jingga 10

1194 Words
Diraihnya benda pipih mahalnya itu dan menekan tombol nomor Ardymas. Tidak lama sambungan teleponnya diangkat oleh pria di seberangnya itu. “Ya, tuan?” jawab pria di seberang telponnya. “Ardy, kamu sudah tahu mengenai kondisi panti asuhan itu bukan. Ambil alih kepemilikan panti asuhan itu, dan pastikan kamu mendapatkannya. Kalau perlu beri harga mahal juga tidak apa-apa asal mereka setuju untuk itu. Aku tunggu kabar baik darimu, secepatnya!” “Baik, tuan.”   Kasa meletakkan benda pipihnya lagi di tempat semula. Kedua matanya kembali menatap foto Jingga dalam berkas itu, sebelum kemudian menutupnya kembali dan menaruhnya di atas meja nakas. Angkasa bangkit dari duduknya menuju ke lemari pakaian dan membukanya. Pria itu mengganti pakaiannya dengan baju santai sebelum kemudian bergerak untuk meneruskan pekerjaannya yang telah ia bawa dari kantor tadi. Tidak lama pria itu pun tenggelam dalam pekerjaannya. Suasana di kafe itu terlihat mulai ramai. Untung saja Beni sudah menyiapkan tempat untuk Angkasa dan juga teman wanitanya itu sedikit lebih tertutup dari keramaian sehingga bisa membuat Angkasa lebih nyaman, karena pria itu memang tidak suka dengan keadaan berisik sejak peristiwa yang lalu. Hal itu hanya membuatnya semakin tidak tenang. Angkasa duduk dengan tenang  di atas kursinya sejak beberapa menit yang lalu. Dalam hati, pria itu sibuk merutuki teman dekatnya, Beni, karena telah membuatnya berada dalam posisi merepotkan seperti ini. Terlebih lagi gadis itu belum menampakkan hidungnya sama sekali sedari tadi, membuat Angkasa yang pada dasarnya tidak suka menunggu menjadi semakin kesal karenanya. Dilemparnya pandangan ke luar jendela, sibuk mengamati keadaan ramainya jalanan di kota. Sebelum kemudian suara lembut seorang gadis  terdengar menyapanya. “Hai, apa kau yang bernama Angkasa?” tanya gadis itu. Angkasa lalu menoleh ke arah asal suara tersebut. Dilihatnya sosok seorang gadis dengan tinggi semampai memakai setelan kemeja yang dipadu dengan jas ketat dan juga rok span pendek beserta tas kecil dan high heelsnya, tengah berdiri menatap dirinya. Tipe pekerja kantoran, batin Angkasa. “Ya, apa kau yang diutus temanku untuk menemaniku hari ini?” ucapan yang lebih seperti pernyataan itu tidak segan-segan dilontarkan oleh Angkasa dengan wajah datarnya. Bukannya merasa tersindir, gadis itu malah melempar senyum ke arah Kasa sembari menyibak rambut hitam legam panjangnya dari atas bahu. “Sepertinya begitu. Perkenalkan, namaku Sania.” Gadis bernama Sania itu mengulurkan satu tangannya untuk berjabat tangan dengan Kasa. Angkasa hanya melirik sejenak bermaksud untuk mengacuhkan gadis itu, tapi kemudian dia mengingat temannya, Beni, itu pasti akan membuatnya pusing dengan segala ocehannya nanti. Alhasil Kasa menerima jabat tangan gadis itu meski sejenak. “Kau memang terlihat dingin seperti yang dibicarakan ya. Tidak apa-apa. Tidak masalah buatku.” Ucap gadis itu dengan senyum kecilnya. Dengan anggun Sania mengambil tempat duduk di depan Kasa. “Apa kau sudah memesan makanan?” tanya gadis itu lagi. Dbukanya menu makanan yang sudah disiapkan di sudut meja mereka sembari meneliti isinya. Angkasa memerhatikan gadis itu dalam diam. Wajah yang cantik dengan tubuh proporsional yang pasti bisa dengan mudah memikat banyak pria di sekitarnya. Gerak gerik tubuhnya juga menandakan bahwa gadis itu memiliki selera yang bagus dan harga diri yang tinggi. Beni memang pintar memilihkan seorang gadis untuknya. Namun sayangnya untuk saat ini Angkasa sedang fokus dengan gadis yang baru saja didapatnya. Andai dirinya belum menemukan gadis itu, mungkin Angkasa bisa mencoba untuk bersikap lebih lunak dengan gadis di depannya ini. “Maaf, aku tidak berniat menghabiskan waktu lebih lama di sini. Aku hanya berusaha memenuhi keinginan teman bisnisku untuk menemuimu saja. Permisi.” Ucap Kasa yang lalu mulai bangkit dari kursinya dan meraih kunci mobilnya yang ada di atas meja. Sebelum kemudian gadis itu kembali mengintrupsi gerakannya. “Bukankah keinginan temanmu itu juga untuk makan siang bersamaku?” ucap gadis itu tanpa menoleh ke arahnya. Dengan santai Sania masih tetap memerhatikan daftar menu yang ada di tangannya itu, dan lalu mendongak ke arah Angkasa. Dilemparnya senyum manis ke arah pria itu. “Luangkan waktumu untuk sejenak saja, atau aku akan mengatakan protes kepada temanmu itu. Bukankah tidak baik untuk membiarkan seorang gadis secantik aku sendirian di sini. Aku mau yang ini dan ini. Kau mau pesan yang mana?” ucap gadis itu kemudian. Ditunjuknya beberapa menu di sana dan lalu meletakkan daftar menu itu  di depan meja Kasa. Angkasa hanya bisa menghela napas lelah melihat sikap gadis itu. seperti dugaannya. Gadis ini pasti akan membuatnya repot dengan harga diri yang dijunjungnya itu. Akhirnya mau tidak mau Angkasa memilih kembali ke tempat duduknya lagi dan mengangkat tangannya, memanggil pelayan. Diraihnya daftar menu itu sembari menunggu pelayan sampai di depan meja mereka. Hanya terdengar suara denting sendok di antara mereka berdua. Angkasa memakan pesanannya dengan lahap dan secepat mungkin menghabiskan semuanya, membuat Sania yang diam-diam memerhatikan dirinya menjadi tertawa geli. Dan itu tidak luput dari pandangan Kasa. “Apa ada yang lucu?” tanya Kasa dengan sarkas. “Ya, itu kau.” jawab Sania. Diletakkannya sendok makannya kemudian dan memerhatikan Angkasa. “Apa sebegitu tidak senangnya kau bersamaku?” lanjutnya. Angkasa terdiam sejenak sebelum melempar senyum miring ke arahnya. “Kau sudah tahu jawabanku.” Ponsel Angkasa bergetar setelahnya. Dengan sigap pria itu meraih poselnya dan mengangkat panggilan dari seberang. “Tuan, saya sudah menyiapkan berkas-berkasnya.” “Bagus. Aku akan datang sebentar lagi.” jawab Angkasa yang lal memutus panggilan mereka. “Aku harus pergi, dan maaf tidak bisa menunggumu lebih lama. Aku sudah membayar semuanya, dan selamat tinggal.” ucap pria itu sebelum kemudian akhirnya benar-benar pergi meninggalkan Sania seorang diri. Sania hanya melihat kepergian Kasa dalam diam lalu melempar senyum miringnya. “Pria yang dingin. Tapi aku suka.” ucapnya lirih dengan masih memerhatikan sosok punggung Angkasa yang semakin menjauh dan hilang dari pandangannya. Kasa mempercepat langkah kakinya memasuki gedung kantor. Tidak jarang beberapa karyawan yang tidak sengaja berpapasan dengannya sontak menundukkan tubuh untuk menyapa. Langkah kaki panjangnya menuju sebuah elevator pribadi yang akan membawanya ke ruangannya. Sampai di sana Kasa segera memasuki ruangan tersebut dan langsung melihat sosok Ardymas yang sudah duduk menunggu dirinya sejak beberapa menit yang lalu. Ardy langsung bangkit dari duduknya untuk memberi salam kepada Kasa yang baru saja memasuki ruangan dan langsung menduduki kursi besarnya. “Ini berkasnya, tuan. Si Pemilik yayasan panti sepertinya merupakan orang yang suka dengan uang sehingga langsung tergiur begitu saya menawarkan harga nominal yang pertama.” terang pria yang lebih pendek dari Angkasa itu. Kasa tersenyum miring mendengarnya. Memang benar seperti dugaannya. Pemilik yayasan itu merupakan orang yang pelit dan suka memanfaatkan sesuatu dengan baik. Lihat saja gedung panti asuhan miliknya yang tidak terurus dengan baik. Jika dia benar-benar memikirkan panti asuhan itu, seharusnya dia minimal berusaha memperbaiki pagar mereka yang telah reyot di sana. Pagar merupakan hal penting dari tempat yang di dalamnya banyak anak kecil seperti mereka bukan. Bagaimana jika ada yang memasuki pagar dan berniat menculik anak-anak itu. Sebuah berkas baru saja berada dalam genggamannya. Berkas berisi surat-surat pentng mengenai kepemilikan atas panti asuhan tersebut. “Bagus, Ardy. Saya akan mengirim bonusmu setelah ini.” ucap Kasa yang langsung membuat wajah anak buahnya itu menjadi sumringah karena senang. “Terima kasih, tuan Kasa.” “Ya, dan satu hal. Tetap jaga rahasia ini dari kedua orang tuaku. Jangan sampai mereka tahu. Kamu mengerti kan.” pinta Kasa. “Saya mengerti, tuan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD