2 Minggu kemudian.
Aku memakai khimar dan cadarku dengan rapi setelah satu jam yang lalu aku mengirimkan pesan singkat pada Fara bahwa aku ada perlu dengannya.
Aku sudah selesai dengan semuanya, memastikan bila semua auratku tertutup dengan rapi. Akhirnya aku pun keluar dari kamarku.
"Afrah kamu mau kemana?"
Aku menghentikan langkahku ketika Bunda menegurku yang baru saja dari dapur membawa cemilan untukku. Cupcake Rainbow.
"Afrah mau izin ke sebelah Bun."
"Tempat Fara?"
Aku mengangguk. "Em, iya Bun."
"Ngapain? Ada perlu? Kenapa tidak melalui ponsel saja?"
"Maaf Bun. Tidak bisa."
"Kalian baik-baik saja kan?"
Seketika aku terdiam. Benarkah aku baik-baik saja? Kalau boleh jujur, semenjak Pak Fikri datang melamarku komunikasiku dengan Fara berkurang.
Apakah dia baik-baik saja?
"Afrah mau ke tempat Fara saja Bun. Sekalian berkunjung kerumahnya."
"Baiklah kalau begitu. Ah tunggu.."
Bunda berlalu memasuki dapur dan mempersiapkan sesuatu di kotak wadah makanan. Hanya 3 menit setelah itu Bunda berjalan kearahku.
"Ini cupcake rainbow. Beri Fara dan keluarganya dirumah ya. Titip salam dari Bunda buat Mama nya Fara. Kamu mengerti?"
"Iya Bun. Afrah kesebelah dulu. Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Aku segera keluar rumah dan berjalan di halaman untuk menuju rumah Fara. Aku pun sudah berdiri didepan pintu pagarnya. Aku melihat Tante Yasmin, Mamanya Fara yang sedang menyiram bunga dihalaman rumahnya.
"Asalamualaikum. Tante."
"Wa'alaikumussalam. Oh Afrah? Sini nak masuk."
Aku hanya mengangguk dan tidak lupa mencium punggung tangannya.
"Maaf Tante, apakah Fara ada?"
"Oh Fara- ah itu dia."
Kami pun sontak menoleh kearah pintu. Ya Allah, aku terkejut. Aku melihat Fara sudah rapi. Ditangannya ada tas dan koper yang bersiap untuk pergi. Tapi, Fara akan kemana?
"Eh ada Afrah.."
Dengan penuh senyuman, Fara melepaskan pegangan koper dan berjalan kearahku.
"Ada perlu apa Af?"
Seketika aku bingung. "Em aku-"
"Ayo sini, kita bicara didalam saja. Masih ada waktu 5 menit kok. Ah kalau begitu aku batalin dulu niatku yang ingin menghubungi taksi online."
Dengan santai Fara menarik pergelangan tanganku dan membawaku masuk kedalam rumah. Fara menyuruhku duduk diruang tamu bahkan dengan baiknya Fara berlalu ke dapur hanya untuk membuatkanku minuman.
Fara memang begitu. Meskipun aku hanya tetangga sebelah, dia selalu menganggapku seperti tamu spesial baginya.
Awalnya aku sungkan dan bagiku Fara tidak perlu repot-repot. Fara keluar dari arah dapur dan membawa nampan berisi teh hangat.
"Nih. Teh hangat. Diminum ya Af. Santai, tidak perlu sungkan-sungkan. Anggap saja keluarga."
Aku hanya bisa diam dan mengangguk kikuk. Fara menyajikannya didepanku dan aku tidak lupa memberikan kotak makanan pesanan Bunda buat Fara.
"Oh iya, ada perlu apa Af? Untung saja aku belum berangkat ke bandara."
"Em, Fara mau kemana?"
"Aku mau ke Swiss."
Aku terkejut. "Swiss? Jauh sekali."
Fara mengangguk. Fara menyeruput teh hangatnya. Raut wajahnya seperti biasa, ceria dan penuh senyuman.
"Ada pekerjaan yang lebih menjanjikan dengan penghasilan yang besar disana."
"Lalu.. bagaimana dengan pekerjaanmu di tempat Pak Fikri?"
Fara tersenyum kearahku. "Itu soal gampang. Tidak perlu khawatir. Aku sudah resign. Kebetulan kakakku ada di Swiss kok."
"Jadi, Papa dan Mama kamu akan menetap disini?"
Fara mengangguk. "Iya Af. Oh iya, selamat ya. Sebentar lagi mau menikah. Cieee.. calon istri."
Aku hanya tertawa hambar. Sebagai basa-basi bahwa sebenarnya aku ini sedang canggung jika Fara membahas soal pernikahan.
"Semoga langgeng ya. Fikri itu baik kok beneran! Dia pria yang asyik buat diajak mengobrol."
Seketika aku terdiam. Aku menatap Fara lamat-lamat. Aku berusaha mencari apakah ada kesedihan dan kekecewaan yang ia rasakan begitu mengetahui Pak Fikri akan menikah denganku.
"Fara.."
"Ya?"
"Kedatanganku kemari.. em aku ingin bertanya sesuatu padamu."
"Soal?"
"Pak Fikri."
Kami pun terdiam sesaat. Aku melihat Fara yang kini memainkan ujung hijabnya. Senyuman di raut wajahnya perlahan memudar. Seketika aku di relung rasa bersalah. Bahkan akupun menundukkan wajahku.
"Aku minta maaf Fara. Demi Allah aku tidak bermaksud merebut Pak Fikri darimu. Aku-"
Fara terkekeh geli. Aku mendongak menatapnya. "Ya Allah Af. Kamu lucu deh. Santai Afrah santai.."
"Aku sudah bilang dari awal sama Fikri. Aku tidak memaksa keinginan dirinya terhadap perasaanku Af. Orang tua memang saling memperkenalkan kami, tapi bukan berarti kami akan merasa cocok kan?"
Lalu aku terdiam. Fara memang benar. Tapi tetap saja rasa bersalah dalam hatiku begitu terasa sejak Pak Fikri melamarku. Aku hanya tidak Fara tersakiti. Itu saja.
"Sudahlah Af. Jangan dipikirkan.. aku dan Fikri hanya berteman kok. Aku baik-baik saja. Beneran deh. Ah ya ampun!"
Fara menepuk jidatnya dan berlalu ke dalam kamarnya. Aku hanya mengerutkan dahi dengan bingung. 2 menit kemudian Fara kembali keluar dan membawa goddybag berisi bingkisan yang sudah di bungkus kertas kado dengan rapi.
"Nih.. punya kamu. Kado pernikahan! Tadi malam aku baru saja membelinya bersama Mama."
Aku menggeleng cepat. "Ya Allah Fara, kamu tidak perlu repot-repot. Apalagi Tante tahu-"
"Hush diam! Nih ambil."
Tanpa bisa berbuat apapun aku hanya menerima goddybag tersebut lalu Fara pun memutari meja ruang tamu hanya untuk memelukku dengan erat. Aku pun membalas pelukan hangat dari Fara.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak Af. Mama sudah tahu. Tadi malam kami bertemu di salah satu restoran keluarga bersama Ibu Ayu. Ibu Ayu sudah menjelaskan semuanya. Tentang lamaran itu. Jadwal pernikahan kalian 2 Minggu lagi kan?
"Tapi Fara-"
"Dan Mama pun tidak mempermasalahkan semua ini. Kata Mama, siapapun yang dipilih Fikri, itu adalah hak dan keinginannya."
Fara melepaskan pelukan kami. Dengan tatapan lembutnya Fara menatapku sambil memegang kedua pundakku.
"Yang penting kamu bahagia. Kamu harus tersenyum di hari pernikahan kamu. Pak Fikri itu sepertinya baru saja move on dari calon istrinya dimasalalu. Kuharap kamu bisa membuat hati Pak Fikri jatuh cinta denganmu Af."
"Apakah dia memiliki masalalu yang buruk Far? Kamu tahu dari mana?"
Fara memundurkan memundurkan langkahnya. "Sepertinya begitu. Aku tahu saat ke ruangan kerjanya, aku melihat foto almarhum calon istrinnya. Foto itu masih terpajang disana. Orangnya cantik, Masya Allah."
"Tapi aku tidak mengetahui semuanya Af. Tidak mungkin kan aku bertanya semua itu padanya? Aku bukan siapa-siapa baginya. Aku yakin, dengan cinta.. kamu akan bisa membuat Fikri jatuh hati padamu."
Tanpa Fara sadari, kedua pipiku merona merah. Dari Fara aku tahu bawah Pak Fikri pernah mencintai seseorang di masalalu.
"Kata Ibu Ayu, Fikri juga menyuruh kamu berhenti bekerja di restoran untuk mempersiapkan pernikahan kalian kan?"
Aku mengangguk. "Iya Fara. Kamu benar."
Fara mengecek jam di pergelangan tangannya. "Wah sudah waktunya aku berangkat nih. 2 jam lagi jadwal penerbangan pesawatku."
Aku tidak banyak berkata selain memeluk Fara dengan erat. Seorang teman yang begitu baik dan pengertian selama ini. Kepergian Fara membuatku merasa kehilangan.
Fara terkekeh geli. "Makasih Afrah. Kuharap kita akan tetap saling berkomunikasi meskipun perbedaan negara dan waktu menjadi penghalang pertemanan kita."
"Insya Allah Fara. Kamu jaga diri baik-baik ya. Doakan aku, semoga pernikahan nanti lancar. Sekali lagi aku minta maaf sama kamu."
"Aamiin. Semoga lancar. Sudah aku bilang aku dan Mama baik-baik saja."
Kamipun akhirnya melepaskan pelukan. Aku mengantar kepergian Fara sampai ke depan pintu pagar. Kami sedikit berbincang sambil menunggu layanan taksi online Fara datang.
Aku menatap Tante Yasmin yang kini memeluk putrinya dengan erat. Ntah kenapa kedua mataku tiba-tiba berkaca-kaca air mata.
Fara sangat baik. Semoga Allah mempertemukan seorang pria yang sebaik dengan Fara. Lalu mobil taksi online tiba. Fara sudah memasuki mobil tersebut. Aku melambaikan tangan padanya sampai akhirnya kepergian Fara membuatku terdiam.
Fara benar. Aku harus bahagia. Dan aku janji aku akan menjadi istri yang baik untuk Pak Fikri agar Pak Fikri bisa jatuh hati denganku setelah yang ku tahu bahwa dia pernah mencintai seseorang dimasalalu. Ntah itu siapa.
***
Ada yang ngerasa hatinya deg-degan gak?