Hari Pertama Bekerja

1012 Words
"Selamat datang di perusahaan kami, Pak. Dan selamat bekerja." Sambutan yang cukup singkat diterima Adnan setelah kepala bagian divisi promosi memperkenalkannya pada para staf yang nanti akan bekerja di bawah perintahnya. "Terima kasih, Bu Sania. Dan kepada teman-teman saya mohon bantuannya." Adnan menjawab, dan pandangannya dia edarkan ke seluruh ruangan di mana para pegawai berada. "Baik. Semuanya bisa Bapak minta dan tanyakan kepada Safira, dan sebagai asisten dia yang akan menyiapkannya. Bapak pasti sudah mengerti harus bagaimana, bukan?" Sania melirik ke arah Safira yang sejak tadi menutup mulutnya rapat-rapat. "Baik, Bu." Begitu juga Adnan yang tatapannya sejenak beralih pada perempuan itu. "Bisa kan, Fir?" ucap Sania setelahnya yang tak langsung mendapat respon dari bawahannya tersebut. "Safira?" panggilnya lagi, dan Safira pun mendongak. "Ya Bu?" "Siapkan semuanya untuk Pak Adnan mulai hari ini, dan batu beliau mengerjakan apa yang perlu dikerjakan. Saya kira kamu sudah mengerti?" "Umm …." Safira melirik sekilas pada pria yang dimaksud. "Baik." Dia menjawab singkat. "Baiklah kalau begitu, saya akan kembali ke ruangan. Selamat bekerja, Pak Adnan?" Sania pun berpamitan. "Baik. Terima kasih, Bu." Adnan menjawab dengan pandangannya yang mengikuti perempuan itu hingga dia menghilang dibalik pintu. Semua orang pun kembali pada pekerjaan mereka dan kini tinggal dua orang itu yang masih berhadapan. Adnan bahkan menunggu reaksi Safira yang masih menatap pintu masuk dalam diam. "Ehmm!" Adnan kemudian berdeham. Safira melirik, lalu dengan raut datar dia mengalihkan perhatian. "Sebentar, Pak. Saya siapkan semuanya." Perempuan itu beranjak meski tak mendapat sahutan dari atasan barunya.l tersebut. Safira mengambil beberapa laporan yang sudah diserahkan oleh rekan-rekannya, kemudian kembali ke depan pintu ruangan manager di mana pria itu masih berdiri. Kemudian dia berjalan masuk melewatinya dan dengan cepat menyiapkan apa saja yang akan Adnan kerjakan. "Laporannya belum lengkap, tapi akan kami usahakan untuk ada di meja Bapak besok siang. Kami harap maklum karena ini sangat mendadak, jadi …." Dia memutar tubuh kemudian terdiam ketika mendapati jika Adnan sudah ada di belakangnya. "Saya pastikan semuanya lengkap besok, Pak." Safira melanjutkan. "Selamat bekerja," katanya lagi yang melenggang ke arah luar. "Fir?" Tetapi panggilan pria itu kembali menghentikan langkahnya, dan Safira menghembuskan napas berat. "Kamu tidak membalas pesan Abang." Adnan pun memutar tubuh sehingga dia bisa menatap sosok itu lagi. "Pesan yang mana?" Dan akhirnya Safira pun merespon. "Pesan Abang … malam kemarin." Pria itu menjawab. Safira terdiam menatap wajah tenang dengan tatapan lembut itu lekat-lekat. Dan ini pertama kalinya setelah sepuluh tahun dia berhadapan secara langsung dengannya. Setelah ratusan kali menghindar setiap ada kesempatan mereka bertemu, karena baginya pertemuan tersebut terasa sangat menyakitkan. Dan entah mengapa meski setelah bertahun-tahun berlalu, luka itu masih terasa menganga. "Oh, itu dari Bapak?" Safira melontarkan pertanyaan. "Maaf, saya tidak tahu. Karena tidak kenal dan tidak ada di daftar kontak saya," katanya yang berusaha menahan gejolak di d**a yang mulai terasa menyesakkan. "Fir … Abang …." "Maaf, Pak. Ada banyak hal yag harus saya siapkan hari ini, jadi … permisi?" ucap Safira yang kemudian segera keluar dan menutup pintu ruangan tersebut rapat-rapat. Sementara Adnan masih tertegun di tempatnya berdiri. *** Perempuan itu membanting pintu toilet kemudian berlari ke dalam ketika beberapa detik setelahnya dia langsung muntah-muntah. Rasa mual tidak tertahankan menyiksa perutnya ditambah sesak yang mendera. Seperti segala hal ditekan secara bersamaan di dadanya sehingga dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. "Fir? Kamu kenapa?" Salah satu rekannya segera menghampiri ketika menemukannya yang hampir berlutut di depan wastafel. "Kamu sakit? Kenapa memaksakan diri?" Dia membantunya bangkit lalu menarik salah satu kursi yang tersedia di sudut ruangan. "Tidak apa, hanya asam lambungku saja yang kambuh." Safira menjawab. "Tadi kamu tidak apa-apa. Kenapa bisa sampai begini?" Safira sibuk mengeringkan wajahnya yang sebelumnya sudah dia basuh. "Atau mungkin kamu hamil, Fir?" Perempuan seumurannya itu terkekeh pelan. "Kamu ngaco! Aku masih di kb." Sementara Safira menyeka sudut matanya yang basah dan terasa panas ketika mendengar celotehan teman kerjanya tersebut. "Ya siapa tahu kan? KB hanya buatan manusia, sementara anak Tuhan yang ciptakan. Jadi bisa saja." "Tidak, hahaha." Safira kemudian tertawa. "Kamu membutuhkan sesuatu? Mau aku ambilkan?" tawarnya kemudian. "Tidak, aku hanya butuh waktu sebentar. Jadi …." Dia menarik dan menghembuskan napasnya pelan-pelan. "Baiklah, ayo aku antar ke mejamu? Kamu bawa obatnya kan? Setelah ini aku minta OB untuk membawakan air ya?" Dia menariknya bangkit. "Terima kasih, Sally. Aku sudah merepotkan mu." Safira menurut dan dia membiarkan rekan kerjanya tersebut menggandengnya keluar. "Astaga! Susah-susah aku melupakannya tapi dia datang secara tiba-tiba. Dan sekarang malah jadi atasanku. Bagaimana ini?" Batin Safira yang sudah kembali ke mejanya. Dia meremat kepalanya yang terasa pening, ditambah perutnya yang semakin lama terasa semakin mual saja. Dan hal ini kembali muncul setelah beberapa tahun belakangan menghilang. "Ada lagi yang bisa aku lakukan? Atau kamu membutuhkan bantuanku, Fir?" tanya Sally lagi setelah meletakkan gelas berisi air minum untuk Safira. "Tidak, sudah cukup. Terima kasih, Sally." Perempuan itu menjawab. "Baiklah, kalau begitu aku mau kembali bekerja, ya?" Safira mengangguk, dan rekannya tersebut segera kembali ke mejanya di ujung ruangan. "Safira?" Adan muncul dari ruangannya setelah beberapa saat. Dia menoleh dalam keadaan wajah yang masih sedikit pucat dengan punggung yang bersandar pada kepala kursi. "Bisa berikan Abang … saya data staf di ruangan ini?" Adanan berucap. Safira menatap dengan kening yang sedikit berkerut. "Atau sepertinya kita harus membuat grup khusus untuk mengkoordinasi masalah pekerjaan dan semuanya. Bisa aturkan untuk saya?" "Sudah ada grup divisi, Pak. Sepertinya itu cukup." Safira menjawab. "Tapi sebagai tim, saya memerlukan grup internal untuk membangun kerja sama dan pemahaman tentang apa yang akan kita kerjakan nanti. Jadi … saya minta dibuatkan grup chat khusus ya? Hanya untuk yang bekerja di ruangan ini saja." Perempuan itu terdiam. Ini tugas pertama yang Adnan berikan kepadanya, tetapi entah mengapa dia malah merasa kesal. "Agar bisa mengkoordinasi pekerjaan dan kekompakan staff di bawah aturan saya." Safira menghembuskan napas keras. Tetapi dia memang tidak bisa menolak untuk yang satu itu karena mungkin saja memang dibutuhkan. "Baik, Pak. Sebentar akan saya buatkan." Kemudian dia meraih ponselnya seraya menegakkan tubuh. "Terima kasih, Fir." ucap pria itu lagi yang kemudian kembali ke dalam ruanganya. Seulas senyum samar terlihat di wajahnya, dan Safira masih menatapnya dengan kening berkerut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD