Kejailan Siapa, Nih?

1491 Words
“Ada banyak hal yang ingin aku lakukan dengan kesendirianku saat ini. Karena dengan ini aku bisa menemukan kebebasan dan kebahagiaan, sehingga aku sedang terjebak untuk menikmatinya.” – Alana Savira. ***             Alana sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari sebuah gambar desain baju yang baru saja diberikan Gesya, sahabatnya. Dengan motif simpel tapi unik, desain baju yang dibuat Gesya benar-benar membuatnya terpesona. Seolah-olah untuk pertama kalinya Alana melihat desain baju yang dibuat Gesya sebagus ini. Untuk ukuran orang yang masih belajar, memang desain yang dibuat Gesya kali ini berhasil membuat Alana berdecak kagum. Alana merasa bangga dan tidak salah menuntun Gesya untuk menjadi seorang desainer, sebab Gesya memang memiliki bakat dibidang fashion. Apalagi kedua orang tuanya sangat mendukung. Membuat Alana semakin bersemangat untuk menjadikan Gesya seorang desainer andal. “Jadi gimana? Lo suka kan?” tanya Gesya ingin memastikan pendapat apa yang akan Alana berikan untuknya. Dari ekspresi yang diperlihatkan sejak awal Alana melihat desain baju buatannya, Gesya sudah bisa menebak, jika sahabat rasa guru yang saat ini ada dihadapannya itu, sangat menyukai desain baju yang ia buat. Jari telunjuknya mengetuk meja dua kali, lalu perlahan pandangannya teralih ke arah Gesya yang masih berdiri menanti. Kedua bola mata Alana cukup tajam menatap lurus Gesya, yang terlihat begitu menantikan perkataan apa yang akan keluar dari mulut Alana untuk karyanya tersebut. “Ini sih keren. Gue suka banget,” kata Alana yang langsung menciptakan senyum lebar di wajah Gesya. Senang, bangga, mungkin itu yang sedang dirasakan Gesya saat ini. Karena Alana sama sekali tidak memberikan sedikit notes untuk mengomentari desainnya. Padahal, dari semua desain baju yang pernah Gesya buat, Alana selalu saja memberikan notes, bahkan terkadang omelan juga. Tapi kali ini tidak, Alana benar-benar menyukainya. “Desain itu khusus gue buat untuk pernikahan lo nanti,” timpal Gesya sangat percaya diri saat mengatakannya. Sontak Alana langsung tercengang, ia sama sekali tidak menyangka Gesya bisa berpikir sejauh itu dengan membuatkan desain baju pengantin untuknya. Jangankan menikah, pacar saja untuk saat ini Alana tidak punya. Semenjak 3 tahun terakhir, tapatnya setelah putus dari pacarnya yang meninggalkan Alana demi menikah dengan wanita lain, Alana memang tidak begitu memikirkan soal pasangan. Dan Gesya sangat tahu betul, itu sebabnya Gesya terlihat begitu ngotot ingin sekali melihat sabahatnya itu memiliki pasangan dan segera melepas masa lajangnya. “Pernikahan apaan sih. Nggak usah jauh dulu deh mikirnya,” elak Alana dengan wajah yang tidak begitu lepas. Seperti tidak suka saat Gesya membicarakan soal pernikahan. Dan memang Alana termasuk orang yang tidak begitu tertarik untuk membicarakan soal pernikahan, karena sejauh ini, memajukan bisnis adalah prioritasnya dibanding mencari pasangan dan menikah. “Terus gimana sama kakak gue? Tetep nggak mau nih?” goda Gesya sedikit ngotot. Alana hanya terdiam. Seolah sudah tahu, jika Gesya menyinggung tentang pernikahan. Dia pasti menyangkut pautkannya dengan kakaknya, Richard. Sebagai orang yang berjasa dalam perjalanan karir Gesya untuk menjadi seorang desainer, kedua orang tua Gesya ingin sekali menjodohkan Alana dengan anak laki-lakinya, Richard. Begitu pun dengan Gesya, yang sangat ingin mempersatukan Alana dan Richard. Meski Alana selalu menolak dengan berbagai alasan, Gesya tidak pernah menyerah, karena bagi Gesya, Alana-lah yang tepat mengisi kekosongan hati Richard saat ini. Pernikahan adalah hal yang mungkin saat ini paling didambakan kaum muda, apalagi ketika usia sudah menginjak 30 tahun dan teman sebaya sudah memiliki pasangan bahkan buat hati. Namun, itu tidak berlaku untuk Alana. Meski sudah cukup sukses dengan karirnya sebagai desainer, Alana masih belum kepikiran untuk melepas masa lajangnya. Padahal Gesya sudah memberikan calon yang menurutnya tepat, tapi Alana tetap saja beralasan untuk selalu menolak keinginan Geysa secara halus. “Bukan nggak mau. Gue cuman..” elak Alana yang terpotong karena Gesya langsung menodongnya dengan pertanyaan. Seperti sudah bisa menebak jawaban apa yang akan diberikan oleh Alana. “Cuman apa? Cuman pengen nolak gue jodoh-jodohin sama kakak gue? Iya!” tegas Gesya dengan tatapan sedikit mengancam. Seketika Alana kikuk. Pandangan matanya mulai bermain, seperti kebingungan. Bibirnya mendadak kaku saat ingin memberikan alasan. Padahal jawaban sudah disiapkan di dalam pikirannya, hanya saja tidak dapat tersampaikan. Hati dan pikiran Alana benar-benar mendadak tidak bisa diajak kerjasama di saat-saat seperti ini. Yang bisa Alana lakukan hanya mencoba memfokuskan kembali pandangannya pada desain baju milik Gesya, seolah sengaja mengalihkan agar Gesya tidak lagi membahas soal perjodohannya, dengan laki-laki yang sama sekali belum bisa melupakan masa lalunya. Dan menurut Alana itu sangat rumit. Gesya langsung menyingkirkan gambar desain baju dari hadapan Alana. “Lo udah lama kenal gue kan? Begitu pun kakak gue... Gue nggak mungkin kasih orang yang salah buat lo yang udah berjasa banget dalam karir gue,” jelas Gesya yang mulai geram. Sebab Alana selalu saja menolak secara halus keinginan Geysa untuk menjadikan Alana sebagai kakak ipar. Dan Gesya sangat menyadari itu. Raut wajah Alana menggambarkan keinginan untuk menegaskan jika semua itu tidak mungkin. Hanya saja Alana masih mencari cara dan kata-kata yang tepat untuk menjawab Geysa. Alana tidak ingin asal bicara, apalagi membuat sekat diantara persahabatan mereka, hanya karena membahas perjodohan dirinya dengan Richard. Laki-laki yang sama sekali belum bisa membuat hatinya bergetar ketika berada di dekatnya. KRIIINNNGGG... Suara nada dering handphone langsung memecah suasana genting yang sempat dirasakan Alana. Ternyata itu bunyi nada dering handphone milik Gesya, dan secara tidak langsung mampu mengalihkan fokus Gesya. Seketika Alana benar-benar merasa lega. Alana seolah ingin berterimakasih kepada sang penelpon, karena sudah menjadi penyelamat untuknya. Gesya langsung mengambil handphone di dalam tasnya yang tampak menghiasi meja kerja Alana. Karena setibanya di butik, Gesya langsung menghampiri Alana dan belum sempat ke meja kerjanya. Saking antusiannya ingin memamerkan hasil karya pada Alana. Kini pandangan Gesya tertuju pada layar handphone-nya, ekspresinya cukup menandakan jika yang menelpon adalah orang penting. “Urusan kita belum kelar ya Al!” ujar Gesya sambil berlalu pergi keluar dari ruang kerja mereka, untuk menjawab panggilan yang masuk ke handphonenya. “Huhhft....” Alana menghela napas lega, seolah beban berat yang menimpa dadanya lenyap begitu saja tanpa tersisa. *** “Gesya kemana sih?” Pandangannya berkeliaran melihat situasi butik yang sudah sepi. Suara gigi yang digertakkan menandakan jika ia sedang geram. Tangan kanan yang dihiasi sebuah orloji sport berwarna hitam ia angkat setara dengan dadanya, kini pandangannya tertuju pada benda bulat berukuran cukup besar itu. “Katanya udah mau pulang. Tapi setengah jam disini, ni anak belum nongol juga,” keluhnya cukup kesal. Kini ia coba alihkan kembali pandangannya ke arah butik. Kali ini ia menangkap pintu yang terbuka. Senyuman langsung menghiasi wajah betenya, ia sangat berharap yang nanti akan muncul dibalik pintu adalah Gesya. Tapi, seketika senyum itu kembali sirna, sebab yang keluar dari butik adalah Alana. Setelah mengunci pintu, pandangan Alana pun tertuju pada seseorang yang sedang berdiri di samping sebuah mobil berwarna biru yang diparkir di pinggir jalan. Bahkan langkah Alana pun kini tertuju pada seorang laki-laki dengan tinggi sekitar 175 cm itu, yang sedang memasang wajah kesal. “Kak Richard...” sapa Alana pada laki-laki yang ternyata kakak sahabatnya. Sapaan balik atau hanya sekedar senyuman tipis sama sekali tidak Alana dapatkan dari Richard, yang pasti datang ke butik untuk menjemput Gesya. Tapi Alana tetap terlihat santai, seolah sudah terbiasa dengan sikap dingin  laki-laki itu. “Kok butiknya udah dikunci? Gesya mana?” tanya Richard masih dengan sikap dinginnya yang terlihat seperti terpaksa bertanya pada Alana. “Gesya kan udah pulang sejam yang lalu,” jawab Alana. Kekesalan semakin terlihat jelas pada wajah Richard. “Gimana sih. Katanya pengen dijemput! Kok malah pulang duluan!” omel Richard. Seolah tak ingin berlama-lama berhadapan dengan Richard, apalagi dalam keadaan seperti ini, Alana memilih untuk pulang. Jangan sampai Alana jadi  tempat  untuk melampiaskan kekesalan Richard pada adiknya. Saat akan pamit, pandangan Alana langsung tertuju pada mobil yang terparkir tepat di samping mobil Richard. “Loh! Kok ban-nya kempes sih?” keluh Alana heran. Alana langsung berjalan mendekati motor yang ternyata miliknya. Ban yang sama sekali tidak berisi angin sedikit pun, benar-benar membuat motor Alana tak mungkin bisa digunakan. Tanpa disangka Richard pun mendekati dan ikut mengecek masalah yang terjadi pada motor Alana. Sampe-sampe Alana kaget, karena pas Alana noleh sudah ada Richard berdiri di sampingnya. “Udah... pulang bareng gue aja!” kata Richard. Alana malah melongo. Mendadak mematung. “Biar gue nggak sia-sia datang kesini,” sambungnya sambil beranjak pergi menuju mobilnya. Alana masih berdiri melongo. Dari ekspresinya, Alana bukan kaget karena Richard mengajaknya pulang bareng. Tapi karena Alana bingung, jika harus satu mobil dan duduk berdampingan dengan laki-laki dingin yang sama sekali tidak Alana suka. “Demi apa gue harus pulang bareng cowok ini,” batin Alana. Tentu saja Alana ingin menolak ajakan Richard, tapi jelas itu tidak mungkin. Selain tidak sopan, Alana tidak ingin membuat Richard semakin kesal karena gagal pulang bareng Gesya. “Ayo! Buruan!” teriak Richard yang sudah berada di dalam mobil. “Iya Kak..” jawab Alana sambil berjalan masuk ke mobil Richard. Suasana canggung benar-benar terlihat saat Alana membuka pintu mobil. Tapi Alana tidak mungkin menolak ajakan Richard. Setelah masuk dan siap, Richard langsung mengendarai mobilnya dan meninggalkan butik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD