4. Afrah ( Berharap Bertemu Lagi )

907 Words
"Ya Allah." Aku memegang kepalaku yang pening. Hal yang pertama kali aku lakukan setelah membuka kedua mataku adalah beristighfar dalam hati. Kepalaku terasa pusing. Kepalaku terasa berat. Tubuhku lemas. Rasa pusing ini memang sering terjadi sejak tiga tahun terakhir. Seorang perawat menatapku lalu beralih membantuku untuk duduk. Perawat itu memberitahuku banyak hal mengenai kondisiku. Setelah sepeninggalnya pun aku tetap saja cemas sampai akhirnya pria beriris biru itu menatapku. Pandangan kami sempat bertemu. Hanya seperkian detik saja aku terkesima. Dia tampan. Berwajah blasteran. Ntah dia dari negara apa meskipun berada di Indonesia ini. Dan secepat itu aku merasa berdosa. Ya Allah. Apa yang baru saja aku lakukan? Bukankah sebagai wanita aku harus menundukan pandanganku yang bukan mahramku? Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Dalam hati aku beristighfar. Meminta ampun pada Allah bahwa aku salah. "Asalamualaikum." Suara sapa dan salam darinya membuatku terdiam. Aku masih tertunduk dan akhirnya aku membalas ucapannya. "Wa'alaikumussalam." "Saya minta maaf atas ketidaksengajaan asisten saya yang hampir menabrakmu." Aku terdiam sejenak. Aku masih menundukkan wajahku. Aku tidak berani menatapnya. Meskipun hatiku sebenarnya gugup dan deg-degan. Nada suaranya sangat pelan. Sopan. Ramah. Pertanyaannya sedikit membuatku merasa dikhawatirkan olehnya. Perasaan naluriahku sebagai wanita begitu senang sekaligus bersyukur. Ya Allah. Ada apa denganku? Apakah semudah itu aku begitu senang padanya? "Apa.. kamu, tidak apa-apa?" Aku menatapnya lagi. Menghargai dia sebagai lawan bicara yang seperlunya saja. Hanya seperkian detik lalu aku menundukan wajahku lagi. "Saya sedikit pusing. Insya Allah saya akan baik-baik saja. Terima kasih karena sudah menolong saya." Deringan ponselnya terdengar. Dia sedikit menjauh dan aku bernapas lega. Hanya 10 menit berhadapan dengan pria beriris biru ini. Selama itu aku melampiaskannya dengan meremas selimut pasien yang menutupi sebagian tubuhku karena gugup. Pelangi pelangi Alangkah indahmu Merah kuning hijau Dilangit yang biru Pelukismu agung. Ringtone alunan lagu pelangi yang berasal dari ponselku berdering. Nama Ayah terpampang di layarnya. Aku menerimanya. "Asalamualaikum Ayah." "Wa'alaikumussalam. Afrah? Kamu dimana nak? Kamu baik-baik aja kan? 1 jam Ayah menunggumu di restoran. Ayah sampai tidak makan saat jam istirahat." Lalu aku takut. Rasa bersalah itu semakin menyeruak. Aku sudah membuat Ayahku marah. "Maafin Afrah Ayah. Afrah, Afrah lagi rumah sakit." "Apa? Di-" "Halo? Ayah?" "Halo? Ayah? Ayah dengar Afrah? Halo?" Aku menurunkan ponselku. Ya Allah, baterai ponselku benar-benar mati total karena lowbat. Apa yang harus aku lakukan saat ini? Ayah pasti akan khawatir. "Butuh ponsel?" Aku mendongak, menatap pria beriris biru itu. Dia menyodorkan ponsel kearahku. "Hubungi keluargamu. Katakan pada mereka bahwa putrinya dirumah sakit." Aku masih diam. Aku menimbang-nimbang sejenak oleh tawarannya. Tapi aku teringat Ayah. Alhasil aku menerimanya ponselnya. Ponsel yang sangat mahal dan bermerek. Seketika aku kebingungan karena aku tidak tahu cara menggunakannya. "Maaf?" "Ya?" "Maaf. Bagaimana cara menggunakannya?" Dia terlihat bingung. Mungkin dia merasa heran kenapa aku sebodoh itu tidak mengerti. Tapi memang begitu. Aku memang gaptek. Lalu dia tersenyum tipis dan tatapannya beralih ke ponsel milikku yang bukan Smartphone. Sebuah ponsel yang hanya memiliki kelebihan radio dan senter kecil. "Berapa nomor ponsel orang tuamu? Saya akan membantu menghubunginya." Aku hanya mengangguk lalu menyebutkan nomor ponsel Ayah dan dia meloudspeker panggilan Ayah. Hanya butuh beberapa detik ketika suara Ayah terdengar. Dia memberikan ponselnya padaku lalu sedikit menjauh untuk memberikan waktu privasi padaku. *** "Ya Allah nak. Alhamdulillah Allah melindungimu." "Apa yang kamu pikirkan sehingga tidak memperhatikan jalanan raya saat menyebrang? Kamu benar-benar membuat semua orang khawatir dan repot." Aku berjalan dengan tubuh yang masih lemas. Di kananku ada Bunda yang mengamit lenganku. Lalu ada Ayah yang berada di samping kiriku. Dokter memberiku keputusan untuk rawat jalan saja dirumah. "Maafin Afrah Bunda. Maafin Afrah Ayah. Afrah tadi melamun." "Lamunin apa sih nak?" sahut Bunda yang masih mengomel. "Gak baik melamun. Melamun itu nak Afrah, salah satu kegiatan yang tidak bermanfaat. Cuma menguras pikiran  dan waktu kamu. Jangan melamun lagi. Cari kegiatan yang bermanfaat. Kamu mengerti?" "Iya Bunda iya. Maaf." Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ "Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat" (HR. Tirmidzi No. 2317, Ibnu Majah No. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). **** Sore menjelang. Hujan baru saja berakhir satu jam yang lalu. Aku bersyukur karena aku baru saja selesai menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim dengan melaksanakan sholat Ashar. Aku melipat mukenaku dengan rapi. Lalu aku meraih cadarku hanya untuk membuka jendela kamarku yang menampilkan rumah-rumah tetangga. Aku tinggal di sebuah kota Jantho yang berada di kabupaten kota Aceh Besar. Aku menatap ke langit yang begitu indah. Setiap hujan reda. Aku berharap pada Allah agar Allah menghadirkan pelangi di langit dan itu benar. Saat ini ada pelangi yang terlihat jelas di kedua mataku. Pelangi itu sangat indah. Ntah kenapa aku suka melihatnya sejak dulu. Hanya membayangkan keindahan dari Allah, tiba-tiba aku teringat pria beriris biru tadi yang menolongku di rumah sakit. Dia tidak terlihat lagi setelah Ayah dan Ibu datang. Wajahnya yang tampan tidak hadir lagi di depan mataku. Kemana dia? Apakah Allah mempertemukanku dengannya walaupun hanya beberapa menit saja? "Ya Allah, bolehkah hamba berharap bertemu dengannya lagi? Seorang pria yang telah Allah ciptakan begitu indah dan sempurna dimata hamba mengalahkan rasa keindahan pelangi yang selama ini hamba kagumi." Lalu aku mendongak langit. Aku tersenyum dan aku merasa malu. Mungkin saat ini pipiku merona merah. *** Afrah : Aku mulai tertarik sama dia walau hanya bertatapan seperkian detik. Kalian yang baca ceritaku, Doakan aku semoga aku bisa bertemu dengannya lagi. ___ Auhtor : Iya. Aku dan pembaca kamu doakan yang terbaik buatmu kok
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD