia menariknya ke dalam rumah, dan Adnan pun mengikutinya. Sebuah foto pernikahan berukuran besar segera menyita perhatiannya begitu dia memasuki ruang tamu yang tidak terlalu besar itu, dan Adnan menatapnya untuk beberapa saat. Wajah ceria dan penuh senyuman mendominasi pandangan kala dia memandangnya, dan entah mengapa hal tersebut membuat hatinya terasa ngilu. Padahal ini bukan pertama kalinya dia melihat itu, namun hal tersebut jelas mengganggu pikirannya. Sama, seperti pada saat acara pernikahan itu digelar sekitar lima tahun yang lalu. Ya, dia tahu dan waktu itu memang sempat datang untuk memberikan ucapan selamat meski pada kenyataannya tak kuasa untuk melakukannya dan memilih untuk pergi dan mengurungkan niat. Hingga pada saat-saat setelahnya mereka selalu saling menghindari. "Safira ikut suaminya, Nan. Tidak jauh dari sini tapi memang jarang berkunjung. Dia sangat sibuk bekerja sehingga tak punya banyak waktu." Melia kembali dari dalam dengan membawa segelas minuman untuk Adnan. "Kamu kapan datang?" Lalu dia segera duduk setelah meletakkan gelas di meja. "Adnan tinggal lagi di sini, Tante." Pria itu menjawab. "Apa?" "Sudah beberapa hari tapi baru sempat datang ke sini." Dia meraih gelas kemudian menyesap isinya sedikit. "Begitu? Kenapa Tante tidak tahu padahal hampir setiap hari jalan lewat rumahmu?" Adnan hanya terkekeh, sementara perempuan itu menatapnya dengan raut heran. "Ada apa?" Dan dia langsung bertanya. "Tidak ada apa-apa, hanya …." "Pantas saja rumahmu direnovasi, tahunya kamu tinggal lagi disini." Melia pun tertawa dan mimik wajahnya kembali berubah biasa. "Ya, begitulah." "Anak dan istrimu?" Melia kembali bertanya. "Tetap di Jakarta, Tante." "Oh …." "Ada tawaran pekerjaan yang lumayan, jadi … begitulah." Pria itu tertawa lagi, dan dia kembali menyesap minumannya. "Kamu ambil?" "Ya." Adnan mengangguk, lalu dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang tampak sepi. Tentu saja, Safira yang merupakan anak tunggal, yang awalnya menjadi pemeriah suasana di rumah tersebut harus pergi mengikuti suaminya dan menjadikan tempat itu bagai kehilangan nyawa. Setidaknya itu yang ia rasakan karena sejak kecil mereka terbiasa dengan keberadaannya. Dia bahkan sudah seperti penghuni tetap seperti halnya ibu dan anak tersebut karena ikatan kekerabatan di antara mereka yang cukup kental sehingga tak aneh jika rumah tersebut seperti tempat tinggal kedua baginya, setelah kediaman rumah orang tuanya. Dan semua orang tahu itu. "Lalu bagaimana dengan anak dan istrimu? Mengapa mereka tidak ikut?" Ada hal lain yang ingin Melia tanyakan, tetapi rasanya tidak etis karena mereka baru saja bertemu. "Khalisa masih bekerja di rumah sakit dan Bilqis sekolah. Tidak bisa pindah, jadi …." "Bilqis pasti sudah besar?" Melia melanjutkan percakapan. "Sekarang kelas tiga SD, Tante." "Oh, dia pasti tumbuh dengan sangat baik. Cantik seperti mamanya, dan hebat seperti kamu." Adnan tertawa lagi. "Ya, begitulah." Lalu dia menyalakan ponsel dan menyerahkan benda tersebut setelah menemukan foto putrinya untuk diperlihatkan kepada Melia. "Benar kan? Dia cantik sekali!" Dan reaksi perempuan itu memang sudah bisa diperkirakan. "Tante benar." "Lalu dari mana kamu malam-malam begini? Apa sengaja berkunjung atau kebetulan lewat saja?" Dan Melia kembali menatap wajahnya untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang ada di benaknya. "Saya pulang kerja, Tante. Tapi sengaja juga berkunjung karena ingin bertemu." Pria itu menjawab dengan sejujurnya. "Oh … sudah langsung bekerja saja? Sejak kapan?" "Hari ini, dan saya tidak menyangka kalau ternyata satu kantor dengan Safira?" katanya, yang membuat Melia tertegun untuk beberapa saat. "Benarkah?" "Ya." Adnan lagi-lagi tertawa pelan, dan raut wajahnya berubah ceria. "Dia bahkan jadi asisten saya di kantor. Saya tidak mengira itu." Tubuh Melia tampak sedikit menegang. "Umm … sudah malam, Tante. Sepertinya saya harus pulang." Lalu pria itu melihat jam di layar ponselnya. Kemudian ia menghabiskan air minum yang tuan rumah suguhkan untuknya. Adnan bangkit sambil meraih tangan Melia untuk dia cium. "Saya pamit, Tante. Senang sekali karena tahu kalau teenyata Tante baik-baik saja," katanya, yang kemudian segera beranjak dari sana. Sementara Melia mengantarkannya sampai di depan pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD