Gara-gara Gesya!

1830 Words
Saat di perjalanan, pandangan Alana tertuju pada beberapa benda di dalam mobil Richard. Bisa dibilang ini pertama kalinya bagi Alana satu mobil dengan Richard. Sebab beberapa kali Gesya berusaha membuat Alana bisa satu mobil dengan Richard, selalu gagal. Dan tanpa disangka, gara-gara ban mobil kempes Alana terpaksa satu mobil dengan Richard. Sehingga secara tidak langsung keinginan Gesya selama ini terwujud tanpa disengaja. Pandangan Alana melihat ke arah sebuah foto perempuan berukuran kecil, yang menggantung di bagian depan kaca mobil Richard. Beberapa boneka Alana lihat masih menghiasi bagian mobil Richard lewat kaca spion depan. Bahkan sebuah baju berwarna pink terlihat menggantung di bagian tengah mobil Richard. Sudah dapat dipastikan jika barang-barang itu sangat penting bagi Richard, sehingga masih ia simpan di dalam mobil agar bisa dibawa kemana pun ia pergi. Jika tidak, mana mungkin barang-barang itu menjadi bagian dari dekorasi mobil Richard. Diam-diam Alana memperhatikan Richard, yang sesekali mengalihkan pandangannya pada foto perempuan yang menggantung dan kembali fokus menyetir. Dari tatapannya, Alana merasakan sesuatu yang beda, dengan cara Richard ketika menatapnya. DDDDRRRRRRRR... Getar handphone Alana langsung membuyarkan fokusnya dari memperhatikan Richard diam-diam. Alana langsung mengeluarkan handphone dari tas, lalu mengeceknya. Ternyata Alana mendapat chat dari Gesya yang berisi. Sorry Al. Gue harus ngelakuin hal kayak gini sama lo. ~ Gesya Alana langsung memasang ekspresi tidak mengerti usai membaca isi chat dari Gesya, sampai akhirnya Alana membalas pesan dari sahabatnya itu. Alana~ Maksud lo? Gue udah bikin ban mobil lo kempes hehehe ~ Gesya Alana~ L (emotion cemberut) Habis gue bingung bikin lo sama kakak gue bisa jalan bareng. ~ Gesya Alana~ Awas lo ya! Have fun J ~ Gesya Dari percakapan singkat itu Alana jadi tahu, jika Gesya sengaja melakukan sesuatu agar bisa membuat Richard dan Alana bertemu bahkan bersama. Dan kali ini, dengan meminta Richard menjemput Gesya. Lalu Gesya pun terpaksa ngempesin ban mobil Alana untuk mempermulus niatnya. “Gue nggak suka dicuekin!” ujar Richard. Yang mungkin merasa dicuekin ketika Alana fokus membalas chat dari Gesya tadi. Alana langsung merasa tidak enak, “Maaf Kak, barusan Gesya chat,” kata Alana sambil kembali menyimpan handphone-nya ke dalam tas dengan sedikit tidak enak, karena sudah membuat Richard merasa tisak nyaman. “Apa katanya?” tanya Richard. Alana malah bingung. Haruskah ia jujur atau mencari alasan lain. “Paling dia lagi seneng, karena rencananya berhasil,” sambungnya. Alana langsung bengong, “Maksud Kakak?” tanya Alana tak mengerti. Tiba-tiba senyum tipis menghiasi wajah Richard walau sesaat, dan itu cukup membuat Alana tidak percaya, jika ternyata cowok kaku, dingin, dan juga jutek seperti Richard masih bisa tersenyum juga. “Dia pasti sengaja pengen buat gue nganterin lo pulang,” jawab Richard. Percaya nggak percaya, apa yang baru saja Richard katakan memang seratus persen benar. Jangan bilang Richard punya indra ke-enam karena bisa tahu apa yang direncanakan Gesya. Tapi, karena sudah sering melakukan hal yang sama, dan hampir semuanya gagal, itu yang mungkin membuat Richard bisa menebak rencana Gesya. Benar-benar feeling seorang kakak yang tidak meleset. “Maaf ya Kak,” ujar Alana. “Kenapa lo yang minta maaf. Disini lo kan cuman korban!” kata Richard. Alana tersenyum. Meski terlihat tak lepas. “Gue berharap lo tetep konsisten kayak gue. Perjodohan bukan jalan yang baik bagi kita yang sama sekali tidak menginginkannya,” lanjut Richard. Alana seketika tak mengerti harus menjawab apa. Benar kata Richard, Alana memang tidak menginginkan sama sekali perjodohan yang direncanakan kedua orang tua Richard dan Gesya. Tapi Alana juga tidak mungkin menolak, sebab keluarga Richard sudah banyak berjasa untuk hidup dan perjalanan karirnya. Setelah kepergian kedua orang tua Alana, ia harus hidup sebatang kara. Jika saja Alana tidak bersahabat dengan Gesya yang memiliki orang tua yang sangat baik, tidak mungkin Alana seperti sekarang ini, menjadi seorang desainer yang sukses. Selain membantu biaya hidup, kedua orang tua Richard juga membantu biaya sekolah. Sehingga Alana yang masih bisa selalu menolak pada Gesya untuk dijodohkan dengan Richard, tapi tidak jika kepada Bu Vivian dan Pak Niko, orang tua Richard. Posisi yang sama pun pasti dirasakan oleh Richard. Untuk saat ini, Richard berusaha untuk mengikuti apa yang diinginkan orang tua juga adiknya. Meski hatinya berkata lain. Sebab itu cukup terlihat jelas dari sikap Richard setiap bersama Alana. Dan semua itu semakin diperjelas dengan perkataan yang baru saja terlontar dari mulut Richard. Dengan pandangan yang masih fokus ke depan sambil menyetir, Alana dapat melihat dari ekspresi Richard, jika ia ingin sekali mengakhiri semua dengan mengatakan jika Richard tidak ingin dijodohkan. Tapi, seperti ada alasan yang masih menahannya untuk tidak melakukan hal itu. *** Gesya rebahan manja di atas sofa ruang tamunya, sambil geli cekikikan mengingat bagaimana sikap Alana dan Richard dalam satu mobil. Gesya trus men-scroll isi chat antar dirinya dan Alana, dan tetap saja tertawa. Melihat anak bungsunya tertawa lepas sekali, Bu Vivian yang lagi nyisir rambutnya di tepi kolam berenang pun penasaran.             “Ada apa sih, Sya!? Asik banget kamunya,” Bu Vivian berjalan ke arah Gesya dan membiarkan rambut pirang sepinggulnya terayun oleh angin. Bu Vivian pun duduk di sofa yang sama dengan Gesya, Gesya yang tadinya rebahan kini merubah posisinya menjadi duduk di samping Bu Vivian.             “Mamiiiii! Rencana kita ber ha sil!” ucap Gesya sambil membesarkan kedua matanya.             “Serius???? Kali ini tidak ada yang gagal sedikitpun?” Bu Vivian tak percaya dan menutup mulutnya yang menganga karena terkejut.             “Gak ada Mi, gak ada!!” balas Gesya.  Bu Vivian dan Gesya beranjak dan berlompat-lompat ria saat itu juga. Katanya, untuk merayakan rencana yang berhasil. Maklum, Gesya dan Bu Vivian baru kali ini menikmati keberhasilannya. “Semoga Alana dan Richard makin cocok dan nempel ya,” harap Bu Vivian.             “Aamiin, Mami sudah ngerancang acara mereka semeriah mungkin kayak Princess Disneyland, kan?” tanya Gesya.             “Oh sudah pasti, bahkan melebihi pesta Princess lah, Mami gak sabar punya mantu perdana, hihihi,” jawab Bu Vivian yang masih dibalut rasa bahagia. Mobil Marcedez milik Richard tiba-tiba saja sudah terparkir di garasi rumah. Gesya dan Bu Vivian yang menyadari itu, cepat-cepat menyembunyikan kelakuan konyolnya di depan Richard.             “Eh eh! Abangmu datang, kita diam dulu ya jangan heboh-heboh!” pinta Bu Vivian. Bagaikan mendapat sebuah gertakan, Gesya dan Bu Vivian yang tadinya loncat-loncat mirip tupai, langsung terduduk dan membisu kayak siswa SMP dipanggil guru BeKa. Gesya kembali bermain asyik dengan handphone barunya, sedangkan Bu Vivian lanjut menyisir rambutnya yang tadi sempat tertunda. Tak.. tuk.. tak.. tuk.. sepatu Richard berbunyi ketika memasuki rumah mewah milik dirinya dan keluarganya. Lantai yang setiap hari di-pel itu, tidak keberatan untuk diinjak Richard menggunakan sepatu mahalnya. Begitu pula dengan semua anggota keluarga, tidak membatasi Richard apalagi untuk mengotor-ngotori rumah. “Anak tamvan Mami sudah pulang,” sahut Bu Vivian dengan senyum melebar di wajahnya. “Abang capek, ya? Mau gue bikini kopi s**u?” Gesya pun ikut-ikutan menyahut. Richard main selonong aja langsung melangkahkan kakinya menuju anak tangga. Wajahnya pun tak menoleh pada Bu Vivian atau Gesya, padahal baru saja ia melewati di depannya. Ketukan yang diciptakan Richard lewat sepatu kerjanya itu, menambah suasana sunyi, ditambah lagi wajah Richard yang datar dan tidak terhiasi apapun. “Sya, Abangmu kok kayak robot gitu ya, wajahnya datar, apa Abangmu itu gak nikmatin obrolan sama Alana?” bisik Bu Vivian melempar kekhawatiran.             “Udah, tenang aja Mi. Mami kan tau sendiri gimana Abang itu gimana. Sok sok-nya aja cuek, padahal mah dalam hatinya kesemsem tujuh turunan,” balas Gesya sambil berbisik juga. Bukan namanya Richard kalau tidak mendengar sebuah bisikan. Lucunya, Richard memang ahli dalam mendengar bisik membisik. Alhasil, obrolan kecil Bu Vivian dan Gesya mengenai dirinya itu pasti terdengar oleh Richard.             “Maafkan ya, rencana kalian gagal total!” sahut Richard ketika berada pada anak tangga paling atas.             Bu Vivian dan Gesya tersentak, mereka berdua saling melempar tatapan gagu dan berpura-pura tidak mengetahui rencana yang ada.             “Hmm, maksud kamu apa ya, Chad?” Bu Vivian menoleh pada Richard, anak sulungnya yang memiliki paras Chinese seperti dirinya.             “Sudahlah, Mi, gak perlu pura-pura gak paham. Tanya tuh sama Gesya, biang keroknya,” balas Richard.             “Kenapa bawa-bawa nama gue?” sewot Gesya.             “Dih, lo tuh, kenapa bawa-bawa gue untuk melancarkan aksi lo? Terutama semua yang menyangkut tentang Alana,” Richard membalas tak kalah sewotnya. Kedua adik beradik ini jika diibaratkan bagaimana sinema kartun “Tom and Jerry”. Richard dan Alana jarang sekali terlihat akur, hangat, atau bertegur sopan sedikit pun. Pasti saja, keduanya menciptakan kegaduhan kecil-kecilan. Apalagi semenjak Gesya lebih memilih jurusan kuliah Fashion, dibandingkan bisnis yang diarahkan oleh Richard. Mulai dari situ, segala keputusan yang diambil Gesya, selalu tak sejalan dengan pemikiran Richard. Bu Vivian menepok jidatnya, kedua anaknya sudah berumur lebih dari tiga windu, tetap saja saling sahut dengan wajah tak mengenakan. “Sudah, sudah, Richard kamu segera ganti baju dan istirahat saja di kamarmu. Gesya, kamu segera siap-siap ya katanya malam ini mau ikut ke pesta,” Bu Vivian membuyarkan keributan Gesya dan Richard. Gesya menuju kamarnya sambil menghentak-hentakan kakinya, raut wajah yang masam terpampang nyata di wajah oval milik Gesya. Richard tersenyum kecut melihat tingkah laku adiknya yang terlambat lahir sepuluh tahun darinya itu. “Gesya, Gesya, anak kecil ya tetap anak kecil. Lo masih bocil (bocah cilik) berani-beraninya bikin rencana yang bikin gue ilfeel,” Richard pun ikutan masuk ke kamarnya. ***             “Terima kasih banyak ya, Pak, ini bayarannya,” Alana menuruni taksi daring yang beberapa jam lalu dipesankan oleh Richard.             “Oh, tidak usah Mbak, sudah dibayar kok sama Tuan Richard via online,” supir taksi daring menolak. “Oh begitu, ya udah Pak, hati-hati ya,” ucap Alana sebelum supir taksi itu melaju jauh. Alana membalikan tubuhnya dan memasuki rumah kontrakan kecil yang sudah ia huni sejak lima tahun terakhir. Kontrakan yang tadinya penuh dengan canda tawa Ayah dan Ibu-nya, kini menggenggam sepi semenjak dua orang yang ia cintai itu menghadap Illahi. Namun, Alana termasuk anak yang kuat dan pandai mengatur kesepiannya. Saat kesepian datang melanda, Alana selalu mencoret-coret kertas putih dengan tinta dan berbagai macam desain baju atau celana ia gambar. Nantinya, baju dan celana itu ia jahit dan dihadirkan dalam butiknya. Baru saja Alana mengistirahatkan tubuhnya di atas tepat tidur, handphone-nya berdering dan terlukis nama Gesya di sana. “Halo?” ucap Alana. “Gimana tadi sama Abang gue, asyik gak?” todong Gesya yang jawabannya sama sekali berbanding terbalik. “Asyik apaan, gue disuruh naik taksi online sama Abang lo!” kata Alana sejujur-jujurnya. “Hah? Serius?! Kok bisa sih?” Gesya menggeram, ternyata rencananya gagal lagi. “Setengah perjalanan, Richard nerima telepon dari seorang perempuan gitu, katanya penting dan harus balik arah. Terus, Richard inisiatif pesanin gue taksi online biar sampai ke kontrakan. Untung dibayarin, padahal gue gak bawa duit, hahaha,” terang Alana. Kesal sudah mendingin di dalam hati Gesya, ia langsung menutup telepon itu secara sepihak. Kedua tangan Gesya mengepal dan mulutnya tampak komat-kamit karena tidak terima dengan kegagalan rencananya itu, “sial! Pasti ini ulah Mak Lampir itu! Awas lo ya, gak akan gue biarkan lo usik-usik hidup Abang gue lagi!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD