“Loh Faqih, sudah pulang rupanya?” tanya Bulik Lastri basa-basi sambil tersenyum masam ke arah Faqih yang hanya mengangguk.
“Apa di kota sudah habis pekerjaan sehingga kamu pulang kembali ke kampung kecil ini. Bulik Harap, kepulanganmu tidak menjadi beban buat Nenek bahkan Mbak Dewi yang sudah banyak membantu keluarga kalian,” lanjut Bulik Lastri lagi dengan wajah angkuh ditambah senyum mengejek yang sangat tidak nyaman sekali dilihat. Bukannya bertanya bagaimana kabar keponakan yang sudah menjadi yatim itu, malah menghina dengan bahasa yang menyakitkan hati. Tapi, Baik Faqih dan keluarganya sudah sangat hafal dengan semua itu. Sehingga rasanya kebal.
“Lastri, masuk dulu, dan duduk. Enggak baik bicara di depan pintu,” ucap Bu Murni mengajak Lastri untuk masuk dan duduk. Karena pembahasan Lastri sudah menjurus mengejek. Telinga tetangga itu setajam silet. Sekecil apapun bisa jadi gosip renyah untuk mereka.
“Di sini saja, aku enggak lama kok. Aku takut, kalau sampai duduk di kursimu, nanti aku ikutan kere kayak mbak Murni. Aduh … Almarhum Mas ku itu kok bisa ya nikah sama Mabak Murni ini. Padahal, dulu dia juga sudah punya calon istri yang sepadan sama keluarga kami. Ya itulah, akibat durhaka pada Ibu, hidup mas ku berakhir nelangsa. Eh, sekarang Faqih juga ikutan ndablek, dan malah dapat Istri enggak genah seperti ini !” mulut Bulik Lastri makin lancang saja menghina keluarga Bu Murni.
“Heh … kamu ! kalau datang hanya buat rusuh, mending pulang sana !” Carla yang sedari tadi diam. Merasa gemas melihat tingkah laku Bulik Lastri yang makin menjadi-jadi. Padahal. Memang begitulah Bulik Lastri. Dan keluarga Faqih sudah sangat maklum akan hal itu. Tapi tidak bagi Carla yang tidak terbiasa diperlakukan seperti layaknya sampah. Dia adalah nona terhormat yang bisa melakukan apapun semau hatinya. Tapi di sini, baru kali ini dia melihat manusia dengan mulut tajam seperti Bulik Lastri. Dan itu sangat mengganggu bagi seorang Carla.
“Nak Ara,” Tegur Bu Murni yang merasa tidak enak pada Bulik Lastri karena sikap berani Carla. Bu Murni hanya tidak mau timbul pertengkaran yang akan mengundang tetangga untuk datang meninton. Karena sudah terlihat satu dua orang yang mulai kepo, akibat suara tinggi Bulik Lastri.
“Aduh …aduh, Mabak Murni. Mimpi apa kamu bisa dapat mantu kurang ajar kayak begini. Seumur-umur baru lihat ada anak mantu yang berani sama orang tua. Padahal aku bicara kenyataan, dan Mbak Murni enggak bisa menyangkal kenyataan ini. Aduh Faqih … itu sih dosa kamu sama nenek dan juga Bude Dewi, karena kamu sudah menolak niat baik mereka menikahkan kamu sama janda kaya-raya itu. Kurang apa coba dia, masih cantik, kaya-raya, enggak punya anak dari suaminya yang sudah meninggal itu. La … ini, kamu malah dapat Istri kere dan juga enggak punya adab seperti ini. Bicara sama Bulik kok, kayak bicara sama anak kecil !” Bulik Lastri yang merasa marah akan perlawanan Carla, berbalik menghina dan memojokkan Bu Murni dan juga kebodohan Faqih yang menolak niat baik nenek dan Budenya.
Faqih menatap tajam ke arah Bulik Lastri. Dia akan baik-baik saja jika hanya dirinya yang dihina. Tapi, tidak jika itu tentang Ibu atau saat ini tentang Carla. Nona Muda yang saat ini telah menjadi istrinya. Ya … walau pernikahan kontrak, tapi tetap saja, carla adalah Istrinya yang harus dilindunginya. Walau Carla judes dan juteknya tingkat dewa. Tapi, Carla jugalah yang telah membantunya dengan pernikahan ini.
“Kam_!”
Carla hendak bicara lagi, tapi dengan cepat Faqih menautkan jemarinya pada jemari Carla dan menggenggamnya erat, mengisyaratkan agar Carla diam.
“Ini orang mulutnya enggak pernah sekolah kali ya!” Carla mulai lagi mengomel walau genggaman Faqih makin erat. Hingga akhirnya, Faqih melirik ke arah Shanum, memintanya agar membawa Carla ke dalam kamar. Dengan ogah-ogahan Carla segera beranjak bersama Shanum sembari melepaskan genggaman Faqih pada tangannya, Tapi masih dengan tatapan tajam ke arah Bulik Lastri. Yang sebenarnya merasa ciut nyalinya bertemu lawan sepadan, tapi tetap berusaha bersikap angkuh.
“Bulik pulang saja, nanti saya sama Ibu ke rumah Nenek,” ucap Faqih halus, karena masih menghormati Bulik Lastri sebagai adik dari Bapaknya.
Bulik Lastri menatap tidak suka pada Faqih.
“Kamu ngusir Bulik ? ooo … kamu ikutan jadi anak durhaka semenjak menikah sama Istrimu yang kere itu ya !” tidak terima disuruh pulang oleh Faqih, Bulik Lastri mulai meradang. Dia maunya datang tanpa dijemput, pulang juga sesuka hati, kalau bisa diantar lebih bagus lagi.
“Sudahlah Lastri, kamu pulang saja, daripada buat keributan. Itu, sudah banyak yang menonton karena suaramu yang enggak bisa pelan itu.” Ibu juga mulai merasa marah, karena tampak beberapa tetangga yang mulai bisik-bisik. Biasa, mereka sudah dapat gosip renyah dan akan ditambah bumbu, sebagai bahan saat kumpul-kumpul nanti.
“La dalah, Mbak Murni juga ikut-ikutan ngusir aku ! sadar diri mbak, dimana mbak murni tinggal saat ini. Kalau bukan karena kebaikan dari Mbak Dewi, pasti Mbak Murni sudah diusir sejak Mas ku meninggal. Aduh, kasihan Mas ku, kok bisa punya Istri kayak Mbak Murni ini. Pada akhirnya ikutan kere dan meninggal nelangsa.” Bukannya segera pulang, Bulik Latri malah makin menambah hinaannya pada Bu Murni.
Faqih benar-benar sudah dikuasai amarah, tapi masih berusaha ditahannya. Mengingat jika wanita yang berdiri angkuh di depannya ini adalah adik bapaknya. Seandainya Bulik Lastri ini laki-laki, sedah sejak tadi Faqih menyeretnya keluar dan menghajarnya hingga babak belur. Tapi, Faqih masih sadar, jika sampai itu dilakukannya pada Buliknya ini. Bisa dipastikan satu kampung akan mengutuknya. Dan imbasnya adalah pada Ibu dan juga adiknya. Bu Murni yang menyadari jika putranya tengah emosi, segera memegang lengan Faqih dan mengusapnya lembut.
“Sudahlah Lastri, kamu duluan saja. Nanti aku nyusul dan bantu beres-beres. Ndak enak dilihat orang kalau kamu terus ngomel-ngomel seperti ini. Atau kamu mau gonceng aku, biar aku ikut ke sana sekarang ?” tanya Bu Murni yang sudah tahu jawabannya. Tapi, dia masih saja bertanya.
“Ora sudi aku gonceng Mbak Murni. Nanti ketularan Kere kayak mbak Murni. Cukup Mas Ku saja yang bodoh karena mau menikahi mbak Murni. Padahal dulu, Ibu sudah menjodohkannya dengan Mbak Parti, yang bakul besar di pasar itu. Aduh … ingat itu, kok aku jadi makin kesal sama mbak Murni ini !” Mulut Bulik Lastri makin kacau.
“Heh … pulang sana, kamu enggak diterima di sini !”
Brak !”
Tiba-tiba saja Carla keluar dari dalam kamar dan berteriak pada Bulik Lastri dengan disertai membanting pintu.
“Mbak Murni ! mantumu benar-benar ndak punya adab !”
Semua kaget.