Part 6

1191 Words
Faqih keluar dari kamar untuk bertemu Ibu dan juga adiknya. Carla yang semula ingin istirahat, pada akhirnya mengikuti Faqih ke depan. Pembicaraan terkait tanah yang tadi ditanyakan oleh carla, mereka pending untuk kemudian akan dibicarakan lagi nanti setelah Faqih bertemu Ibunya. “Mas Faqih !” Terlihat Shanum yang memekik senang melihat kedatangan kakak laki-lakinya tersebut. Kakak yang menggantikan posisi Bapak sebagai pelindungnya. Faqih menyalami Bu Murni, dan memeluk Ibunya dengan penuh rasa sayang. “Athar kangen Ibu,” ucap Faqih yang terkadang dipanggil Athar oleh Ibunya. Karena nama panjangnya Ataharrazka Faqih. Ibu membalas memeluk putranya dengan rasa sayang yang berlimpah. “Ibu senang bisa lihat kamu lagi. Kangen Ibu ini ndak pernah habis buat kamu, nak,” ucap Ibu makin mengeratkan peluknya. Ya … putra kebanggan Bu Murni, yang begitu menyayanginya dan juga Shanum. “Mas, Shanum kangen,” ucap gadis ceria itu sembari ikut memeluk Faqih yang masih memeluk Ibunya, dengan air mata bercucuran. Tapi, Carla dapat melihat jika Shanum cepat menghapus air matanya saat melepaskan pelukannya. Faqih melepaskan peluknya lalu mengusap lembut kepala adiknya. “Shanum kesayangan Mas Faqih, makin dekil saja,” canda Faqih lalu dengan cepat menarik hidung mancung Shanum yang membuat Shanum memekik kecil. Mereka tertawa bersama. Carla dapat melihat Faqih yang lain saat sedang bersama keluarga kecilnya. Faqih yang biasa tampil tanpa senyum, bisa juga seceria itu. Dia menjadi sosok yang lain saat bersama Ibu dan juga adiknya. Carla benar-benar baru melihat senyum lepas dan juga tawa lepas milik Faqih. Sangat manis, batin Carla. Tapi dia cepat menepis itu semua, karena senyum Faqih itun bukan miliknya. “Saya mencintai seseorang. Jadi, saya harap, Nona bisa maklum akan hal itu.” Itu adalah ucapan Faqih sebelum mereka menikah. Dan Carla tidak peduli akan hal itu. Karena menikah dengan Faqih bukanlah karena cinta. Melainkan hubungan yang saling menguntungkan. Carla penasaran, bagaimana si dingin di depannya ini, kala bersama wanita pujaan hatinya. Sepertinya Carla mulai kepo tentang siapa wanita yang dicintai oleh suaminya tersebut. “Nak Ara,” panggil Ibu yang melihat Carla hanya bengong saja. Sedangkan Carla yang dipanggil, tersenyum dan mengangguk kikuk karena ketahuan melamun. Ahh … sejak Faqih pulang, dia makin sering melamun. “Ibu sudah siapin makan malam. Kita makan bersama ya. Tadi, nak Ara belum makan. Kalau malas makan, apa disuapin sama Faqih saja? ” tanya Ibu sembari menatap ke arah menantunya dengan rasa khawatir. Ibu masih merasa tidak enak pada Carla karena insiden di rumah iparnya tadi. Ucapan Lastri memang sangatlah pedas dan menyakitkan. Kalau bagi Bu Murni dan Shanum, itu adalah hal biasa, walau rasanya juga sakit. Tapi bagi Carla, yang baru masuk dalam keluarga mereka. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan. Carla terlihat kaget dengan pembahasan suap. Dia melirik ke arah Faqih yang juga menatapnya. Mereka berdua menarik nafas panjang. Mereka lupa, jika Ibu tahunya mereka menikah karena cinta. Carla tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi Ibu, jika tahu ternyata mereka hanya menikah kontrak, dan tentu saja tanpa cinta. “Enggak usah, biar aku makan sendiri saja,” ucap Carla dengan canggung. Faqih segera membersihkan diri, lalu duduk lesehan untuk makan bersama. Walau ada meja makan, tapi, mereka terbiasa duduk lesehan beralaskan tikar yang dianyam oleh Ibu sendiri. “Nak Ara kenapa makannya sedikit sekali? apa enggak suka sama lauknya? Apa Ibu gorengkan telur saja, kalau enggak suka sama tahu, tempe dan pepes ikan asin ini? tanya Ibu yang melihat jika Carla hanya mengambil nasi serta lauk yang sangat sedikit sekali. “Enggak usah, aku akan tambah setelah ini,” jawab Carla lalu mulai makan dalam diam. “Sini, biar saya yang suap. Lebih enak makan pakai tangan,” ucap Faqih masih bicara formal pada Carla. Faqih lantas mengambil nasi yang ada di piringnya menggunakan tangannya tanpa sendok, dan menyodorkan pada Carla yang malah begong melihatnya. “Makanlah,” ucap Faqih sambil tersenyum. Akhirnya Carla membuka mulut dan menerima suapan dari Faqih. Interaksi intim pertama mereka setelah menjadi suami Istri. Ibu dan Shanum terlihat tersenyum melihatnya. Apalagi Carla yang dalam pandangan Ibu dan Shanum, terlihat malu-malu. Padahal, yang sebenarnya adalah, Carla sedang canggung mengadapi Faqih yang tiba-tiba bersikap begitu manis padanya. Selama ini, Carla hidup dalam dunia yang tidak mengenal rasa manis kasih sayang. Pria yang dekat dengannya adalah para pria yang hanya inginkan hartanya. Bukan benar-benar tulus cinta padanya. Dan kebanyakan para pria tersebut suka celup sana-sini. Dan saat ia mendapatkan pria yang tepat. Maka masalahnya ada pada Carla. Pria itu, tidak akan bisa tahan lama menghadapi Carla dengan sikap posesif dan juga sikap dinginnya. Padahal, yang Carla inginkan hanyalah mendapatkan pria yang tepat untuk bisa memiliki anak, dan menguasai semua harta Kakek. Tapi dengan syarat, si pria tidak boleh memiliki anak dengan wanita lain setelah Carla dinyatakan hamil. Carla akan mengklaim si pria dengan cara melenyapkan si pria atau malah menjadikan si pria miliknya untuk selamanya. Tapi, jika menjadikan si pria miliknya, maka dia harus siap menghadapi kedua orang tuanya dan juga Kakek, yang pasti akan menolak mentah-mentah pilihan Carla sendiri. “Enak?” tanya Faqih membuat lamunan Carla seketika buyar. Dia mengangguk secara refleks, sembari menatap Faqih yang tersenyum padanya. Tapi, Carla tidak membalas senyum itu, dan hanya menatap datar pada Kafi. “Biar aku makan sendiri saja,” ucap Carla, lalu mengambil piringnya sendiri dan mulai makan kembali. Faqih yang melihatnya hanya tersenyum saja. Mereka dua orang yang tidak kenal baik. Tapi, bisa terikat dalam pernikahan kontrak seperti ini. Carla benar-benar tidak bisa ditebak, dan Faqih dengan berani menerima tawaran Carla, demi uang untuk membebaskan tanah yang saat ini Ibunya tempati. Bicara masalah tanah, Faqih akan tanyakan pada Bude dewi terkait ini. “Hmmm … Mas, masih ikut borongan lagi setelah ini ?” tanya Shanum setelah tidak ada lagi pembicaraan. Faqih tersenyum lalu mengangguk. Dia tersenyum karena baik Ibu, adiknya serta keluarga besar bapaknya. Tahunya, selama ini Faqih bekerja sebagai kuli bangunan. Ya … dia pernah bekerja sebagai kuli bangunan saat awal merantau. Tapi, pelan-pelan Faqih juga belajar menyetir dan mulai ikut temannya untuk jadi supir dan dalam perjalan panjangnya, dia ditawari untuk menjadi supir pribadi, yang disewa dalam jangka waktu, sesuai kesepakatan. Profesi yang mempertemukannya dengan Carla. Carla menatap bingung pada Faqih. Tentu saja bingung, karena Carla belum mengenal Faqih secara mendalam. Tapi itulah Carla, si super nekat yang terbiasa hidup dengan aturan keras. Mengambil keputusan sendiri dengan menikahi Faqih, demi bisa pergi jauh dari keluarganya untuk sementara waktu. Faqih tersenyum melihat Carla yang bingung. Tapi, Faqih tidak ingin menjelaskan apapun pada Carla. Dan membiarkan hingga Carla sendiri yang akan bertanya padanya nanti. Itu juga kalau carla kepo. Selesai makan dan memberesakan peralatan makan. Mereka semua masuk ke dalam kamar masing-masing. Tapi, saat Faqih juga masuk ke dalam kamar yang selama ini digunakan Carla. Tampak Carla yang masih saja berdiri di depan pintu. “Kamu, ngapain masuk ke sini ?” tanya Carla yang berubah bingung. Padahal, kamar yang selama ini ditempatinya milik Faqih. “Mau tidur, ini kamar saya. Nona bisa tidur di samping saya. Karena tidak mungkin saya tidur di luar. Nanti Ibu sama Shanum curiga akan pernikahan kita,” ucap Faqih dengan santai lalu naik ke atas ranjang sempit miliknya. Carla masih diam mematung. Tidur bersama Faqih atau begadang saja ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD