Jingga 6

1018 Words
Pagi telah tiba. Jingga telah bersiap dengan pakaian kerjanya seperti biasa. Gadis itu melangkah ke depan panti di mana ojek pesanannya sudah datang dan telah menunggunya di tempat. Jingga menerima helm yang dserahkan kepadanya lalu dengan hati-hati gadis itu menaiki kursi di belakang ojeknya. Mereka mulai melaju ke tempat di mana Jingga bekerja. Sedangkan di tempat lain, seorang pria masih terlihat memejamkan kedua matanya di atas ranjang berukuran besarnya. Pria itu tidak menghiraukan cahaya sinar mentari yang sudah masuk ke dalam kamar, membias menembus tirai jendela berukuran besarnya. Hingga kemudian sebuah dering telpon terdengar nyaring mengusik tidur nyenyaknya pagi ini. Pria bernama Angkasa itu megernyitkan kedua alisnya, merasa kesal karena sesuatu telah mengganggu tidurnya pagi ini. Dengan mata yang masih terpejam, pria itu meraih benda pipih berteknologi tinggi itu dan menggeser tombol hijau di layarnya. “Ada apa?” “Ada apa? Kau pikir jam berapa sekarang anak muda?” tegur pria di seberang teleponnya. Kelopak mata Angkasa mulai sedikit terbuka mengenali suara yang tengah menelponnya itu. “Papa?!” “Ya, apa kau tidak mengenali suara papamu sendiri, Kasa?” jawab Jadra, papa Angkasa itu dengan nada sarkas. Angkasa menghela napasnya pelan sembari mengusap wajahnya kasar. “Ada apa, pa?” “Di mana kamu? Sekertarismu menelpon papa karena atasannya tidak bisa dihubungi sejak tadi. apa yang kau lakukan Kasa? Kau melupakan tugasmu sekarang?” “Maaf, pa. Kasa kesiangan. Sebentar lagi Kasa akan datang ke kantor.” “Kau baru saja minum-minum semalam?” selidik Jadra kemudian “Hanya sedikit, pa. Sudah ya, Kasa mau siap-siap ini. Assalamualaikum.” tanpa menunggu jawaban dari papanya, Kasa lalu memutus sambungan telepon mereka. Dilihatnya jam di ponselnya yang menunjukkan angka 9. Pantas saja sekertarisnya itu mencari-cari dirinya. Sebentar lagi mereka akan mengadakan meeting penting bersama klien. Kasa mengerang kecil merasakan pening di kepalanya karena minuman semalam. Dengan perlahan sembari menjaga keseimbangannya, Kasa memasuki kamar mandi dan melakukan ritual bersih-bersihnya dengan secepat kilat. Tidak lama pria itu sudah melaju meninggalkan apartmen mahalnya menembus jalanan kota yang sudah mulai padat, dan berharap semoga dirinya tidak terlambat menghadiri meeting penting kerja samanya itu. “Bu Jingga!” seru seseorang yang terdengar dari arah belakang tubuhnya. Jingga langsung menoleh ke asal suara tersebut sebeum kemudian dirinya kembali membalikkan tubuh ke depan setelah mengetahui siapa yang baru saja memanggilnya. Mira. “Hei, kenapa malah tetap pergi. Kau tidak mau menungguku.” Protes gadis itu kemudian setelah berhasil mengejar teman kerjanya itu. “Untuk apa menunggumu, Mira. Semua orang juga tahu kau pasti bisa mengejarku dengan mudah khekhe!” canda Jingga sambil melempar tawa jenakanya. “Ah bukan itu maksudku. Tapi kan tetap saja kau tidak menghiraukanku.” Gerutu Mira sembari memonyongkan bibirnya. Jingga tersenyum geli melihat reaksinya. “Iya, baiklah. Maafkan aku ya, tuan putri. Lain kali aku akan menunggumu.” “Bagus. Kau mau ke kantin kan? Yuk. Aku sudah lapar.” jawab Mira dengan riang. Gadis itu menggamit lengan kurus Jingga dengan santai dan menyeimbangi langkah kecil gadis di sebelahnya itu. Mereka sesekali saling melempar candaan satu sama lainnya. Tidak jarang banyak siswa-siswi yang melempar sapaan ke arah mereka berdua dan tentu saja langsung dibalas mereka dengan tak kalah riangnya. Kedua gadis itu dengan santai menuju ke kantin sekolah. Mira menyuruh Jingga untuk duduk saja menungu dirinya yang akan memesankan makanan mereka. Jingga hanya menurut karena dirinya merasa percuma memulai perdebatan dengan gadis aktif seperti Mira. Tidak lama Mira datang dengan pesanan mereka di kedua tangannya. Setelah itu mereka sama-sama makan menikmati makanan masing-masing. “Mbak Jingga, apa kau tidak memulai mencari seorang kekasih?” tanya Mira kemudian. Kedua mata bulatnya memerhatikan Jingga sembari tetap mengunyah makanannya. “Hahaha untuk apa Mira? Aku sekarang ini sedang fokus mencari uang untuk membantu keuangan ibu asuhku di panti. Lagi pula mana ada juga yang mau dengan gadis cacat sepertiku.” “Loh memang kenapa dengan mbak Jingga. Mbak Jingga cantik kok. Beneran dah! Jangan terlalu dengerin omongan orang mbak. Cantik itu relatif. Percuma punya wajah cantik tapi hatinya busuk. Semua manusia itu juga punya jodoh masing-masing. Tinggal kitanya aja yang perlu usaha dan tawakal. Mira bener kan mbak?” seru gadis itu mencoba memberi wejangan untuk Jingga agar gadis itu bisa merasa sedikit lebih percaya diri dengan kondisinya saat ini. Dan Jingga hanya memberi senyuman simpulnya saja untuk menanggapi gadis di depannya itu. Jingga tahu bahwa Mira hanya bermaksud baik untuknya. Namun tetap saja, Mira tidak bisa mengerti sepenuhnya kondisi Jingga. Siapa pria yang menginginkan seorang gadis cacat dari panti asuhan sepertinya. Jingga sudah membuang keinginan untuk berumah tangga seperti itu jauh-jauh hari sebelumnya. Jingga hanya tidak ingin berharap dan berkhayal terlalu berlebih agar hatinya tidak semakin terpuruk nantinya. Untuk sekarang, fokus Jingga adalah mencari uang untuk membantu biaya kebutuhan hidup sehari-hari untuk adik-adiknya di panti, karena Jingga tahu ibu Virda juga berusaha keras untuk menghidupi mereka semua. Jingga hanya berharap adik-adiknya itu bisa tumbuh dengan sehat dan selalu diberi kemudahan dalam segala urusan mereka nantinya. “Kamu sendiri bagaimana dengan kekasihmu, Mira?” “Ah dia? Kami akhir-akhir ini jarang sekali berkomunikasi. Dia sibuk dengan kerjaannya di luar kota mbak. Tiap kali aku telpon, sering kali gak dijawab. Padahal kan aku kangen. Dasar pria menyebalkan!” sungut gadis itu kemudian. Jingga memerhatikan raut wajah Mira yang selalu bisa berubah-ubah sesuai dengan perasaannya sendiri, dan hal itu membuat Jingga merasa cukup terhibur dengan raut wajah ekspresif milik Mira itu. “Kamu yang sabar aja. Mungkin dia memang sedang sibuk, Mir. Kalau tidak sibuk pasti dia akan menghubungimu nanti.” Ucap Jingga dengan sabar. Dan sesuai ucapan gadis itu. tidak lama setelah Jingga mengatakan hal itu, tiba-tiba ponsel milik Mira berdering nyaring memperlihatkan layar dengan wajah kekasihnya. Senyu Mira yang tadinya hilang kini langsung merekah dengan raut wajah terperangah takjub dan tidak percayanya. “Wah, mbak Jingga hebat bener. Cowok aku langsung telpon setelah mbak Jingga bilang gitu. Bentar ya mbak. Aku jawab telpon dulu hehehe!” seru Mira yang langsung menekan tombol hijau dan mengangkat telpon kekasihnya itu. jingga kembali melempar senyum sembari geleng-geleng kepala melihat tingkah teman dekatnya itu. Dilanjutkannya makan siangnya yang sempat terhenti tadi sembari menunggu Mira selesai membayar kerinduannya bersama sang kekasih. Angkasa menyenderkan punggungnya di punggung kursinya seperti kemarin. Pusing akibat minuman semalam masih sedikit terasa namun untungnya dia bisa menyelesaikan rapat hari ini dengan baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD