Part 5

1061 Words
seseorang yang berada di depan Carla saat ini adalah Faqih. Pria yang telah resmi menjadi Suaminya satu bulan yang lalu. Tapi, hanya suami di atas kertas. Karena di dalam hati, tidak ada cinta dalam pernikahan mereka. “Nona belum jawab pertanyaan saya. Apa nona betah tinggal di sini?” tanya Faqih dengan raut datar tanpa senyum. Seperti biasa, dan Carla malas mempermasalahkannya, karena dia juga begitu. Dua orang yang sama-sama dingin, sangat mustahil bisa bersama dalam jangka waktu lama. Jadi, status nikah kontrak dengan Faqih sebagai suami sewaan, tidaklah salah. Karena Faqih tidak banyak bicara dan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. “Jangan panggil Nona. Panggil saja Carla atau Ara. Karena di sini, aku tidak memiliki apapun untuk dipanggil sebagai Nona,” ucap Carla sembari menatap Faqih yang juga balas menatapnya. Masih segar dalam ingatan Faqih bagaimana dia bertemu carla yang saat itu berada dalam kondisi yang sedang kacau. Carla yang habis bertengkar hebat dengan kedua orang tuanya, meminta Faqih untuk mengantarkannya pergi. Faqih yang merupakan supir pribadi Papa Carla selama berada di Indonesia, mengiyakan tanpa membantah. Carla yang saat itu tengah putus asa, hampir saja bunuh diri dengan melompat dari atas jembatan, jika Faqih tidak cepat mencegahnya. Motif Carla ingin mengakhiri hidup, Faqih sendiri tidak tahu. Karena dia hanyalah supir sementara yang disewa oleh Papa Carla. “Rasanya hampa, aku hanyalah alat untuk mencapai keinginan kedua orang tuaku. Tanganku kotor dengan darah dan aku merasa bersalah akan hal itu. Kakek yang aku harapkan bisa membelaku, ternyata sama saja. Malah lebih kejam dari kedua orang tuaku. Jadi, lebih baik aku mati saja,” ucap Carla sembari menatap tajam Faqih yang saat ini memeluknya dengan kuat agar Carla tidak kembali melakukan tindakan nekat seperti tadi, “Bodoh ! kau pikir, bunuh diri akan menyelesaikan masalahmu ? kuatlah dan hiduplah sendiri dengan baik, jika kau belum ingin kembali pada keluargamu,” nasihat Faqih pada Carla dengan suara yang penuh ketegasan. Andai Carla tahu, jika banyak di luar sana, yang menginginkan kehidupan yang seperti dimiliki oleh Carla. Karena diibaratkan, secuil dari kekayaan yang dimiliki oleh Carla itu bisa sangat berarti untuk menghidupi Ibu dan adik perempuan Faqih nun jauh di kampung sana. “Lepaskan aku,” ucaP Carla lalu melepaskan diri dari pelukan Faqih yang segera beringsut menjauh, tapi tetap mengawasi. “Dari mana asalmu?” tanya Carla pada Faqih setelah merasa tenang. “Saya berasal dari sebuah desa yang jauh,” jawab Faqih sekedarnya. “Hmmm … Nikahi aku, hanya beberapa bulan saja atau bahkan satu tahun, hingga aku minta cerai. Aku akan membayarmu, berapapun yang kamu minta.” Itu adalah ucapan Carla sesaat setelah Faqih mengatakan dari mana dia berasal. Faqih terlihat takjub, menatap Carla yang sepertinya bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Kerasnya hidup, yang pada akhirnya, membuat Faqih menjual dirinya pada Carla sebagai Suami sewaan. Itulah pertaruhan hidup, karena keinginannya untuk memiliki tanah dan rumah berteduh bagi Ibu dan Adiknya. Toh ini hanya sementara, hingga Carla melepaskan dirinya karena perjanjian mereka selesai. “Hei … kamu melamun?” tanya Carla yang membuat Faqih tersadar dari lamunannya akan bagaiman dia dan Carla bertemu dan menikah. Pernikahan yang sangat cepat, karena uang bisa memuluskan segalanya. Pernikahan yang hanya dihadiri oleh kenalan Carla tanpa orang tuanya yang tentu saja tidak tahu akan hal itu. Tapi, Faqih tetap menghadirkan Ibu dan adiknya untuk melihatnya menikah. Walau Faqih sadar, jika pernikahan ini hanya sementara. Hanya saja, Faqih tidak ingin kedua orang terkasihnya tertinggal dalam hari sakral baginya. “Calon Istrimu cantik. Tapi, beneran kamu nikah karena cinta sama dia, kan’? bukan karena pelarian untuk patah hatimu?” itu adalah pertanyaan Ibu sesaat sebelum Faqih dan Carla menikah. Dan Faqih hanya mengangguk kaku sambil tersenyum mengiyakan pertanyaan Ibunya. “Faqih,” panggil Carla lagi, yang membuat Faqih tersenyum, karena ketahuan kembali melamun. “Maaf,” ucap Faqih kembali. “Nona belum juga menjawab pertanyaan saya. Apa nona betah tinggal di sini?” Faqih masih mengulang pertanyaan yang sama. “Hmmm … panggil aku Ara.” Carla tidak suka dipanggil nona. “Saya akan lakukan itu, saat kita bersama Ibu dan Shanum atau yang lainnya. Jika berdua saja, anda tetaplah Nona muda yang merupakan majikan saya,” balas Faqih sangat formal sekali. “Jadi, apakah Nona betah tinggal di sini?” ulang Faqih yang dibalas anngukan Carla. “Bisa betah bisa juga tidak. Ibu dan juga Shanum baik padaku. Tapi, keluarga besar Papamu, sangatlah tidak baik. Aku tahu Bulik Lastri dengan mulut super pedasnya. Lalu, Bude Dewi dengan gaya song angkuh dan bersembunyi di balik sikap dermawannya yang palsu. Lalu, nenekmu yang harusnya bisa menjaga kalian, tapi terlihat lebih memihak pada dua orang yang saku sebutkan tadi.” Carla menjelaskan pada Faqih tentang rasa betah yang dirasakannya. “Hmmm … lalu, ada satu hal yang mengganjal pikiranku. Sebenarnya ini bukan hal penting yang ingin aku tanyakan. Tapi, aku tidak tega pada Ibu dan Shanum, jadi aku ingin bertanya.” Carla menatap tajam ke arah Faqih yang juga membalas tatapannya. Tidak ada rasa takut pada tatapan Faqih, seperti hal nya para pria yang selama ini menatapnya. “Tanyakanlah,” ucap Faqih mempersilahkan Carla untuk bertanya. “Soal uang yang aku berikan padamu sebagai tanda jadi pernikahan kita. Apakah jumlah sebanyak itu, tidak kamu gunakan untuk menebus tanah ini. Yang kata Bulik Lastri, masih merupakan tanah warisan milik Bude Dewi?” faqih terlihat terkejut, karena tidak menyangka jika Carla akan tahu semua itu. “Bagaimana Nona tahu semua itu? jika tanah ini milik Bude Dewi?” tanya Faqih benar-benar kaget. “Tentu saja tahu, karena mulut panas Bulikmu itu,” jawab Carla dengan nada ketus. Ya … selalu begitu jika dia mengingat wanita bernama Lastri. Ingin rasanya Carla membuatnya tidak bicara selamamnya. Faqih terlihat diam untuk beberapa saat. “Bagaimana bisa Bulik Lastri bilang begitu. Padahal, uang itu sudah saya bayarkan pada Bude Dewi langsung.” Apa yang dikatakan Faqih membuat Carla benar-benar kaget. “Saya bilang sama Bude, kalau masalah tanah selesai. Tapi, saya tidak katakan pada Ibu karena Bude Dewi bilang, jika Bude Dewi sendiri yang akan katakan itu pada Ibu. Setelah itu, saya harus segera kembali ke kota untuk bertemu dengan Nona kembali.” Carla kembali dibuat kaget dengan penjelasan Faqih. Carla geleng-geleng kepala. Pria yang bergelar suaminya ini, benar-benar bodoh atau polos sebenarnya. Sehingga mau saja dibodohi oleh perempuan serakah seperti Dewi. Sepertinya Carla harus bertanya langsung pada Bude Dewi. Apa reaksi Bude Dewi setelah ketahuan seperti ini ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD