Jingga 8

1307 Words
Jingga dengan cermat membaca isi berkas tersebut dengan kedua alis yang mulai mengerut. Berkas yang berisi kontrak tanah dari panti asuhan mereka. “Ti-tidak perlu, Jingga. Biar ibu sendiri yang membuangnya nanti.” “Ibu, Jingga tahu ibu sedang menyembunyikan sesuatu dari Jingga bukan. Jangan melakukan itu, bu. Jingga ingin membantu Ibu juga.” “Tapi ini bukan hal yang harus kamu pikirkan, Jingga.” “Tentu saja harus. Jingga juga anak ibu, bukan. Sekarang coba kemarikan berkas itu. Jingga tahu, pasti itu menyangkut panti ini bukan.” tebak Jingga. Pada akhirnya Virda menyerah dan memberikan berkas itu kepada Jingga untuk dilihatnya. “Ibu, ini... “ Jingga tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi setelah membaca isi berkas itu. “Ibu sudah bilang bukan. Ini bukan hal yang harus kamu pikirkan juga, Jingga.” sahut Virda dengan melempar senyum mengerti ke arah Jingga. “Tapi, bu... “ “Sudahlah. Kamu jangan terlalu memikirkannya. Biarkan Ibu sendiri yang mencari jalan keluar untuk masalah ini. Ibu bisa meminjam uang ke tempat lain nanti. Lebih baik kamu bersihkan badan kamu. Ibu tahu, kamu pasti masih lelah setelah bekerja bukan.” “Iya, bu.” jawab Jingga kemudian dengan nada lirih. Gadis itu akhirnya pergi berlalu meninggalkan Virda sendiri. Angkasa masih berada di tempat meja makan di mana baru saja terjadi acara pertemuannya dengan klien di sana. Untunglah pria itu bisa datang tepat waktu sebelum kliennya datang tadi, sehingga si klien ini tidak menyadari sikap tidak profesional yang hampir ditunjukkannya tadi. klien barunya ini terbilang cukup sulit untuk ditaklukkannya. Karena itu, Angkasa tidak ingin melakukan kesalahan sedikit pun yang bisa merusak kerja sama mereka. Dan baru saja klien tersebut meninggalkan tempat setelah menyelesaikan acara pertemuan mereka. Angkasa memilih tetap duduk di tempatnya untuk sejenak, sembari memikirkan kejadian sebelum ini. Ingatannya kembali melintas di mana dirinya menemukan gadis beberapa saat yang lalu. Angkasa merasa yakin bahwa gadis yang ditemuinya tadi adalah gadis yang selama ini dicarinya. Ke mana saja gadis itu selama ini? Kenapa Angkasa begitu sulit untuk menemukan posisi gadis itu berada. Angkasa sudah memastikan kepada pihak rumah sakit saat itu, bahwa gadis kecil yang baru saja ditabraknya itu telah selamat. Setelah itu Angkasa tidak bisa menemukan jejaknya lagi karena gadis itu sudah tidak kembali tinggal di rumahnya lagi. Gadis itu seakan hilang di telan bumi, padahal Angkasa sudah mengerahkan beberapa orang untuk mencari keberadaannya saat itu, meski secara diam-diam agar kedua orang tuanya tidak mengetahui kelakuannya. Sampai sekarang bahkan Angkasa belum dapat menemukan gadis itu. angkasa lama-lama menjadi gemas sendiri. Jika gadis yang baru ditemuinya ini ternyata bukan gadis yang dicarinya, Angkasa akan memecat Ardimas yang dirasanya tidak becus dalam mencari gadis itu selama ini. Angkasa mendengus kesal sebelum kemudian satu tangannya meraih gelas winenya dan menengguk isinya hingga tidak tersisa. Setelah itu, Angkasa mulai bangkit dari tempatnya dan melangkah ke luar, menuju kantornya sembari menunggu kabar baik dari ajudannya itu. Angkasa masih sibuk mengerjakan tugas-tugasnya di kantor ketika dering telepon tiba-tiba memecah konsentrasinya. Buru-buru pria itu mengangkat telponnya untuk mendapatkan kabar baik dari ajudan setianya itu. “Ya, bagaimana tugasmu?” ucap Angkasa dengan tegas. Pria itu tidak ingin melakukan basa-basi lagi untuk saat ini. “Tugas yang mana, Kasa?” jawab suara pria di seberang telponnya. Angkasa sontak memelototkan kedua matanya tidak percaya mendengar suara Jadra, papanya saat ini. Buru-buru dilihatnya layar ponsel yang meman benar menunjukkan nomor ponsel papanya. Tanpa suara pria itu menggerakkan bibirnya, mengumpat atas sikap kecerobohannya dalam bertindak. Jangan sampai papanya itu tahu mengenai gadis kecil yang tengah dicarinya saat ini. “O-oh papa. Maaf, Kasa pikir orang lain. Ada apa papa telepon Kasa, pa?” tanya Angkasa kemudian. “Papa cuma mau ngasih tau kamu, nanti malam papa sama mama mau terbang ke Paris untuk menjenguk temen mamamu. Sekalian kita akan berlibur di sana. Mamamu pengin jalan-jalan katanya.” jelas Jadra. “Oh begitu. Kenapa mendadak sekali, pa?” “Kami juga baru tahu kabarnya barusan. Terus mamamu random punya ide seperti itu.” “Baiklah. Hati-hati di sana ya, pa. Papa harus jagain mama, biar gak ilang waktu belanja di tempat keramaian nanti.” pesan Kasa dengan nada jenakanya. Pasalnya pria itu juga pernah kehilangan jejak mamanya ketika mengantarnya belanja di mall. Hanum memang terlihat cukup jarang berbelanja barang-barang. Biasanya Hanum akan lebih memilih pesan online dan tetap di rumah. Namun sekalinya ingin berbelanja di luar, wanita itu terkadang terlihat lebih semangat dari yang dipikirkan banyak orang. Bahkan sampai Kasa yang saat itu bertugas mengantarnya berbelanja sampai kehilangan jejak saking gesitnya langkah kaki Hanum dalam berpindah-pindah tempat, membuatnya cukup kuwalahan mengimbangi kecepatan mamanya sendiri. Sudah mirip seperti ninja saja. Gerutu Angkasa saat itu. “Iya-iya. Papa sudah tahu mamamu itu suka ngilang sendiri kalau sudah belanja di mall. Papa pasti jagain mama.” sahut Jadra sedikit terkekeh kecil mendengar pesan anak semata wayangnya itu. “Jam berapa papa mama berangkatnya? Biar Kasa anter nanti.” tawar pria itu. “Tidak perlu, Kasa. Biar pak supir nanti yang anter papa mama. Kamu bereskan saja pekerjaan kantor. Jangan suka banyak minum. Tidak bagus untuk kesehatanmu, Kasa.” pesan Jadra sekaligus menegurnya. Pria paruh baya itu tidak menyadari senyuman kecil yang kini tersungging di bibir tipis Angkasa. “Iya, pa. Kasa ngerti kok. Papa tenang aja ya. Papa sama mama jaga kesehatan saja di sana. Kalau ada apa-apa langsung kabari Kasa, oke pa?!” jawab Kasa. “Baiklah. Ya sudah kalau gitu. Papa tutup telponnya.” lalu kemudian sambungan pun terputus. Angkasa meletakkan ponsel itu kembali di atas meja seperti sebelumnya. Diliriknya waktu sudah menunjukkan angka 5 sore, dan belum ada tanda-tanda dari ajudannya itu mengenai kabar gadis yang ditemuinya tadi siang. Angkasa melirik ke arah berkas-berkas yang tengah dikerjakannya saat ini. Rasanya pikirannya telah terpecah sedari tadi saking terlalu kepikiran dengan gadis tadi siang. Angkasa merasa tidak bisa tenang sebelum dirinya mendapat kepastian dari ajudan yang telah ditugaskannya untuk mengecek informasi mengenai gadis itu. mungkin lebih baik dirinya pulang saja sekaligus melewati jalan tadi di mana dirinya bertemu dengan gadis itu. Mungkin saja keberuntungan berpihak padanya, bisa bertemu kembali dengan gadis itu. Angkasa memutuskan untuk mengikuti keinginan hatinya itu. Dengan segera Angkasa membereskan berkas-berkas di atas mejanya dan membawanya pulang. Berniat untuk mengerjakan berkas-berkas itu di rumahnya saja. Baru saja pria itu membereskan berkas-berkasnya, lalu terdengar dering ponselnya kembali berbunyi. Buru-buru Angkasa menerima panggilan tersebut. “Halo, bagaimana tugasmu?” sahut Angkasa dengan cepat. “Tugasku tentu saja sudah beres, kau tahu aku adalah seseorang yang tidk perlu diragukan lagi bukan.” sahut pria di seberang telepon. Sontak saja Angkasa mendecih sebal karena dugaannya kembali salah. “Hei, nak. Apa segitu mengecewakannya kau mendengar suaraku? Aku bisa mendengar decak lidahmu dengan jelas di sini. Dasar tidak sopan sekali.” “Berhenti memanggilku dengan memakai sebutan itu. Kau terdengar lebih tua dariku, Ben!” “Tapi aku suka dengan sebutan itu. Sangat cocok dipakai untukmu yang masih labil ini.” “Aku tidak labil. Ada urusan apa menelponku? Aku sibuk!” ketus pria itu. “Aku hanya ingin mengingatkanmu dengan pertemuan kalian besok.” “Pertemuan apa?” tanya Angkasa. Seingatnya tidak ada jadwal pertemuan bersama klien di hari itu. Angkasa sudah memastikannya tadi dengan sekertarisnya, Almira. “Kencan butamu, tentu saja.” Terdengar helaan napas Angkasa setelah mendengar ucapan temannya itu. “Aku tidak bisa, Ben. Sudah kubilang aku sibuk.” Keluh pria itu. “Tidak ada penolakan. Aku sudah mengatur jadwal kalian. Besok temui dia di kafe XXX, dekat kantormu, saat jam makan siang. Jika kau tidak menemuinya, maka jangan harap aku akan melanjutkan kontrak kerja kita, kau mengerti kan, Kasa?!” tegas Beni sembari mengancam Angkasa. Meski sebenarnya Angkasa tahu bahwa itu hanyalah gertakan saja, namun tetap saja Angkasa tau bahwa dirinya tidak bisa menolak permintaan teman yang selama ini membantunya itu. “Ck!” Angkasa kembali mendecakkan lidahnya kesal. Hanya itu yang bisa dilakukan Angkasa sebelum akhirnya pria itu menutup telepon mereka. Angkasa bangkit dari duduknya dan lalu memakai jasnya. Lebih baik dirinya pulang saja ke rumah sembari melewati jalan tadi siang untuk memeriksanya kembali. Pria itu baru saja meraih kunci mobilnya sebelum kemudian suara ketukan terdengar, menghentikan niatnya untuk beranjak pergi dari tempatnya berdiri saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD