Menuju Kamar 512

1334 Words
Bu Vivian sedang nyantai melihat katalog Oriflemek di majalah yang sekarang ia pegang. Namanya juga crazy rich komplek, banyak sekali teman-teman Bu Vivian yang menawarkan apa saja dagangan mereka. Bahkan, kalau Bu Vivian beli itu dipaksa-paksa supaya memborong. Karena kasihan dengan teman-temannya, Bu Vivian tak tanggung-tanggung membelinya dengan harga yang fantastis. Kalau kata mamang-mamang di pasar malam tuh ya, “Sayang teman … sayang teman …” hehehe. Tak lama kemudian, Gesya datang dengan bibir manyunnya. Bu Vivian yang melihat dari kejauhan kegelisahan anak bungsunya itu, segera menutup majalah Oriflemek. Sudah ada tanda-tanda bahwa Gesya sedang badmood. Bu Vivian sudah paham sekali gelagat Gesya kalau lagi badmood. Dan kemungkinan badmood-nya itu pasti ada dua, kalau tidak masalah bisnisnya, ya soal kakaknya, Richard. “Ma! Aku kesel banget tau!” Gesya makin menghentak-hentakan kakinya dan menjatuhkan badannya di atas sofa. Saking kencangnya, Bu Vivian sampai terloncat karena pantulan yang dihasilkan dari badan Gesya. “Kenapa Sayang, kenapa? Cerita sini sama Mama,” seru Bu Vivian yang semakin merapatkan tubuhnya ke Gesya, dan mengelus rambut Gesya. “Mami, kenapa sih semua rencana kita buat ngedeketin Bang Richard dan Alana itu selalu gagal? Bahkan gagalnya pun hanya karena satu orang yang itu-itu aja,” tukas Gesya seraya mengepalkan kedua tangannya karena kesal. Bu Vivian tertegun, di kepalanya pun hanya terlintas satu nama yang akhir-akhir ini selalu mengusik kehidupan Richard. Alin Patricia Emes. Sebenarnya, Bu Vivian juga gemes dengan tingkah laku Alin yang seperti kembali menjadi anak muda lagi. Padahal, umurnya gak beda jauh sama Bu Vivian. “Mami paham kok, pasti mak lampir itu lagi, kan?” Bu Vivian ikut menghela napas, kemudian Bu Vivian mengelus lebih kencang bahu Gesya. Gesya menganggukan kepalanya dengan wajah sendu. “Coba kita cari cara deh Mam biar Bang Richard itu gak ketemu sama mak lampir itu lagi!” “Sabar ya, Sayang. Nanti akan ada waktunya untuk menyingkirkan mak lampir itu. Mami juga gak terima kalau Richard masih berhubungan dengan dia. Richard menjadi orang yang sensitif banget, dikit-dikit marah, padahal kan Richard gak sedang lagi mesnstruasi,” terang Bu Vivian. “Makanya itu, Mam. Secepatnya pun jangan sampai Bang Richard malah naksir sama mak lampir itu!” “Husss! Kamu jangan ngomong yang aneh-aneh deh, mana mungkin Abangmu suka sama perempuan yang seumuran Mami. Ih, Mami juga geli tahu ngedengernya!” tepis Bu Vivian. Di tengah asyiknya obrolan Bu Vivian dan Gesya di ruang tamu, tak lama terdengar suara Richard yang sedang menelpon seseorang. “Iya, Te, aku akan segera ke sana sekarang juga. Tunggu sebentar ya, Te,” ujaran pamungkas Richard untuk seseorang di balik telepon itu terdengar jelas oleh Bu Vivian dan Gesya. Bu Vivian dan Gesya saling pandang dengan kedua mata yang terbelalak. Pasti di kepala mereka sudah timbul sebuah dugaan kalau orang yang di sapa “Te” di telepon itu adalah Alin Patricia Emes alias mak lampir. Richard mengitari ruang makan hingga menghentikan kakinya di ruang tamu, tempat Bu Vivian dan Gesya bertemu. “Mami, aku pamit sebentar mau ke luar ya,” izin Richard yang sudah berkemeja dan celana jeans rapi, seperti anak muda yang mau malam mingguan. Padahal sekarang adalah malam jumat. “Kamu mau ngapain ke luar malam-malam kayak gini? Coba lihat, sudah jam setengah dua belas malam. Kamu mau pulang jam berapa nanti?” Bu Vivian tak langsung mengiyakan izin Richard. Richard berdecak, “Mami ini mengira aku masih anak ingusan apa ya? Gak masalah dong aku mau keluar jam berapa saja. Toh, aku bisa menjaga diri aku sendiri, kan?” “Richard Sayang, Mami tahu kamu sudah dewasa, tapi janganlah kamu keluar larut malam kayak gini. Gak enak Chad dilihatin sama tetangga,” balas Bu Vivian dan lebih menekankan di bagian “dilihatin sama tetangga”. “Mami gak usah lebay kayak ibu-ibu komplek yang lain dong, aku ini sudah besar Mam, tiga puluh tahun! Jadi gak ada yang perlu dikhawatirkan kalau aku mau kemana aja dan kapan aja,” terang Richard lalu berjalan menuju rak sepatu, menggapai sepatu ketsnya dan duduk di atas sofa ruang tamu. “Chad, tolong deh ya jangan keras kepala begitu. Coba deh sekali-kali jangan keluar kemaleman gini. Apalagi kalau ternyata kamu keluar sama—” “Sama siapa? Sama siapa, Mam?! Ngomong aja daripada berhenti-berhenti kayak gitu,” tegas Richard yang menyorotkan matanya tajam ke arah Bu Vivian dari ruang tamu. Richard juga menghentikan aktivitasnya yang semula mau memakai sepatu. “Mami, sudah Mi, gak usah diladenin, Mi. Ayo lebih baik kita ke kamar yuk, istirahat!” ajak Gesya dengan bisikan di telinga Bu Vivian. “Mami kalau ngeladenin orang yang kepala batu kayak Bang Richard, bisa-bisa kepala Mami jadi batu juga!” Bu Vivian agak terkekeh mendengar lelucon singkat dari Gesya. Dan semakin terkekeh pula melihat Richard yang menajamkan pandangannya. Gesya pun menggoyang-goyangkan lengan Bu Vivian dan beranjak bersama. “Sana kalau lo mau pergi, pergi aja kali, kalau bisa gak usah pulang-pulang!” seru Gesya sembari merangkul Bu Vivian menuju kamar tidur utama. “Yee bocil mau ikut campur,” tepis Richard dengan wajah sewotnya dan melanjutkan memakai sepatunya. *** “Mami, kita ngobrol di kamar Mami aja ya,” ajak Gesya. Gesya dan Bu Vivian pun merebahkan badan mereka di atas kasur. “Gila ya Sya, abang kamu itu benar-benar keras hatinya. Mami aja sampai diomongin kayak gitu,” ucap Bu Vivian menggelengkan kepalanya. “Hahaha, itu karena faktor kurang kasih sayang kali Mam,” respon Gesya. “Maksudnya, kurang kasih sayang dari Mami, gitu?” Bu Vivian spontan mendongakan lehernya dan menatap ke arah Gesya yang rebahan di sampingnya. “Bukan Mam, bukan gitu maksudnya,” Gesya menepis. “Coba deh Mami ingat-ingat, Bang Richard itu kan gak pernah pacaran ya dari sekolah sampai selesai kuliah. Sekali pacaran, dapat perempuan kayak Marsha. Entah berapa lama hubungan mereka, Marsha kan suka kepergok selingkuh sama laki-laki lain … Mami ngerti kan maksud aku?” jelas Gesya. Bu Vivian mengangguk pelan. “Sebenarnya abangmu itu kasihan juga sih. Walaupun dalam bisnis konveksi dia itu berhasil, namun soal asmara, nol besar, sama persis kayak kamu,” ujar Bu Vivian yang membuat Vivian melongo. “Mami … Mami kok nyumpahin urusan asmara aku kayak Bang Richard sih?” Gesya tak terima. “Hehehe, maaf, maaf, Sayang. Kamu itu masih kecil kali ya, mungkin aja laki-laki belum ada yang mau mendekati kamu. Tunggu saatnya lah, sekitar dua atau tiga tahun lagi,” Bu Vivian mengelus rambut putrinya itu. Gesya tampak tersenyum dan memeluk tubuh Bu Vivian. “Mami doain Gesya supaya cepat dapat jodoh ya, aku gak mau menikah di usia tua,” harap Gesya di dekapan Bu Vivian. “Pasti, Sayang …” satu kecupan Bu Vivian pun mendarat di kening Gesya. *** Sebelum turun dari mobil mewahnya, Richard memakai kacamata hitam, masker hitam, dan topi hitam terlebih dahulu. Ibaratnya, kayak oppa-oppa korea yang lagi penerbangan ke sebuah negara lain, yang mencoba bersembunyi di balik assesoris serba hitamnya. Memang sih, Richard memang cocok jadi oppa-oppa korea, tapi kenapa sampai saat ini belum menikah, ya? Richard memasuki apartemen yang berada di pinggiran kota, sekitar empat puluh lima menit dari rumahnya. Richard yang sudah mengantongi sebuah kunci kamar tujuan, segera menaiki lift dan menekan tombol lima. CLING! Suasana koridor lantai lima sudah sepi seperti biasanya di jam dua belas malam. Bahkan hentakan sepatu Richard pun tidak terdengar. Richard mempercepat langkahnya menuju kamar lima ratus dua belas, seperti yang tertera di kuncinya. Sambil celingak-celinguk, Richard bisa memastikan kalau tidak ada satu orang pun yang mengintilinnya. Richard khawatir kalau ada orang suruhan Bu Vivian yang mengikutinya. TOK … TOK … TOK … Tampak pintu kamar bernomor lima ratus dua belas itu terbuka. Di pintu kamar yang terbuka tersebut, ada seorang perempuan berumur empat puluh tiga tahunan yang memakai kimono tipis. Wajah perempuan itu sudah terias sempurna, seperti orang-orang yang hendak pergi ke pesta besar. Richard pun tersenyum melihat penampilan perempuan itu dari atas sampai bawah. Seraya senyuman Richard melengkung, perempuan tersebut melambaikan tangannya dan mengisyaratkan Richard untuk masuk ke dalam kamarnya. “Silakan …”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD