Jingga 7

1487 Words
Angkasa menyenderkan punggungnya di punggung kursinya seperti kemarin. Pusing akibat minuman semalam masih sedikit terasa namun untungnya dia bisa menyelesaikan rapat hari ini dengan baik. Tidak lama Angkasa menyenderkan tubuhnya lalu terdengar suara ketukan pintu dari sekertarisnya, Almira. Gadis itu masuk setelah mendapat persetujuannya dengan membawa secangkir kopi yang telah dipesannya. “Ini kopi pesanan pak Angkasa.” ucap gadis itu sembari meletakkan cangkirnya di atas meja. “Ada lagi yang anda butuhkan pak Angkasa?” lanjutnya. “Tidak ada. Apa jadwalku selanjutnya, Mira?” tanya Angkasa kemudian. Pria itu meraih cangkir kopinya dan menghirupnya sedikit demi sedikit. Menikmati rasa kafein yang mulai menyebar ke dalam tubuhnya. “Saat jadwal makan siang nanti, anda ada pertemuan dengan Group K di hotel SAFA, pak.” jelas Mira. Angkasa melihat jam tangan mahalnya yang bertengger nyaman di pergelangan tanganya. Sebentar lagi sudah jadwal makan siang. “Sebentar lagi jadwal makan siang. Setelah itu ada lagi?” “Tidak ada, pak Angkasa. Itu jadwal terakhir anda untuk hari ini.” “Baiklah. Kalau begitu sebentar lagi saya akan pergi. Tolong kamu urus sisanya, Mira.” “Baik, pak.” “Ya sudah kalau begitu. Itu saja.” ucap Angkasa mengakhiri pembicaraan di antara mereka. Almira mengerti maksud atasannya itu. Gadis itu pamit undur diri keluar dari ruangan Angkasa. Selepas kepergian sekertarisnya itu, Angkasa membereskan berkas-berkas pentingnya yang ada di atas meja dan menyimpannya dengan rapi. Diraihnya jas kantornya sebelum kemudian pria itu beranjak pergi meninggalkan kantornya. Angkasa menyetir mobilnya dengan cukup santai, menembus jalanan kota yang sedikit padat karena jadwal makan siang memang sebentar lagi akan datang. Teriknya panas matahari tidak membuat pria itu merasa gelisah berkat fasilitas mobil mewahnya itu. Kasa menghentikan laju mobil mewahnya di perempatan jalan, sebelum lampu merah akhirnya menyala. Butuh beberapa detik untuk menunggu lampu merah kembali berubah menjadi hijau. Pandangan mata Angkasa menyebar ke jalanan sekitar sembari membunuh waktu, hingga kemudian sosok seorang gadis yang berjalan menyeberang tepat di depan mobilnya berhasil menarik atensi pria itu. Satu sosok gadis yang melangkah dengan sedikit pincang, yang dibantu dengan satu tongkat untuk menyangga tubuhnya tengah berjalan dengan tenang berbaur bersama pejalan kaki yang lain. Kedua bola mata Angkasa bergerak mengikuti langkah kaki sosok gadis itu sembari menahan napasnya tanpa sadar. Sontak saja pria itu kembali mengingat peristiwa kecelakaan bertahun-tahun yang lalu, yang telah disebabkan olehnya yang bodoh itu, yang telah menimbulkan kematian pasangan suami-istri hingga masuk ke dalam berita harian saat itu. Angkasa sudah merasakan napasnya mulai tersengal-sengal setelah pandangan matanya sempat menemukan sebuah tanda hitam yang ada di siku kanan gadis itu. Gadis itu, gadis yang telah lama dicarinya selama belasan tahun ini. Gadis yang tiba-tiba hilang tanpa jejak di saat dirinya mulai menyadari kesalahannya sendiri. Gadis yang selalu menjadi mimpi buruk Angkasa karena selama bertahun-tahun ini dirinya dilanda rasa bersalah seumur hidupnya karena telah membuat kedua orang tua gadis itu pergi untuk selamanya. Gadis kecil yang selalu datang dalam mimpi buruknya untuk meminta balas atas perbuatannya dulu hingga membuat dirinya tidak bisa lepas dari obat penenang. Gadis yang saat ini baru saja melewati mobil depannya tanpa menyadari kehadiran seorang pembunuh orang tuanya tengah mengintainya saat ini. Angkasa langsung membuka pintu mobilnya untuk mengejar langkah kecil gadis itu, yang pastinya bisa dikejarnya dengan mudah. Dan baru saja satu kaki Angkasa menapak di atas tanah, lalu terdengar suara klakson mobil yang memekakkan telinganya, menyuruhnya untuk segera melajukan mobil karena lampu merah sudah berubah warna menjadi hijau. Angkasa menoleh ke arah belakang mobilnya di mana di sana masih berjajar beberapa mobil yang terhalang keberadaan mobilnya sendiri. Lalu pandangan mata Angkasa kembali menoleh ke arah laju langkah gadis itu yang masih tidak menyadari kehadiran dirinya di sana. Angkasa seperti dilanda keraguan besar dalam beberapa saat sebelum kemudian pria itu mengumpat dengan kesal lalu kembali masuk ke dalam mobilnya. Pria itu langsung mengegas laju mobilnya untuk mengambil jalur memutar dan berharap bisa mengejar langkah kecil gadis yang selama ini dinantinya itu. Namun usahanya kembali tidak berbuah hasil. Angkasa kehilangan jejak gadis itu setibanya dirinya di tempat. Angkasa melangkah ke luar dari mobilnya dan langsung menyebarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari sosok gadis cacat itu. Dirinya sudah terlihat seperti orang lingung yang tersesat di tengah keramaian saat ini. “Sial, sial, sial!” umpat Angkasa di tepi jalan. Satu tangannya menyugar poni rambutnya ke belakang saking frustasinya dirinya karena telah kehilangan jejak gadis itu. Bahkan gadis dengan cara jalan seperti itu saja dirinya tidak bisa mengejarnya. Astaga, bisa dibayangkan bagaimana frustasinya Angkasa saat ini. Lalu kemudian pria itu kembali mengingat jadwal pertemuannya bersama klien yang sebentar lagi mulai. Sekali lagi Angkasa mengumpat kesal. Diliriknya jam tangan mahalnya yang menunjukkan kurang beberapa menit lagi harusnya kliennya datang di tempat. Angkasa tidak bisa membuat klien itu menunggu lebih lama. Dengan terpaksa, pria itu kembali memasuki mobilnya dan melajukannya meninggalkan tempat itu. Dalam perjalanannya, Angkasa memencet tombol di layar kotak perseginya untuk memanggil anak buah kepercayaannya. “Halo, tuan?” jawab pria yang ada di seberang telepon. “Ardimas, cepat kau cari gadis cacat dengan kaki pincang, siku bertompel dan jari kelingking yang hilang di area sini. Aku kirim lokasinya sebentar lagi.” “Siku bertompel, tuan? Bukankah itu ciri-ciri gadis kecil yang selama ini anda cari?” “Ya. Baru saja aku melihat gadis yang memiliki tompel sama dengan gadis itu. Aku ingin kau segera mencari dan memastikannya dengan benar. Kau mengerti Ardimas?!” tegas Angkasa sembari pandangan matanya yang masih fokus ke depan. “Baik, tuan. Saya akan mencari keberadaannya dan memastikannya kepada tuan Angkasa.” “Bagus. Cepat kerjakan. Aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi.” sambungan langsung diputus sepihak oleh Angkasa kemudian. Setelah menyelesaikan percakapan itu, Angkasa menarik napasnya dalam-dalam sebelum kemudian menghembuskannya dengan pelan. Pria itu melakukan tarikan napas beberapa kali hanya untuk menenangkan kerja debaran jantungnya yang masih saja berpacu cepat sejak tadi. Jemari tangannya mencengkeram kuat setir mobilnya dengan sesekali jemari tangan panjangnya mengetuk-ketuk setir mobil seakan menunjukkan betapa gelisahnya hati dan pikirannya saat ini karena terlalu sibuk memikirkan sosok gadis yang baru saja dilihatnya tadi. Dalam hati, Angkasa berharap bahwa tebakannya tidak salah. Angkasa berharap besar bahwa gadis itu benar-benar adalah gadis kecil yang selama ini dicarinya. Pikiran Angkasa mengenai gadis itu masih dibawanya hingga akhirnya mobilnya sampai di pelataran Hotel tempat pertemuannya dengan klien hari ini. Sekali lagi Angkasa menghembuskan napasnya dalam-dalam untuk menenangkan kembali detak jantungnya yang berderu begitu cepat. Dirinya harus bisa fokus untuk menghadapi kliennya saat ini, dan mengenyahkan sejenak pikiran mengenai gadis itu. Biarkan ajudan kepercayaannya yang mengurus semuanya. Setelah dirasa cukup, pria itu barulah keluar dari mobil mewahnya dan melangkah menuju tempat pertemuan mereka. Jingga membuka pagar panti dengan pelan dan memasukinya. Terlihat peluh sudah membanjiri pelipisnya setelah melakukan perjalanan dari tempat kerjanya ke panti, di bawah terik sinar mentari yang begitu panas hari ini. “Assalamualaikum!” salam Jingga sebelum memasuki rumah itu. “Wa’alaikumsalam, kak Jingga sudah pulang!” seru beberapa anak yang mendengar salam Jingga di sana. Mereka sontak bergegas berlarian untuk menghampiri kakak tertua mereka itu dengan riang. “Kak Jingga sudah pulang!” “Kak Jingga lihatlah, hari ini aku menggambar gajah!” “Kak Jingga, Ica mau mendengar cerita tuan ular yang semalam lagi, kak!” “Kak Jingga, aku juga mau mendengar cerita itu kak!” Terdengar suara sahut-sahutan dari anak-anak itu yang masih mengerubungi Jingga di tempat, hingga membuat gadis itu kewalahan untuk menjawab satu per satu ucapan dari mereka semua. “Hei, kalian semua, kalian jangan berkumpul di sana. Biarkan kak Jingga lewat dulu. Kak Jingga pasti lelah setelah bekerja, bukan.” suara Didi kembal mengintrupsi kegiatan adik-adiknya itu seperti biasanya. Jingga diam-diam bernapas lega karena merasa tertolong dengan kepekaan salah satu adiknya itu. “Oh iya benar. Kak Jingga pasti lelah kan!” “Kak Jingga biar Ica bawakan tas kakak ya. Sini tasnya.” “Ayo masuk kak, Jingga!” Dan kemudian mereka semua beralih menemani Jingga pergi ke dapur untuk mengambil minuman, menyelesaikan dahaganya. Beberapa dari mereka kembali berkumpul dan bermain bersama. Terdengar celotehan riang anak-anak itu lagi. “Jingga, kamu sudah pulang nak?” sapa ibu asuh Jingga yang datang dari arah belakang panti. “Ibu, dari mana?” tanya Jingga sembari meraih tangan ibu asuhnya untuk diciumnya. “Ibu ada urusan di luar sebentar tadi.” jawab Virda. “Lalu itu apa?” tanya Jingga sembari menunjuk sebuah berkas yang ada di tangan Virda. Virda sendiri buru-buru menyembunyikan berkas itu dari pandangan mata Jingga. “Oh ini, bukan apa-apa. Hanya berkas tidak penting saja.” jawab Virda kemudian. Nampak raut wajah tidak percaya Jingga ketika memerhatikan sikap ibu asuhnya itu, yang seperti tidak biasanya. “Benarkah? Kalau begitu kemarikan, bu. Biar Jingga yang membuangnya jika berkas itu benar tidak penting.” ucap Jingga sembari mengulurkan tangan ke arahnya. Virda langsung melebarkan kedua bola matanya mendengar ucapan Jingga. “Ti-tidak perlu, Jingga. Biar ibu sendiri yang membuangnya nanti.” “Ibu, Jingga tahu ibu sedang menyembunyikan sesuatu dari Jingga bukan. Jangan melakukan itu, bu. Jingga ingin membantu Ibu juga.” “Tapi ini bukan hal yang harus kamu pikirkan, Jingga.” “Tentu saja harus. Jingga juga anak ibu, bukan. Sekarang coba kemarikan berkas itu. Jingga tahu, pasti itu menyangkut panti ini bukan.” tebak Jingga. Pada akhirnya Virda menyerah dan memberikan berkas itu kepada Jingga untuk dilihatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD