17. Man in Black

1321 Words
Setahun yang lalu …. LONDON, INGGRIS.       “Alex, kau adalah satu-satunya penerusku tapi mengapa kau terus mengecewakanku, Sampai kapan kau akan menjadi orang bodoh seperti ini, hah?” bentak seorang pria paruhbaya itu kepada anaknya.     “Pelankan suaramu.” Seorang wanita yang merupakan ibu pria itu mencoba menenangkan suaminya.     “Emery, berhentilah memanjakan putramu. Dia bukan anak kecil lagi. Emery sebaiknya didik dia dengan benar. Apa yang perlu di banggakan dari anak bodoh sepertinya.     Marthin Oliver, pria dengan setelan jas mahal itu tampak gusar. Pagi-pagi benar dia sudah mendapat telepon dari kepala sekolah tempat putranya bersekolah. Untuk kesekian kalinya dia harus menerima surat panggilan dari sekolah putranya dan tidak lain masalahnya hanya karena putra tunggalnya membolos di jam ujian.     “Marthin,” panggil Emery dengan lembut. Emery berusaha meredakan amarah suaminya. Dia begitu menyayangi putra sematawayangnya. Tak pernah sekalipun Emery mempermasalahkan perilaku putranya di sekolah. Sebab Emery paham betul tujuan putranya melakukan hal itu adalah untuk mendapat perhatian dari ayahnya, Marthin.     “Aku memberikan segalanya padamu. Katakan apakah aku harus menambah kartu kereditmu? Atau kau perlu mobil baru? Kau ingin Penthouse? Ayo, katakan padaku, Alex. Sial …” Marthin membawa tangannya meremas dahinya dengan cukup kuat sambil sebelah tangannya berkacak pinggang. “Tidak bisakah kau mengabulkan permintaan kecilku, hah?”     “Permintaan kecil?”     Pria yang sejak tadi di ceramahi itu akhirnya berdiri dari duduknya. Dia terkekeh sinis sambil menatap ayahnya. Mengangkat dagu sambil menatap ayahnya dengan sinis, dia pun mulai mengambil langkah mendekati ayahnya.     “Hei, Pak tua …”     “Alex!” Emery mencoba memperingatkan putranya dengan matanya yang menatap putranya namun, putranya yang bernama Alex itu malah mengangkat tangannya dan memberi isyarat kepada ibunya untuk tidak mencegahnya.     “Kau benar. Kau memberiku segalanya. Uang, harta, aku tidak pernah berkekurangan. Dengan semua uangmu kau pikir kau sudah memberiku segalanya?” ucapnya. Ujung bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. Dia berjalan semakin mendekati ayahnya.     “Beginikah caramu berbicara dengan ayahmu?” ucap Marthin.     “Berhenti menceramahiku. Berhenti bertingkah seolah kau ayah yang paling mengerti kebutuhan keluargamu dan berhenti memerintahku.”     “ALEX!” teriak Marthin.     “Kau pikir semua hartamu bisa membahagiakan ibuku? Apa kau pernah ada di sana ketika ibuku mengeluh sakit? Kau hanya mengingat semua harta yang kau berikan pada kami, tapi … kau lupa menjalankan tugasmu sebagai seorang ayah.”     “ALEXANDER!”     “Dad!” Alex balas meneriaki ayahnya.     “Tidakkah kau berpikir jika kau sudah melewati batasanmu, Alex?” ucap Marthin. Rahangnya mengatup sementara tangannya mengepal dengan sangat kuat.     “Kau mengeluh kenapa aku terus berbuat onar di sekolahku tapi, tidak sekalipun kau bertanya apa sebenarnya alasanku melakukan semua itu. Kau hanya perduli dengan nilaiku tapi kau tidak pernah bertanya apakah aku bersenang-senang di sekolahku? Apakah pelajaranku susah? Apakah aku menyukai les matematika? Apakah latihanmu menyenangkan? Apakah harimu menyenangkan, Alex?”     Alex semakin maju mendekati ayahnya.     “Kau bahkan tidak perduli dengan semua itu. Yang kau perdulikan hanyalah membangun citra yang bagus agar media terus mencetak namamu di halaman depan dengan kalimat jika kau orang paling mulia di London, apa kau mau menyayingi Tuhan?”     PLAK     “Alex …” teriak Emery.     “Haha ….” Alex malah tertawa keras ketika tamparan keras dari ayahnya mendarat di pipinya. Dia kembali memalingkan wajahnya menatap ayahnya lagi.     “Anak tidak tahu diri. Kau pikir aku bekerja siang dan malam untuk siapa, hah? Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku tertidur lelap. Di pikiranku hanyalah bagaimana caranya untuk membuat kau hidup dengan nyaman. Aku melakukan semua yang terbaik agar di masa depan kau tidak perlu bekerja dengan keras. Aku hanya memintamu untuk belajar dengan giat, dan menguasai semua pelajaran agar kelak kau bisa berdiri sambil menarik dasimu tinggi di perusahaanku. Tapi, kau juga menuntut agar aku berada di dekatmu dan menyemangatimu? Cih ,,,,”     “Marthin, komohon hentikan,” pinta Emery.     Marthin tidak peduli. Dia mendekati putranya. Meraih kerah baju putranya sambil menatapnya dengan tajam.     “Kau akan mengikuti ujian akhir di sekolahmu dan mendapatkan nilai sempurna. Setelah itu, kau akan ikut bersamaku. Kau akan bebas melakukan apapun denganku namun, sampai saat itu tiba, jangan pernah muncul di depanku.”       Setahun kemudian ….       “Selamat datang tuan Direktur.”     Sambut para kariyawan yang bekerja di perusahaan membuat berlian terbesar di Inggris, The Redz Diamond. Mereka begitu bersemangat menyambut Direktur yang baru. Wajah baru perusahaan mereka. Dia tampan, penuh karisma, senyumnya mampu meruntuhkan hati setiap orang yang melihatnya.     “Astaga … Apa benar dia CEO yang baru?”     Pria itu terkekeh kecil mendengar betapa manisnya mulut wanita-wanita itu yang memuji ketampanannya. Jas hitam mengkilat yang membalut di tubuhnya menambah kesan maskulinnya. Dia mengangkat tangan kanannya sekedar untuk memutar jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya.     “Ya Tuhan … Marry, tolong tampar aku.”     Waktu seolah berhenti ketika sepatu kulitnya mengetuk lantai pasir mahal di bawahnya. Wangi tubuhnya seolah merupakan mantra yang sukses menarik perhatian kaum hawa.     “Selamat datang, tuan Oliver. Saya sudah siapkan kopi di meja anda. Lima menit lagi anda di jadwalkan untuk menemui tuan Al Majeed dari Majeed Company,” ucap seorang gadis brunette yang merupakan asisten pribadinya. Wanita itu bahkan dengan sedia hati membuka jas tuannya lalu kemudian membukaka pintu bagi tuannya.     “Terima kasih Tiana, oh ya ….” Pria itu berbalik sebelum tubuhnya melewati pintu menuju ruangannya. “Aku suka lipstick barumu,” lanjutnya.     “Ya Tuhan …” Tiana memegang dadanya. Dia perlu mengeluarkan napas yang sejak tadi berusaha di tahannya. Wajahnya seketika memerah, seperti terbakar rasanya. Tiana berbalik dengan d**a yang berdebar-debar.     “Cih ,,, sayangnya kau bukan tipeku, Tiana.”     Alexander Oliver, putra tunggal Marthin Oliver. Dia yang mencatatkan dirinya sebagai salah satu CEO termuda di Inggris. Ya, di usianya yang baru menginjak 18 tahun, dia sudah menjadi CEO perusahaan terbesar di Inggris. Banyak media yang mencetak namanya di halaman depan buku mereka.     “Ini sungguh membosankan. Aku membuat keputusan yang salah dengan membentak Pak tua itu. Sialan, dia merampas masa mudaku yang berharga dan mengurungku di dalam perpustakaan. Ah … sial! Sekarang aku harus berpikir keras untuk menjalankan perusahaan ini,” keluh Alex.     Tok ,, Tok     “Masuk,” sahut Alex.     “Tuan Presdir memanggil anda.”     “Hah … apalagi sekarang,” gumam Alex sambil memutar bola matanya kesal. Namun, sedetik kemudian, dia pun bangkit dari singgasananya.     Berjalan sambil memepertahankan wibawanya, langkah kakinya berhenti di depan sebuah ruangan bertuliskan Presiden Direktur.     “Tuan Presdir sudah menunggu anda,” sambut salah satu sekretaris dari Marthin Oliver.     Pintu terbuka dan seorang pria tampak sedang fokus di depan layar monitornya. Pria itu tidak lain adalah Marthin Oliver, pendiri dan pemilik The Redz Diamond.     “Dad memanggilku?” ucap Alex.     Marthin melirik kecil ke arah Alex sambil terus menantikan putranya itu menghampirinya. Marthin memberi isyarat dengan tangannya supaya Alex segera duduk di depannya.     “Katakan dengan cepat, aku tidak punya banyak waktu.”     “Hah …” Marthin membuang napas berat sebentar sambil menggelengkan kepala menatap putranya.  “Sampai kapan kau akan terus seperti ini, hah?”     Alex memanyunkan bibirnya sambil mengangkat setengah bahunya.     “Kau akan ke New York malam ini. Kau akan menggantikan aku menjadi perwakilan The Redz Diamond di pameran Berlian yang akan di adakan di New York,” ucap Marthin.     “Hanya itu?” ucap Alex santai.     “Maksudmu?” Nada suara Marthin mulai meninggi.     “Tidak. Apa ada lagi yang mau anda sampaikan, tuan Presdir yang terhormat?” sindri Alex sambil menekan julukan di kalimat akhir.     Marthin menarik napasnya sekali lagi. Dia menutup laptop di depannya, menyingkirkannya ke samping lalu melipat kedua tangannya di atas meja sambil menatap putranya.     “Bisakah kau memperbaiki tingkah lakumu?” tanya Marthin.     Alex terkekeh pelan. Dia membuang muka dan sambil menepuk pahanya dengan  kuat, dia pun berdiri dari duduknya.     “Sudah kubilang berhenti bersikap seperti seorang ayah. Peran itu tidak cocok untukmu,” ucap Alex kemudian memutar lututnya. Berjalan sambil bersiul dengan kedua tangannya di dalam saku, dia pun meninggalkan ruangan ayahnya.     “Tiana,” panggilnya.     “Ya tuan,” jawab asisten pribadinya itu.     “Siapkan pesawatku. Aku akan ke New York malam ini.”     “Baik, tuan. Apakah saya juga harus ikut?”     Alex berbalik. Dia menarik senyum di wajahnya lalu berjalan menghampiri sekretarisnya yang seksi itu.     “Tiana, aku ingin sekali mengajakmu tapi, kau harus tetap disini dengan b****g seksimu untuk menyelesaikan pekerjaanku. Oke?” ucap Alex lengkap dengan seringaiannya.     “Baiklah tuan,” ucap Tiana.     “Bagus.” Alex berbalik. Mengambil kacamata hitamnya lalu memakainya. Bersiul lagi ketika langkah kakinya mulai menuju lift bangunan.     “New York … kuharap aku akan mendapatkan sesuatu yang menarik disana.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD