Aku dan Lita sedang bersiap untuk tidur. Aku membaringkan diri di sebelahnya. Sebelumnya ia sudah mandi dan kupinjami piyamaku. Ukuran baju kami sama, jadi sudah kebiasaan untuk saling pinjam pakaian jika salah satu dari kami menginap. Kami sudah berada di atas kasur, menatap langit-langit kamarku.
"Pas pertama kali tahu kalau Bokap lo itu adalah sosok reinkarnasi dari masa lalu, apa yang lo rasain?" tanyaku tiba-tiba. Aku masih memandang langit kamarku, kutarik selimutku sebatas dagu. Aku menanti jawaban Lita.
Cewek itu tampak berpikir dahulu sebelum menjawab pertanyaanku. "Pastinya bingung. Aneh. Jujur kita sekeluarga canggung."
Aku mendengar ia menghela napas. Sepertinya ia mengingat-ingat masa lalunya. Aku ikut menghela napasku.
"Tapi lama-lama kami sekeluarga menerima keadaan Papa. Dan ... memang sebenarnya gak ada yang perlu dirisaukan. Yang jelas, Papa tetaplah Papa kami. Papa yang sekarang, bukan yang hidup di masalalu." Lita mengakhiri kalimatnya dengan menatapku. Sudut bibirnya tertarik.
Aku tak sadar kalau sejak tadi aku sudah menatap Lita. Menanti jawabannya.
"Dan gue harap ... ini gak merubah lo, Na. Alana tetap Alana. Bukan Jasmin atau siapapun itu. Alana memang dulunya adalah Jasmin, namun Alana yang sekarang adalah sosok baru dengan jiwa lama. Alana tetaplah Alana," jelas Lita. Ia tersenyum. Aku pun ikut tersenyum.
Benar kata Lita. Aku adalah sosok baru yang meskipun dengan jiwa lama. Toh, ingatan bocah berusia delapan tahun sangat minim. Aku bahkan sudah lupa semuanya, selain yang terjadi dalam mimpi itu.
"Entah itu ada tugas untuk melindungi Keano atau gak, diri lo ya tetap lo." Lagi-lagi ia tersenyum. Tapi beberapa detik berikutnya, ia mengerutkan dahi. "Tunggu, kok namanya gak asing ya di telinga gue?"
Em, aku memang belum menceritakan sampai sejauh itu pada Lita. Aku menggigit bibir bawahku. "Eng-"
"Kek kenal, bentar," kata Lita. Ia bermonolog. Tangannya menyentuh dahinya. Khas Lita kalau sedang mengingat sesuatu. "Kek guru baru itu, eh- Jangan-jangan!" Lita menatapku sambil menutup mulut dengan tangannya.
Aku tertawa garing.
"Jangan bilang kalau ..." Ucapannya menggantung. Ia menanti penjelasan lagi dariku.
Aku tak mau mengelak, toh sudah kepalang basah. Ibaratnya Lita sudah mengetahui semuanya. Maka aku akan memberitahu tentang Keano juga.
"Iya." Aku mengangguk. "Seperti yang lo bayangin."
"Seperti yang gue bayangin? What!" Lita masih membekap mulutnya. Ia memasang reaksi lebay.
Mengapa orang-orang di sekelilingku harus lebay semua sih?
Aku mengangguk. "Iya, dia Keano. Guru baru itu. Guru Sosiologi yang tadi siang baru masuk."
Aku menatap Lita yang kini menganga, lalu meringis.
Lita mengedip-ngedipkan matanya kaget mendengar perkataanku. "Beneran? Lo gak lagi nge-prank kan?"
Apa? "Ish, kenapa gue dari kemarin dibilang prank mulu sih?!" gerutuku sambil memutar bola mata jengah. Kemarin Deon yang mengataiku kalau aku tukang prank, sekarang gantian Lita. Benar-benar.
"Lo serius?" tanyanya dengan wajah sangsi. Lita masih belum percaya juga rupanya. Namun ini reaksi yang wajar, mana ada yang akan percaya secepat itu?
Aku mengangguk mantap. Dan pertanyaan Lita terjawab sudah. "Serius."
"Heol! Daebak!" katanya dengan mata membelalak. "Lo gak salah liat? Maksud gue ... bisa aja namanya doang yang sama kan?"
Aku sejenak mengingat-ingat lagi mimpiku di malam sebelumnya. Kalau dipikir-pikir lagi, dalam mimpiku itu wajah Keano tidak tampak jelas, samar. Aku bahkan tidak bisa menjelaskan deskripsi tampan yang kuingat dari wajah Keano di mimpiku. Yang kutahu, Keano itu tampan. Hanya itu. Jadi, mungkin belum tentu kalau Pak Keano, si guru baru itu, adalah Keano yang sama dengan sosok di masa laluku.
Namun, entah mengapa firasatku berkata lain. Saat pertama kali melihat guru baru itu, aku merasa ada sisi familiar darinya. Aku merasa tidak asing, seperti pernah melihat di suatu tempat. Tapi di mana?
"Heh! Kok ngelamun?" Lita menyenggol bahuku.
Aku menatapnya setelah sejak tadi berpikir. Lalu menjelaskan semua yang terjadi dalam mimpiku.
"Gue pikir ... dia bisa aja bukan Keano. Tapi ... kenapa hati kecil gue bilang kalau dia adalah Keano?"
°°°°
"Struktur sosial merupakan suatu tatanan dalam kehidupan masyarakat. Tatanan yang dimaksud di sini adalah adanya hubungan timbal balik antara status dan peranan yang menunjukkan perilaku seseorang dalam kehidupan masyarakat."
Kelas hening. Semua murid sibuk mencatat penjelasan yang terpampang di layar proyektor depan kelas. Aku pun ikut membaca sekilas penjelasan itu. Namun sebenarnya, aku tidak benar-benar membacanya. Hanya sekilas. Selebihnya aku malah memperhatikan Pak Keano. Ia membacakan definisi Struktur Sosial dengan lantang, yang ajaibnya mampu membuat kelas seolah tersihir. Lelaki itu mampu membuat siswa dan siswinya sibuk mencatat, tidak seperti saat mata pelajaran guru lain.
Tunggu, sepertinya aku satu-satunya yang tidak mencatat. Karena sejak tadi aku hanya memperhatikan lelaki itu, em, guru baruku. Jemariku memang terselip bolpoin, namun aku tidak benar-benar mencatat. Selagi memperhatikannya, pikiranku malah melayang kemana-kemana.
"Sstt... ssttt ..."
Lita menyenggol tanganku di atas meja. Tentu saja membuatku menoleh ke arahnya. "Apa?" tanyaku dengan suara lirih.
Kubilang kan tadi kalau suasana kelas benar-benar hening. Hanya ada suara Pak Keano di depan sana, jadi kalau kami ketahuan mengobrol, bisa habis riwayat kami.
"Beneran Keano di mimpi lo atau bukan?" Kali ini Lita malah main isyarat denganku. Bibirnya mengucapkan kalimat itu tanpa suara. Namun masih dapat kuketahui maknanya.
Aku mengedik bahu. "Gak tahu." Setelah mengucap itu, aku kembali menghadap depan. Dan ada hal yang cukup membuatku terkejut. Aku dan Keano -eh maksudku Pak Keano- bertatapan. Mata kami bertatapan hanya sepersekian detik, karena selanjutnya aku malah mengalihkan tatapanku ke layar proyektor dan pura-pura mencatat. Sepertinya ia mengetahui kalau aku dan Lita sejak tadi mengobrol.
Menurut gue, lo harus tanya langsung ke orangnya
Setelah tadi menggunakan bahasa isyarat, kini Lita malah memberiku kertas dengan tulisan tangannya. Aku membaca itu dalam hati dan menuliskan jawaban di sana.
Haruskah?
Aku menggeser kertas itu pada Lita dan kembali mencatat sub bab yang telah berganti. Cepat-cepat aku mencatat.
Beberapa detik kemudian, kertas itu kembali padaku, membuatku menatap cewek di sampingku itu setelah membaca tulisannya.
HARUS!
°°°°
"Eits lo mau kemana?"
Lita menarik seragam OSIS-ku dengan lancang. Tarikan itu membuatku menghentikan langkah. "Gue mau kumpul OSIS."
"Sejak kapan lo jadi rajin kumpul OSIS?" Lita menelisik. Matanya menyipit seolah mendeteksi perkataanku benar atau tidak.
"Anak OSIS ya kudu rajin ikut rapat OSIS," sahutku. Aku mencari alibi tepat untuk menghindari berbicara dengan Lita.
Iya, sejak kelas sepuluh, aku sudah aktif di OSIS. Padahal awalnya aku hanya iseng mendaftar OSIS, namun beruntung atau buntung, tiba-tiba aku terpilih menjadi bagiannya. Seperti yang dikatakan Lita, aku yang awalnya memang iseng ikut OSIS, membuatku sangat jarang ikut rapat atau kumpul. Paling beberapa kali kalau mendapat jatah kepanitiaan, selebihnya aku akan absen dan mencari alasan untuk tidak rapat. Aku lebih memilih bermain PS dengan Deon daripada harus rapat.
"Kali ini rapatnya penting. Gue disuruh ikut."
"Lo mau kabur ya? Gue udah bilang kalau lo harus datengin Pak Keano terus tanya langsung. Jangan kabur!" Lita menahan lenganku.
"Gue beneran ada rapat, Ta." Aku menepis tangannya dari lenganku namun genggamannya benar-benar kuat.
"BOHONG!"
"ALANA, MAIN YUK!"
Huh Deon benar-benar penyelamatku. Begitu Lita menoleh ke arah pintu kelas, ia lengah, membuatku berhasil melarikan diri. Aku bergegas berlari ke arah pintu dan menarik tangan Deon.
"Oke, kita main."
"Alana, jangan kabur!"
Kupaksa ia ikut berlari di sampingku. Deon tentu saja kebingungan. Tapi aku tidak menghiraukannya. Kami terus berlari. Kubawa Deon ke atap sekolah.
Begitu sampai di atap, kulepaskan genggamanku darinya yang kurasa sejak tadi kencang sekali. Kami mengatur napas.
"Ngapain sih kita mesti lari?" tanya Deon sambil mengatur deru napasnya. Ia menyentuh lututnya seraya membungkuk. Jarak kelasku dengan atap lumayan jauh. Jadi jelas saja ia terlihat kelelahan.
Aku memandang Deon. "Lita nyuruh gue buat tanya Pak Keano langsung."
Deon tampak berpikir sebelum bertanya, "Gue pernah denger namanya keknya. Guru baru itu bukan sih?" Ia menatapku sangsi.
Aku mengangguk. "Oke, gue jelasin." Aku menjeda. "Lo inget kan gue sering bilang kalau dalam mimpi itu ada dua anak?"
Deon mengangguk menjawab pertanyaanku. "Terus?"
"Anak kecil yang meninggal dalam mimpi itu adalah gue. Eh dengerin dulu-"
Deon hampir mengabaikanku lagi. Cowok itu malah menguap lebar, seperti tengah mendengar cerita sejarah dari gurunya. "Iya."
Aku melanjutkan. "-dan anak kecil satunya itu ... Pak Keano," lanjutku. Aku menatap raut Deon menunggu respon cowok itu.
Namun cowok itu masih datar. "Oh," sahutnya. Ia baru ingin melangkah mendekati besi pembatas namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia tersadar akan satu hal. Cepat-cepat ia menatapku. "Tunggu, Pak Keano? Guru baru itu?" tanyanya sangsi.
Kupikir Deon ingin menyudahi permbicaraan ini, namun wajahku sejak tadi sangat serius. Pun saat aku mengangguk menjawab pertanyaan Deon barusan. "Iya. Pak Keano."
Deon mengerjap, takjub dengan hal yang ia dengar. "Lo yakin? Gak salah liat atau salah ingat? Maksud gue ... itu mimpi kan? Samar, kan?"
Alana menggeleng. "Gue gak salah liat atau ingat. Gue seratus persen yakin."
"Hah?" Deon tidak habis pikir. Cowok itu memandangku dengan tatapan tidak percayanya. "Terus? Maksud lo ... lo bakal kasih tahu Pak Keano tentang mimpi-mimpi lo itu?"
Deon menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Kupikir ia memintaku untuk tidak membeberkan tentang mimpi itu pada Pak Keano.
"Ya. Gue akan ceritain semuanya." Aku berbicara dengan tegas.
"Sinting."
"Deon!"
°°°°