8. Pantai

1453 Words
Tristan langsung keluar dari mobil begitu mereka tiba di rumah neneknya. Ia masuk dan mencari keberadaan Sherly. Istrinya itu baru saja keluar dari arah dapur dengan mengenakan celemek. Sherly tersenyum dengan kedatangan suaminya. "Ah akhirnya kamu datangnya juga. Senang bertemu denganmu lagi, suamiku. Aku baru saja selesai membuat pai apel untuk kita semua." Tristan segera menarik Sherly kembali ke dapur yang sepi. "Apa yang kamu lakukan di sini?" "Tentu saja menengok nenekmu yang sakit. Aku juga mengkhawatirkannya, jadi aku datang untuk menjenguknya. Dia juga nenekku, karena kamu masih menjadi suamiku." "Berapa lama kamu akan tinggal di sini?" "Apa kamu tidak suka aku berlama-lama ada di sini?" Sherly balik bertanya. "Sejujurnya aku merasa terganggu dengan kehadiranmu di sini, meskipun kita belum bercerai secara resmi dan kamu masih menjadi istriku, aku merasa tidak nyaman." "Ya. Aku mengerti. Aku tidak akan tinggal lama di sini. Besok sore aku akan kembali ke London dan aku tidak berencana tinggal lama di sini." "Aku tidak ingin kamu tinggalkan Ailana sendirian di rumah lebih lama lagi." "Kami tidak perlu khawatir anak itu baik-baik saja. Dia sedang merasa gembira akan masuk ke sekolah barunya sebentar lagi." Di dapur ada kebisuan yang menggelisahkan antara Tristan dan Sherly. Kebisuan yang sangat membingungkan mengingat percakapan mereka sebelumnya berjalan dengan lancar. Tristan kembali memulai percakapan. "Karena sekarang kita sudah bertemu aku ingin membahas tentang Ailana denganmu." "Baiklah, tapi tidak sekarang. Kamu harus segera menemui nenekmu dulu. Dia ada di kamarnya." "Baiklah. Besok pagi kita bicara lagi." Tristan pergi dari dapur dan langsung menuju kamar neneknya di lantai dua. Di depan pintu, ia mengetuk dengan pelan. Seseorang membukakan pintu. Ia melongok ke dalam kamar ke arah tempat tidur neneknya. Ia tersenyum melihat neneknya dan langsung masuk. Perawat yang membukakan pintu tadi pergi keluar supaya Tristan dan neneknya dapat bicara dengan leluasa. "Bagaimana keadaan nenek sekarang?" "Sudah lebih baik, karena kamu sudah datang." Tristan memeluk neneknya untuk melepaskan kerinduannya dan ia mendaratkan sebuah kecupan di pipi keriput neneknya. "Maaf. Aku baru sempat datang ke sini. Pekerjaanku banyak dan menyita banyak waktu." "Kamu seperti Ayahmu selalu sibuk bekerja. Andai Ibumu masih ada pasti dia akan sangat senang melihatmu sekarang." "Nenek sangat merindukan Ibu , bukan?" "Sepanjang hidupku. Karina adalah anak kesayanganku. Apa kamu ingin tahu bagaimana Ibumu bertemu dengan Ayahmu? Sepertinya aku belum pernah bercerita tentang itu padamu." "Nenek belum pernah bercerita." Margaret, neneknya Tristan tersenyum kepada cucunya. Jika ia masih muda tetap tidak menikah dan menyerahkan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengejar karir, Tristan tidak akan lahir di dunia. Padahal Tristan adalah anugerah baginya dan dunia. Ia tidak dapat membendung rasa senang yang mengalir di dalam jiwanya ketika menatap Tristan yang sedang duduk di depannya. Tristan persis seperti yang ia harapkan, bahkan lebih. Tristan memijat kaki neneknya sambil mendengarkan ceritanya. "Ibu dan Ayahmu pertama kali bertemu di kandang kuda." "Apa di kandang kuda?"seru Tristan tak percaya, lalu ia tertawa riang memenuhi kamar yang bermandikan cahaya lampu. "Saat itu ibumu yang masih berumur 20 tahun sedang belajar naik kuda dan kebetulan Ayahmu sedang berada di sana juga. George Ramsey adalah seorang pemuda tampan dan Ibumu jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama." "Lalu apa yang terjadi setelah itu?" "George sering datang ke sini untuk bertemu Karina dan mereka sering berkencan. Akhirnya dia melamar Karina." "Aku iri dengan orang tuaku dan juga pada nenek, karena kalian saling mencintai sampai maut memisahkan mereka, bahkan nenek tidak menikah lagi." Pandangan mata Tristan tiba-tiba meredup. "Pernikahanmu dengan Sherly seharusnya memang tidak terjadi. Kalian tidak saling mencintai. Dulu aku memaksamu menikah dengannya, karena itu wasiat dari Ayahmu sebelum meninggal. Itu kesalahanku dan kesalahannya. Aku harap suatu hari nanti kamu akan bertemu dengan wanita yang benar-benar kamu cintai." "Ini sudah larut malam. Sebaiknya Nenek tidur. Aku juga akan tidur." "Kami sudah menempuh perjalanan jauh pasti kamu juga Lelah." Tristan menyelimuti neneknya dan mengecup keningnya. "Selamat malam!" *** Wanita bertubuh sintal itu menyangga tubuhnya dengan siku, lalu menarik selimut sampai ke d**a. Ia mengerutkan dahi memperhatikan pria tampan berusia 30 tahun yang berdiri di depan jendela kamar tidur. Pria itu menyandarkan bahunya pada ambang jendela sambil mengamati keramaian di jalan. "Apa yang kamu lihat? Sepertinya ada hal yang menarik di luar sana." "Hanya orang-orang. Tidak yang lebih menarik selain kamu." Pria itu tersenyum menggoda pada si wanita. Dexter Mcvoy, pewaris tunggal perusahaan properti terbesar di London yang juga kekasih Sherly, jika ayahnya meninggal. Dexter kembali ke tempat tidur dan berbaring di samping Sherly. Semalam wanita itu di telepon oleh kekasihnya untuk menemuinya di hotel. Malam itu juga ia pergi menemuinya. Ia tidak tahu kalau Dexter akan menyusulnya ke sini. Orang-orang menyebutnya wanita yang tidak mau bersyukur sudah mendapatkan suami sekaya dan sebaik Tristan dan lebih milih bercerai dengan pria itu, tapi masalah perasaan tidak bisa dipaksakan. Ia mencintai Dexter meskipun pria itu bukan orang kaya sekalipun. Ia mencintai pria itu sebelum ia menikah dengan Tristan hanya saja orang tuanya yang memaksa menikah dengan Tristan. Keputusannya bercerai tentu saja membuat orang tuanya sangat marah dan mengancam Sherly terusir dari keluarganya. Setelah Sherly menjelaskan pada orang tuanya berkali-kali, akhirnya mereka menyerah dan tidak marah lagi, bahkan mereka sudah memberi restu menjalin hubungan dengan Dexter setelah mengetahui pria itu benar-benar serius ingin membuat Sherly bahagia. Dexter memeluk Sherly dari belakang. "Aku mencintaimu,"bisiknya. "Aku juga mencintaimu." "Aku sudah tidak sabar kamu segera resmi bercerai dari suamimu dengan begitu kita bisa menikah secepatnya." "Bersabarlah! Sebentar lagi kami akan resmi bercerai." *** Caramella sudah satu jam berada di dalam bathtub sambil menikmati secangkir coklat panas. Ia sudah lama tidak merasa sesantai ini. Keputusannya untuk berlibur adalah keputusan yang tepat yang ia lakukan. Matahari pagi mulai bersinar terang. Hari ini ia belum merencanakan akan pergi jalan-jalan kemana. Semalam ia sudah membuat daftar tujuan wisatanya, tapi ia lebih memilih untuk pergi ke pantai dan berjemur di sana. Ia berdiri dan keluar dari bath tub dengan tubuh masih dipenuhi oleh sabun. Ia membersihkan tubuhnya di kucuran air shower. Setelah selesai mandi, ia mengenakan bikini yang akan digunakannya untuk berjemur di pantai. Ia lalu memakai celana pendek dan kaus lengan pendek. Sebelum keluar kamar, ia memakai kacamata hitamnya. Di lobby hotel, Derick terkejut melihat Caramella berada di Cartagena. Ia cepat-cepat sembunyi. "Kenapa dia di sini?"gumamnya. Derick memakai seragam petugas kebersihan hotel. Saat itu ia sedang membersihkan lantai. Ia tidak ingin putrinya melihat dirinya di sini. Ia belum siap bertemu dengan putrinya itu. Pria itu masih menyimpan rasa bersalah pada Caramella. Derick memandang kepergian putrinya keluar dari hotel. "Hampir saja ketahuan,"gumamnya dan bisa kembali bernapas lega. *** Kristin dengan penampilan sederhananya memasuki firma hukum tempat Caramella bekerja. Satu tangannya menenteng kantong kertas. Dengan rasa percaya diri, ia masuk dan langsung naik lift. Sesampainya di kantor Caramella, Willow melihat kedatangan Kristin. "Apa Caramella ada di dalam?" "Saat ini Miss Hewitt sedang tidak berada di kantornya." "Apa dia sedang keluar?" "Miss Hewitt sedang berlibur ke Cartagena dan baru kembali Minggu depan." Kristin nampak kecewa dan merasa sia-sia sudah datang ke sini. Tadinya ia akan lebih mendekatkan diri dan mendapatkan simpati dari putri tirinya itu untuk keuntungan pribadinya. "Ini salahku karena tidak menghubungi Caramella. Seharusnya aku membuat janji dulu." "Nanti akan saya sampaikan padanya kalau Anda datang." "Terima kasih." Kristin menyerahkan kantong kertas pada Willow "Ini untukmu." "Apa ini?" "Makan siang. Tadinya itu untuk Caramella, karena dia tidak ada jadi untukmu saja." "Terima kasih." Kristin tersenyum, lalu pergi. *** Di pantai telah banyak orang yang mendirikan banyak payung berwarna-warni dan juga alas berjemur. Caramella mencari tempat yang agak kosong dan tidak ada orang. Ia mendapatkannya di daerah pantai pribadi di mana banyak bungalo yang disewakan. Ia menggelar alas berjemurnya berupa handuk pantai dan berbaring di atasnya dan mengolesi tubuhnya dengan krim tabir surya menikmati sinar matahari tanpa balutan busana apa pun kecuali celana bikininya yang minim. Awalnya ia was-was akan ada orang yang mengganggunya, tapi sebenarnya ia tidak perlu cemas, karena tidak banyak orang yang akan mengganggunya. Tidak akan ada yang melihatnya berbaring dengan d**a terbuka seperti ini yang membuatnya merasa luar biasa. Caramella mengosongkan kepalanya dari semua pikiran yang menganggu. Setelah beberapa menit berjemur, ia mendengar suara sayup-sayup dari kejauhan memanggil namanya. Ia kira itu hanya khayalannya saja, tapi suara yang memanggilnya itu terdengar semakin jelas. Caramella terkejut melihat Tristan sudah berada di depannya sedang menyeringai kepadanya. Pria itu mengenakan celana pendek berwarna krim, kaus berwarna biru, dan sandal jepit. Ia sedang memandangi Caramella melalui kacamata hitamnya. Rambut pirang madunya agak kusut tertiup oleh hembusan angin. Tristan membuka kacamatanya. Caramella menelan ludahnya. Seandainya pria itu bukan sosok berpahatan begitu sempurna pasti ia berpikir akan disergap oleh seekor singa. "Halo!"sapanya. Caramella cepat-cepat menutupi tubuhnya dengan handuk dan memandang Tristan kenapa pria itu bisa berada di sini dan dari mana dia datang? "Ha-halo!"sahut Caramella.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD