Aku menyeruput secangkir teh hangat. Rasa manis membuat moodku sedikit meningkatkan. Lalu aku menatap Pak Maulana. Pria paruh baya berumur 50 tahun yang sibuk mempersiapkan beberapa berkas di tangannya. Disebelahnya ada tiga orang pria muda yang mungkin berusia denganku dan sibuk membantu atasannya.
Hari ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan perbincangan penting dengan kolegaku setelah aku pulang dari rumah sakit karena menolong si wanita bercadar itu.
"Pak Fikri?"
"Ya?"
"Sebelumnya saya minta maaf sama Bapak. Tidak seharusnya Bapak kemari. Saya bisa datang ke Jakarta. Apalagi saya yang perlu dengan Bapak."
Aku hanya tersenyum. Pria paruh baya yang rambutnya sudah hampir memutih itu memancarkan aura kharismatik dan ramah.
"Tidak perlu merasa bersalah Pak Lana. Anggap saja tujuan saya kemari sekalian untuk berjalan-jalan menikmati kota umat muslim ini."
Pak Lama tersenyum ramah. Tapi aku benar kan? Kalau tidak, Mana mungkin aku bertemu dengan wanita itu. Wanita bercadar yang sepertinya terlihat gaptek dan pemalu. Bahkan akupun tidak tahu namanya sampai sekarang.
"Oh begitu ya. Kalau begitu selamat datang di kota ini Pak. Sekali lagi terima kasih."
"Sama-sama Pak Lana. Ah iya. Jadi bagaimana dengan kerjasama kita kali ini?"
"Begini Pak Fikri." Pak Lana mulai menyodorkan berkas pentingnya kearahku. Sebuah proposal yang sudah ia susun. Aku mulai membuka halaman pertama dan membacanya secara seksama.
"Sebentar lagi bulan Ramadhan 1440 Hijriah akan tiba. Jadi tujuan kami untuk bekerja sama dengan Bapak adalah kami ingin mendirikan sebuah siaran stasiun televisi bertemakan Dakwah dan Tausiah. Kami akan menyediakan narasumber dan penceramah yang baik berasal dari kota ini."
Aku masih membuka halaman demi halaman dengan serius. Membaca semua proposal kerja sama dari Pak Lana dan Tim nya.
"Kami kekurangan dana untuk mendirikan stasiun televisi ini Pak Fikri. Kami butuh dana untuk melancarkan semuanya. Termasuk gaji para karyawan, tim, dan kru serta dana-dana yang kami butuhkan lainnya untuk mengembangkan stasiun televisi siaran Islam ini. Kami berniat ingin mengajak Pak Fikri untuk berinvestasi pada perusahaan kami."
Aku menutup berkas proposal milik Pak Lana. Lalu aku menatap pria paruh baya itu dengan serius.
"Apakah penceramah dan narasumber sudah dipersiapkan?"
"Sedang di proses Pak. Saat ini tim kami sedang berkunjung ke beberapa pesantren dan beberapa majelis ilmu agama untuk mencari penceramah dan tokoh agama untuk diajak bekerja sama."
Aku hanya manggut-manggut mengerti. Sebuah kerja sama yang bagus dan akan menjadi ladang pahala untuk berbagi kebaikan di bulan suci nanti.
"Diproposal tersebut sudah kami jelaskan bahwa keuntungan saham yang akan di peroleh perusahaan Pak Fikri sebanyak 50%."
Aku mengangguk. "Baiklah. Saya akan mempertimbangkan lagi dengan membicarakannya pada atasan saya, Pak Amran. Saya akan mengabarinya dua hari lagi."
Pak Lana tersenyum ramah padaku. "Baiklah kalau begitu. Kami akan menunggu kepastian dari Bapak."
Setelah itu kami berbincang sejenak. Lalu Pak Lana membawaku ke sebuah restoran untuk makan siang bersama di hotel ini.
Kami menempati sebuah meja makan yang sudah di reservasi. Bertepatan saat itu, Seorang pemuda yang menjadi petugas hotel pun dengan sopan membawa nampan yang berisi makanan.
"Ini Pak. Ayo silahkan di cicipin."
"Aku menatap banyaknya menu makanan yang terlihat istimewa dan menggugah selera. Beberapa menu diantaranya terlihat asing bagiku."
"Ini merupakan menu kuliner khas kota ini Pak." ucap Pak Lana kepadaku dan menunjuk kearah piring yang berisi makanan yang dia maksud.
"Menu makanan ini namanya Ungkot Kemamah. Makanan khas suku Aceh yang terbuat dari ikan tuna rebus kemudian dikeringkan dan diiris kecil-kecil."
Aku mencoba mencicipinya. Masya Allah. Rasanya sangat lezat. Tak hanya itu saja. Akupun mencoba mencicipi menu masakan lainnya.
Wejangan sajian makanan dari restoran Pak Lana sungguh nikmat. Kebetulan beliau pemilik hotel ini. Sebuah ide terlintas di pikiranku. Akupun menatap Pak Lana setelah menenggak segelas air putih.
"Apakah koki disini bekerja dengan baik?"
"Alhamdulillah iya Pak Fikri. Koki disini benar-benar berkualitas." Pak Lana meminum secangkir teh hangat. Lalu meletakkannya lagi di atas meja.
"Mereka membuat semua menu masakan ini dengan teliti dan cermat sehingga tidak membuat pengunjung restoran ini akan kecewa dengan rasanya."
"Berapa koki yang Bapak miliki?"
"Sangat banyak. Ada apa Pak Fikri? Apakah anda tertarik untuk merekrut salah satunya?"
"Jika bisa. Saya akan melakukannya."
Pak Lana menatapku sejenak. Lalu ia tersenyum. Sebuah senyuman ramah yang sejak tadi membuatku bersyukur jika pria paruh baya ini benar-benar baik di ajak bekerja sama.
"Anda tidak perlu khawatir Pak. Setelah ini saya akan mengajak Anda bertemu dengannya. Salah satu Koki terbaik di restoran hotel ini."
Akupun mengangguk dan hanya melanjutkan makan siang kami dengan lancar.
***
أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ
Astaghfirullaåh. Astaghfirullaåh. Astaghfirullaåh. Allahumma anta ssalaam, wa mingka ssalaam, tabarakta ya dzaljalaali wal ikraam.
"Saya meminta ampun kepada Allah.(dibaca 3x) Ya Allah Engkau yang Maha Sejahtera, dan dari-Mu lah kesejahteraan, Maha Suci Engkau wahai Rabb yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan."
HR. Muslim no.591 (135), Abu Dawud no.1513, an-Nasa-i III/68, Ahmad (V/275,279), ad-Darimi I/311, Ibnu Khuzaimah no.737, dan Ibnu Majah no.928 dari Sahabat Tsauban radhiyallaahu 'anhu.
Aku meletkan tasbihku setelah berdzikir dan berdoa beberapa menit yang lalu. Aku melihat sajadah dan sarung yang aku kenakan dengan rapi.
Hawa mengantuk dan rasa lelah melanda diriku. Akupun segera membaringkan diri di atas tempat tidur. Aku mengenadah menatap langit kamar hotel yang mewah ini.
Seperti yang sudah-sudah. Disaat sedang hening seperti ini bayangan Devika selalu hadir dibenak dan pikiranku.
Wajahnya. Kecantikannya. Senyum manisnya. Raut wajah bahagianya. Semua menjadi satu.
Aku benar-benar tidak bisa melupakannya. Padahal kejadian itu sudah berlalu sejak beberapa tahun yang lalu.
Rasa cinta ini begitu besar. Sampai-sampai rasa cinta yang aku miliki untuk almarhum Devika tidak pernah lagi terbuka untuk wanita lain.
Aku begitu mencintainya. Terbelenggu dalam kekelaman seperti ini tidaklah mudah. Rasanya sungguh menyakitkan.
"Fikri?"
"Ya?"
"Aku mencintaimu."
"Terima kasih Dev."
"Seharusnya aku yang berterima kasih padamu Fik. Selama ini kamu sudah menunggu hatiku begitu sabar. Maafkan aku yang baru memyadarinya. Ah aku jadi tidak sabar untuk pernikahan kita nanti."
Aku tertawa geli. "Bersabarlah Dev. Berdoa lah pada Allah. Semoga semuanya berjalan dengan lancar."
"Aamiin. Aku mencintaimu Fikri."
"Aku juga mencintai Devika."
Bayangan masalalu itu lagi. Dan aku tidak akan pernah melupakannya. Aku mencintaimu Devika.
***
Fikri : Apa yang harus aku lakukan? Kalian yang baca ini beri aku saran.
___
Author : Terima kasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian.