Chapter 5

1322 Words
"Keano?" lirihku.   Aku masih menganga memandang lelaki yang sejak tadi tak bosan mengumbar senyum di depan kelas. Lelaki itu sangat tampan. Kuulangi. Sangat. Tampan. Benarkah ia Keano? Keano si bocah kecil itu?   Ia masih menyungging senyum, pun saat seisi kelas melontarkan pertanyaan lelucon dan memasang wajah penasaran tentang pribadi guru baru itu.   "Pak, minta nomor hapenya." "Pak, udah punya pacar belom?" "Saya single loh, Pak." "Pak, saya mau nunggu lama kok demi sama Bapak."   Aku masih memperhatikan wajah lelaki itu saat dengan ramahnya menjawab satu-persatu pertanyaan siswi di kelasku. Ia tersenyum dengan wajah tampannya hingga menampakkan senyum bulan sabitnya. Rambut hitamnya masih sama persis seperti dalam mimpiku. Jadi, benar ya, lelaki yang kini menjadi guru -yang bernama Keano- itu, adalah sosok yang sama seperti di dalam mimpiku? Bocah lelaki yang dulu berusia delapan tahun itu sekarang berusia-   "Tiga puluh tahun. Usia saya tiga puluh tahun. Ah, iya, belum menikah. Masih single."   -tiga puluh tahun. Tunggu! Usianya terpaut cukup jauh dariku. Aku reflek menghitung dengan jariku. Tiga belas tahun? Aku kembali mengalihkan pandanganku ke depan, memandangnya.   "Oke, perkenalan cukup. Sekarang keluarkan buku kalian. Kita belajar tentang Struktur Sosial."   •••   "Na!"   "..."   "Alana!"   "Iya!" Aku tersedak jus yang sedang kuminum. Lalu terbatuk dan mengelap daguku yang basah. Aku memberi Lita tatapan mematikan sambil menggerutu. "Lo mau bikin gue mati dua kali?!"   Mendengar itu Lita sedikit tercengang, namun ia terkekeh dan tidak menanggapi perkataanku tadi. "Maaf."   Aku sedikit gugup setelah menyadari perkataan yang kulontarkan barusan.   "Lagian lo ngelamun bae dari tadi. Ada apa?" tanya Lita setelah kekehannya mereda. "Eh bentar, gue perhatiin belakangan ini lo sering ngelamun deh, Na. Kenapa sih?" Ia memberi tatapan curiga padaku.   Sudah kubilang kan kalau ia itu mirip peramal? Pasti dengan mudah ia juga akan menebak perasaanku belakangan ini. Apalagi aku sering kedapatan tengah melamun saat bersamanya. "Enggak. Gak pa-pa, kok." Aku menggeleng.   "Lo mau ngelak apa lagi, Na? Pasti ini ada kaitannya sama pertanyaan yang sering lo tanyain deh, iya kan?" Lita benar-benar peramal nih. Fix!   "Pertanyaan apaan?" Aku tertawa sumbang. Kusedot jus mangga kesukaanku yang entah mengapa tiba-tiba terasa hambar.   "Reinkarnasi." Mata Lita menatapku tajam.   Saat ini kantin cukup sepi. Entahlah, keadaan yang langka. Mungkin karena sebagian siswanya sedang ada pergantian jadwal olahraga, atau sedang berbondong-bondong mengerjakan tugas di perpustakaan. Aku tak tahu. Yang pasti, suasananya sangat mendukung. Seperti mendukungku untuk membeberkan rahasiaku pada Lita.   Ia masih menatapku dengan tajam. Menuntut jawaban dariku.   "Gue jadi keinget perkataan Deon yang tiba-tiba kemarin, tentang lo yang takut banget sama penculikan. Gue bingung. Kek berasa lagi nonton drakor tau gak? Gue gak bisa mikirin jawaban yang tepat." Kini ia malah meremas rambutnya frustasi saat mengucap kalimat panjang itu. Ia menatapku penuh tuntutan kejelasan.   "Gue tanya, maksud Deon bilang gitu apa? Lo pernah diculik pas kecil? Tapi setau gue gak pernah deh." Lagi-lagi ia memberondongku dengan pertanyaan.   "Gue ..." Aku sangsi memberitahunya. Meskipun kami adalah teman dekat, namun entah mengapa rasanya tak perlu memberitahu Lita. Toh, apa dia bakal percaya dengan ucapanku?   "Lo apa?" tanyanya menuntut.   Aku menggigit bibir. "Gue reinkarnasi dari sosok di masa lalu." Aku menunggu respon darinya. Pasti setelah ini Lita akan mengataiku gila, sinting, edan, atau sebagainya seperti yang Deon lakukan. Ia tampak tercengang sedikit. Aku merapal doa, dan bersiap untuk mendapat kata-kata makian atau u*****n dari-   "Oh."   -Lita. Eh? Apa ia barusan hanya memberiku jawaban santai?   "Eh? Kok respon lo cuma gitu?" Aku bertanya dengan raut sedikit kesal. Namun, aku juga penasaran dengan jawaban Lita selanjutnya.   "Iya. Lo reinkarnasi ternyata. Oh, ya udah. Berarti penasaran gue terjawab."   Hah? "Cuma itu?"   "Yes." Ia mengangguk mantap. Kini rautnya sudah tidak seseram tadi. Lita tersenyum. Namun senyumnya tersirat makna yang tak bisa kudeskripsikan.   "Lo gak bilang gue gila atau sinting gitu?"   Lagi-lagi ia menggeleng. "Enggak."   Aku mengerut dahi. "Kenapa?" tanyaku.   "Karena lo gak sendirian."   "Maksud lo?" Aku benar-benar tidak mengerti dengan yang Lita katakan.   "Karena Bokap gue ... juga reinkarnasi dari sosok di masa lalu."   Tunggu! "What?!"   °°°°   "Jadi beneran Bokap lo juga reinkarnasi dari sosok di masalalu?" Deon menatap Lita dengan tidak percaya. Sedangkan yang mendapat pertanyaan hanya mengangguk santai.   Kami sedang berada di kamarku. Sepulang sekolah, aku sengaja menyeret Lita untuk ikut menginap di rumahku hari ini. Berhubung besok hari Sabtu dan sekolah libur, maka menjadi keuntungan bagi kami. Deon yang rumahnya hanya berjarak beberapa rumah dari rumahku pun turut kuundang, namun ia tidak ikut menginap, dong.   "Lo kaget kan? Gue sih udah daritadi." Aku mengunyah keripik kentang dalam toples yang kupangku. Aku memerhatikan reaksi Deon. Cowok itu menganga lalu memberi tatapan aneh pada Lita. Sedangkan Lita malah mengabaikan tatapannya, dan mengotak-atik ponselnya.   "Eh bagi dong." Sesantai itu sampai merebut toples keripikku.   "Gue beneran anaknya orang yang udah bereinkarnasi."   "Maksudnya ... Bokap lo beneran reinkarnasi juga? Tunggu, maksud gue, ada orang yang reinkarnasi dan jadi bokap lo. Duh, kok belibet ya." Deon lagi-lagi merespon dengan lebay.   Aku menikmati wajah Deon yang memang sangat ekspresif. "Gue tapi percaya aja."   "Gak! Gue aja masih belom percaya kalo lo itu reinkarnasinya Jasmin, Na." Deon berseru di dekat telingaku. Aku mengelus telingaku yang tiba-tiba berdenging.   "Gak di kuping gue juga teriaknya." Aku menempelengnya.   "Ini emergency. Omegot. Gue gak nyangka ada reinkarnasi di dunia ini." Ia malah semakin lebay. "Kalian lagi nge-prank gue ya? Tunggu, ini ada kamera tersembunyi ya?"   Aku memutar mataku jengah. Kugeplak lengan kekar hasil latihan basket Deon. "Mana bisa kita becanda di kondisi genting kek gini?" Aku menggerutu. "Kita gak nge-prank kek yutuber itu."   "Terus gimana, Ta? Bokap lo gimana?" Deon tampaknya masih terguncang.   "Ya ..." Lita menggantung kalimatnya. "... gitu."   "Haih."   "Anjir."   "Ya gitu. Intinya kita menjalani kehidupan sebagaimana mestinya. Bokap gue emang sering tiba-tiba bicara aneh gitu dulu, sering mimpi buruk juga kek Alana. Tapi abis itu, setelah sadar kalau dia reinkarnasi, ya udah."   "Ya udah?"   "Ya ... udah ... Mau gimana lagi sih, Na? Bokap gue biasa aja. Orang keknya dia reinkarnasi orang luar negeri kok. Ya gak mungkin juga datengin ke negaranya."   Deon sepertinya tertarik dengan topik pembicaraan ini. Ia mendengar dengan seksama. Meskipun seperti belum percaya seratus persen, namun ia tetap saja penasaran.   "Emang negara mana?" tanyanya. "Tunggu- tunggu- gue kok mendadak pusing ya."   "Bukan lo doang, ini gue ya yang ngerasain, kok lo sih yang pusing?" Aku menggeplak tangannya.   Deon mengaduh mendapati geplakanku yang terlalu sakit. "Apa sih, Na!"   Plak   Gantian ia menggeplakku.   "Udah udah!" Lita melerai kami. Jika sudah begini, memang tugas Lita untuk menjadi penengah. "Gue gak jadi nginep nih."  Sial. Ia malah mengancamku.   Padahal kami sengaja ingin membicarakan semuanya sejelas mungkin.   "Jangan dong. Nginep ya," rayuku. Aku mengedip-ngedipkan mataku.   Lita yang hampir beranjak jadi mengurungkan niatnya. "Iya makanya jangan berantem mulu."   "Iya."   "Nah gitu." Lita terkekeh melihat aku dan Deon yang langsung kicep.   "Lanjutin," suruhku.   Setelah menarik napas, ia melanjutkan. "Gue gak tahu jelas. Tapi kami sekeluarga sih ngiranya Bokap emang reinkarnasi orang Spanyol."   "Hah?"   "Spanyol?"   Lita mengangguk. "Iya, Spain. Karena tiba-tiba bokap gue jadi suka keceplosan ngomong bahasa Spanyol gitu, padahal dari kecil sama sekali gak pernah belajar. Jangankan belajar, denger orang ngomong pake bahasa Spanyol aja gak pernah," jelas Lita panjang lebar. Ia memasang raut yang sangat meyakinkan. "Aneh kan?" Ia menaik turunkan alisnya.   "Terus?"   "Terus apaan? Ya udah gitu doang."   "Loh bisa aja dia pernah denger kan? Atau diajarin tanpa sepengetahuan Kakek-Nenek lo?"   Lita menggeleng tegas. "Enggak. Beneran gak pernah sama sekali. Nah makanya gue bingung dong. Bokap gue sendiri juga bingung."   "Terus yang mimpi?" Aku penasaran juga dengan cerita mimpi yang diceritakan Lita.   "Oh itu, Bokap ya sering gitu mimpi orang-orang yang belum pernah dia temui. Orang asing." Lita menjeda. "Dan kalian tau yang paling mengejutkannya lagi?"   "Apa?" Deon benar-benar penasaran.   "Dalam mimpi itu, semuanya orang bule. Kan bener bokap gue reinkarnasi orang luar negeri."   "Haih masa?"   "Bohong lo." Aku dan Deon sama-sama mengibaskan tangan di depannya. Lalu memasang raut tidak percaya.   "Gue balik lah." Deon parahnya malah bangkit berdiri. Ia seperti tidak percaya dengan omongannya Lita.   Aku tahu Deon sedang mengerjai Lita. "Ati-ati!" Aku juga ingin mengerjai Lita. Kami bangkit bersamaan. Aku pura-pura mengantar Deon keluar. Yang aku tahu, Deon memang sengaja pulang karena kini sudah sangat sore. Lagipula sejak tadi kami belum ada yang berganti baju sama sekali. Kami masih berpakaian pramuka.   "Eh-eh! Gue serius! Kalian mau kemana? Dengerin dulu, hey!"     °°°°                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD