Part 3. Pengantin Pengganti

1106 Words
Rafi “Assalamualaikum…” teriakku cukup kencang saat kakiku melangkah masuk ke rumah joglo besar milik eyang tercinta di salah satu kota berhawa cukup sejuk di Jawa Tengah, Wonosobo. Perjalananku membutuhkan lebih dari dua puluh empat jam dari belahan bumi utara sana, Kanada, menuju ke kota ini. Jangan tanya betapa lelah dan remuknya tubuhku. Sepertinya aku butuh pijat agar tubuhku terasa lebih enak. Padahal baru saja tahun berganti, aku harus kembali ke kota ini, rumah eyang, karena akan ada pernikahan sepupuku.Bulan Januari, kata eyang merupakan akronim dari hujan sehari-hari, di Indonesia identik dengan air yang diguyurkan dari langit untuk membasahi bumi setiap hari tanpa henti.Aku jarang sekali ke rumah eyang, seingatku hanya di saat Idul Fitri. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman di sini, seperti ada sesuatu yang membuatku trauma jika tinggal terlalu lama. Mataku melihat sekeliling, tenda besar dan mewah sudah selesai dipasang. Meja kursi tamu dan pelaminan juga sudah rapih. Tapi hanya ada dua lelaki yang tampak menyapu halaman. Kenapa seperti tidak ada kehidupan sih? “Kenapa gak ada yang jawab salamku? Kenapa rumah eyang sepi gini? Bukankah acara pernikahan akan dilangsungkan besok? Jangan-jangan aku salah tanggal ya? Eh aku gak salah rumah kan?” aku meragu, bergumam sendiri sambil melangkahkan kaki menuju ruang tengah, ruang keluarga luas yang biasa kami gunakan untuk berkumpul. Mataku memicing melihat alas kaki yang tertata rapih, menandakan keluarga inti sudah berkumpul. “Waalaikumusalam, alhamdulilah Mas Rafi sudah sampai rumah. Monggo Mas, silakan masuk, sudah ditunggu eyang dari tadi.” Tergopoh, simbok menghampiriku, menyambutku layaknya seorang pejabat tinggi datang ke daerah. Simbok mengambil alih koper dan ranselku untuk dibawa ke kamar. “Yang lain ada di mana mbok? Kok sepi gini? Acara nikahnya besok kan?” tanyaku pada simbok untuk menyakinkan. “Nah itulah Mas…” jawab simbok menggantung, membuatku penasaran. Gerakanku membuka sepatu terhenti. “Nah itulah kenapa sih mbok? Ada apa? Jangan membuatku penasaran dong.” Jujur, wajah panik simbok dan sepinya rumah yang seharusnya ramai, membuatku gusar. Pasti ada sesuatu yang terjadi dan sepertinya bukan hal yang menyenangkan. “Lebih baik Mas Rafi masuk dan tanya ke eyang putri saja nggih.” Hanya butuh beberapa langkah kakiku saja untuk aku bisa merasakan aura dingin dan beku di ruang keluarga ini. Mereka semua berkumpul dalam diam, sesekali terdengar isakan bude Izzah. Kenapa? Ada apa sih ini? “Assalamualaikum, besok kan acara nikah ini kenapa malah pada diam dan sedih begini? Auranya malah seperti ada yang meninggal, tahu gak?” tanyaku, coba memecah kesunyian. “Rafi, akhirnya kamu datang juga, Nak.” Tutur eyang padaku. Semua orang memanggilnya Eyang Malik padahal nama aslinya adalah Rusmini. Nama Malik adalah nama almarhum eyang kakung. “Nggih, eyang.” Aku menuju ke arah eyang putri dan mencium punggung tangannya dengan khidmat.Tidak hanya ke eyang, tapi semua yang hadir yang secara umur dan urutan keluarga lebih tua dariku, aku salami. Terutama tentu papa mamaku yang aku tahu sudah datang sejak dua hari lalu. “Ma, ada apa sih kenapa auranya terasa tegang gini?” bisikku pada mama sesaat setelah pantatku duduk di sebelahnya, “eeh kenapa mama juga semprat semprut gitu?” Aku jadi panik saat melihat bulir air mata menetes dari sudut matanya yang mulai keriput. Aku ulurkan tisu untuk mama. Mama menggeleng dan cepat menghapus air matanya. Aku semakin penasaran. Aku tidak pernah rela melihat mamaku menangis! “Adakah seseorang yang bisa memberikan penjelasan padaku ada apa ini? Kenapa mamaku tercinta menangis?” ucapku dengan nada sedikit tinggi, membuat yang hadir terhenyak dan melihat ke arahku. Aku berdiri dan melihat ke semua yang hadir dengan emosi. “Rafi, apa-apaan kamu! Bersikap yang sopan! Duduk!” bentakan ayah terdengar menggelegar. Sedangkan pakde Taysir menghela nafas berat. “Tidak mau sebelum ada yang memberikan penjelasan padaku ada apa ini.” Aku menolak mentah-mentah. “Rafi, duduklah. Eyang akan beritahu ada apa.” Ucap eyang berusaha menenangkanku. “Baik eyang.” Jawabku patuh. Saat duduk, kembali aku edarkan pandangan. Semua anggota keluarga Malik hadir termasuk bibi yang setia ikuti eyang dari sejak dulu. Semua hadir, kecuali Rayan, sepupuku, calon pengantin laki-laki yang akan menikah besok. Aku kernyitkan kening, ini aneh. Kenapa Rayan tidak ada? Lah ke mana dia? Lalu siapa yang akan menikah besok? “Karena Rafi sudah datang, sebaiknya kita pastikan apa yang tadi sudah kita bicarakan.” Tiba-tiba pakde Taysir berkata, menyebut namaku, membuat perasaanku tidak enak. Semakin tidak enak karena sesenggukan mama mengencang. Hei, ada apa ini? Siapa yang berani membuat mamaku menangis seperti ini? “Biar aku saja yang bicara, karena bagaimanapun juga aku masih jadi pemimpin keluarga ini.” Eyang Malik menyela sesaat sebelum pakde Taysir melanjutkan. Aku mengalihkan pandangan ke arah eyang, jadi fokus pada beliau. Eyang yang sepuh nampak semakin sepuh dan tertekan, ini pastilah bukan hal yang remeh. Ada hal yang berat terjadi. “Rafi Wiryaman Malik, eyang butuh bantuanmu. Maukah kamu membantu eyangmu ini nak?” suara lembut eyang menyadarkanku untuk kembali menjejak bumi. Jikalau eyang menyebut namaku lengkap, aku yakinkan ada hal penting yang terjadi. “Tentu eyang.” Jawabku cepat. Aku pasti akan membantu eyang, beliau orang yang baik, teramat baik malahan. Aku masih ingat betapa beliau sangat menyayangiku, menyayangi kami, cucu-cucunya. Tidak mungkin aku tidak membalas kebaikannya kan? Apalagi hanya sebuah bantuan kecil bukan? “Terima kasih Rafi, eyang tahu kamu bisa diandalkan.” Jawab eyang penuh senyum tapi nampak terpaksa. Suara isakan sekarang terdengar tidak hanya dari mama tapi juga dari bude Izzah. Ada apa sih ini? Kenapa mereka berdua menangis berjamaah? Aku sungguh jadi tidak sabar. “Mama kenapa mama dan Bude Izzah malah nangis bareng?” tanyaku, semakin tidak mengerti. “Raf,” sela eyang saat aku berusaha memeluk mama, “kamu tahu kan kalau besok akan ada pernikahan di rumah ini?” lanjut eyang lagi. “Tahu eyang. Rayan yang akan menikah kan? Itulah kenapa aku pulang dari Kanada untuk menghadiri pernikahan sepupuku. Tapi anehnya kenapa aku tidak lihat keberadaan Rayan sedari tadi? Ada di mana dia?” aku kembali edarkan pandangan, tapi tetap tidak berhasil temukan sosoknya. Tidak mungkin dia main petak umpet kan? “Huuft…” eyang menghela nafas panjang, menyandarkan punggung rentanya, menatap langit-langit sebelum akhirnya berkata lirih padaku, “kami tidak tahu Rayan ada di mana. Padahal undangan sudah disebar, saudara-saudara juga sudah datang ke kampung ini. Pernikahan juga tidak mungkin dibatalkan karena tinggal esok hari.” Desah eyang. Eyang majukan tubuhnya untuk bisa menatapku, perasaanku semakin tidak enak apalagi saat mama mengeratkan genggaman tangannya padaku. “Lalu?” tanyaku dengan suara tercekat, aku sudah bisa mengira peranku selanjutnya, apa yang harus aku lakukan, tapi, semoga hanyalah ketakutanku saja, bahwa nantinya aku yang akan… “Besok, kamu yang menikahi Suci, menggantikan Rayan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD