2. Afrah ( Pria Beriris Biru )

1124 Words
Cuaca terasa panas hari ini. Tapi tidak masalah karena sudah menjadi takdir Allah. Saat ini aku sedang memasak didapur bersama bundaku. Hari ini kami sedang memasak masakan kesukaan Ayah. Yaitu Mie Aceh dengan taburan daging ayam yang sudah di suwir kecil-kecil. Ah iya aku lupa. Perkenalan, Aku Afrah Amirah. Kalian bisa memanggilku Afrah atau Amirah. Sama saja. Saat ini usiaku 29 tahun. Penyuka pelangi karena indah. Sudah terbilang hampir kepala tiga tapi jodoh belum ada. Kalian jangan menertawaiku ya. Bukannya aku tidak laku atau tidak mau berusaha. Tapi memang belum bertemu jodohnya. Selama ini jika aku menyukai seseorang, aku hanya mampu memendam perasaanku sendiri dan tidak berani untuk menyatakannya. Aku ini pemalu. "Sudah selesai bikin mie Acehnya?" Suara Bunda membuatku tersadar dari lamunanku sejak tadi. Karena itu aku pun segera mematikan api kompor kemudian menghidangkan mie Aceh ayah ke piring. "Sebentar lagi insya Allah Ayah akan tiba." Aku mengangguk mengerti. Oh iya, Ayahku bekerja di sebuah restoran hotel ternama sebagai koki disana. Aku juga bisa memasak. Hasil pelajaran dan ilmu-ilmu memasak dalam berbagai resep inilah yang Ayah terapkan kepadaku. Ngomong-ngomong soal Ayah, Beliau tidak mengizinkanku bekerja ditempat lain. Ayah malah menyuruhku dirumah saja membantu Bunda. Ya memang, usia Bunda sudah 50 tahun. Sedangkan Ayah 55 tahun. Tentu saja jika semua pekerjaan Bunda akulah yang membantunya. Dulu kami memiliki asisten rumah tangga. Hanya setahun karena tak lama kemudian asisten tersebut kepergok mencuri barang berharga milik kami. Dan satu lagi, Ayah tipikal seorang pria yang mudah kecewa dan trauma sehingga dengan kejadian tersebut, Ayah tidak akan percaya lagi dengan asisten rumah tangga manapun. Kalau sudah seperti itu aku bisa apa? Tapi tidak masalah. Sebagai anak aku harus berbakti kepada kedua orang tuaku sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak." [an-Nisâ'/4:36]. Suara deringan ponsel milik ibu terdengar. Aku melihat ibu yang kini menerima panggilan tersebut. "Halo Asalamualaikum Ayah." Aku bisa mendengar suara ayah yang memang terdengar nyaring meskipun hanya samar-samar saja. Aku hanya menghedikan bahu tidak perduli dan memilih melanjutkan untuk mencuci piring-piring dan alat makan lainnya yang kotor setelah memasak hingga suara bunda kembali membuatku menoleh kepadanya. "Afra.. setelah cuci piring kamu kerestoran Ayah ya." Aku mengerutkan dahi. "Ke restoran? Bukannya Ayah akan pulang?" Bunda berjalan ke arahku kemudian meremas pundakku. "Katanya sih begitu. Tapi tiba-tiba di restoran sedang sibuk. Ada perusahaan ternama dari Jakarta yang sedang melakukan kegiatan makan-makan disana. Ya mungkin para bos-bos besar gitu. Ini mie Acehnya kamu pindahin ke wadah kotak makan ya." Aku pun mulai mengeluh karena saat ini sedang lelah. "Kenapa Ayah tidak makan disana aja sih Bun? Ayah kan pemilik restoran. Ayah bisa masak. Ayah juga koki. Ayah-" Dan aku tidak melanjutkan kata-kata keluhan ku saat bunda memegang bibirku. "Ini perintah. Jangan suka mengeluh. Bunda tahu itu kekurangan kamu. Tapi jangan di lakukan. Belajar ikhlas dalam hal apapun. Disana ayah bekerja. Mengumpulkan rezeki buat kita. Ayah juga tidak ingin memakan masakan restoran sekalipun buatannya. Masakan disana itu hak orang lain Afra. Bahkan di peruntukan untuk pengunjung restoran." Aku menudukan wajahku dengan malu. Ah satu lagi yang harus kalian tahu kekuranganku. Aku mudah mengeluh. Tapi aku akan berusaha untuk tidak melakukannya. Bunda pun akhirnya memeluk dengan erat. "Jangan sedih sayang." Bunda begitu sayang denganku sampai-sampai beliau mengusap punggungnya tubuhku dengan lembut. "Asal kamu tahu, Ayah lebih suka masakan buatanmu. Katanya enak. Bahkan sudah pintar bikin olahan resep yang Ayah ajarkan padamu." Aku tersenyum. Sungguh aku begitu malu dan menyadari kesalahanku. "Maafkan aku Bun. Insya Allah aku tidak akan mengulanginya lagi." "Baiklah kalau begitu. Segera siap-siap. Jangan sampai terlambat. Ayah pasti sedang menahan lapar disana." Akupun mengangguk dan tak lupa mencium pipi Bunda dengan sayang kemudian segera menuju kamar dan berganti pakaian bahkan tak lupa mengenakan cadar ku. Aku menutup semua auratku dengan bercadar ketika keluar rumah. Kebetulan jarak dari restoran dan rumahku tidak terlalu jauh mengingat posisinya saat ini bertepatan di tengah kota Aceh. Aku melangkahkan kedua kakiku menuju restoran sambil menenteng tas plastik berisi tiga susun wadah kotak makanan yang sudah di siapkan oleh bunda. Dari jarak beberapa meter, aku melihat beberapa pasangan tengah berjalan sambil bergandengan tangan. Ah, hanya melihat hal itu tiba-tiba hatiku hanya mencelos. Cuma bisa berkata, kapan aku seperti mereka ya? Tidak hanya itu, bahkan ada sepasang suami istri sambil mendorong babystoler yang membuatku semakin galau saja. Ya Allah, umurku sudah 29 tahun dan belum ada satupun Ikhwan yang meminang diriku. Tapi bagaimana itu bisa terjadi mengingat aku hanyalah anak rumahan. Sehari-hari aku hanya membantu Bunda, berdiam diri di kamar sambil membaca n****+ dan bermain internet di komputer. Ya sebenarnya aku memiliki teman sih dan lagi-lagi mereka semua sudah berkeluarga. Betapa sepinya hatiku apalagi- Ciitttt!!!!!! Aku terkejut. Nafasku tersengal-sengal hingga tanpa sadar aku menjatuhkan tas plastik yang berisi bekal makan ayah di jalanan. Tepatnya di samping kakiku. Aku syok. Astagfirullah, lagi-lagi hanya memikirkan masalah jodoh dan duniawi hampir saja sebuah mobil menabrakku jika saja pengemudi itu tidak mengeremnya secara mendadak. Aku memegang degup jantungku yang berpacu cepat hingga akhirnya aku terduduk dengan lemas. Kedua mataku berkaca-kaca. Aku beristighfar berkali-kali dalam hati bahkan aku sudah tidak memperdulikan orang-orang disekitarku yang mulai berdatangan. Aku merutuki kebodohannku bahkan tanpa sadar sudah menyebrang persimpangan jalan tanpa memperhatikan lampu lalulintas yang sedang menyala hijau. Seorang pria datang menghampiriku. Dengan cemasnya dia berusaha hendak membantuku. Aku menolak dengan sopan menandakan bahwa aku menjaga jarak agar tidak tersentuh dengan pria itu meskipun disaat situasi seperti ini. Kedua mataku memanas dan aku berusaha menahan diri agar tidak menangis karena syok saat ini juga dibalik cadar yang aku kenakan. Hingga akhirnya seorang pria muda berusia kisaran 30 tahun tiba-tiba datang melihat situasi. Aku tertegun dan menatap wajahnya yang begitu tampan berwibawa. Aura kharismatik benar-benar terpancar dari dirinya yang sepertinya seorang pemimpin perusahaan mengingat saat ini pria itu sedang berpakaian formal. Aku terkesima oleh ketampanannya walaupun hanya beberapa detik saja dan segera menundukan pandanganku karena sudah menatap seorang pria yang bukan mahramku sebagaimana dari Ibnu Katsir rahimahullah  berkata : "Ini adalah perintah dari Allah Ta'ala kepada hamba-hambaNya yang beriman untuk menjaga (menahan) pandangan mereka dari hal-hal yang diharamkan atas mereka. Maka janganlah memandang kecuali memandang kepada hal-hal yang diperbolehkan untuk dipandang. Dan tahanlah pandanganmu dari hal-hal yang diharamkan." (Tafsir Ibnu Katsir, 6/41) Dalam diriku yang masih syok dan berusaha untuk berdiri dengan tertatih, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana pria itu menatapku tanpa berkedip dibalik raut wajahnya yang panik dan cemas serta kedua iris mata yang berwarna biru dengan pakaian formalnya. Namun hanya sesaat, aku berusaha menghalau rasa pusing yang tiba-tiba hadir begitu saja. Aku berusaha berdiri dengan rasa yang begitu berat seolah-olah situasi disekitarku terasa berputar dan aku tidak mampu menahannya lagi hingga akhirnya semuanya menjadi gelap. *** Author :  Terkesima sebentar sama Si Fikri. Terus habis itu malah pingsan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD