Flashback

1316 Words
Malam sudah pukul 02.00 dini hari, tetapi Marsha belum juga memberangkatkan tubuhnya ke pulau kapuk alias tidur cantik. Marsha berguling-guling di atas tempat tidurnya sambil berusaha memejamkan kedua matanya. Bunyi gesekan selimut dengan tubuhnya itu, membuat Bu Alin auto fokus kepada Marsha. “Mar …” seru Bu Alin yang menghampiri putrid tunggalnya di atas tempat tidur. “Iya, Ma?” balas Marsha. “Kok belum tidur sih, Sayang?” tanya Bu Alin seraya mengelus rambut belakang Marsha. Marsha membalikan badannya, menatap Bu Alin yang hadir di sebelahnya saat ini. “Gue kepikiran Ma … soal kejadian tadi di rumah Richard,” terang Marsha. Bu Alin menghela napas. “Gak usah dipikirin, namanya orang tua, punya pandangan masing-masing soal pacar anaknya. Bahkan, banyak dari mereka suka banget ikut campur soal hubungan asmara anaknya. Padahal kan yang menjalani hubungan itu anaknya, bukan orang tua. Jadi, kamu gak perlu merasa risau, yang penting hubungan kamu dan Richard itu baik-baik saja, persetan dengan kedua orang tuanya,” pesan Bu Alin. “Iya sih, dan apa yang dilakukan kedua orang tua Richard sama gue tadi, bikin gue muak, dan gak punya hasrat buat ketemu mereka untuk kedua kalinya,”terang Marsha. “Gak masalah, itu hak kamu. Anak Mama yang paling cantik, jangan galau-galau mulu ya, apalagi soal orang tua Richard. Gak banget deh!” celetuk Bu Alin. “Kamu cantik, banyak lelaki yang mau sama kamu, untuk menjadikanmu kekasih. Gak usah terpaku sama—“ “Jadi Mama nyuruh gue cari laki-laki lain selain Richard, gitu? Ih gak bisa dong, Ma!” tegas Marsha. “Richard sudah ngasih apapun buat kita berdua, salah satunya apartemen ini loh Ma. Dan, gue gak bisa ninggalin dia gitu aja,” lanjut Marsha. “Sepertinya untuk saat ini kamu beneran cinta sama Richard, dan tidak sesuai dengan rencana kita sebelumnya,” ujar Bu Alin. Marsha pun terdiam dan teringat sesuatu rencana dirinya pada Bu Alin. Flashback. Saat itu, Marsha dan Bu Alin masih tinggal di salah satu kontrakan minimalis ibukota. Marsha yang tidak bekerja setelah beberapa tahun lulus dari sekolah menengah atas, tidak mempunyai uang untuk membayar kontrakan. Alhasil, Bu Alin lah yang berperan penting di sana. Bu Alin, ibunya Marsha sekaligus terkenal menjadi janda kembang di daerah situ, mulai melancarkan aksinya walau rencana itu buruk. Ya, sebenarnya buruk untuk citra Bu Alin sendiri dan Marsha. Bu Alin rela menjadi simpanan pemilik kontrakan dan memberi jatah tiap minggu. Dengan begitu, Marsha dan Bu Alin masih bisa tinggal di kontrakan kecil itu. Namun, suatu ketika ada masalah datang antara Bu Alin dan selingkuhannya itu, Pak Joko. “Ah, sialan banget itu Joko! Udah dikasih hati, minta jantung!” malam itu ketika hujan menderas turun, Bu Alin baru saja datang dan langsung melempar payung hitamnya ke teras. “Ada apa sih, Ma? Malam-malam bukannya tenang malah kayak singa,” tanya Marsha yang lagi santai di ruang tamu, sambil memegangi ponselnya. “Itu tuh si Joko gila banget! Mama kan sudah beberapa bulan jadi selingkuhannya, eh baru aja dia mau jadiin Mama istri keduanya dong!” jawab Bu Alin yang masih diselimuti rasa geram di dadanya. “Oh ya? Terus, gimana doang sama istri pertamanya? Udah pasti nolak mentah-mentah, lah!” balas Marsha yang tidak begitu menganggap serius. Yang Marsha tahu, setelah perceraian mama dan papanya, mamanya itu sudah tidak punya hasrat untuk menikah lagi. Dan kalaupun dekat dengan lelaki lain, dapat dipastikan itu hanya tipu daya Bu Alin untuk mendapatkan keuntungan. “Katanya Joko sih, istrinya sudah tahu soal hubungan kita berdua. Ya jelas marah dong ketika tahu hubungan gelap ini. Tapi, Joko membela Mama dan meminta izin istrinya untuk menikah dengan Mama. Entah gimana bisa Joko mencuci otak istrinya, akhirnya istri pertamanya itu siap dimadu,” beber Bu Alin yang tampak kewalahan menghadapi situasi ini. Bu Alin merebahkan tubuhnya ke sofa, sambil memegangi kedua pelipisnya dengan tangannya. “Mama gak habis pikir, ternyata selingkuh sama suami orang itu malah menjerumuskan Mama untuk jadi istri kedua,” lanjut Bu Alin. Marsha terkekeh memegangi perutnya. “Mama … mama  … yang namanya hati, kalau sudah jatuh cinta itu bakal jadi bucin akut. Biasanya sih bucinnya gak tanggung-tanggung, bisa bikin orang lain sakit hati. Dan dari awal kan sudah gue peringatkan ke Mama, kalau Mama bermain belakang dengan Pak Joko, suatu saat pasti akan ketahuan,” Marsha balik menasehati Bu Alin. “Tapi kan semua itu Mama lakukan supaya kita bisa tetap tinggal di sini. Kamu ngerti sendiri kan kalau Mama gak punya kerjaan tetap, dan kamu malah gak kerja sama sekali,” seru Bu Alin yang membuat kepalanya makin pening, seraya hujan malam itu makin deras. “Ma, Mama tenang aja. Gue punya satu rencana besar, yang dampaknya sangat aduhai di masa depan kita nantinya!” seru Marsha. Bu Alin langsung memandang heran ke Marsha. “Hah? Kamu? Punya rencana besar? Aduh Mar, kamu aja tiap hati sibuk sama ponsel, gimana mau punya rencana besar,” tukas Bu Alin yang rupanya tidak yakin pada Marsha. Marsha mengganti posisi duduknya, dan kini duduk di sebelah Bu Alin. “Ma, gue lagi pedekate (pendekatan) sama salah satu pemilik perusahaan yang ada di ibukota. Usahanya udah besar banget! Gue udah beberapa kali ngerayu dia lewat telepon dan chat—“ “Terus, terus? “ Bu Alin mulai penasaran dengan cerita yang dibawa oleh Marsha. “Besok, gue janjian mau ketemuan sama dia di klub,” lanjut Marsha. “Oh, Mama nemu nih intinya. Jadi kamu akan memacari laki-laki kaya itu untuk bisa mengubah nasib kita. Gitu, kan?” Bu Alin seperti tahu bagaimana cara perempuan pemuja duit menghadapi laki-laki kaya raya. Marsha pun menjentikan jarinya. “Nah! Itu dia benar. Rencana besarnya nih ya, gue bisa menaklukan hati laki-laki itu dan bikin dia mau mengabuli apa permintaan kita.” “Tapi … Mama gak menyarankan kamu untuk menjadi simpanan loh ya? Kamu tidak boleh bermain belakang dengan laki-laki yang sudah beristri,” Bu Alin sudah duluan mewanti-wanti. “Ih kenapa? Padahal loh Mama sendiri jadi simpanan suami orang, kenapa gue gak boleh?” Marsha mengerutkan dahinya. “Ya gak boleh! Karena bakal ada yang tersakiti. Mama kan ngelakuin ini terpaksa, biar kita punya tempat tinggal. Oh iya satu lagi, kamu jangan mau keperawananmu diambil oleh laki-laki itu, ya. Kamu boleh bertemu dia di mana saja, asal kamu harus jaga keperawanan kamu, Mama gak mau anak Mama satu-satunya bernasib sama kayak Mama! Melepas keperawanan sebelum nikah. Ingat itu,” ujar Bu Alin seraya menegangkan jari telunjuknya di depan wajah Marsha. “Hahaha, tenang aja, Ma, intinya gue akan bermain cantik, hanya untuk meraup keuntungan dari laki-laki kaya itu. Mana tahu dia beliin kita rumah mewah secara cuma-Cuma, iya gak?!” tukas Marsha. “Ya … semoga, dan Mama bisa lepas dari cengkeraman Joko sialan itu! Tapi ingat ya Mar, jangan sampai ada laki-laki yang menyentuh tubuhmu, terutama bagian-bagian sensitifmu itu. Mama gak akan pernah sudi!” Bu Alin memperingatkan kembali. “Iya Ma, iya, tenang aja lagi. Bahkan, paling gue gak akan cinta sama orang itu. Umurnya udah tua banget, tiga puluh enam tahun. Gue masih dua puluh delapan tahun, pengennya cari yang umur tiga puluh sampai tiga puluh empat gitu. Dia mah gak masuk kategori!” terang Marsha. “Oke, silakan jalani peranmu, sesukamu, dan ingat pesan-pesan Mama yang tadi. Good luck!” ujar Bu Alin. *** Dan dengan kejadian tersebut, dekatnya Marsha dan Richard pun berakhir dengan status mereka menjadi sepasang kekasih. Entah sampai kapan, rencana besar itu akan dimainkan oleh Marsha dan Bu Alin, untuk mendatangkan keuntungan sepihak bagi mereka. Dan semenjak pertemuan Marsha dan Richard semakin intens, Marsha dan Bu Iin mendapatkan apa yang mereka mau, salah satunya tempat tinggal di apartemen mahal ini, yang sekarang ditempati oleh Marsha dan Bu Alin. "Mar, kamu beneran sudah jatuh cinta sama Richard?" Bu Alin memandang tajam ke arah Marsha yang masih rebahan di atas tempat tidur. Marsha menatap langit-langit kamarnya, sedang bimbang apa yang sedang ia rasakan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD