Part 4

1124 Words
Saat ini, Carla sudah berada di rumah dan duduk di dapur sembari menyesap air putih hangat yang baru saja diambilnya saat sudah tiba di rumah. Dia mengatur debaran jantungnya, dan menstabilkan emosinya. “Nak Ara ….” Itu suara Bu Murni yang tegesa-gesa menyusulnya pulang. Carla berbalik untuk melihat ke arah Bu Murni yang tampak merasa bersalah menatap menantunya itu. Tatapan yang selalu membuat Carla merasa tidak bisa bilang tidak. Ditambah Shanum yang juga menatap Carla sembari memilin ujung bajunya dengan tatapan takut. Apa dirinya semenakutkan itu, sehingga gadis seceria Shanum jadi mengkeret seperti itu ? Carla lalu tersenyum, agar Shanum kembali bersikap biasa. Ibu dan Shanum duduk di kursi yang dekat dengan kursi Carla. “Maafin Ibu ya, maafin kalau kemiskinan kami ini, membuat kamu juga jadi terhina,” cap Bu Murni dengan raut bersalah pada Carla. “Kalau mereka seperti itu, kenapa Ibu enggak menghindar saja. Anggap saja enggak kenal sama orang seperti itu. Bukan aku ngajarin Ibu agar tidak mengenal saudara, tapi, kalau saudara seperti mereka, buat apa ibu pertahanin.” Carla berbicara sembari mengeluarkan unek-unek di hatinya. Carla sadar jika dia dulu suka menindas orang, juga menculik dan menyiksa untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Menghancurkan mental seseorang dengan kata-kata kasar juga biasa dia lakukan. Andai dia mau saja, mulut pedas wanita bernama Lastri yang dipanggil Bulik oleh Shanum itu. Bisa dia buat diam selamanya. Tapi, Carla ke desa ini untuk berubah, untuk merenungi segala kesalahannya yang lalu. Memulai segalanya dari awal lagi. Walau dia bisa sampai ke Desa ini dengan cara membeli seorang pria untuk dijadikan Suaminya. Ya … untuk sementara waktu, hingga Carla siap kembali untuk bertemu saudari sepupunya, yang pernah hampir dibunuhnya. Atau, malah dia akan makin betah di desa ini. Entahlah. “Itu enggak mungkin mbak.” Shanum mulai berbicara, setelah diam dan ketakutan tadi. “Diam Num, enggak usah bicara apapun.” Bu Murni menatap tajam ke arah Shanum. Menyuruh putrinya itu untuk diam. “Rumah ini, dibangun di atas tanah milik Bude Dewi. Dan juga, waktu Bapak sakit, biaya Rumah Sakit juga dari bantuan Bude Dewi yang sebenarnya terpaksa menolong demi nama baik. Ya … keluarga Bude Dewi itu dianggap terpandang di kampung ini. Jadi, jangan sampai namanya jadi jelek karena tidak mau membantu keluarga.” Bukannya Diam, Shanum malah menjelaskan apa yang sebenarnya membuat mereka takut untuk melawan Keluarga Bapaknya, terutama wanita yang bernama Bude Dewi. “Tapi, jika kalian berhutang budi pada Bude Dewi, lalu mengapa Bulik Lastri yang suka teriak-teriak kayak tarzan ?” tanya Carla sembari memberikan julukan untuk Bulik Lastri, yang membuat Shanum tersenyum kecil. “Itu semua, karena Bude Dewi tidak mau dianggap sebagai orang yang galak dan juga sombong. Cap orang yang ramah, dermawan sudah melekat pada dirinya, jadi, Bude Dewi menggunakan Bilik Lastri sebagai tameng. Ya … Bulik Lastri yang memang enggak suka sama keluarga Kami, tentu saja senang dikasih panggung. Sedangkan Nenek, hanya jadi penonton saja. Nenek juga bungkam karena kebaikan Bude Dewi,” ucap Shanum melanjutkan menjelaskan secara panjang lebar dan gamblang, “Aduh Ibu,” pekik Shanum karena lengannya dicubit oleh Ibu. “Sudah, sudah, kok malah ceritakan aib orang. Kalau betul jadi gosip, kalau salah jadi fitnah. Sudah nduk, jangan bahas lagi hal itu.” Ibu lalu mengusap lembut lengan Shanum yang terpaksa dicubitnya, agar Shanum tidak makin banyak mengeluarkan semua hal yang harusnya menjadi rahasia bagi mereka. “Maaf Ibu, tapi, Shanum kadang capek sama keluarga Bapak.” Shanum berbicara sembari menunduk dengan suara pelan. Ya … tentu saja capek, Carla yang baru seminggu di sini saja, sudah merasakan capek dan terkaget-kaget akan kelakuan oh my wow nya Bulik Lastri and the gank. Lalu, apa kabar dengan Bu Murni dan Shanum yang bertahun-tahun bertemu makhluk tuhan yang enggak seksi, tapi super menyebalkan. Carla terlihat manggut-manggut akan cerita Shanum. Tapi, dia sedang memikirkan satu hal. Dirinya menikahi Faqih bukan tanpa imbalan dan perjanjian. Faqih menikahi dirinya dan dia membayar Faqih dengan jumlah fantastis untuk membebaskan tanah yang akan diberikan pada Ibunya. Apakah yang dimaksud Faqih adalah tanah ini? lalu mengapa sampai sekarang Bulik Lastri masih seenak udelnya ? apa Faqih bohong soal uang itu ? batin Carla mencari jawaban dari teka-yeki kemana larinya uang dari dirinya. Ya … sebenarnya itu juga bukan urusan Carla lagi, karena perjanjiannya hanya menikah dengan Faqih, dan tidak peduli kemana uang itu akan digunakan. Karena uang itu sudah menjadi milik Faqih. Hanya saja, setelah sampai di sini, kenyataan yang ada membuatnya bertanya-tanya. “Nak Ara, jangan dipikirkan ucapan Shanum tadi. Ibu enggak apa-apa dengan semua itu. Tapi, yang jadi pikiran Ibu adalah Faqih dan kamu. Setelah ini, Ibu tidak ingin menuntut banyak pada Faqih. Rasanya sudah sangat bersyukur sekali dia bisa membiayai adiknya sekolah hingga saat ini. Dan juga berencana agar adiknya nanti bisa kuliah. Itu adalah hal yang sudah membuat Ibu sangat bahagia. Untuk makan sehari-hari, Ibu dan Shanum tidak kekurangan. Walau hanya makan seadanya, tapi tetap bisa makan. Tapi, Ibu sadar diri, saat ini Faqih sudah punya Istri, jadi niatnya untuk menguliahkan Shanum jangan jadi sebuah kewajiban. Ibu tidak ingin membenaninya,” ucap Ibu mengalihkan pembicaraan ke arah lain, sembari menatap menantunya yang saat ini tengah diam. Carla menatap mertua, yang selalu saja mengalah pada keluarga dari almarhum Suaminya tersebut. Mulutnya tidak ingin lancang membahas masalah keuangan yang bukan menjadi ranahnya. Tapi, jika dipikir, saat ini semua yang menyangkut mertuanya, juga menjadi tanggung jawabnya. Walau, pernikhannya dengan Faqih hanyalah pernikahan kontrak. Dan mertuanya tentu saja tidak tahu-menahu tentang hal itu. Sebenarnya, Jika mau, Carla bisa saja membeli semua yang dia inginkan untuk kebahagiaan keluarga barunya ini. Tapi, saat ini, semua kartu milik Carla diblokir oleh orang tuanya. Dan barang-barang berharga miliknya tertinggal di rumah, beserta ponsel. Tapi semuanya aman tersimpan tanpa diketahui keberadaannya, oleh kedua orang tuanya. Mungkin, jika saatnya tepat, barulah Carla akan menggunakan semua itu untuk menyumpal mulut pedas bulik Lastri, dan juga, sikap pura-pura baik, Bude Dewi. Biarlah untuk saat ini, semua berpikir jika dirinya hanyalah seseorang yang tidak memiliki apa-apa. Carla berpamitan pada mertuanya, dan hendak beranjak ke kamar untuk beristirahat. “Ibu jangan ke rumah itu lagi. Aku tidak kuat melihat Ibu yang terus dihina. Jika itu aku yang dihina, aku tidak masalah. Tapi, aku sangat tidak kuat jika itu tentang Ibu dan Shanum,” ucap Carla sebelum benar-benar beranjak. Setelahnya, dia segera berlalu menuju kamarnya. Carla tulus mengatakan semua itu. Karena pelan-pelan, dalam waktu singkat, dia mulai menyanyangi keluarga barunya ini. Rasanya sangat nyaman, berada di dekat Bu Murni yang apa adanya, dan Shanum yang ceria. Carla masuk ke dalam kamarnya, tapi kedua netranya membola melihat siapa yang saat ini berada di dalam kamar dan menatapnya datar, tanpa senyum. “Apa Nona betah tinggal di sini?” “Hmmm … kapan kamu pulang ? dan bagaimana bisa masuk ?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD