Sebuah Kedatangan

1912 Words
“Selamat sore, Mami, im coming!” seru Gesya ketika memasuki rumahnya yang megah itu. Sore itu, Gesya sudah menampakan dirinya di depan maminya. Padahal, butiknya tutup jam lima sore lebih sedikit. Bu Vivian yang lagi baca majalah katalog teman kompleksnya, langsung menutupnya. “Kok sudah pulang aja, Sya? Bukannya kamu harusnya pulang lima belas menit lagi, ya?” tanya Bu Vivian. Gesya melepas sepatunya dan langsung loncat ke sofa, di sebelah Bu Vivian. “Iya Mam, harusnya lima belas lagi gue pulang. Tapi, seharian tadi pusing banget mikirin konsep desain terbaru. Udah gitu gak ada yang bagus, lagi,” jawab Gesya. “Ahelah Sya … udah berapa kali Mami dengar keluhan kamu begini. Kamu selalu pusing dengan konsepmu sendiri. Sya, kamu kan sudah kuliah tata busana tinggi-tinggi, harusnya masalah begini kamu bisa mengatasinya sendiri,” tukas Bu Vivian. Memang, anak bungsu perempuan Bu Vivian ini tergolong anak yang manja dan gampang mengeluh. Acap kali ada sesuatu hal yang membuatnya lelah, ia selalu meninggalkan pekerjaan itu cuma-cuma. “Udahlah Mam, Gesya itu dibutik kerjaannya barengan sama Alana. Jadi, kalau Gesya lagi buntu nih pikirannya, ada Alana yang bantuin,” ujar Gesya. “Lalu, jangan bilang kamu membebani Alana dengan kerjaan kamu tadi?” tembak Bu Vivian seperti tahu gimana kebiasaan putrid bungsunya itu. Gesya nyengir, “Hehehe, Mami udah bisa baca pikiran gue, gak perlu gue jawab kan?” “Aduh Gesya … sampai kapan kamu mau bergantung sama Alana terus? Kalian berdua itu kuliahnya bareng, lulusnya juga bareng, tapi kok malah Alana yang lebih bisa dibandingkan kamu, sih?” ungkap Bu Vivian yang selalu membandingkan kerja Alana dan Gesya. Akan tetapi, tidak ada perasaan marah dan kesal di dalam diri Gesya ketika adanya perbandingan itu. Ya namanya bukan hoax, mau diapain? “Ya ngerti sendiri kan Mam, Alana itu orang yang pekerja keras, selalu banyak inovasi yang dia buat. Intinya, gak pernah habis lah kreasinya. Sedangkan gue, terbatas sih, dan kalau mood aja baru semangat,” tutur Gesya yang menceritakan kejelekan dirinya sendiri. “Iya, tapi gak boleh terus-terusan begitu, Sya. Kalau tiba-tiba Alana gak mau bantuin kamu, gimana?” tanya Bu Vivian. “Itu salah satu hal yang tidak akan mungkin terjadi deh, Mam. Alana kan mengidap virus people pleaser, hahaha,” Gesya jadi geli. “Hah? Apa itu virus people pleaser? Apa kah itu virus yang lebih kejam dari Omicron? Ih, kalau begitu kamu gak usah deket-deket sama Alana lagi ya,” Bu Vivian spontan saja memeluk Gesya ketika berbicara soal virus. “Ahahaha, enggak Mam, enggak. Itu bukan virus macam Omicron, tapi efeknya lebih kena mental,” balas Gesya yang membuat Bu Vivian makin overthinking. “Sya, jadi selama ini mentalnya Alana jadi terganggu karena virus people pleaser tadi? Ya Tuhan … sekarang gimana keadaannya Alana? Kita junguk, yuk!” Bu Vivian sudah keburu heboh. Kalau ada yang terjadi sesuatu dengan Alana, apalagi penyakit, Bu Vivian adalah orang pertama yang heboh tujuh keliling. “Mam! Udah deh Mam, gak usah lebay gitu ah . Itu virus yang lagi viral aja di media sosial. Jadi, itu virus yang menjangkit karyawan-karyawan baru yang tidak menolak apa suruhan atasannya. Nangkep gak Mam?” jelas Gesya. Bu Vivian menghela napasnya. “Hmm, maksud kamu, virusnya itu kayak orang yang gak enak nolak, gitu ya?” Gesya menganggukan kepalanya. “That is right! Itu paham. Alana tuh punya virus begitu, Mam.” “Astaga Sya … sejak kapan kamu bertindak seperti bos ke Alana? Kalian berdua itu bangun bisnis berdua, yang bekerja dan mengatur itu ya kalian berdua. Jangan sampai semuanya diberatkan ke Alana,” respon Bu Vivian yang lagi-lagi tidak tegaan pada Alana. “Tenang, Mam. Ketika gue mau nyuruh Alana, gue selalu lihat kesibukan Alana dulu. Ya kalau Alana lagi sibuk, gue gak main asal nyuruh kok, Mam … malah Alana yang inisiatif nyelesaiin semuanya tanpa disuruh,” tukas Gesya yang memberitahukan kalau dia tidak