“Elena, dengarkan a-“
“Tidak … diam di tempatmu!” Elena mengangkat tangannya di depan dadanya, memberi isyarat agar Fredrick tetap diam di tempatnya.
“Elena ….” Fredrick masih terus memanggil nama istrinya. “Aku minta ma-“
“Cukup. Jangan berkata apa pun. Aku akan membawa anak-anakku dan meninggalkan rumah ini,” kecam Elena.
“Tidak. Itu tidak akan terjadi. Kau sudah berjanji jika kau tidak akan meninggalkan aku apa pun yang terjadi. Kau yang mengatakan seburuk apa pun aku, kau tetap akan bersamaku. Lalu, apa semua ini Elena?”
“Apa?” Elena mencodongkan wajahnya ketika suaranya kembali meninggi. Dia terkekeh sinis lalu menggeleng kemudian memijat dahinya. “Seharusnya aku yang berkata seperti itu, Fred. Apa semua ini? Apa yang telah kau sembunyikan kepada kami selama ini? Anak-anakku menganggapmu pahlawan mereka dan aku … aku bahkan membanggakan diriku yang telah menjadi ratu di istanamu. Tapi, ternyata … kau, ah …!”
Elena tidak bisa meneruskan kalimatnya. Dadanya terlalu sesak dan dia tidak bisa menahan air mata yang sejak tadi mengumpul di pelupuk matanya. Dia sudah sangat kecewa kepada Fredrick.
“Elena,”
“Jauhi tangan kotormu dariku. Kau pembunuh. Kau pembunuh dan aku membencimu!” teriak Elena. Tiba-tiba jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Penglihatannya mendadak memburam dan seketika dia kehilangan kesadarannya.
“ELENA …!” teriak Fredrick sambil berlari. Bersyukur dia masih sempat meraih tubuh istrinya itu sebelum tubuhnya terkulai di lantai.
“Elena, Elena.” Fredrick menepuk-nepuk pipi istrinya. Dia berdecak sambil merutuki dirinya. Betapa bodohnya dia, hingga membuat Elena jatuh pingsan. Lekas-lekas dia meraih ponselnya dan menghubungi Lucas, adiknya.
“Luke, siapkan pesawatku. Aku akan membawa Elena, untuk sementara waktu,” ucap Fredrick. Tanpa menunggu balasan dari seberang sambungan telepon, Fredrick langsung mematikan telepon secara sepihak.
*****
“Mom?”
“Elena, kumohon dengarkan aku.”
“Mom … tolong aku.”
“Dia putriku, Elena!”
“Mom, aku kuat. Aku seorang petarung.”
“Elena, putriku berhak menetukan pilihannya.”
“Aku … aku seorang,”
“Kumohon hentikan. Aku tidak ingin memilih antara kalian. Kumohon, jangan berpisah.”
“Mommy …?”
“Letty?”
“Elena, aku seorang ketua sindikat, dan putriku akan menggantikan posisiku.”#
“Tidak. Jauhi tanganmu dari putriku.”
“Elena ini semua sudah seharusnya terjadi,”
“Tidak. Letty, kemari.”
“Mommy,”
“Kemari, nak.”
“Letty ….”
“Letty …!” Elena berteriak sekuat tenaga hingga tanpa sadar, tubuhnya tertarik dan membuatnya terduduk di atas sebuah bangsal. Jantungnya berdebar dengan sangat cepat hingga dia perlu melarikan tangannya meremas dadanya.
“Kau sudah siuman?” ucap suara di seberang tempat berbaring Elena.
Elena yang masih berusaha mengumpulkan kesadarannya sambil mengatur pernapasannya, perlahan mulai menggerakan kepalanya mencari sumber suara yang barusan menegurnya.
“Dimana aku?” tanya Elena sambil menatap sinis sosok pria yang tengah duduk di sebuah sofa sambil melipat tangannya di depan wajahnya.
“Kau di rumah sakit, sayang. Kau pingsan dan aku langsung membawamu kemari,” ucap pria itu. Dia adalah Fredrick, suami Elena.
Elena menarik napas panjang sambil menyapu dadanya. Barusan, dia bermimpi. Mimpi yang sangat buruk hingga Elena seakan tak ingin memejamkan mata. Dia terus menggeleng sambil meremas dahinya. Namun, di saat yang sama, Elena malah mengingat dengan sangat jelas pengakuan yang di buat suaminya beberapa saat sebelum dia pingsan. Gambaran raut wajah Fredrick yang putus asa saat mengakui betapa buruknya dirinya, terpampang sangat jelas di ingatan Elena.
“Sindikat yang teroganisir dan telah berdiri sejak lama dan Albert, ayah kamilah ketuanya. Narkoba, jual beli senjata ilegal dan bahkan racun yang bisa membunuh seseorang dalam hitungan detik. Bisnis yang katanya memberi keuntungan sepuluh kali lipat menjadi seratus kali lipat ketika aku dan Lucas bergabung dan menjadi bagian dari mereka.”
“Bisnis ini telah berjalan selama puluhan tahun dan kami harus mewariskannya kepada anak-anak kami dan Letty….”
Elena berdiri dengan kasar setelah ingatannya pulih seutuhnya dan dia berhasil mengingat semua yang telah terjadi antara dia dan suaminya. Tanpa berpikir lagi, dia langsung mencabut jarum infus yang menancap di tangan kanannya.
Fredrick yang sejak tadi memperhatikan istrinya, menarik napas berat. Dia menepuk kedua pahanya sebelum kakinya berdiri dengan sempurna. Fredrick dengan santai berjalan menghampiri Elena lalu menarik tangan istrinya yang masih sibuk melepaskan selang infus yang melilit di tangannya.
“Elena, hentikan. Kau melukai dirimu sendiri.”
“Lepaskan!” bentak Elena. Dia berbalik lalu menghadiahkan tatapan sinis pada suminya namun, Fredrick hanya mendengus sambil tidak melonggarkan cekalan tangannya di pergelangan tangan istrinya.
“Kumohon, maafkan aku. Aku sudah pernah memperingatkanmu. Apa kau lupa, kau yang memintaku mengajarkan Letty bela diri agar kelak dia bisa menjadi wanita tangguh.” Perlahan, Fredrick menggerakan wajahnya. Matanya kembali menatap mata istrinya. Tersirat sebuah peringatan dari tatapan Fredrick yang membuat Elena terdiam. “Kau, juga yang telah menyerahkan putrimu padaku dan di mulai dari hari itu, Letty telah bergabung dengan sindikat dengan atau tanpa sepengetahuanmu.”
Elena terkekeh sinis. “Jadi, maksudmu, kau memperdaya aku saat itu? Kau menjebakku? Ya, kau sengaja menjebakku.” Elena tertawa hambar sambil menggelengkan kepala. “Jika aku tahu, jika saat itu kau mengatakan dengan jelas atau, jika saat itu kau mengakui siapa dirimu sebenarnya ….” Elena kembali menatap Fredrick dengan tatapan dingin. “Saat itu juga aku sudah pergi meninggalkanmu dan membawa anak-anakku.”
“ELENA!!” teriak Fredrick. Sontak membuat Elena menutup matanya sebab Fredrick berteriak di depan wajahnya. Fredrick sadar, dia telah hilang kontrol untuk itu, dia perlu menarik napas. Membuang muka, lalu berdecak kesal. “Maaf.”
“Mungkin seperti itulah sifat aslimu. Yang aku tahu, para penjahat selalu berteriak lalu membentak sebelum menarik pelatuk dan membunuh orang lain.”
“Hentikan Elena.”
“Kenapa? Kau tidak nyaman? Bukankah sekarang kau tidak perlu menutupi apa pun, Fred?”
“Cukup, komohon, Elena.”
“Pantaskah kau menyebut dirimu seorang ayah? Kau bahkan tidak layak disebut manusia, Fred.”’
“ELENA!” lagi teriak Fredrick. Tangan kanannya terangkat secara naluriah. Elena mengangkat kepalanya. Seolah menantang tangan yang siap mengayun itu, dia pun mencodongkan wajahnya kedepan.
“Ayo, tampar. Kenapa hanya menahannya,” ucap Elena.
Rahang Fredrick mengatup. Kertakan giginya menggema di depan wajah Elena. Tangan kanannya bergetar di atas sana namun, tak berani sekalipun dia mengayunkan tangan itu. Harga diri Fredrick benar-benar terluka namun, tidak sampai hati dia menampar istrinya itu.
“Argh …!” Fredrick berteriak “f**k!” umpatnya sambil menurunkan tangannya dengan kasar lalu memutar tumitnya. Dia kembali mengumpat ketika wajahnya berpaling dari istrinya. “Ya, kau benar. Aku memang tidak layak di sebut ayah dan aku tidak lebih baik dari binatang tapi, taukah kau betapa aku mencintai kalian? Betapa aku tidak ingin kalian jauh dariku. Bahkan ketika aku memejamkan mataku walau hanya hitungan detik, aku hanya terus memikirkan bagaimana keadaanmu, dan bagaimana keadaan anak kita.” Fredrick berbalik lagi menatap istrinya lalu melanjutkan, “Elena katakan padaku, apakah aku harus menjadi manusia suci untuk menjadi suamimu dan menjadi ayah dari anak-anakmu?”
Elena tidak langsung menjawab. Dia menatap Fredrick. Memperhatikan bagaimana raut wajah suaminya saat ini lalu perlahan suara kecil mulai keluar dari bibirnya. “Siapa kau?” gumam Elena
Fredrick mulai frustasi. Dia menangkupkan wajahnya dengan kasar. “Sialan, Elena!”
“Kau bukan Fredrick yang aku kenal saat aku berumur dua puluh tahun. Kau bukan pria yang sudah menyelamatkan aku. Kau bukan orang yang aku kenal.”
“Persetan dengan itu.” Fredrick meraih kedua sisi lengan istrinya. Matanya benar-benar terbakar oleh amarah namun, Fredrick masih dalam kontrol yang baik untuk mengendalikan iblisnya. “Cukup Elena. Selama ini aku selalu mengalah padamu. Kau membentakku dan aku membujukmu. Itu sudah berlaku selama delapan belas tahun. Sekarang, kau yang dengarkan aku. Jika kau mau menurut padaku, aku akan sangat menghargainya tapi, jika kau menentangku dan mencoba menghalangiku ….” Fredrick menjeda kalimatnya. Dia semakin memperkuat pegangannya di lengan Elena membuat istrinya itu meringis kesakitan. “Maafkan aku, kau terpaksa harus melihat sisi lain dari diriku,” lanjut Fredrick.
“Aku tidak peduli apa pun yang akan kau lakukan padaku, Fred. Aku tetap akan membawa anak-anakku. Lepaskan aku!” bentak Elena sambil menghempaskan tangan Fredrick dari lengannya. Dia mendorong d**a Fredrick sekuat tenaga walau, nyatanya usahanya itu hanya membuat Fredrick terlempar beberapa inci darinya namun, Elena tetap menggunakan celah itu untuk bisa melarikan diri dari Fredrick.
Tanpa berpikir lagi, Elena langsung berlari ke arah pintu. Terburu-buru dia meraih gagang pintu. Tanpa menengok kebelakang, Elena langsung berlari meninggalkan bangsalnya dan meninggalkan suaminya yang tampak tidak ada niatan untuk mengejarnya. Elena tidak bisa menahan air mata yang sejak tadi mengumpul di pelupuk matanya. Sambil berlari, dia berusaha keras menghapus air mata yang terus bercucuran membasahi wajahnya. Elena sempat melirik kebelakang, entah sisi mana dalam dirinya yang menginginkan Fredrick untuk mengejarnya namun, Elena bisa menggunakan intusinya untuk mengetahui jika suaminya tidak mengejarnya. Tidak ada yang mengejarnya namun Elena terus mempercepat langkahnya hingga dia tiba di depan lift. Lift terbuka dalam hitungan detik dan Elena langsung masuk kedalam. Matanya sempat menangkap bayangan Fredrick yang baru keluar dari bangsalnya sebelum lift tertutup. Elena benar-benar kalut saat ini namun, akal sehatnya seolah menangkap sesuatu. Dia melirik ke samping. Ada dua pria yang memakai baju berwarna putih. Sepertinya mereka petugas medis namun, Elena merasa begitu asing dengan wajah mereka. Mereka berparas Asia dan Elena tidak yakin jika rumah sakit New York akan menerima perawat dari Asia dan lagi, Elena tampak begitu asing dengan suhu dan suasana di tempat ini. Dia benar-benar merasa heran hingga lift tiba tepat di lantai satu dan Elena terburu-buru keluar dari dalam lift.
“Ya udah, ambil setengahnya aja.”
“Permisi,”
Elena kembali mengerutkan dahi. Dia berdiri tepat di beranda rumah sakit. Matanya sibuk menyapu pemandangan sekitar. Meneliti bahasa yang mereka gunakan. Bukan bahasa Inggris, lalu bahasa apa itu? Dimana dia sekarang? Itulah pertanyaan yang timbul di benaknnya namun, Elena seolah tak mau mempedulikan itu.
TING
Suara lift mengejutkan Elena. Seakan menjadi peringatan untuk bergegas sebelum lift selanjutnya membawa suaminya ke lobi rumah sakit. Elena mengangkat kakinya yang seolah menjadi sangat berat. Elena mencoba menggeleng tidak peduli sebab, yang ada dalam pikirannya saat ini hanya kembali ke rumah untuk menjemput anak-anaknya dan membawa mereka dari rumah Van Der Lyn.
Elena berlari meraih pintu keluar namun, betapa kagetnya dia ketika pintu lobi terbuka. Kakinya sontak berhenti dan seolah tidak bisa terangkat. Elena menyadari sesuatu yang aneh yaitu suhu dan udaranya yang berbeda. Sekarang sedang musim dingin di New York namun, mengapa udara malam begitu hangat menyambar kulitnya?
Elena menelan ludah saat matanya kembali menangkap sesuatu yang aneh. Dia memperhatikan gedung-gedung di sekitarnya. Jalan raya di depannya dan kendaraan yang lalu lalang di sana. Sangat berbeda, jelas-jelas ini bukan di New York.
“Dimana aku?” gumam Elena. Dia berbalik dan betapa kagetnya dia ketika membaca tulisan di depan bangunan rumah sakit. “Siloam Hospital Jakarta,” gumam Elena. Dia menggeleng, seakan tidak ingin percaya. Mulutnya menganga hingga dia perlu menutupnya dengan kedua tangannya. Lututnya lemas seketika dan dadanya kembali berdebar dengan sangat kuat.
“What the f*****g you doing, Fred?!” gumam Elena di sela-sela tangisannya. Dia mengangkat wajahnya lalu berteriak. Meluapkan semua perasaanya lewat teriakkannya. Elena bahkan tidak peduli dengan orang-orang di sekeliling yang mulai memperhatikannya. Dia terus menggeleng. Tak pernah percaya jika suaminya akan melakukan semua ini padanya.
Elena menangis histeris. Tubuhnya terkulai di tanah dan dia terus menjerit. Hingga penglihatannya kembali memburam bersamaan dengan tubuhnya yang semakin melemah. Elena kembali pingsan.
Sementara itu, dari jarak jauh seseorang tengah memperhatikan wanita yang tengah terkulai lemah di tanah itu. Dia terus berdecak dan tak henti-hentinya merutuki dirnya.
“Tuan besar,” panggil seseorang.
“Bawa dia kembali ke bangsalnya.”
“Baik tuan.”
“Elena, harus dengan apa lagi aku harus memperlakukanmu.”