"Lo inget kan gue sering bilang kalau dalam mimpi itu ada dua anak?"
Deon mengangguk menjawab pertanyaanku. "Terus?"
"Anak kecil yang meninggal dalam mimpi itu adalah gue. Eh dengerin dulu-"
Deon hampir mengabaikanku lagi. Cowok itu malah menguap lebar, seperti tengah mendengar cerita sejarah dari gurunya. "Iya."
Aku melanjutkan. "-dan anak kecil satunya itu ... Pak Keano," lanjutku. Aku menatap raut Deon menunggu respon cowok itu.
Namun cowok itu masih datar. "Oh," sahutnya. Ia baru ingin melangkah mendekati besi pembatas namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia tersadar akan satu hal. Cepat-cepat ia menatapku. "Tunggu, Pak Keano? Guru baru itu?" tanyanya sangsi.
Kupikir Deon ingin menyudahi permbicaraan ini, namun wajahku sejak tadi sangat serius. Pun saat aku mengangguk menjawab pertanyaan Deon barusan. "Iya. Pak Keano."
Deon mengerjap, takjub dengan hal yang ia dengar. "Lo yakin? Gak salah liat atau salah ingat? Maksud gue ... itu mimpi kan? Samar, kan?"
Alana menggeleng. "Gue gak salah liat atau ingat. Gue seratus persen yakin."
"Hah?" Deon tidak habis pikir. Cowok itu memandangku dengan tatapan tidak percayanya. "Terus? Maksud lo ... lo bakal kasih tahu Pak Keano tentang mimpi-mimpi lo itu?"
Deon menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Kupikir ia memintaku untuk tidak membeberkan tentang mimpi itu pada Pak Keano.
"Ya. Gue akan ceritain semuanya." Aku berbicara dengan tegas.
"Sinting."
"Deon!"
"Kata itu yang bakal Pak Keano bilang pas lo kasih tau semuanya." Deon menatapku dengan geram. "Lo pikir, masuk akal gak, orang yang udah meninggal terus hidup lagi jadi sosok baru seperti yang lo bilang?"
Aku menatap Deon nanar. Kemudian memerosotkan bahunya lemas. "Iya yah, gak masuk akal banget."
"Dalam agama kita juga gak percaya akan hal itu, kan?"
Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaan Deon. "Tapi lo tahu kan gue bisa sebutin semuanya. Tentang mimpi itu."
"Bahannya cuma mimpi, gimana bisa orang-orang bakal percaya? Terlebih lagi dia itu Pak Keano. Seorang guru, orang terpelajar, gimana bisa dia percaya gitu aja sama omongan lo, dengan berbekal mimpi lo itu?"
Mendengar perkataan Deon, rasanya aku ingin menangis saja. Benar katanya, bagaimana bisa Pak Keano percaya dengan omonganku?
"Terlebih, Na. Bisa jadi Pak Keano itu cuman namanya yang sama dengan Keano di mimpi lo." Deon memegang bahuku. Matanya menusuk dalam mataku. Seolah meyakinkanku untuk mempercayainya. "Coba ada berapa nama Keano di negara kita? Gak cuma satu, dua, atau lima, tapi banyak."
Benar juga. Belum tentu kalau Pak Keano adalah Keano yang sama dengan mimpiku. Tapi ... kenapa hatiku berkata lain? Atau ini hanya efek rasa penasaranku tentang kebenaran sosok Jasmin?
Jadi aku seolah menganggap nama Keano dalam diri Pak Keano adalah nama satu-satunya di dunia ini.
Aduh, tiba-tiba kepalaku pusing.
"Gue pusing."
°°°°
Sebenarnya hari ini benar-benar ada kumpul OSIS. Namun bedanya yaitu terletak pada waktunya. Aku tadi membohongi Lita dan bilang kalau rapat OSIS diadakan di jam istirahat pertama. Namun yang sebenarnya adalah rapat OSIS dilaksanakan sepulang sekolah.
Deon sudah pulang sejak sepuluh menit lalu, aku sengaja menyuruhnya pulang terlebih dahulu. Jika tidak ia akan menungguku. Aku tidak enak jika harus membuatnya menunggu lama seperti yang pernah ia lakukan waktu itu.
Mau tau yang terjadi padaku dan Lita? Lita pada akhirnya memahami keputusanku untuk tidak langsung memberitahu Pak Keano. Cewek itu juga mengatakan padaku kalau sebenarnya aku tak perlu terburu-buru mengatakan yang sebenarnya. Ah, Lita benar-benar dapat diandalkan dalam hal ini.
Aku berjalan menuju ruang OSIS di lantai satu yang berada dekat dengan kantor guru. Langkahku ringan sambil memegang tas ranselku. Ransel hitam yang sudah sejak kelas sepuluh menemaniku, pemberian Papa sewaktu ulangtahunku yang ke- 16 tahun lalu. Begitu sampai di depan ruang OSIS, kepalaku memutar balik dan justru memandangi kantor guru. Aku masih penasaran dengan Pak Keano. Mataku mengedar, mencari keberadaan guru baru itu.
Namun sayangnya ia tidak ada di sana. Dengan bahu merosot, aku membalik badan. Terkejutnya aku begitu membalikkan badan, aku menabrak d**a bidang seseorang. Em, seorang lelaki. Dari seragamnya aku sudah menebak kalau ia bukan murid SMA, melainkan guru. Begitu aku mendongak, mataku membelalak.
"Hati-hati kalau membalik badan."
Suara bariton seketika memenuhi indera pendengaranku. Lelaki di depanku tersenyum kecil, lalu mengerut dahi.
Pak Keano.
"Saya mau lanjut jalan. Bisa geser sedikit?"
Lelaki itu berujar dengan nada lembut, namun mengapa aku mendengar ada sedikit sarkasme darinya, ya?
Aku tergagap. Lalu mengangguk. Bergegas menggeser tubuhku ke samping. "Maaf, Pak."
Pak Keano mengangguk kecil. Ia tersenyum tipis padaku lalu kembali melangkah. Tunggu, namun mengapa langkahnya menuju ke ruang OSIS?
"Na, ngelamun aja." Tepukan di pundakku mengagetkanku. Ternyata ada Rani, teman sekelas Deon, yang juga anak OSIS. Cewek berponi rata itu tersenyum ramah, lalu menggandeng tanganku, ia menarikku ke dalam ruang OSIS.
"Keajaiban lihat Alana ikut rapat OSIS," sarkasnya. Ia tersenyum riang sambil terus menggandengku.
"Hari ini kita ada pembina pengganti," bisiknya di dekat telingaku. Lalu matanya mengarah pada Pak Keano yang tengah bercengkrama dengan Erlan, si ketua OSIS. "Pak Keano gantiin Bu Gina yang mau lahiran anaknya."
Aku tersenyum tipis. Jadi itu alasan Pak Keano memasuki ruang yang sama denganku tadi? Ia adalah pembina OSIS yang baru?
"Eh Alana ikut rapat?" tanya Fira, salah satu anak OSIS. Ia menjabat sebagai Sekretaris OSIS. Tugasnya mengabsen setiap ada rapat. Jadi, jelas ia paham mana anggota OSIS yang jarang ikut rapat.
Aku mengangguk. "Kenapa pada heran sih gue ikut rapat?" Aku tertawa sumbang.
Fira mengedik bahu. "Ini, Na. Denda karena lo jarang ikut rapat," katanya sambil menyerahkan sebuah buku yang berisi catatan nama dan jumlah denda anggota OSIS.
Oh iya, aku baru ingat kalau ada denda! Mataku mendelik melihat jumlah dendaku yang sudah mencapai angka lima puluh ribu. Setiap tidak ikut rapat, akan didenda lima ribu, maka artinya aku sudah tidak ikut rapat sepuluh kali.
"Perasaan gue gak ikut rapat sebanyak ini deh, Fir?" protesku padanya. Seingatku memang benar aku jarang ikut rapat, namun tidak sampai sepuluh kali.
"Jelasin, Ran." Fira mengabaikan tatapanku, cewek itu malah membolak-balik bukunya. Dasar cewek dingin! Aku heran kenapa Erlan betah banget sama Fira? Sebagai Ketua dan Sekretaris maksudku.
"Na, lo gak ikut rapat emang cuma delapan kali, tapi ini peraturan baru, dendanya naik jadi sepuluh ribu sekarang." Rani menjelaskan dengan tenang. "Lo gak baca chat grup ya?"
"Oh ya? Sejak kapan ada peraturan gitu? Gue baca kok grup." Aku mengeluarkan ponselku. Lalu mulai membaca pesan di grup OSIS. "Mana? Gak a-"
Mataku mengamati satu per satu pesan, lalu akhirnya terhenti saat menemukan satu pengumuman di sana. Tentang kenaikan denda. "-da."
Haduh. Kenapa bisa aku ketinggalan info penting seperti ini?
"Ada kan?" Rani mengintip pesan yang tengah k****a. Lalu cewek itu terkekeh kecil.
"Gue nyicil, ya?" Aku menyengir.
°°°°
Di OSIS aku menjadi anggota di bidang Departemen Bakat Minat dan Olahraga. Ini sebabnya aku sering bertemu dengan anggota-anggota tim ekskul Olahraga maupun ekskul lainnya. Termasuk Deon. Ia kan aktivis Basket sekolah kami.
Sedangkan yang menjadi Koordinatorku yaitu Rani. Maka dari itu aku dan ia sangat akrab. Setiap ada info, pasti ia akan memberitahuku. Namun, aku saja yang jarang mengecek pesan darinya. Aku bahkan sampai merasa bersalah sendiri.
"Jadi, sudah ada kemajuan buat mading?" Erlan bertanya pada Penanggungjawab Mading. Erlan ini adalah siswa kelas dua belas. Sebentar lagi ia akan lengser. Dan dengan itu pula, artinya aku pun akan lengser.
Sinta, si Penanggungjawab Mading pun mengangguk. "Udah Lan. Tinggal ganti tema aja buat minggu ini."
Mendengar itu, Erlan mengangguk-angguk. "Oke." Ia menunduk menuliskan sesuatu di bukunya. Ia punya buku catatan sendiri. Lalu saat ia mengangkat kepalanya kembali, tak sengaja kami bersitatap. Bukan seperti adegan di drama yang romantis, cowok itu justru memberi tatapan dingin.
"Oh iya, ada pengumuman baru. Semuanya udah buka grup kan?" tanyanya. Matanya mengedar. "Denda ketika absen tanpa alasan yang jelas akan dinaikkan. Jumlahnya jadi sepuluh ribu setiap tidak berangkat." Matanya memandangku ketika mengucap itu.
Aku sontak mengalihkan tatapan. Ia jelas menyindirku. Menyebalkan!
"Terus pesan dari Pembina baru, beliau bilang kalau setiap anggota OSIS wajib setiap rapat. Yang ngusulin dinaikin jumlah dendanya juga beliau." Erlan masih bersuara sedangkan aku menunduk memandang bukuku.
Kupikir bukan hanya aku saja yang sering absen jika ada rapat. Namun mengapa semuanya seolah men-judge jika hanya aku yang jarang berangkat?
"Kalau ada yang absen sampai lebih dari lima kali, kata Pak Keano harus menemui beliau besok di mejanya."
"Tunggu, lebih dari lima?" tanyaku. Aku tiba-tiba bersuara. Serempak sepuluh pasang mata itu memandangku.
"Iya, Alana."
"Bukan cuma gue kan yang lebih dari lima, Kak?" Aku menatap satu per satu orang yang ada di sana. Berharap jika ada satu orang saja yang bernasib sama sepertiku. Namun mereka hanya diam saja. Jujur, hanya Rani yang paling akrab denganku. Jika diibaratkan, aku hanya orang asing di OSIS. Mungkin karena aku jarang ikut kumpul OSIS, jadi aku tidak akrab dengan yang lainnya.
"Sebenarnya harusnya ada, Na. Tapi dia sakit jadi itu alasan kuat, dan gak keitung absen tanpa penjelasan." Fira membuka catatannya dan menatapku. Ia tersenyum miring. "Jadi, lo besok ke kantor guru dan ketemu Pak Keano, ya."
Sial! Fira pintar sekali berbicara sambil menyeringai seperti itu.
"Siapa?"
"Anita. Dia kan sering gak ikut kumpul juga karena lagi sakit." Rani menimpali.
"Oh," gumamku. Aku mencebik bibirku.
"Oke, rapat hari ini dicukupkan. Kita kumpul lagi hari Kamis ya."
Aduh, apa yang harus kulakukan? Apa ini memang kesempatanku untuk mencari kebenaran tentang Pak Keano?
Iyakah?
°°°°