begitu keras pada Alana. “Syukurlah kalau begitu. Untung saja kamu mendapatkan partner kayak Alana. Dia orangnya sopan, pintar, dan gak pamrih kalau menolong sama siapapun. Kapan ya, Alana bisa jadi benar-benar menantu Mami,” beribu kata yang diucapkan Bu Vivian yang ngebet banget Alana jadi menantunya. “Hmm, agak sulit Mam. Apalagi ketika kejadian waktu makan malam itu. Alana nanya loh siapa perempuan seksi yang datang sama Bang Richard,” timpal Gesya yang flashback soal malam itu. “Oh ya? Lalu, apa jawabanmu?” tanya Bu Vivian. “Ya gue bilang aja itu teman mainnya. Tapi, entah kenapa Alana keukeh banget beropini kalau itu pacar dari Bang Richard, Ya bener sih … tapi kok bisa tahu gitu loh,” lanjut Gesya. “Sya, pokoknya kita harus sembunyiin hubungan Marsha dan Richard. Kita harus satukan Alana dan Richard secepat mungkin, biar perempuan penggoda itu bisa jauh-jauh dari kehidupan Richard,” ujar Bu Vivian. “Iya Mam. Kita pun dari dulu selalu berusaha membuat rencana agar Bang Richard dan Alana itu bersatu. Namun nyatanya? Tidak semulus yang kita rencanakan, toh.” Gesya pun tampak kecewa dengan rencana-rencana yang tidak luput dari kata gagal itu. “Biarpun hampir semua rencana kita gagal …” “Bukan hampir Mam, S E M U A!” “Iya, maksud Mami itu semua rencana kita gagal. Tapi kita jangan berkecil hati dan selalu semangat untuk membuat rencana berikutnya. Kamu tahu kan Sya, menjadikan Alana itu menantu Mami adalah impian yang sudah lama, sejak kalian berdua bertemu,” ungkap Bu Vivian. “Iya, Mami, Gesya paham kok. Kita coba aja lain kali dengan rencana yang lebih bagus dan tertata. Tapi, pastikan Marsha tidak ikut-ikutan soal ini,” balas Gesya lagi. “Gue pun juga heran kenapa bisa Marsha datang bersama Bang Richard. Padahal kan dari ceritanya Bang Richard dulu, mereka berdua sudah lost contact,” lanjut Gesya. “Entah ya, bagaimana bisa Marsha kembali lagi di kehidupan Richard, Mami juga turut sedih dengan hal itu,” Bu Vivian geleng-geleng, seperti mendapat sebuah prank dari Marsha. “Oh iya satu lagi, dan jangan sampai mak lampir alias Alin itu juga ikut campur dalam urusan kita, Mam. Gue yakin banget kalau mak lampir itu selalu berusaha mendekatkan Bang Richard dan Marsha, lagi dan lagi,” tukas Gesya yang kesal. “Jelas dong! Kita berusaha sebaik mungkin!” Bu Vivian mengacungkan jari kelingkingnya ke depan Gesya, dan Gesya menyambut kelingking ibunya itu dengan kelingkingnya juga. Gesya dan Bu Vivian tersenyum seraya saling menatap dengan harapan yang sama. Harapan itu akan terus ternginag di kepala mereka, sampai harapan itu benar-benar terealisasikan. Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan dari alas sepatu pantofel. “Selamat sore, Mami, dan bocil kesayangan Bang Richard,” Richard memasuki rumah, dan membuat Bu Vivian serta Gesya terkejut. “Lo kalau masuk, ketuk pintu dulu dong! Kayak maling aja main asal nyelonong,” gerutu Gesya. “Ini rumah gue kok, ngapain pakai ketuk segala? Kan gak masalah,” balas Richard yang selalu sewot pada Gesya. “Ih, lo itu ya. Gue baru pulang dari butik, malah dibuat muak begini. Kesel deh!” cerca Gesya lagi. “Iya, sama. Gue juga kesel kok, apalagi dengan acara makan malam yang membangongkan itu, hufttt,” ujar Richard dengan santuynya sambil melepas sepatu pantofel yang masih terpasang di kakinya itu. Bu Vivian da Gesya saling menatap, mereka tak melanjutkan berbicara. “Sebuah acara makan malam yang katanya khusus untuk keluarga, namun ketika gue bawa calon istri, malah begitu treatment kalian semua. Padahal, ada satu perempuan penyusup yang datang lebih awal. Kenapa dia tidak diusir secara halus juga?” kata Richard yang meletakan sepatu pantofel mahalannya itu di rak sepatu paling atas. Dan rak sepatu paling atas itu memang khusus untuk sepatu-sepatu mahal Richard, sementara di rak kedua adalah khusus untuk sepatu Gesya. Sedangkan sepatu milik Bu Vivian dan Pak Niko, diletakan di kamar mereka. Richard menghampiri Mami dan adiknya yang mematung, terduduk di sofa. “Ayo dong dijawab. Kenapa perempuan itu tidak ikutan diusir? Apa dia masuk dalam kategori keluarga kita?” timpal Richard yang menampilkan wajah ngeselin alias tabokable. Gesya tampak mengepalkan tangan kanannya, namun Bu Vivian berhasil menggenggamnya. Kalau Gesya udah kelewat emosi, bisa aja wajah tampan Richard itu ditonjokin habis-habisan. Pasalnya, Gesya juga punya ilmu tinju kelas atas yang ia pelajari sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Tapi untuk sekarang ditinggalkan karena Gesya memilih dunia fashion. “Ngomong sama kalian berdua itu kayaknya gak guna deh. Tuh lihat aja gak ada jawaban sama sekali dari kalian. Gue jadi merasa ngomong sama tembok,” Richard pun berlalu menaiki anak tangga ke lantai dua. Gesya begitu marah dengan sikap Richard, namun dicobanya ditahan karena Bu Vivian berkali-kali menenangkan dengan cara mengusap bahu Gesya. “Udah gue sumpek di butik, eh sampai rumah dibikin makin sumpek sama abang sialan itu! Ih, kenapa sih Bang Richard gak cepat-cepat nikah dan pergi saja dari rumah ini!” gerutu Gesya seraya menghentakan kakinya kesal. “Yang tenang ya anak Mami yang paling cantik … gak boleh ikutan panas kalau abangmu begitu. Mami beliin es krim cokelat, mau?” tawar Bu Vivian. “Boleh deh Mam. Biar kepala gak pecah gara-gara kelakuan anak laki-laki Mami!” Gesya memundurkan badannya ke sofa, dan Bu Vivian mengusap dha—dha Gesya. *** “Sya, Sya … padahal ini program kerja untuk bulan depan. Dia kayaknya susah banget mau buat satu model baju saja,” tutur Alana yang masih sibuk dengan gambar busana festival yang ada di atas mejanya. “Dan salah satu jalan ninja Gesya kalau sudah buntu, adalah pulang ke rumah, Sya … Sya,” Alana geleng-geleng mengetahui kebiasaan rekan kerjanya itu. Tapi, Alana gak akan jengkel, karena Alana juga niat sepenuh hati untuk membesarkan butik ini bersama Gesya. Alana menggoreskan pensilnya di atas kertas putih, mengikuti titik-titik yang ia buat sebagai pola busana. Pelan-pelan Alana mengerjakan gambarannya itu, untuk meminimalisirkan kesalahan. Alana suka sekali dengan baju yang memiliki karakter yang kuat, modern, dan bisa lintas generasi. Artinya, semua orang bisa menikmati dan memakai baju yang ia buat. Seperti halnya saat ini, Alana sudah menuangkan imajinasinya di atas kertas itu. Alana ingin membuat sebuah kostum festival dengan tema “Queen”. Yang mana queen  yang artinya ratu itu, adalah nama butiknya saat ini. Alana membubuhi bagian punggung baju tersebut dengan ala-ala sayap buruk merak yang sedang memekarkan sayap. Dengan warna merah bercampur oranye, menambahkan kesan menawan di bagian punggung baju itu. “Kayaknya otak gue baru bisa diajak mikir di bagian ini deh. Untuk bagian lainnya besok aja,” pungkas Alana yang sudah kehabisan ide. Alana juga manusia, cyin, bisa saja ia kehabisan ide dan kelelehan. Alana melirik jam dinding yang tertempel di dekat pintu butik. “Ah pantasan saja otak gue udah gak mau diajak kompromi, ternyata sudah jam segini. Waktunya pulang!” ujar Alana yang merenggangkan kedua tangannya ke atas. Serta mengenyampingkan punggungnya ke kiri dan ke kanan hingga berbunyi KREK. Tampak jelas dari meja Alana, terlihat seorang perempuan berambut pirang turun dari mobil yang terparkir tepat di depan butik Queen. Alana menengok ke sign yang terpasang di pintu, tulisannya closed alias tutup. Namun, perempuan yang berpakaian serba ungu tua itu tetap melangkahkan kakinya menuju pintu masuk butik. “Hah? Dera Evelines? Apa itu beneran Dera?”Alana mengedipkan kedua matanya sambil mengucek dengan jempol tangannya. “Kalau itu beneran Dera, ngapain juga dia datang ke sini? Kan gue udah gak ada urusan lagi sama dia,” batin Alana. TOK! TOK! TOK! Perempuan yang diduga sebagai Dera itu mengetuk pintu butik. Alana tampak terbengong beberapa saat sebelum akhirnya membukakan pintu untuk Dera.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD