Caramella mendorong tubuh Tristan dengan kuat dan pria itu melepaskan ciiumannya. Wanita itu menatap marah padanya dan lagi-lagi yang membuatnya kesal adalah pria itu tidak merasa bersalah sudah mencuri ciuman darinya. Sebaliknya Tristan tersenyum puas. Semakin hari perilaku Tristan semakin berani kepadanya sejak pria itu tidur dengannya dan menyatakan cinta kepadanya.
"Kamu tidak bisa berbuat seenaknya kepadaku. Aku bukan barang yang bisa diklaim menjadi milikmu atau siapa pun itu."
"Aku tahu kamu bukan barang, tapi manusia yang memiliki perasaan."
"Baguslah kalau kamu mengerti."
Caramella mendongak menatapnya hampir tidak bisa melihat jelas wajah Tristan yang tertutup bayang-bayang rimbunnya pepohonan.
"Tapi meskipun begitu Miss Hewitt, kamu adalah milikku."
Ada sesuatu dalam diri Tristan yang berbeda semacam kendali resmi yang telah dilepaskan dan ada bahaya baru dalam suaranya yang lembut. Pria itu masih cukup dekat bagi Caramella untuk mencium aroma mint dari tubuhnya dan juga dari napasnya. Jemarinya memegang dagu Caramella dan wanita itu mengeluarkan suara lirih, berusaha mundur lebih jauh lagi. Seharusnya tadi ia cepat-cepat pergi.
"Jangan coba-coba untuk menciumku lagi! Atau aku akan berteriak."
"Kalau begitu kenapa kamu masih berada di sini bersamaku seharusnya tadi kamu pergi selagi ada kesempatan."
"Itu...."
"Apa itu artinya kamu ingin bersamaku lebih lama di sini di bawah pohon dan dicium sekali lagi olehku."
Tristan tersenyum dan menggoda Caramella. Ia menikmati wajah kesal dan rona merah di wajah wanita itu. Tangannya menyentuh wajah Caramella. Panasnya kulit pria itu mengejutkannya dan membuatnya gemetar.
"Kamu jangan merasa seperti itu. Aku tetap berada di sini, karena aku mengira kamu akan memarahiku, karena sudah kabur."
Tristan tertawa mendengar jawaban Caramella. "Aku tidak akan memarahimu. Apa kamu takut padaku?"
"Tidak. Kenapa aku harus takut padamu?"
"Karena aku tadi menciummu dengan paksa."
"Aku hanya kesal kepadamu. Itu saja."
"Tapi kamu menyukai ciiumanku tadi, bukan?"
"Tidak."
"Bohong."
"Aku bilang tidak ya tidak."
"Baiklah. Tapi aku harus membuktikannya sendiri."
Caramella nampak kebingungan apa maksud pria itu dan Tristan tidak memberikan kesempatan pada wanita itu untuk memikirkannya. Bibir Tristan yang lembut dan panas membelai rambut di pelipisnya, mengirimkan kejutan di sekujur tubuh Caramella. Perasaan aneh mencengkeram dirinya seluruh indranya menegang.
"Jangan tegang seperti itu! Aku tidak akan menyakitimu."
Wajah Tristan sekarang tepat di atas wajah Caramella, jemari tangannya menempel di belakang leher wanita itu. Wanita itu memejamkan mata dan terkesiap merasakan ciuman lembut di sudut bibirnya. Pelukan Tristan mengencang. Ia menyapukan ciuman lain di sisi lain bibir Caramella, lalu meluncur di pipinya ke arah telinganya dan ke lehernya. Ujung lidah pria itu menyentuh denyut nadi Caramella yang mengentak cepat.
Caramella hanya terdiam di tempatnya. Sesuatu dalam dirinya menginginkan sentuhan-sentuhan Tristan, tetapi ia tidak pernah menyerahkan kendali dirinya kepada siapa pun.
"Jangan,"pintanya lirih.
Tristan mengangkat kepala dan menunduk menatap Caramella. "Kamu sangat manis dan cantik,"bisiknya. "Tadi sudah cukup memberikan bukti kepadaku."
"Bukti apa?"
"Bahwa kamu tak sepenuhnya menolakku dan aku senang akan hal itu."
Pria itu membuka jasnya dan mengambil sesuatu dari saku jas yang ada di dalam. Setangkai bunga forget me not diberikan pada Caramella.
"Untukmu."
Ragu-ragu Caramella mengambilnya dari tangan Tristan. Pria itu tersenyum.
"Apa kamu tahu apa arti bunga itu?"
Caramella menggelengkan kepalanya.
"Bunga itu melambangkan cinta sejati dan kesetiaan. Bunga itu melambangkan perasaanku padamu."
"Jadi kamu benar-benar serius akan perasaanmu padaku?"
"Iya tentu saja. Aku tidak pernah main-main dengan perasaan seseorang."
Caramella melihat keseriusan di mata biru Tristan yang selembut satin ketika menatapnya.
"Siial!"umpat Caramella dalam hati yang hampir saja masuk ke dalam pesona pria itu. Kehadiran pria itu seolah tidak bisa ia tolak.
"Bagaimana kamu bisa mencintai wanita yang tidak mencintaimu?"
"Itu terjadi begitu saja. Aku tidak merencanakan akan mencintaimu, tapi tiba-tiba cinta itu hadir untukmu."
"Apa rasanya cinta terhadap lawan jenis?"
"Rasanya bahagia, hangat, dan ingin selalu berada di dekat orang yang dicintai. Pasti kamu mencintai orang tuamu kan?"
"Iya, tapi itu beda bukan cinta sesama lawan jenis."
"Apa kamu masih mau membahas soal cinta denganku, Miss Hewitt?"
"Iya. Aku ingin tahu seperti apa itu cinta."
Tristan menyandarkan tubuhnya di pohon. Kedua tangannya di masukkan ke dalam saku celananya yang berwarna krem.
"Menurut hukum matematika, cinta itu adalah sesuatu yang tak terhingga."
"Apa maksudnya?"
Tristan menatap Caramella yang nampak bingung.
"Maksudnya jika bilangan bulat dibagi dengan 0 hasilnya bilangan tak terhingga. Demikian juga dengan cinta, cinta akan bernilai tak terhingga ketika kamu mampu mengosongkan hati untuk cinta yang murni atau sejati. Cinta juga seperti hukum termodinamika, yaitu tentang hukum kekekalan energi. Energi tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan tetapi dapat berubah ke bentuk–bentuk yang lain, jadi cinta tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Cinta itu abadi. Setiap orang terlahir ke dunia sudah dibekali oleh cinta."
"Baiklah. Terima kasih atas penjelasanmu."
Tristan tersenyum. "Berilah kesempatan pada dirimu untuk mengenal cinta!"
"Aku tidak ingin hatiku tersakiti karena cinta. Aku sudah melihat buktinya di sekitarku. Seorang suami posesif, karena terlalu mencintai istrinya sehingga menyaikiti istrinya dan hampir terbunuh, seorang suami atau kekasih yang berselingkuh, karena mencintai wanita lain. Orang tuaku juga begitu. Setiap hari mereka bertengkar, karena ibu menangkap basah Ayah berselingkuh dengan wanita lain. Sejak saat itu kebahagiaan keluargaku hancur. Tidak ada lagi kehangatan sebuah keluarga. Aku menjadi yakin tidak ada yang namanya cinta sejati."
"Kamu salah. Cinta tidak selalu membuat orang tersakiti. Apa yang kamu contohkan mungkin bukan cinta yang tulus, karena cinta yang tulus itu datang dari hati yang paling dalam, menerima segala kekurangan pasangan dan selalu berusaha menjadi yang terbaik dan dengan begitu kamu dapat memahami dengan seutuhnya arti sebuah cinta yang sesungguhnya. Banyak orang yang rela melakukan hal apa pun untuk mendapatkan seseorang yang dicintainya. Termasuk aku."
Caramella memicingkan matanya. "Jadi cintamu termasuk yang mana?"
"Tentu saja cinta yang tulus. Aku hanya mencintaimu tidak ada wanita lain di hatiku selain dirimu."
"Jika itu benar seharusnya kamu tidak akan menyerah untuk mendapatkan cinta dariku."
"Tentu saja. Aku akan berusaha lebih keras lagi supaya kamu jatuh cinta kepadaku meskipun harus sampai memakan waktu sampai bertahun-tahun lamanya."
"Kalau begitu ajari aku untuk bisa mencintaimu."
"Jadi kamu sekarang berubah pikiran untuk memberikan kesempatan kepada dirimu untuk mengenal cinta?"
"Sepertinya begitu meskipun dalam diriku masih ada rasa takut untuk merasakan cinta pada seorang pria."
"Kamu tidak boleh takut. Kamu harus menghancurkan pertahanan dalam dirimu untuk melawan rasa takutmu itu."
"Jadi kamu mau mengajariku mencintaimu?"
Tristan tersenyum lebar. "Dengan senang hati, Sayangku. Mulai sekarang kamu akan memiliki lembaran baru dalam kehidupan, yaitu cinta. Pelajaran pertama aku ingin kamu menciumku."
"Apa?!"
"Kamu tidak perlu terkejut seperti itu. Bukannya kamu ingin belajar mencintaiku? Ciiuman adalah salah satunya untuk mengungkapkan rasa cinta."
Caramella memandang sinis pada Tristan. "Aku tahu kamu hanya ingin mengambil kesempatan saja supaya kamu bisa berciuman denganku."
Senyuman jahil terbit di wajahnya. "Sudah lakukan saja."
Caramella dengan enggan melakukannya. Ia harus sedikit berjinjit untuk bisa menyentuh bibir pria itu, ketika jarak bibir mereka tinggal 1 cm lagi, mereka dikejutkan oleh kedatangan Ester.
"Sedang apa kalian di sini?"tanya Ester yang sudah berada di depan mereka.
Tristan merasa kesal dengan kedatangan bibinya tidak pada waktu yang tepat. Caramella tersenyum melihat kekesalan di wajah pria itu, bahkan pria itu menggerutu.
"Kamu kenapa?"tanyanya pada Tristan.
"Tidak ada apa-apa hanya saja Bibi sudah menganggu kami."
"Benarkah?"
"Sama sekali tidak mengganggu. Aku berterima kasih karena Anda sudah menyelamatkanku,"jawab Caramella.
Wanita itu tersenyum puas pada Tristan.
"Sebaiknya kalian masuk dulu dan katakan padaku dari mana saja kalian sampai melewatkan sarapan pagi?"
Tristan berjalan di samping Caramella, lalu berbisik,"Lain kali kamu tidak akan bisa menghindar dari pelajaran berikutnya."
Di dalam rumah, Tristan memperkenalkan Caramella pada neneknya dan Tristan juga memberitahu mereka tentang kepergian Caramella secara diam-diam dari rumah.
"Apa Tristan sudah berbuat macam-macam padamu?"
"Tidak. Aku merasa tidak ingin merepotkan kalian lagi."
"Kamu sama sekali tidak merepotkan. Sebaliknya kami senang kamu berada di sini. Bukan begitu, Bu?"
"Benar. Anggap saja seperti rumah sendiri."
"Terima kasih."
"Sebaiknya kalian makan dulu,"kata Ester.
"Ayo!"kata Tristan pada Caramella.
Mereka berdua pergi ke ruang makan. Ester duduk di dekat ibunya.
"Tadi aku melihat mereka ada di taman dan mereka berciuman dan terlihat sangat romantis."
"Kamu mengintip mereka?"
"Iya. Tadi aku melihat mereka datang terus aku mengikuti mereka dan mengintip mereka dari kejauhan."
"Kamu ini selalu saja ingin tahu urusan orang lain."
"Aku kan hanya ingin tahu."
"Rasa ingin tahu yang terlalu berlebihan itu juga tidak baik. Kamu harus memberikan ruangan privasi pada mereka."
"Aku tahu. Aku yakin mereka saling menyukai satu sama lain. Bagaimana menurut ibu tentang Caramella?"
"Dia wanita yang cantik dan juga baik."
"Jadi Ibu setuju kalau mereka menjalin hubungan?"
"Jika wanita itu bisa membuat Tristan bahagia kenapa tidak."
"Sebentar lagi akan ada pernikahan."
***
Hari demi hari telah berlalu sudah tidak terasa liburan Caramella dan Tristan segera berakhir. Hampir setiap hari pria itu menemuinya di hotel dan mengajaknya berkencan. Seperti hari terakhir mereka di Cartagena saat ini. Tristan mengajaknya pergi keluar untuk membeli hadiah ulang tahun untuk Ailana yang akan dilangsungkan tiga hari lagi. Mereka menjelajahi daerah pertokoan. Sesekali berhenti jika ada sesuatu yang menarik perhatian mereka.
Mereka berjalan sambil bergandengan tangan, kadang sambil mengayun-ayunkan tangan. Mereka tertawa dan menikmati kebersamaan mereka seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Tristan berhenti di sebuah toko bunga dan membelikan satu buket bunga forget me not. Setelah lelah berjalan-jalan mereka minum di kafe terbuka. Saat menunggu pesanan datang, Caramella melamun bahwa selama menikmati sisa liburannya bersama Tristan, ia telah melupakan masalah hidupnya dan juga pekerjaannya. Pria itu memperlakukannya sangat baik dan perhatian.
Tangan Tristan menjentik tepat di depan mata Caramella. Dengan spontan Caramella tersadar dari lamunannya.
"Maafkan tadi aku melamun."
"Apa yang sedang kamu lamunkan?"
"Masalah hidupku. Sudah lupakan saja."
Sehabis minum mereka memutuskan pergi jalan-jalan ke pantai. Di sana dikejauhan tak sengaja Caramella melihat ayahnya sedang berjalan di sekitar garis pantai di dekat hotelnya Tubuhnya mematung. Tristan terlihat khawatir.
"Ada apa? Kamu seperti sudah melihat hantu saja."
Caramella berlari begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Tristan. Pria itu menyusulnya di belakang.
"Ayaaaah,"teriak Caramella.
Derick yang saat itu sedang menikmati waktu bersantainya di pinggir pantai samar-samar mendengar suara Caramella berteriak memanggilnya. Ia menoleh ke belakang dan terkejut melihat Caramella sedang berteriak memanggilnya dan berlari ke arahnya. Derick langsung berlari pergi ke arah kerumunan orang banyak dengan harapan putrinya itu tidak bisa menemukannya.