Part 7

1077 Words
Carla menatap tajam ke arah Faqih yang saat ini sudah duduk di atas ranjang. Tapi, bukannya rebahan, Faqih malah mengambil bantal dan beranjak menjauh menuju ke arah lemari usang, untuk mengambil sarung. “Nona tidurlah, saya mau ke pos ronda dulu. Nanti kalau kemalaman, saya tidur di ruang tamu saja,” ucap Faqih sambil tersenyum pada Carla yang semenjak tadi masih mematung tanpa kata. Niat hati ingin mengerjai Carla. Tapi, si nona muda terlalu dingin untuk itu. Faqih pikir jika Carla akan panik saat dirinya mengatakan akan tidur di kamar ini. Tapi, yang ada, Carla malah datar-datar saja tanpa ekspresi. Faqih keluar dari dalam kamar diiringi tatapan datar Carla. Tapi, walau datar, ada rasa bersalah di hatinya. Karena seharusnya bukan dia yang menempati kamar ini, setelah pemiliknya datang. Malam panjang tanpa kata. Pagi menjelang, Carla terbangun karena mendengar suara berisik di luar pintu kamar. Rupanya itu suara Shanum yang membangunkannya. Carla heran, mengapa Shanum tidak langsung masuk ? bukankah biasanya langsung masuk ? tapi, pertanyaan Carla terjawab saat menyadari jika tadi malam, dirinya yang telah mengunci pintu kamar tadi malam. Karena tidak ingin Faqih masuk secara diam-diam dan mengambil keuntungan dari hubungan kontrak mereka. Gegas Carla turun dari atas tempat tidur dan membukakan pintu untuk Shanum. Adik iparnya itu tersenyum lebar pada Carla. “Mbak, kata Ibu, cepetan mandi, terus kita sarapan bareng.” Itu adalah hal yang disampaikan oleh Shanum, tanpa ajakan untuk shalat subuh. Setelah mengatakan hal tersebut, Shanum segera beranjak pergi meninggalkan Carla yang juga bergegas untuk mandi. Mereka semua telah berkumpul di atas tikar dengan nasi yang masih mengepulkan asap. Ditemani telur goreng, tempe serta tahu. Tidak lupa tumis bayam serta sambal terasi yang sangat menggugah selera. Makan pagi yang sangat berat. Dan lidah Carla mulai terbiasa akan hal itu. Awal datang, perutnya sempat begah dengan makanan pagi super berat seperti itu. Tapi, lama kelamaan menjadi biasa. Carla belum menimbang lagi berapa berat badannya saat ini. Pasti angka timbangannya sudah bertambah. “Makan yang banyak,” ucap Faqih pada Carla yang hanya mengangguk mengiyakan. Mereka mulai makan dalam diam. “Oya Bu, selama beberapa hari ini, Faqih belum balik ke kota karena belum ada borongan. Kebetulan, semalam, saat di pos ronda, ditawari Pak Deni buat bantu di sawahnya. Kebetulan beliau lagi kekurangan pekerja,” ucap Faqih, setelah beberapa saat suasana hening, karena bingung mau bicara apa. Apalagi Carla juga sangat dingin sekali, dan hanya bicara seperlunya saja. “Alhamdulillah, Ibu senang kalau kamu juga senang dengan pekerjaan yang ditawarkan. Apalagi, kamu enggak balik ke kota dan tinggal beberapa hari sama Ibu di sini. Itu adalah hal yang lebih membahagiakan,” balas Ibu yang memang sudah terbiasa dengan pekerjaan serabutan putra sulungnya tersebut. Dan hatinya juga senang, karena bisa bersama Faqih dalam beberapa hari ke depan. Selama ini, Faqih lebih sering jauh darinya, demi mencari uang untuk membiayai mereka. Pada awalnya, Bu Murni sempat menolak uang bulanan dari Faqih, dan hanya mengambil uang untuk biaya sekolah Shanum saja. Karena Bu Murni masih bisa bekerja sebagai pekerja bayaran baik di rumah orang yang hajatan, atau pekerja harian di sawah, untuk biaya makan. Tapi, semenjak Faqih mengancam tidak akan membiayai sekolah Shanum lagi, membuat Bu Murni pada akhirnya hanya di rumah saja dan mau menerima uang bulanan yang diberikan oleh Faqih. Ya … walau sesekali Bu Murni masih juga terima pekerjaan sebagai tukang masak di tempat orang hajatan. Mereka mulai tenggelam lagi menikmati makan pagi. Rasanya sangat canggung sekali. Padahal. Sebelum Faqih Pulang, Carla yang dingin masih bertanya satu atau dua pertanyaan. Tapi, saat ini sangat diam sekali. Mungkin lagi sariawan, batin Shanum sambil melirik kakak iparnya tersebut. “Mbak Murni !” suara teriakan di depan pintu depan, memecah keheningan pagi. Carla menarik nafas panjang karena mulai hafal suara siapa itu. Gegas Bu Murni mencuci tangannya dan berjalan ke depan, sebelum si empunya suara kembali berteriak dengan tidak sabaran. Carla juga segera mengakhiri sarapan paginya, dan gegas beranjak untuk mengikuti Ibu mertuanya. “Mbak Murni dicariin Ibu sama Mbak Dewi. Semalam main hilang saja dari rumah. Apa ikutan marah ? la mantumu itu lancang, jadi wajar to kalau aku tegur,” ucap orang yang baru datang tersebut. Tidak lain dan tidak bukan adalah Bulik Lastri. Tentu saja dengan gayanya yang seperti biasanya. “Iya, kamu pulang saja dulu. Nanti aku nyusul ke sana,” ucap Bu Murni cepat tidak ingin memperpanjang kata, karena melihat Carla yang juga ikut menyusulnya ke depan. “Ibu mau ke mana ?” tanya Carla yang tidak suka jika Ibu masih saja bersikap lunak pada Bulik Lastri yang bermulut tajam. Bulik Lastri menatap tidak suka pada menantu kakak iparnya. Baginya, kehadiran Carla sangatlah mengganggu. Apalagi dengan sikap kurang ajar dan juga sikap menentang yang ditunjukkan oleh Carla sangatlah mencemaskannya. Dia takut, jika kakak iparnya akan ikutan seperti itu. Tapi, Bulik Lastri tentu saja tidak menampakkannya, dan tetap bersikap arogan seperti biasanya. “Gara-gara kamu, pekerjaan yang harusnya bisa diselesaikan Mbak Murni tadi malam jadi tertunda. Rumah Mbak Dewi masih kotor banget,” ucap Bulik Lastri tanpa saringan. Seolah-olah Bu Murni adalah pembantu yang mangkir tugas. “Kenapa harus Ibu yang bersihkan ? kalian ada banyak di sana. Lagian, semua makanan di sana, kalian juga yang makan. Jadi wajarnya, ya kalian juga yang membereskan kekacauan yang kalian buat. Dan bukan malah menyuruh Ibu yang kesana.” Carla berbicara sembari menatap tajam Bulik Lastri yang terlihat memerah wajahnya menahan marah. Baru kali ini dia dilawan seperti ini. Tanpa Carla sadari, Faqih dan Shanum yang berdiri tidak jauh dari mereka, tapi tidak kelihatan dari depan, tampak tersenyum melihat pembelaan Carla untuk Bu Murni. Selama ini, Faqih bukan tidak membela Ibunya. Tapi, Neneknya, Ibu dari Bapaknya yang selalu menjadi alasan dari semua itu, sehingga dia hanya diam saja. Apalagi Bu Murni selalu melarangnya untuk bersikap kasar. Untuk masalah tanah yang mereka tempati, sudah dibereskannya. Sehingga Faqih tidak khawatir pada Bude Dewi. Tapi, jika itu tentang Neneknya, Faqih selalu dipaksa untuk tidak boleh kasar. Apalagi saat ini, Bulik Lastri datang dengan embel-embel Bu Murni dicari oleh nenek Faqih. “Eh, kamu menantu baru kurang ajar sekali ! kok bodoh banget Faqih bisa dapat Istri yang ndak tahu adab kayak kamu ini ! kamu itu buat Ibu mertuamu malu saja !” Bulik Lastri bicara sambil melotot pada Carla. “Hmmm … lebih baik saya daripada situ,” balas Carla tidak mau kalah. Bulik Lastri sudah bersiap dengan sumpah serapahnya. “Kam_!” “Bulik !” Faqih berjalan ke arah mereka, membuat Bulik Lastri kaget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD