Aku berjalan mondar-mandir gelisah. Dibalik tirai yang ada didepan mataku, aku tidak tahu dimana wanita bercadar itu berada. Dalam hati aku ingin marah pada Romi. Si pria 40 tahun yang hampir saja menabrak wanita itu.
"Pak Fikri?"
Aku menoleh kearah Romi. Aku berkacak pinggang. Aku menatapnya dengan tajam. Romi adalah seorang sekretaris pribadi yang sudah lama bekerja denganku dan paling jarang membuat kesalahan dalam mengurus sesuatu.
"Maafkan saya Pak Fikri. Saya tahu Bapak akan marah."
"Iya. Saya kecewa denganmu. Kamu tahu apa akibatnya jika kamu menabraknya?!"
"Maafkan saya." Aku melihat Romi menundukan wajahnya. Dia terlihat ketakutan padaku.
"Saya mendapat kabar bahwa istri saya akan melahirkan di Jakarta. Saya sangat cemas sehingga menganggu konsentrasi saya selama mengemudikkan mobil anda Pak."
Lalu aku terdiam. Aku tidak menyangka istrinya akan melahirkan. Sekarang aku paham kenapa dia membuat kesalahan hari ini.
Rasa emosi, amarah, dan kekecewaan seketika menghilang dalam diriku. Saat ini yang aku rasakan hanyalah sebuah rasa iba dan simpatik.
"Pulanglah ke Jakarta. Temani istrimu." ucapku akhirnya.
Romi terlihat terkejut. Dia mengangkat wajahnya dan menatapku tak percaya.
"Ta-tapi Pak, bagaimana dengan-"
"Saya bisa mengurusnya. Istrimu membutuhkanmu." potongku lebih cepat.
Dia terlihat berpikir sejenak. Aku tahu dia begitu berat hanya untuk meninggalkanku dan pekerjaannya, tapi aku sadar. Sebagai atasan aku tidak boleh egois. Dan juga, dia punya istri yang saat ini membutuhkannya.
Ah memikirkan hal itu, aku hanya bisa menatap miris hidupku. Jika Devika masih hidup. Mungkin aku juga akan bisa merasakan seperti posisi Romi saat ini. Suami siaga yang harus berada di samping istrinya ketika mau melahirkan.
Aku mengabaikan Romi sejenak. Aku menghubungi seseorang untuk mengurus kepulangan Romi sebentar lagi. Hanya beberapa menit setelah itu aku kembali menatap wajahnya.
"Tunggu didepan lobby rumah sakit. Beberapa menit lagi asisten saya menjemputmu."
"Keluarga Nona Afrah?"
Aku menoleh kearah suara. Seorang perawat berhijab pun berdiri di samping tirai pembatas pasien setelah membukanya. Tepatnya disamping wanita bercadar itu yang kini tengah berbaring.
Aku menatap Romi lagi. "Maaf saya harus mendatangi suster itu. Hati-hati dijalan. Semoga kelahiran istrimu lancar dan selamat."
"Terima kasih atas pengertiannya Pak Fikri. Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Aku segera membalikan badan mendatangi perawatan itu. Lalu aku berdiri dihadapannya dengan sopan.
"Maaf Pak ada yang bisa saya bantu Pak?"
Aku mengangguk. "Apakah benar pasien wanita ini bernama Afrah?"
"Iya benar Pak. Namanya Afrah. Anda siapa? Keluarganya atau suam-"
"Saya bukan siapa-siapanya. Saya yang menolong wanita ini. Apakah penyakitnya parah?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Setelah di periksa Nona Afrah memiliki gejala tifus. Dokter baru saja mengambil sampel darah untuk memastikannya."
"Ya Allah."
Aku menoleh kearah suara lirihan wanita yang berbaring di atas brankar. Wanita bercadar itu berusaha untuk bangun. Dengan cepat perawat itu mendekatinya dan membantunya untuk duduk.
"Hati-hati Nona. Kondisi anda sedang lemah."
"Kepala saya pusing."
"Iya saya mengerti. Dokter sudah mengambil sampel darah anda Nona. Harap menunggu sebentar."
Aku melihat wanita itu terlihat kebingungan. Lalu tanpa sengaja tatapan kami akhirnya bertemu. Dan secepat itu dia menundukkan wajahnya.
"Maaf Pak, permisi."
Aku hanya mengangguk sopan. Lalu beralih menatapnya lagi. Dan, dia kembali menatapku kemudian menundukkan wajahnya. Aku memajukan langkahku dan berdiri didekatnya.
"Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Aku terdiam sejenak. Suaranya sangat pelan dan halus dibalik cadarnya. Secara tidak langsung membuatku semakin penasaran. Aku melihatnya yang masih menunduk lalu beralih menatap kedua tangannya yang saling memainkan jari. Sepertinya dia sedang gelisah dan gugup. Atau mungkin hanya perasaanku saja.
"Saya minta maaf atas ketidaksengajaan asisten saya yang hampir menabrakmu."
Aku terdiam sejenak. Menunggu respon darinya yang hanya diam.
"Apa.. kamu, tidak apa-apa?" tanyaku dengan hati-hati.
"Saya.. "
Dia menatapku. Hanya seperkian detik lalu menundukan wajahnya lagi.
"Saya sedikit pusing. Insya Allah saya akan baik-baik saja. Terima kasih karena sudah menolong saya."
Deringan ponselku terdengar. Aku sedikit meminta maaf dengannya untuk menerima panggilan ini sebentar.
Aku menatap layar ponselku. Nama seorang kolega yang akan menemuiku dan sudah menunggu di ruang pertemuan di hotel. Aku berbincang sebentar sehingga membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit.
Lalu aku menatap wanita itu yang sudah kesekian kalinya tertangkap basah menatapku. Buru-buru dia kembali menudukan wajahnya.
Ada apa dengannya?
Dan rasa penasaranku padanya semakin besar. Kalau boleh jujur sebagai pria, Tentu saja aku penasaran bagaimana rupa wanita itu di balik cadarnya yang mungkin saat dilihat dari kedua matanya itu sudah sangat cantik.
****
Fikri : Aku penasaran sama dia. Apakah kalian penasaran juga?
Author : Iya Fikri. Kami penasaran. Tapi makasih buat kalian juga yang sudah baca part ini.