jingga 5

1997 Words
Jingga untuk angkasa 5 “Kupikir kau akan kabur, Man. Ternyata kau sudah bersenang-senang di sini. Tapi maaf ya cantik. Aku harus membawa pria datar ini untuk bergabung bersamaku. See you soon!” ucap Beni yang lalu memberikan kedipan sebelah matanya untuk wanita itu. Beni langsung menyeret Angkasa untuk kembali masuk ke dalam di mana dirinya sudah memesan tempat untuk mereka bersenang-senang. Mereka melewati keramaian itu, dan menuju sebuah ruangan yang lebih tenang dan berkelas. Ruangan yang lebih private namun masih bisa menikmati pandangan sekitar mereka. “Duduklah. Aku pikir kau akan kabur lagi dariku.” celetuk Beni sembari mendudukkan diri di atas sofa lembut dengan santai. Kedua tangannya merentang di punggung sofa sedangkan Angkasa duduk dengan tenang di sisi sebelahnya. Angkasa sedikit lebih lega karena pria itu memilih tempat yang lebih tenang dari sebelumnya. “Kau baik-baik saja? Kenapa wajahmu terlihat pucat seperti itu?” tanya Beni yang masihh memerhatikan raut wajah temannya itu. “Hanya sedikit pening saja.” “Ada apa? Kau kembali mengingatnya?” tebak Beni. Hanya Beni yang mengetahui rahasia besar Angkasa selama ini. Dan itu bahkan karena dirinya memaksa Angkasa untuk menceritakannya semuanya di saat pria itu tengah merasa frustasi berlebihan hingga membuatnya melarikan diri dengan cara menenggak berbotol-botol minuman sebagai pelampiasannya. Saat itu Beni yang menemani Angkasa dan berakhir mengurus masalah yang dibuat pria itu setelah dirinya membuat kerusuhan dengan beberapa pelanggan di sana. Angkasa dengan air mata yang mengalir deras dan isak tangisnya akhirnya mau terbuka dan menceritakan semuanya kepada Beni yang sudah dianggapnya sebagai saudara sendiri itu. beni tidak bisa melakukan apa-apa selain membantu menenangkan pria itu dengan tutur katanya. “Jangan terlalu menyalahkan diri, Angkasa. Saat itu kau mabuk dan tidak sengaja melakukannya, bukan. Semua sudah lama lewat. Kau harus bisa berdamai dengan hal-hal yang sudah lalu dan memulai hidup barumu sekarang. Jangan terlalu terpaku dengan masa lalu arena itu bisa membuat masa depanmu menjadi berantakan seperti sekarang ini.” “Aku tahu, tapi ingatan itu rasanya selalu menghantuiku, Ben. Andai aku bisa menemukan gadis itu untuk meminta maaf kepadanya.” “Sudahlah. Aku mengajakmu ke sini untuk menghiburmu, bukan untuk membuatmu semakin menyedihkan seperti ini. Minumlah. Ini bisa membuatmu sedikit lebih tenang. Kau tenang saja, aku yang akan bertanggung jawab untuk mengawasimu nanti jika kau mabuk.” “Ck, dasar kau teman yang sesat!” umpat Angkasa. Namun tetap saja akhirnya pria itu meraih gelas berisi cairan pait di depannya juga. Mereka berdua sengaja menghabiskan waktu di sana dan menikmati malam bersama diiringi beberapa percakapan akrab seperti biasanya. “Hei, ucapan orang tuamu itu benar, nak. Ingat umurmu sudah 32 tahun. Kau harusnya mulai mencari seorang wanita untuk setidaknya bisa diperkenalkan kepada mereka. Aku bahkan akan melakukan pernikahan sebentar lagi. Bersyukurlah mereka tidak menganggapmu memiliki kelainan penyuka batangan.” “Hei, dilihat dari manapun juga aku masih terlihat seperti pria normal, Ben!” seru Angkasa yang merasa tidak terima dengan ucapan temannya itu. Beni hanya memutar bola matanya jengah menerima bantahan konyol Angkasa. “Apa yang kau katakan? Penyuka batangan itu tidak memandang wajah. Banyak pria baik-baik yang ternyata berotak s***p seperti itu.” “Benar juga. Sudah cukup. Jangan membahasnya lagi. Kau membuatku merinding!” “Ck, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kau juga harus berhati-hati, Kasa. Jangan sampai kelajanganmu ini dimanfaatkan oleh mereka, si pria penyuka batangan. Atau aku tidak akan menemuimu lagi.” “Cih sialan kau! Itu tidak akan terjadi. Aku masih normal, Ben. Dari dulu, sekarang dan untuk selamanya.” “Baguslah. Ngomong-ngomong bagaimana kalau aku menjodohkanmu dengan teman kekasihku? Aku pernah melihatnya, dan dia cukup cantik. Mungkin saja kau akan menyukainya.” Tawar Beni kemudian. “Tidak perlu.” Tolak Angkasa mentah-mentah. “Ayolah. Kau tidak perlu malu-malu untuk mencobanya. Cukup temui dia saja sekali. Bagus kalau kau menjadi ketagihan untuk bertemu dengannya lagi.” “Kau pikir aku tidak bisa mencari gadisku sendiri?” balas Angkasa dengan nada sarkasnya. Percayalah, wajah tampan ynag dimilikinya itu benar-benar membuktikan bahwa dirinya tidak membutuhkan bantuan siapapun untuk mencari seorang kekasih. “Fakta sudah membuktikan bahwa sampai sekarang pun kau belum menemukannya bukan. Sudahlah, kau ikuti saja kata-kataku. Lusa, kau harus datang dan menemuinya. Aku sudah membuat janji dengan gadis itu sebelumnya.” Putus Beni dengan santai, tidak mendengar penolakan teman lajangnya itu. “Apa?! Beni, kau tidak bisa melakukan itu dengan seenaknya. Aku tidak bisa!” protesnya. “Kau tidak bisa menolak, Kasa. Aku sudah membuat janji dengannya. Awas saja kalau kau tidak datang dan menemuinya. Aku akan membatalkan kontrak kerja kita yang baru, kau mengerti itu kan?!” tegas Beni. “Astaga, kau benar-benar sialan, Ben!” keluh Angkasa. Pria itu dengan pasrah menyandarkan punggung tegapnya, merasa lelah menghadapi temannya itu. “Khekhekhe terima kasih atas pujianmu itu.” jawab Beni dengan kekehan kecilnya. Senang sekali melihat kemenangan sudah di depan mata. Jingga tengah menyiapkan makan malam mereka dengan dibantu Ica, Didi, Endah. Anak-anak itu bertugas membawa piring-piring dan makanan untuk ditata di meja makan. Sedangkan Jingga dan ibu asuhnya yang memasakkan makanannya. Anak-anak itu bergerak dengan lincah seakan tidak membiarkan Jingga untuk bergerak lebih banyak. Terkadang perdebatan kecil di antara mereka bertiga yang berhasil membuat Jingga dan ibu asuhnya itu geleng-geleng kepala melihatnya. Setelah menyiapkan semuanya, ibu asuh Virda menyuruh anak-anak itu memanggil anak-anak yang lainnya untuk makan bersama. Tidak lama semua telah berkumpul di meja makan dengan senyuman riang mereka. Sebelum memulai makan, seperti biasa Didi yang akan memimpin doa untuk mereka, sebagai seorang pria yang tertua di sana. Dan tidak lama ruangan itu mulai terdengar suara dentingan alat-alat makan disertai beberapa celotehan dan candaan di antara mereka. “Apa kalian sudah menyikat gigi dengan benar?” tanya Jingga ketika memasuki kamar adik-adiknya. Hari sudah malam, dan ini sudah waktnya untuk mereka beristirahat. Jingga baru saja memasuki kamar yang telah ditempati mereka bersama sejak lama. Kamar yang luas dengan beberapa matras yang dijejer rapi untuk dijadikan sebagai ranjang mereka bertujuh, termasuk Jingga. Melihat kedatangan Jingga, anak-anak itu langsung menoleh ke arahnya semua. “Sudah, kak Jingga!” jawab mereka serempak. “Baguslah, kalau begitu mari kita tidur sekarang.” Ucap Jingga. Gadis itu mendekati anak-anak itu satu per satu untuk membenarkan selimut mereka sembari mengucapkan selamat malam kepada mereka semuanya. Setelah itu Jingga beralih ke sisi sudut kamar di mana ranjangnya berada, di sebelah Ica. Jingga memberikan senyum kecilnya ke arah gadis itu dan membenarkan selimutnya juga. “Selamat tidur, Ica.” ucap Jingga. “Selamat tidur, kak.” jawab gadis cilik itu. Waktu kembali berjalan semakin petang dan anak-anak itu sudah jatuh tertidur dengan pulas, kecuali seorang gadis kecil yang berada di sebelah Jingga, Ica. Gadis itu telah memejamkan kedua matanya namun tetap saja tidak bisa menyusul ke alam mimpi seperti saudara-saudaranya yang lain. Semakin dirinya berusaha, malah semakin membuatnya tidak bisa jatuh tertidur. Padahal Ica sudah merasa mengantuk sejak tadi. Lama-lama gadis itu merasa kesal sendiri hingga tanpa sadar dirinya menghembuskan napas dengan kasar. Helaan napas Ica masuk ke dalam pendengarn Jingga yang saat itu juga belum menyusul alam mimpinya seperti Ica. Akhirnya Jingga membalikkan tubuh ke arah gadis itu dan melihatnya. “Ica? Kau belum tidur?” tanya Jingga dengan pelan. Dirinya tidak ingin membangunkan tidur anak-anak yang lainnya. Mendengar suara Jingga, akhirnya membuat Ica ikut menoleh ke arahnya. “Kakak, Ica tidak bisa tidur.” Adu gadis kecil itu kemudian. “Kenapa tidak bisa tidur, sayang?” “Tidak tahu. Padahal Ica sudah mengantuk, tapi Ica tidk bisa tidur.” “Hm ya sudah kalau begitu. Ica mau dengar cerita kakak?” “Cerita? Mau kak!” “Husstt jangan keras-keras suaranya ya. Nanti yang lain bisa bangun.” Tegur Jingga sembari meletakkan satu telunjuknya di atas bibir. Ica ikut meletakkan telunjuknya di atas bibir seperti Jingga dan mengangguk kecil. Jingga tersenyum geli melihat tingkah menggemKasan gadis kecil itu. “Bagus. Sekarang kemarilah. Biar kakak ceritakan suatu cerita.” Ucap Jingga. Ica bergerak mendekat ke arah Jingga dan masuk ke dalam selimut gadis itu, bergabung bersama Jingga. “Nah, kakak dulu pernah membaca suatu cerita Fantasy yang berjudul My Mythical Mate karya Daisy. Di sana menceritakan seorang gadis kecil yang telah menolong seekor ular. Gadis itu tidak menyadari bahwa ular yang ditolongnya itu merupakan jelmaan dari seekor siluman ular. Sang siluman merasa jatuh hati atas kebaikan gadis itu dan ingin membawanya ikut pergi bersamanya. Namun nenek sang gadis tidak mengijinkannya. Si nenek berusaha menjodohkan cucunya dengan seorang pemuda pilihannya, dan hal itu membuat sang siluman ular menjadi marah dan akhirnya membunuh nenek gadis itu. Gadis itu sangat bersedih atas kematian neneknya hingga membuatnya memilih untuk menerima bantuan dari ular tersebut. Si ular telah menawarkan bantuan untuk mencari sang pembunuh nenek gadis itu asalkan si gadis mau ikut bersamanya dan menjadi pelayannya. Karena itulah cerita mereka dimulai. “Kenapa seperti itu? Apa itu berarti tuan silumannya sudah menipu gadis itu kak?” “Ya, si tuan ular telah menipu si gadis dengan berpura-pura membantunya.” “Wah jahat sekali dia!” Jingga hanya tersenyum menanggapi ucapan Ica yang terlihat kesal dengan karakter siluman ularnya. “Ica mau mendengar kelanjutannya?” “Mau kak. Ayo lanjutkan lagi!” “Jadi, pada akhirnya gadis itu mau meninggalkan dunia manusia dan masuk ke dalam hutan Terlarang, tempat di mana banyak siluman dan binatang buas yang tinggal di sana, untuk mengikuti sang tuan ular itu. semua itu dilakukannya untuk membalKasan dendam atas kematian sang nenek. Tuan ular membawanya menuju tempat tinggalnya yang berada di tengah-tengah hutan Terlarang. Si gadis melakukan tugasnya di sana sebagai seorang pelayan dan melayani segala keperluan tuan ularnya itu. lambat laun si gadis merasa dirinya telah dibohongi tuan ularnya sendiri karena sampai beberapa hari kemudian dirinya tidak mendapatkan lapora apapun mengenai pembunuh neneknya itu. Karena itu akhirnya si gadis memutuskan untuk pergi dari tempat itu dn pulang ke dunianya. Namun di tengah jalan si gadis dihadang oleh kawanan siluman serigala, dan akhirnya mati terbunuh oleh mereka. Sang tuan ular yang menyadari hal itu segera datang dan menghidupkannya kembali dengan menanaman Mustika ular miliknya di tubuh gadis itu. Si gadis kembali selamat dan mau tidak mau kembali ke tempat tuan ularnya lagi. Kebersamaan mereka akhirnya menimbulkan api cinta di antara keduanya. Namun si gadis berusaha menahan perasaan itu karena dirinya menyadari bahwa dunia mereka itu berbeda. Si gadis yang seorang manusia merasa tidak mungkin bisa bersatu dengan tuan ularnya yang berbangsa siluman. Dirinya merasa itu tidak akan mungkin terjadi. Karena itu, si gadis lebih fokus mencari cara untuk pergi dari tempat itu arena tuan ularnya tidak membiarkannya pergi. Hingga kemudian manusia serigala datang dan mengatakan bahwa si gadis adalah soulmatenya. Tuan ular merasa marah dan akhirnya terjadi pertarungan di antara mereka. Untunglah mereka bisa dilerai oleh teman-teman siluman mereka. Namun tuan ular masih merasa terancam dengan kehadiran teman serigalanya itu. Alhasil tuan ular merayu si gadis untuk membalas cintanya. Akhirnya si gadis luluh dan mulai menerima sang tuan ular. Namun kemudian kepercayaan itu sirna ketika si manusia serigala tanpa sadar membawa bukti-bukti kejahatan tuan ularnya. Dia membawa sebuah sisik ular yang selama ini dianggap sebagai pembunuh neneknya. Si gadis merasa marah dan akhirnya memilih pergi meninggalkan sang tuan ular. Hal itu membuat sang tuan ular menjadi terpuruk hingga menjadi gila. Dirinya menyesal atas kesalahan yang telah diperbuatnya dulu. Tidak seharusnya dirinya menipu si gadis hanya untuk mendapatkan hatinya. Sang tuan ular berusaha membawa kembali si gadis dan meminta maafnya. Si gadis akhirnya mau tidak mau kembali ikut bersama sang tuan ular itu. semua itu dilakukannya hanya untuk anak yang tengah dikandungnya itu. Seiring waktu, akhirnya si gadis mulai luluh dengan kerja keras dari sang tuan ular yang tidak henti meminta maafnya kembali. Akhirnya mereka bisa hidup bahagia dengan ketiga anak-anak mereka yang telah lahir. Sebuah cerita yang bagus, bukan?” kalimat itu adalah penutup dari cerita yang tengah diceritakan oleh Jingga untuk Ica. Diliriknya gadis kecil yang berada satu selimut dengannya telah memejamkan kedua matanya dengan rapat. Jiingga melempar senyum kecil ke arah gadis itu. dibenarkannya selimut mereka agar bisa membungkus tubuh mereka dengan hangat sebeum kemudian Jingga ikut bergabung bersama Ica dan menyusul alam mimpinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD