18. Pulang

1567 Words
Derick menoleh ke belakang lagi dan masih melihat putrinya sedang mengejarnya. Ia sama sekali tidak menyangka Caramella akan melihatnya di pantai seharusnya ia berdiam diri di apartemennya. Derick berlari menembus kerumunan orang di pantai dan berharap putrinya menyerah untuk mengejarnya. "Ayah tunggu jangan lari!"teriak Caramella yang suaranya hampir teredam oleh suara musik yang keras, karena tak jauh dari mereka ada pemusik jalanan yang sedang bermain musik. "Aku tidak akan memarahi Ayah,"teriaknya lagi. Derick masih terus berlari dan berlari. Ia sempat terjatuh, karena tersandung, lalu berdiri lagi dan kembali berlari. "Maafkan Ayah, Caramella! Belum saatnya kita bertemu,"bisik hatinya. Sambil menahan air matanya, Derick terus berlari. Ia melihat sebuah bus berhenti di halte. Tanpa pikir panjang ia menaiki bus itu dan bus itu langsung pergi. Caramella tidak berhasilnya mengejar ayahnya. "Ayah tungguuuu!"teriaknya sambil terus berlari menuju halte. Napasnya terengah-engah dan kakinya terasa lelah sudah berlari cukup jauh. Ia duduk di kursi sambil kembali mengatur napasnya. Keringat bercucuran di dahinya. Tristan berhenti berlari ketika sampai di halte. Pria itu nampak kelelahan mengejar Caramella, lalu duduk di samping wanita itu. Ia membuka botol air minum dari dalam tasnya dan meminumnya, lalu ia berikan pada Tristan. "Terima kasih." Setelah meminumnya ia memberikannya lagi pada Caramella. "Siapa pria yang kamu kejar itu? Tadi kamu memanggilnya Ayah." "Itu memang Ayahku. Dia kabur saat aku akan memasukkannya ke panti rehabilitasi kecanduan alkohol. Ayahku juga seorang pemabuk berat selain berselingkuh." "Masalah keluargamu rumit juga ya." "Begitulah. Ayahku penyebab masalah dalam rumah tangganya. Dia mulai mabuk-mabukan saat usaha mini marketnya bangkrut sampai akhirnya kecanduan dan rumah tangganya mulai bermasalah. Aku sangat marah dan benci pada Ayahku saat itu." Tristan menolehkan kepala dan menatap Caramella. "Apa sekarang kamu masih membencinya?" "Tidak. Tapi aku masih marah kepadanya, karena selalu membuat banyak masalah. Aku masih berharap Ayah mau berubah dan kembali menjadi seorang pria yang dulu sebelum dia menjadi pemabuk." Mata Tristan masih belum beralih dari wajah Caramella. "Lalu apa yang Ayahmu lakukan di sini?" "Entahlah. Aku tidak menyangka Ayah akan berada di sini, karena selama ini aku mencarinya." "Mungkin ada suatu alasan kenapa Ayahmu berada di Cartagena." "Mungkin saja. Ibu tiriku ingin menceraikan Ayah dan aku setuju. Dia berhak hidup bahagia dengan pria lain." "Apa yang akan kita lakukan sekarang? Apa akan tetap mencari Ayahmu?" "Tidak. Aku sudah kehilangan jejaknya. Entah kenapa dia lari saat melihatku sepertinya Ayah sudah tidak ingin bertemu denganku lagi." Tristan menatap Caramella. Mata pria itu hangat. "Sebelum kembali ke hotel, bagaimana kalau kita jalan-jalan di pantai? Hari ini adalah hari terakhir kita di sini." "Baiklah." Tristan berdiri dan mengulurkan tangannya pada Caramella. Mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Angin berhembus kencang membuat rambut Tristan yang sudah di sisir rapi menjadi sangat berantakan dan terkesan liar, entah kenapa Caramella menyukainya seperti itu. "Aku yakin Ayahmu akan kembali." "Semoga saja." Lengan Tristan merangkul santai bahu Caramella. Pinggul mereka bergesekan ketika melangkah. Sesampainya di pantai, mereka berjalan menyusuri pantai dengan telenjang kaki. Tristan mempermainkan pasir sambil sesekali memperhatikan postur Caramella yang anggun. Bentuk tubuhnya sangat sempurna. Tungkainya ramping dan panjangnya. Perutnya rata. Lebih ke atas, rusuk dadanya dimahkotai dua bukit indah. Profilnya yang dilatarbelakangi garis pantai begitu sempurna dalam pandangan Tristan. Angin laut telah merusak gelungan rambutnya hingga rambutnya tergerai dipermainkan oleh angin di sekelilingnya. Kelaki-lakian Tristan terusik, hasratnya timbul lagi. "Siial!"umpatnya dalam hati. Caramella memergoki Tristan sedang menperhatikannya dan pria itu langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Saat menoleh ke Caramella lagi, Tristan melihat bahwa kali ini mata Caramella terfokus padanya. Tristan bertemu pandang dengan Caramella untuk waktu yang cukup lama, tidak mampu memalingkan wajah dan saat mulut Tristan terangkat untuk menyunggingkan senyuman, Caramella merasa bibirnya pun menyunggingkan senyuman yang sama. Suara deburan ombak membuat suasana menjadi damai meskipun di belakang mereka riuh oleh percakapan para pengunjung. Mata Caramella beralih ke lautan lepas. "Apa kamu tidak ingin berjemur untuk terakhir kalinya?" Caramella menoleh ke Tristan dan melihat senyuman pria itu penuh dengan kesan menggoda. "Tidak. Apa kamu ingin melihatku berjemur tanpa mengenakan bra lagi?" Tristan mengangkat alisnya dengan jenaka. "Kalau iya memangnya kenapa?" "Dasar pria mesum." Caramella memukul lengan Tristan, lalu pria itu menangkap tangannya dan membawanya ke bibir dan dikecupnya dengan mesra. Hangatnya bibir Tristan di tangannya memberikan gelenyar seperti sengatan listrik di sekujur tubuhnya. "Hatiku adalah yang paling beruntung dan paling bahagia di alam semesta karena kamu hidup di dalamnya, Miss Hewitt,"katanya sambil menatap Caramella dengan tatapan mesra. Rona merah menyebar ke wajah Caramella. Di kedalaman mata Tristan, terlihat kilat kejahilan dan terlihat berkilau dengan latar belakang laut yang biru saat pria itu tersenyum. "Kamu mencoba merayuku, kan?" "Itu benar supaya kamu Semakin terpesona kepadaku." Tristan memasang wajah jenaka. "Rayuanmu tidak akan mempan padaku." Jemari Tristan mengangkat dagu Caramella dan menatapnya lembut. "Tapi kamu menyukainya kan?" Caramella memalingkan wajahnya. "Sebaiknya kita kembali ke hotel saja." Caramella berjalan meninggalkan Tristan di belakangnya. Pria itu tersenyum, lalu menyusul Caramella. Di depan kamar hotel, Tristan berpamitan pulang. "Kamu tidak akan masuk dulu." "Tidak. Aku tidak ingin mengganggumu lebih lama lagi. Kamu harus banyak istirahat hari ini sebelum pulang besok." "Baiklah." "Besok pagi aku akan menjemputmu." Caramella menggangguk dan menutup pintu, tapi Tristan menahannya. "Ada apa lagi?" "Kamu lupa sesuatu." "Apa?" "Kamu lupa memberikan sebuah pelukan dan ciuman untukku." "Sebaiknya kamu pergi saja." "Aku tidak akan pergi sebelum kamu memberikan pelukan dan ciiuman padaku. Bukannya kamu ingin belajar mencintaiku, jadi lakukan saja." Caramella menghela napas panjang. "Baiklah." Ia memeluk Tristan sebentar dan mencium pipinya sekilas. "Bukan seperti itu cara memelukku. Begini caranya." Tristan menarik pinggul Caramella dan tubuh yang lembut itu dirapatkan ke tubuh keras Tristan. Tubuh Caramella menempel dengan pas di tubuh Tristan, seolah mereka memang tercipta untuk satu sama lain. Napas pria itu terasa panas di lehernya. Mulut Tristan yang liar dan rakus melumat mulut Caramella, kemudian ciuman itu melembut , kemudian lengan Tristan mengendur dan melingkari tubuh Caramella dengan cara yang berbeda, melindungi. Kepala Tristan menunduk lebih dalam dan mulutnya mulai bermain di atas mulut wanita itu dengan lihai. Caramella mengerang serak saat ia terseret oleh gelombang kenikmatan dan merespons setiap sentuhan dan belaian lidah Tristan. Pikirannya menjadi kosong saat ia menjadi orang asing untuk dirinya sendiri. Pinggul Caramella merapat ke pinggul Tristan hingga ia bisa merasakan tubuh maskulin Tristan yang kokoh dan berotot menegang di tubuhnya dan bukti fisik gairah Tristan padanya. Caramella bernapas dengan terengah saat mulut Tristan meninggalkan mulutnya dan merosot turun ke lehernya. Bibir Tristan mencumbu lehernya dan lekukan di bawah rahangnya. Caramella mulai menyadari Tristan tahu bagaimana membuatnya merasakan hal-hal yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Hentikan!" Dengan cepat Tristan menarik pinggul Caramella menjauh. d**a pria itu naik turun dengan helan napas yang bergetar. Wajah Caramella merona. Tristan merasa senang oleh fakta bahwa ia bisa sangat mempengaruhi Caramella soal keintiman mereka. Jantung wanita itu berdetak dengan sangat kencang. Suara Tristan serak dan berat terasa seperti membelainya dalam kegelapan. "Apa kamu sekarang sudah mengerti?" Caramella mengangguk. "Sekarang masuklah! Sampai jumpa besok!" Ia menutup pintu cepat-cepat dan bersandar di pintu tidak bergerak. Telapak tangannya ditekankan ke dadanya untuk meredakan debaran jantungnya. *** Keesokan paginya, Caramella sedang bersiap-siap meninggalkan hotel dan sarapan pagi sebelum Tristan datang menjemputnya. Hari liburnya sudah berakhir dan ia akan kembali ke rutinitas biasanya menghadapi para klien yang terkadang membuat kepalanya pusing, tapi itu adalah resiko yang harus diambilnya untuk membantu mereka keluar dari masalah. Setelah selesai sarapan pagi dan berkemas, Caramella mengedarkan pandangan ke seluruh kamar hotel memastikan tidak ada yang tertinggal dan terlupa. Ia mengunci pintu, lalu bergegas menuju lobi hotel. "Saya mau check out,"katanya pada petugas hotel yang menyambut kedatangannya dengan senyum ramah. Tidak lama kemudian, Tristan datang dengan stelan jas mahalnya. Caramella terpesona oleh ketampanan pria itu. Tristan seperti ksatria berbaju zirah, tapi dalam balutan stelan jas yang siap menjemput sang Putri. "Selamat pagi, Sayang!" Tristan mengecup punggung tangan Caramella. "Pa-pagi!" "Apa kamu sudah siap pergi?" "Iya." Sopir membantu membawa koper dan tas Caramella ke mobil. Di dalam mobil ada Ester yang tersenyum kepadanya. "Halo Sayang! Bagaimana kabarmu hari ini." "Baik. Terima kasih." "Sebenarnya aku sedih kalian akan kembali ke London. Aku akan sangat merindukan kalian berdua." "Anda bisa datang ke London untuk mengunjungi kami." Ester tersenyum. "Tentu saja sambil menghadiri pesta pernikahan kalian." "Pesta pernikahan?!"serunya terkejut. Matanya melotot dan melirik ke arah Tristan untuk meminta penjelasan, tapi Tristan tak mengatakan apa pun. Pria itu hanya mengangkat kedua bahunya. "Iya. Pesta pernikahan. Kalian berdua kan sedang pacaran,"ujar Ester. "Tapi kami tidak pa...." "Kami akan segera menikah,"kata Tristan memotong kata-kata Caramella. Wanita itu nampak kesal dan di balas oleh senyuman puas Tristan. Caramella memicingkan mata dari sinar matahari yang menyilaukan dari arah samping jendela mobil. Mereka akhirnya tiba di bandara. Tristan dan Caramella memeluk Ester. "Jaga baik-baik diri Bibi!"kata Tristan. "Kamu juga dan segera beri kami kabar baik tentang tanggal pernikahan kalian." "Tentu saja." Mereka masuk ke pintu keberangkatan. Perjalanan menuju ke London berlangsung mulus tanpa gangguan apa pun, karena telah berhari-hari diparkir di bandara, mobil Tristan susah dihidupkan dan setelah mencobanya beberapa kali pria itu berhasil menyalakan mobilnya. "Akhirnya kita pulang juga,"ujar Tristan. "Iya." Pria itu menoleh pada Caramella yang terlihat lelah setelah perjalanan jauh dan matanya terpejam. Tristan mengerem mobil secara mendadak di depan gedung apartemen mereka. "Ada apa?!"seru Caramella terkejut. Caramella melihat seorang wanita yang hampir tertabrak dengan menghalangi wajahnya dengan kedua tangannya. Wanita itu pelan-pelan menurunkan tangannya dan wajahnya terlihat jelas. Caramella terkejut saat melihat wanita itu. "Ibu,"serunya terkejut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD