Aku mengemudikkan mobilku dengan tenang. Dibelakangku ada Ayah dan Bunda yang sejak tadi banyak berbincang. Dimulai dari tentang keluarga Afrah. Proses akad nikah bulan depan. Adat istiadat. Konsep resepsi dan lainnya.
Disebelahku ada Faisal. Putra angkat yang aku sayangi berusia 7 tahun itu. Faisal sedang sibuk bermain game di ponselnya. Katanya dia lagi bertarung melawan musuhnya bernama Raihan. Si keponakanku yang ada di Samarinda dan selalu sok ketampanan bila ketemu denganku.
Aku tersenyum geli hanya karena mengingat Raihan. Ngomong-ngomong soal Faisal, kebetulan malam ini dia ikut bersama kami kerumah Afrah. Keluarga Afrah harus tahu bahwa aku mengadopsi 2 anak sekaligus. Faisal dan adiknya yang baru berusia 8 bulan.
Kedua mataku fokus menatap kedepan. Jalanan terlihat lancar apalagi saat ini jam menunjukkan pukul 21.00 malam. 20 menit berlalu setelah aku meninggalkan kediaman Afrah.
Karena Afrah, si puzzle yang harus aku pecahkan teka-tekinya itu membuatku pada akhirnya harus menikahinya. Aku sudah menjelaskan pada Bunda bahwa aku memilih Afrah daripada Fara. Alasannya simpel, karena Afrah membuatku tertarik. Ya tertarik. Tertarik karena menyimpan misteri kematian calon istriku di masalalu meskipun Bunda tidak mengetahui niatku yang sebenarnya.
Beberapa menit kemudian akhirnya mobilku tiba di bassement apartemenku. Aku mematikan mesin mobilku dan segera keluar di ikuti oleh semuanya.
Aku menatap Ayah dan Bunda saling berpegangan tangan bejalan didepanku. Sementara aku menggandeng tangan Faisal yang terlihat mengusap kedua matanya karena mengantuk.
"Faisal ngantuk ya?" tanyaku pada Faisal.
Faisal mendongakan wajahnya dan menatapku. "Iya Papa. Aku ngantuk. Apakah setelah ini aku boleh tidur."
Aku tersenyum tipis. "Tentu saja. Asal kamu jangan memainkan ponselmu lagi. Ah bagaimana dengan Raihan? Apakah dia kalah bertarung denganmu?"
"Justru aku yang kalah. Dia membawa sekelompok anggotanya hanya untuk menyerangku."
Aku tertawa geli. Saat ini kami memasuki sebuah lift untuk menuju kamar apartemenku. Sementara Ayah dan Bunda hanya tersenyum tipis menatap keakraban kami.
"Sabar Nak. Kamu bisa mengalahkannya besok atau kapanpun." ucapku lagi menghiburnya.
Faisal hanya mengangguk dengan polosnya sampai akhirnya kami tiba di lantai atas. Kami memasuki ruangan apartemenku dan tak lupa aku mengantarkan Faisal ke kamar tidurnya. Aku juga tidak lupa menyuruhnya sikat gigi sebelum tidur dan memastikan putraku itu tidur dengan nyenyak.
Butuh waktu 30 menit kemudian akhirnya Faisal tertidur dengan pulas. Aku memilih keluar dari kamarnya dan menuju kamarku sendiri.
Aku membuka kancing kemejaku satu per satu tepatnya didepan cermin besar yang ada di kamarku. Aku menatap raut wajahku yang membuatku terdiam. Raut wajah yang selama ini di penuhi guratan masalalu yang kelam.
Getaran ponsel di saku celanaku terasa. Aku mengeluarkannya dan membaca notif pesan singkat dari Fara.
Fara : "Ada apa Fik? Apakah ada hal yang penting? Mengenai pekerjaan?"
Aku membalas pesan singkat Fara. Satu jam yang lalu aku memberinya pesan singkat untuk bertemu secara langsung diluar. Tepatnya di sebuah cafe untuk membicarakan hal penting tentang pernikahanku dengan Afrah.
Fikri : "Bukan soal pekerjaan. Besok saja aku beri tahu ya. Kebetulan besok hari libur kan? Ah jangan bilang kamu memiliki janji dengan orang lain?"
Send.
Aku meletakan ponselku diatas meja kecil. Aku segera membuka kemejaku dan menggantinya dengan piyama tidurku bertepatan saat Fara membalasnya.
Fara: "Santai saja Fik. Kebetulan besok aku free."
Fikri : "Oke."
Send
****
Caffe Girls Brown. Jakarta
Aku tiba di salah satu cafe minimalis yang terletak di kota Jakarta 1 jam kemudian setelah terjebak macet selama 30 menit.
Suasana caffe yang hanya di d******i warna abu-abu dan coklat muda kali ini adalah rekomendasi Fara yang katanya tidak terlalu ramai dipenuhi pengunjung.
Aku memesan segelas coffe caramel yang menjadi favoritku selama tinggal di Jakarta dan tidak menunggu waktu yang lama ketika pelayan cafe seorang wanita muda mengantarkannya padaku.
"Terima kasih."
"Sama-sama Kak. Selamat menikmati."
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Aku menyesap coffe caramelku yang begiu nikmat dan berusaha mempersiapkan diri untuk membicarakan hal penting nanti pada Fara.
Pintu caffe terbuka. Aku menoleh kearah pintu dan Fara terlihat sumringah dengan raut wajahnya seperti biasa. Raut wajah yang aku akui memang cantik.
"Asalamualaikum Fik."
"Wa'alaikumussalam. Duduklah."
Fara duduk lalu tak lama kemudian memesan sesuatu di buku menu setelah beberapa menit kemudian pelayan muda tadi mendatangi kami.
Sepeninggal pelayan itu, Fara menatapku santai.
"Oh iya Fik. Ada apa? Katanya mau berbicara sesuatu?"
"Em.. iya. Kamu benar. Tapi.. sebenarnya aku tidak enak hanya untuk mengatakan hal ini."
Fara tersenyum geli. Sebuah senyuman manis yang selama mengenalnya membuatku senang melihatnya.
"Ya Allah. Jangan berlebihan Fik. Santai..."
"Tapi.." aku menatap Fara dengan ragu. "Apakah.. em gimana ya."
Tanpa diduga aku merasa canggung. Jantungku berdebar sangat kencang. Kebaikan kedua orang tua Fara dan sikap Fara yang tulus membuatku sungkan hanya untuk membahas permasalahan ini.
"Percayalah. Aku tidak apa-apa. Katakan saja."
"Baiklah.. jadi begini.."
Aku terdiam lagi. Fara sudah antusias menatapku dengan serius. Aku sedikit duduk tegak dan kini menatap Fara tanpa ingin menunda hal ini lagi.
"Maafkan aku Fara. Aku harap kamu tidak kecewa."
"Soal.."
"Aku.."
"Ya?"
"Em.. aku.."
"Aku kenapa Fik? Aduh jangan bikin penasaran deh." goda Fara dengan senyuman gelinya.
"Aku.. aku.."
"Ya?"
Aku menarik napas sejenak kemudian menghembuskannya secara perlahan.
"Aku akan menikah. Bulan depan. Dengan Afrah Amirah dan aku memilihnya sebagai calon istriku."
Senyuman diwajah Fara tanpa diduga perlahan-lahan memudar. Fara menatapku lamat-lamat sampai akhirnya aku melihat kedua matanya berkaca-kaca.
"Fara.. aku minta-"
"Hahahaha... "
Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia tertawa? Apakah ada yang lucu?
"Fara. Ada apa? Aku serius."
"Kamu lucu Fik. Hahaha. Kamu lucu. Ya Allah wajah kamu."
Pesanan Fara pun datang diantar oleh pelayan. Fara meminum segelas jus yang ia pesan. Aku menatap Fara tanpa berkedip.
"Aku minta maaf Fara. Aku.. aku lebih menyukai Afrah. Aku harap kamu dan keluarga kamu tidak kecewa."
Fara meletakan segelas jusnya keatas meja. Tanpa diduga Fara menghapus air mata yang menggenang di sudut matanya. Tiba-tiba aku merasa bersalah. Aku tidak tahu apakah aku menyakitinya atau tidak.
"Ya Allah.. softlens ini benar-benar mengangguku. Em sebentar ya Fik."
Tanpa diduga Fara terlihat sibuk merogoh tasnya dan mencari sesuatu disana. Aku bingung melihat ekspresi wajah Fara yang terlibat baik-baik saja dan malah tertawa seperti tadi.
Fara mengeluarkan cermin didalam tasnya. Aku menatap Fara yang terdiam. Kedua mata Fara mengeluarkan air mata. Kata Fara air mata itu karena softlensnya yang membuatnya terganggu.
Tapi.. ntah kenapa itu hanya sebuah alasan saja. Bukankah Fara tidak menyukaiku?
"Aduh maaf ya. Softlens ini benar-benar membuatku terganggu oleh air mata."
"Oh iya. Kalau gitu selamat Ya Fik. Semoga langgeng. Aku sih santai saja. Kan sudah aku bilang, aku tidak berharap apapun dengan kedekatan ini. Bukankah kita cuma teman?"
***
Fara yang sabar ya
Makasih sudah baca. Maafkan author yg beberapa hari ini sibuk.
Makasih sudah nunggu part ini. Insya Allah mulai besok rutin update :)