Rafi
“Haa…? A… apa Eyang? Aku besok yang akan menikah?” tanyaku sambil menunjuk ke hidungku sendiri, “apakah aku tidak salah dengar? Papa, mama, ini gimana sih?” aku sibuk menoleh ke kanan kiri mencari pembenaran.
Bingung! Sumpah demi Tuhan aku bingung dengan apa yang aku dengar baru saja. Aku baru saja menjejakkan kakiku di Indonesia, lebih tepatnya ke kampung ini, setelah perjalanan panjang melintasi benua untuk menghadiri pernikahan sepupuku! Catat, sepupuku! Bukan aku!
Bukannya mendapat jawaban, mama malah semakin terisak, membuatku tidak tega melihatnya. “Mama jangan menangis dong, aku jadi ikut sedih jadinya. Adakah seseorang di sini yang bisa memberiku penjelasan sejelas-jelasnya ada apa ini dan kenapa aku yang jadi korban? Kenapa jadi aku yang harus menikah?” seruku gusar. Aku sampai berdiri lagi agar bisa melihat semua yang hadir dengan lebih jelas.
“Rafi! Duduk! Bersikap sopan di depan eyang!” seperti biasa papa membentakku jika dirasa aku melanggar tata krama. Mama menarik tanganku agar aku kembali duduk.
“Aku akan duduk dan jadi anak baik-baik asalkan ada yang bisa ceritakan kenapa aku yang baru saja lakukan perjalanan lintas benua tiba-tiba harus jadi pengantin untuk menggantikan Rayan? Aku tidak mau!” teriakku kesal, luapkan segala emosi. Lelah, penat, bingung, sedih melihat mamaku yang menangis tiada henti, menjadikanku lepas emosi.
“Tenanglah Raf, pakde yang akan jelaskan. Kamu tidak kami korbankan, Raf,” suara pakde Taysir membuatku menoleh ke arahnya. Aku baru menyadari wajahnya tampak kusut, lingkaran hitam di bawah mata menandakan bahwa beliau kurang tidur.
“Aku siap mendengarkan Pakde.” Jawabku, berusaha sopan.
“Memang seharusnya Rayan yang menikah esok dan seharusnya pula dia sudah ada di sini sejak empat hari lalu. Tapi…,” kulihat pakde menelan ludah, seperti sulit melanjutkan.
“Tapi apa? Ke mana dia? Jangan bilang kalau dia kabur karena tidak suka pada calon istrinya seperti novel romansa yang banyak di platform online! Atau istrinya berwajah jelek!” desisku.
“Rayan tidak mungkin kabur karena tidak suka pada calon istrinya! Mereka menjalin hubungan dari tiga tahun lalu bahkan semakin serius sejak eyang kakung meninggal.” Kali ini yang menjawab adalah eyang Malik.
“Lalu dia ke mana? Kalau dia mencintai calon istrinya itu, kenapa dia malah menghilang tanpa jejak begini?” kejarku. Aku benar-benar tidak habis pikir tentang ini. Sialan Rayan!
“Itulah! Dia benar-benar menghilang tanpa jejak. Terakhir kali dia mengirim pesan w******p ke pakde dan Suci, calon istrinya, seminggu lalu. Dia bilang besok paginya akan keluar dari kawasan hutan Serrania de Chiribiquete di Kolombia, tapi itulah saat terakhir kalinya kami berkirim pesan. Setelah itu tidak ada lagi kabar darinya.” Pakde Taysir menjelaskan dengan suara lirih.
Setahuku profesi Rayan adalah ilmuwan konservasi sekaligus fotografer lepasan di berbagai media internasional. Dia lebih sering berada di luar negeri daripada di Indonesia. Dulu kami lumayan akrab karena selisih umur yang tidak terlalu jauh, tapi sejak sekolah menengah atas, kami jadi jauh, secara fisik dan perasaan. Aku juga lupa kenapa tiba-tiba kami menjauh.
“Apakah Pakde dan Papa sudah cari info ke teman-temannya sesama ilmuwan itu?” tanyaku lagi. Heii, aku tidak mau menjadi pengantin untuk perempuan yang aku tidak kenal! Boro-boro aku cinta deh, kenal saja tidak kan?
“Sudah. Mereka juga hilang kabar dengan Rayan.” Jawab pakde Taysir, suaranya melemah.
“Sudah cari info ke Interpol?” tanyaku lagi.
“Kamu kira Rayan penjahat lintas negara apa, sampai harus lapor Interpol?” tanya papa dengan mata melotot ke arahku bagai tidak percaya dengan apa yang aku katakan.
“Ya sudah kalau Rayan tidak ada kan bisa dibatalkan saja pernikahannya. Atau ditunda sampai Rayan diketemukan kan?” jawabku, mencari alasan.
“Tidak bisa seperti itu Rafi! Kalau bisa, pasti sudah eyang lakukan! Undangan sudah tersebar, saudara kita dari jauh sudah datang di kota ini. Tidak mungkin dibatalkan! Malu! Mau ditaruh mana muka kita hah?!” ucap eyang dengan tegas bahkan mengetuk tongkatnya ke lantai dengan sangat kencang, membuatku berjengit kaget.
“Tapi kenapa harus aku yang menggantikan Rayan?” aku tetap menolak ide bodoh ini.
“Karena memang hanya kamu yang cocok. Hanif masih sekolah kelas dua belas, tidak mungkin dia yang gantikan posisi kakaknya kan?” jawab pakde Taysir.
“Sebentar, aku inginkan kepastian sekali lagi dari kalian,” kuedarkan pandangan tajamku ke semua yang hadir, aku tatap satu per satu, “jadi kalian menjadikan aku sebagai pengantin pengganti Rayan?”
“Iya.” Aku dengar beberapa suara menjawab kompak.
“Tanpa pernah kalian pikirkan bagaimana perasaanku? Tanpa pernah kalian pikirkan kebahagiaanku?” desisku, penuh amarah.
“Suci adalah gadis baik-baik, pintar dan taat ibadahnya, tidak ada yang kurang darinya. Dia bisa memberimu kebahagiaan.” Jawab eyang lagi.
“Ooh… ha ha ha,” aku sengaja tertawa sumir sebagai tanda sedikit melecehkan itu, “bagaimana mungkin seorang gadis kampung bisa membahagiakanku eyang? Aku juga punya kriteria perempuan ideal yang aku idamkan menjadi seorang istri.” Jawabku sinis.
“Rafi, dengarkan kata eyang, nak.” Suara lembut mama dan sentuhannya di punggung tanganku, membuatku tidak jadi meluapkan emosi.
“Aku tidak kenal gadis kampung itu ma! Aku tidak mencintainya! Boro-boro bisa mencintai, melihat wajahnya saja tidak pernah! Bagaimana mungkin kehidupan pernikahan kami akan bahagia?” tanyaku pada mama.
“Cinta akan datang karena kalian terbiasa bertemu. Lagipula, saat kecil dulu, kamu sering bertemu Suci. Eyang tidak akan menjerumuskanmu Rafi. Eyang yakin, Suci bisa membahagiakanmu. Kalian bisa belajar untuk saling mencintai.” Jawab eyang lagi, suaranya bergetar, terkesan menahan marah dan tidak mau dibantah.
“Haha…” aku kembali tertawa sinis, tapi kali ini tanpa ada diksi terucap dari bibirku.
Tiba-tiba eyang bangkit dari duduknya dan berjalan menggunakan tongkatnya dengan goyah sebagai alat bantu, menuju ke arahku, membuat punggungku jadi tegak tanda waspada. Aku baru menyadari jalannya eyang yang sudah tidak segagah dulu, mungkin karena usia dan penyakit yang datang rombongan. Aah, aku memang cucu yang tidak perhatian, ke mana saja aku selama ini hingga abai pada eyangku?
Saat tiba di depanku, mendadak eyang hendak bersimpuh, membuatku berjengit kaget sampai aku mengangkat kakiku. Papa dan pakde berebut mencegah eyang lakukan itu.
“Ma… jangan seperti ini!” pekik keduanya, "Mama tidak perlu bersimpuh di depan Rafi."
“Jika kamu ingin eyang bersimpuh dan memohon kepadamu, Raf, eyang akan lakukan itu.” Kata eyang dengan suara bergetar. Sekali lagi eyang ingin bersimpuh di depanku tapi dicegah papa yang memegang lengan kiri eyang dan pakde yang memegang lengan kanan eyang.
“Ma, sudahlah, biar nanti Wirya dan mamanya yang akan merayu Rafi. Mama jangan lakukan ini ya.” Kata papa dengan lembutnya membuat eyang mengangguk dan kembali duduk di kursinya tadi.
Aku hela nafas dan membuangnya dengan kasar, “kalian tega mengorbankan kebahagiaanku demi hilangkan rasa malu kan? Baiklah, sebagai seorang anak yang baik, sebagai cucu yang berbakti, aku akan ikuti apa rencana kalian. Toh percuma saja aku menolak, kalian akan tetap memaksaku menikah untuk menggantikan Rayan!”
Akhirnya aku menyerah. Aku bangkit dan langsung melangkah pergi ke taman tanpa mau basa-basi lagi. Aku butuh mendinginkan otak dan hatiku.
Sekilat tadi timbul ide di otakku bahwa pernikahan ini tidak akan untuk selamanya. Aku akan membuat si Suci Suci, gadis kampung itu setuju bahwa kami akan secepatnya berpisah, satu atau dua tahun, bila perlu tidak sampai setahun! Satu atau dua bulan saja, yang penting pernikahan terjadi dan tidak timbul rasa malu pada keluarga besar Malik.
Toh, kisah pengantin pengganti banyak kan di novel romansa? Mereka setuju untuk berpisah setelah beberapa tahun pernikahan. Baiklah, aku akan ikuti hal itu. Tapi mana mau aku harus menunggu beberapa tahun. Ingiku hanya satu atau dua bulan saja! Bila perlu satu minggu.
Haah, nasibku yang malang! Menjadi pengantin pengganti yang terpaksa demi menyelamatkan muka keluarga!