"Padahal kalau kamu ambil cuti sehari saja sepertinya tidak apa-apa." Fahri menggandeng tangan Safia sekeluarnya mereka dari mobil. Pria itu mengantarnya masuk ke dalam gedung tempatnya bekerja sambil menjawab sapaan dari beberapa orang yang mengenalnya.
"Mas tahu sendiri kalau aku tetap di rumah nanti mendengarkan omelan ibu. Bukannya istirahat malah stress." Safira menjawab.
Fahri tertawa pelan dan mereka berhenti di dekat resepsionis.
"Baiklah, terserah padamu. Asalkan kamu nyaman, apa pun lakukan saja. Tapi ingat, jika ada sesuatu atau kamu merasa tidak baik-baik saja, segera pulang. Ke rumah ibumu juga tidak apa-apa." Lalu dia menyerahkan tas milik Safia.
"Nanti telpon saja kalau sudah waktunya pulang. Aku akan menjemputmu." Fahri kemudian memeluk perempuan itu dan mengecup pelipisnya sekilas, bersamaan dengan Adnan yang juga baru saja memasuki gedung tersebut.
"Selamat pagi, Pak?" Beberapa orang karyawan pun muncul menyapa, lalu mereka berjalan hampir bersamaan ke arah lift, diikuti oleh pria itu.
"Sudah, cepat sana pergi. Atasanmu sudah datang." Sementara Fahri mendorong Safira agar mengikuti mereka.
"Eee … Mas?"
"Aku juga harus cepat pergi, kan? Jadi tidak bisa mengantarmu sampai ke atas, ya?" Mereka sudah berada di depan lift yang pintunya sudah terbuka.
"Sana, masuk!" Dan pria itu mendorong Safira setelah beberapa orang yang ada di depan mereka pun masuk ke dalam sana.
"Telpon aku nanti ya?" Lalu dia memberikan isyarat sebelum melambaikan tangan dan pintu lift tertutup.
Ruangan di dalam kotak besi itu cukup hening. Tak ada yang berbicara atau berdiskusi karena semuanya fokus pada pikiran mereka masing-masing.
Begitu juga Safira, yang berdiri tepat di tengah, di mana Adnan berada di sampingnya.
Dia menunduk, menatap lantai lift dan ujung sepatunya sekedar untuk menghindari interaksi sekecil apa pun dengan sang atasan.
"Kamu … baik-baik saja?" Terdengar suara pria di samping, namun Safira pura-pura tidak mendengar.
"Kamu sudah baikan?" Lalu Adnan sedikit memiringkan kepala agar suara pelannya terdengar oleh perempuan itu.
"Fir?" ucap pria itu lagi yang membuat beberapa orang yang paling dekat menoleh.
Tentu saja hal itu membuat Safira merasa risih, dan dengan terpaksa dia mengangkat kepalanya.
"Saya baik-baik saja, Pak. Terima kasih." Lalu dia menjawab.
"Syukurlah." Adnan kembali pada posisinya, lalu setelah beberapa detik lift berhenti bergerak, dan pintunya pun terbuka.
Mereka berurutan keluar, tak terkecuali Safira yang menunggu karena kondisinya yang tak terlalu baik karena cedera pasca kecelakaan kemarin . Baru setelah lift kosong, ia pun melakukan hal yang sama.
Perempuan itu berjalan pelan dan sedikit tertatih. Dia bahkan tertinggal jauh dari rekan-rekannya yang sudah lebih dulu masuk ke ruangan mereka dan bersiap untuk bekerja. Namun hal itu disadari oleh Adnan.
Dia berhenti tepat di dekat pintu masuk ke ruangan divisi promosi, kemudian menoleh.
"Ayolah, Abang bantu." Lalu Adnan kembali.
Pria itu hampir saja meraih tangannya untuk membantunya berjalan, tetapi Safira buru-buru menepisnya.
"Fir?"
"Tidak apa-apa, Pak. Saya bisa." Safira menyembunyikan tangannya di belakang tubuh.
"Ayolah, jangan seperti ini. Hanya sedikit bantuan, dan …."
"Hanya sedikit, Pak. Jadi, tidak usah. Terima kasih." Lalu perempuan itu berusaha mempercepat langkahnya meski tampak tertatih. Sementara Adnan mendengus keras sambil memutar bola matanya.
***
Bunyi ponsel mengalihkan perhatian Safira yang tengah mengumpulkan laporan dari rekan-rekannya. Dan Konta Melia lah yang memanggil.
Perempuan itu melihat keadaan terlebih dahulu sebelum meraih ponsel, dan keadaan yang cukup kondusif membuatnya segera menjawab panggilan.
"Assalamu alaikum, Bu?" Safira menggunakan handsfree agar dia tetap bekerja.
"Waalaikumsalam, Fir? Kamu sedang bekerja?" Melia bertanya.
"Iya. Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, Fir. Hanya saja …."
"Fir?" Lalu panggilan lain mengalihkan perhatian Safira sehingga dia menoleh.
"Laporannya sudah lengkap? Saya membutuhkannya sekarang juga." Adnan yang hampir keluar dari ruangannya kemudian bertanya.
"Umm … sebentar, Pak." Perempuan itu menjawab.
"Akan saya antar sebentar lagi," katanya, dan dia segera merapikan beberapa dokumen yang diserahkan oleh rekan-rekannya.
"Fir?" Suara Melia terdengar lagi.
"Bu, nanti aku hubungi lagi ya? Aku ada banyak pekerjaan hari ini. Atasan baru meminta banyak laporan."
"Atasan baru? Maksud kamu …."
"Ya, bukankah aku sudah mengatakannya kepada Ibu kalau aku pindah divisi? Dan ini hari keduaku bekerja di divisi promosi, sekaligus menghadapi atasan baru. Ibu tidak akan percaya jika nanti aku ceritakan."
"Ya, Fir. Itu juga yang ingin ibu katakan, jadi …."
"Maaf, Bu. Aku tutup dulu ya? Nanti kalau ada waktu aku yang telpon Ibu. Assalamualaikum." ucap Safira yang segera mengakhiri percakapan tanpa menunggu jawaban dari ibunya.
***
Adnan mendongak ketika setumpuk dokumen diletakkan di mejanya, dan wajah Safira lah yang kemudian mendominasi pandangan.
"Silahkan, Pak. Tapi ini baru sebagian. Rekan-rekan meminta waktu setidaknya dua hari lagi untuk menyelesaikan sisanya." Perempuan itu berujar.
"Ya, baiklah. Abang … eee … saya juga masih menyesuaikan diri di sini, jadi … gunakan saja waktu sebaik mungkin." Adnan menjawab.
"Baik, ada lagi yang Bapak butuhkan?" Safira berusaha tenang menatap wajah teduh di depannya, meski rasa di dalam d**a tentu saja berkrcamuk hebat.
Entah dia harus menyebutnya apa, tetapi keinginan untuk pergi dan menghilang semakin kuat memenuhi hati.
"Umm … untuk sementara, tidak ada. Hanya saja …."
"Baiklah kalau begitu, saya kembali ke depan." Perempuan itu bergerak mundur, tetapi Adnan segera bangkit dari kursinya.
"Safira, tunggu sebentar." Dia mencoba menghentikannya.
"Ya, Pak? Ada lagi?" Safira menghentikan langkah.
"Bisakah kita bicara sebentar? Ada sesuatu yang Abang …." Adnan menggantung kata-katanya saat melihat kedua bola mata Safira terbelalak, dan dia mengerti jika kata terakhirnya tak perempuan itu senangi.
"Maaf, Pak. Saya rasa kita tidak ada urusan selain pekerjaan di tempat ini." Safira mencoba menegakkan kepalanya. "Apalagi soal panggilan yang rasanya tidak terdengar etis jika rekan-rekan mengetahuinya. Dan saya tidak menginginkan hal tersebut." Dia menghela napas dalam-dalam.
"Kita memang saling mengenal di luar tempat kerja. Tetapi di sini, saya harap Bapak mengerti untuk tidak mencampur adukkannya seolah itu merupakan urusan yang penting." Safira berhenti sebentar.
"Bapak mengerti, kan? Tanpa harus saya jelaskan lebih detail maksudnya? Saya yakin Bapak mengerti."
"Ya, hanya saja …." Adnan berjalan menghampirinya.
"Maaf, Pak. Laporan berikutnya menunggu untuk saya kerjakan. Jadi saya harap Bapak juga mengerti soal ini." Safira menegaskan ucapannya, dan tanpa menunggu lagi dia segera keluar dari ruangan tersebut.
Sementara pria itu menghembuskan napasnya di udara sambil memejamkan mata. Lalu dia mengusap wajah seraya menjatuhkan tubuhnya kembali di kursi kerjanya.
"Dia masih marah, Adnan. Dia masih marah! Rupanya waktu tak mampu meredakan kemarahannya padamu, apalagi jika dia merasa sakit hati." Adnan bergumam.