"Jangan ditutup teleponnya!"
"Sekarang Ayah ada di mana? Kenapa Ayah melarikan diri?"
"Caramella sayang, maafkan Ayah! Tapi Ayah harus pergi."
"Apa Ayah tahu keperiganmu sudah meninggalkan banyak masalah untukku dan Kristin."
"Kristin? Apa dia datang menemuimu?"
"Iya tadi pagi dia datang menemuiku di kantor dan dia menangis, karena perbuatan Ayah."
"Apa yang dikatakannya kalau Ayah sudah membuat dia harus membayar hutang-hutang Ayah dan terus-terusan dikejar penagih hutang."
"Jadi begitu. Ternyata dia bilang seperti itu,"kata Derick yang tiba-tiba nada suaranya menjadi sedih dan terdengar pelan.
Selama beberapa detik tidak ada suara.
"Apa Ayah masih di sana?"
"Y-ya. Ayah masih di sini. Aku hanya ingin mengatakan padamu kalau Ayah baik-baik saja. Kamu tidak perlu mencari Ayah nanti Ayah yang akan mencarimu. Ayah tidak ingin bertemu denganmu saat ini dalam keadaan seperti ini."
"Ayah tidak perlu bersembunyi seperti ini."
"Tidak. Ayah akan datang menemuimu, jika Ayah sudah menjadi lebih baik agar kamu bangga pada Ayah. Ayah akan memperbaiki hidup Ayah secara perlahan-lahan. Aku janji."
"Jangan begitu mudahnya mengatakan janji kalau Ayah tidak bisa menepatinya. Itu sangat menyakitkan."
"Kali ini Ayah akan melakukannya. Kamu harus percaya pada Ayah kali ini."
Caramella menghela napas. "Baiklah. Ayah harus membuktikannya."
"Ayah akan membuktikannya nanti. Kamu harus jaga diri baik-baik dan jangan mudah percaya pada orang lain meskipun itu orang yang kamu kenal atau pun keluarga sendiri."
Caramella sesaat merasa aneh kenapa ayahnya tiba-tiba berkata seperti itu.
"Baiklah. Oh ya Kristin ingin bercerai dengan Ayah."
"Jika itu yang diinginkannya lakukan saja. Sepertinya dia ingin hidup bebas."
"Bebas dari kekejaman Ayah yang sering memukulnya,"katanya dengan suara sinis.
"Dia juga bilang seperti itu."
"Iya."
Suasana kembali hening lagi, lalu Derick berkata lagi. "Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Ayah dan Kristin. Dia memang meninggalkan Ayah, tapi tidak ada yang tahu masalah diantara kami termasuk kamu."
"Ayah bisa memberitahuku."
"Ayah ingin sekali, tapi Ayah tidak bisa, ayah tidak ingin membuat banyak masalah lagi. Caramella, kamu harus hati-hati pada Kristin."
"Apa maksud Ayah? Kenapa aku harus hati-hati padanya?"
"Maaf Ayah tidak bisa bicara banyak lagi. Ingat kata Ayah tadi. Sampai jumpa lagi!"
"Tunggu Ayah! Jangan pergi dulu! Ayah harus menjelaskannya padaku."
Sambungan telepon telah terputus. Caramella nampak sangat kesal, lalu ia memikirkan kata-kata ayahnya.
"Apa maksud Ayah tadi?"gumamnya.
Caramella berusaha untuk tidak menghiraukannya dan ia bermaksud kembali ke kamarnya untuk membereskan kembali barang-barang yang akan di bawanya nanti, ketika ia mendengar suara langkah di lorong apartemennya, kemudian suara pintu terbuka di samping apartemennya terdengar olehnya.
"Pria meresahkan itu sudah pulang,"gumamnya sambil berjalan menuju kamarnya.
***
Tristan memasuki apartemennya. Gelap, bersih, dan sunyi. AC berdengung dengan lembut. Ia pergi ke kamar dan membuka stelan jasnya. Pakaiannya dibiarkan tercecer di mana saja. Ia tahu besok ada pelayan kebersihan apartemennya yang akan membereskannya. Ketika ia sampai di kamar mandinya yang berada di dalam kamarnya, tidak sehelai pakaian pun yang melekat pada tubuhnya. Ia segera memutar kran air dingin. Kucuran air yang berasal dari shower membasahi tubuhnya, dinginnya menyengat.
Setelah beberapa menit berada dalam kucuran air, ia menutup keran dan melangkah keluar kamar mandi tanpa repot-repot mengeringkan tubuhnya dulu. Ia berjalan menuju lemari dan berpakaian. Saat kepalanya menyentuh bantal, Tristan langsung tertidur. Keesokan paginya, ia bangun lebih awal untuk bersiap-siap pergi ke Cartagena dan ia harus mengejar pesawat pukul 10.00 pagi.
Roti dan segelas s**u menjadi menu sarapannya pagi hari itu. Tristan tidak sempat lagi menyiapkan sarapan pagi yang lebih istimewa. Ia berdiri sambil meminum s**u setelah melihat jam tangannya.
"Aku bisa terlambat"serunya.
Tristan menyimpan piring dan gelas kotornya di wastafel begitu saja dan keluar terburu-buru dari apartemennya. Saat ia melewati pintu apartemen Caramella, ia tersenyum dan menebak-nebak wanita itu masih tidur. Jemputan telah menunggunya di depan lobi apartemen.
Sesampainya di bandara Heathrow, London, Tristan menelepon Finn sambil menunggu panggilan naik pesawat.
"Aku sudah berada di bandara. Selama aku pergi tolong kunjungi putriku, Ailana sesekali dan tolong berikan hadiah dariku untuknya. Kantong hadiahnya ada di kantorku. Aku belum memberikannya hadiah kelulusan sekolah."
"Baik Mr. Ramsey. Anda bersenang-senanglah. Saya akan mengurus semuanya di sini."
"Terima kasih, Finn!"
Tristan menutup teleponnya dan mencari kursi yang kosong di ruang tunggu di dekat gerbang pesawat. Beberapa menit kemudian terdengar pengumuman yang ditujukan kepada para penumpang untuk melakukan boarding. Ia berdiri dan antri boarding.
Caramella juga akan menaiki pesawat yang sama dengan Tristan. Ia berada diantrian paling belakang. Di dalam pesawat, Tristan mencari tempat duduknya yang berada di first class. Saat akan mencari tempat duduknya, ia tidak sengaja bertabrakan dengan seorang wanita dan keduanya terkejutnya.
"Miss Hewitt,"seru Tristan terkejut dan tak percaya.
"Mr. Ramsey,"seru Caramella tak kalah terkejutnya.
Mulut Caramella terbuka dan rahangnya hampir jatuh. Tristan tersenyum geli melihatnya.
"Apa yang Anda lakukan di sini?"tanya Tristan.
Meskipun pertanyaan Tristan terdengar santai, tapi ketertarikan di mata pria itu tampak.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Mr. Ramsey."
"Baiklah. Aku akan ke Cartagena untuk menengok nenekku yang sedang sakit. Dan Anda?"
"Pergi berlibur."
Mereka sudah menemukan kursinya masing-masing dan ternyata kursi mereka bersebelahan. Caramella langsung duduk di kursinya begitu pun dengan Tristan. Pria itu duduk sambil berbaring.
"Miss Hewitt, apa ini takdir atau kebetulan kita bertemu di sini dan sama-sama akan pergi ke Cartagena?"
"Aku rasa ini hanya kebetulan saja."
Senyuman menghiasi wajah tampan Tristan membuat Caramella merasakan keresahan hatinya. Mata indah yang sekarang terpejam itu merupakan perpaduan antara warna batu safir dan laut dan terlihat seksi membuat siapa pun yang memandangnya akan terpesona. Rambut pirang madunya sangat indah dan tertata rapi sangat pas dengan penampilannya. Baru kali ini ia melihat pria itu mengenakan pakaian kasual dan santai. Celana jeans melekat sangat pas di tubuhnya dan paha yang berotot tampak kokoh saat pria itu duduk. Kakinya dibalut oleh sepasang sepatu hitam mengkilat. Dengan wajah merona, Caramella mengalihkan matanya melewati paha Tristan, lalu naik ke depan celana, daada, bahu, dan wajah pria itu yang membuatnya semakin gelisah dan meresahkan. Mata Tristan terbuka dan memandang ke arahnya. Pria itu menyeringai perlahan dan penuh nafsu.
Mata itu serta-merta menyapu sekujur tubuh Caramella. Pandangannya berhenti sampai ke daadanya. Matanya melebar dan terpesona. Caramella baru menyadari pakaian atasannya kancingnya terbuka memperlihatkan sepasang buah daada dan ia cepat-cepat menutupinya.
Tristan tersenyum lagi dan menatapnya dengan keseriusan yang menggelisahkan, lalu berkata,"Aku masih tidak percaya bisa berada dengan Anda di sini, Miss Hewitt."
Caramella menatap Tristan, terhipnotis oleh suara pria itu yang naik turun. Iramanya terdengar begitu lembut di telinganya.
"Aku juga."
Caramella kesal ia terjebak di dalam pesawat yang sama dan dalam satu ruangan bersama Tristan. Apa lagi kursi mereka bersebelahan. Sepertinya ia tidak bisa menghindari pria itu. Kapan pun dan di mana pun, ia selalu bertemu dengannya.
Diam-diam ia melirik Tristan yang sedang berbaring di kursinya sambil memejamkan matanya lagi. Ada sesuatu yang liar dan tak tertaklukkan dalam diri Tristan. Pria itu juga memiliki pesona yang sulit untuk ditolak. Caramella menghela napas pendek dan ikut berbaring juga. Ia memiringkan tubuhnya membelakangi Tristan.
***
Caramella terbangun. Entah berapa lama ia tertidur. Ia segera duduk dan merapikan rambutnya yang tergerai. Ia melihat me arah Tristan dan pria itu tersenyum kepadanya.
"Tidurmu sangat nyenyak."
"Semalam tidurku tidak begitu nyenyak."
Caramella menguraikan rambutnya yang kusut dengan tangan, kemudian menyisirnya. Ia menyadari Tristan sedang memperhatikannya. Entah seberapa sering mata biru itu melihat kepadanya. Tristan mengamati wanita itu dengan saksama, menikmati pemandangan yang dibuat olehnya dengan rambut yang tergerai indah, karena selama ini ia selalu melihatnya dengan rambut digelung ke atas dan kulitnya yang berkilau. Caramella nampak begitu menggoda.
"Miss Hewitt,"panggilnya.
Caramella menolehkan kepalanya.
"Apa nanti kita bisa bertemu setelah kita sampai di Cartagena?"
"Aku tidak tahu, tapi itu mungkin saja. Aku menginap di Marien Intercontinental hotel.
"Baiklah."
Caramella merasa heran pada dirinya sendiri kenapa juga ia barus memberitahu di mana ia menginap. Setelah melakukan dua kali transit akhirnya mereka tiba di Cartagena setelah menempuh waktu belasan jam. Mereka tiba malam hari. Setelah keluar dari pesawat, mereka menunggu untuk mengambil koper. Tristan berdiri di samping Caramella.
"Dengan apa Anda akan pergi ke hotel?"
"Taxi."
"Aku akan mengantarmu ke sana."
"Anda tidak perlu repot-repot."
"Sama sekali tidak merepotkan. Aku tidak bisa membiarkan seorang wanita malam-malam naik taxi sendirian."
Koper mereka datang. Tristan membantu mengambil Koper Caramella yang sangat besar dan menyimpannya di troli. Tak lama koper Tristan mendekat dan mengambilnya. Mereka bersama-sama menuju pintu kedatangan. Tristan menghampiri seorang wanita dengan rambut hitam sebahu mengenakan kacamata. Wanita itu tersenyum.
"Halo Bibi Ester!"
"Tristan, sayang. Akhirnya kamu datang juga."
Mereka saling berpelukan melepaskan kerinduan setah lama tidak bertemu. Sementara itu Caramella berdiri di belakang Tristan. Wanita itu memandangi Tristan dengan seksama.
"Kamu masih terlihat tampan seperti dulu."
Tristan hanya tersenyum. "Bibi juga semakin terlihat cantik,"pujinya dan wanita itu tersipu.
Tristan lalu memperkenalkan Caramella pada bibinya dan Ester merasa kagum.
"Bibi Ester ini Miss Caramella Hewitt. Miss Hewitt, ini Bibi Ester."
"Halo!"sapa Caramella.
"Selamat datang di Cartagena! Pasti kamu akan sangat menyukai tempat ini."
"Aku harap begitu. Ini pertama kalinya aku datang ke sini."
"Kamu tidak salah memilih tempat untuk berlibur."
"Sebelum kita pulang ke rumah, aku ingin mengantarkan Caramella ke hotelnya dulu,"kata Tristan pada bibinya.
"Baiklah. Ayo kita pergi dari sini!"
Sopir dan Tristan mengangkut koper dan memasukkannya ke mobil, lalu mereka pergi.
"Apa kalian berdua berteman?"
Caramella hendak menjawab, tapi Tristan mendahuluinya.
"Miss Hewitt adalah pengacara. Ia yang membantuku mengurus perceraianku dengan Sherly."
Bibi Ester mengangguk mengerti. Mereka tiba di hotel. Tristan turun dan membantu Caramella. "Selamat berlibur!"
Tristan kembali masuk ke mobilnya setelah Caramella masuk ke hotel.
Bibi Ester melirik Tristan. "Apa kamu menyukai wanita itu?"
"Iya. Tentu saja."
Bibinya masih menatapnya.
"Aku menyukainya hanya sebagai seorang teman."
"Benarkah?"
"Tentu saja."
"Dia wanita yang sangat cantik."
"Bibi benar. Dia juga sangat menggoda."
Tristan menyunggingkan senyuman.
"Apa kamu tahu, Sherly ada di sini?"
"Apaaa?!"