Chapter 8

1520 Words
"Gue kudu Otoke?!"   Aku berseru pada Lita di ujung sana. Kutatap layar ponselku yang tengah menampilkan wajah manis Lita di sana. Ia sedang mengunyah makanan dengan santai. Berbanding terbalik dengan reaksiku yang panik.   "Kenapa sayangku?" tanyanya santai. Kacamatanya dilepas, seperti itu ia kalau sedang berada di rumah.    "Gue besok harus ketemu Pak Keano."   Lita tampak menghentikan kunyahannya. "What?! Serius? Lo beneran mau kasih tahu dia?"   "Ih, bukan tentang itu."   "Terus?"   "Pak Keano itu sekarang jadi Pembina OSIS yang baru. Lo tau kan gue jarang ikut rapat OSIS, kata Si Erlan gue harus ketemu sama Pak Keano. Keknya gue mau dimarahin deh." Aku menjelaskan. Kemudian aku mengusap wajahku frustasi. "Gue kudu otoke?!"   "Oh." Bukannya memberiku solusi, Lita justru menjawab dengan santai.   "Ih, Lita!"   "Iya, iya," sahutnya seraya terkekeh. "Kenapa gak lo anggep aja ini sebagai kesempatan?" Lita kembali mengunyah.   "Kesempatan?" Dahiku mengerut. Aku masih belum paham. Lita memandangku sambil berdecak.   "Iya, lo besok ketemu Pak Keano kan? Nah sekalian lo tanya-tanya deh tentang tempat tinggalnya, tentang Jasmin, tentang semua pokoknya."   Benar juga. Mengapa aku tidak terpikir sejauh itu?   "Lo cari tahu deh, benar bukan tuh, dia itu Keano di mimpi lo, atau namanya doang yang sama." Lita menjelaskan dengan santai.   "Oh iya bener! Aaaaaa maaciw Lita! Akhirnya terpecahkan sudah!"   "Eh udah?" tanyanya. Ia menatapku dengan mata mendelik.   "Gue matiin ya, bye!"   "Eh, Na-"       KLIK     °°°°     "Alana, ditunggu Deon tuh!"   Aku mendengar Mama berseru dari depan kamarku. Pintu kamarku diketuk beberapa kali. Aku bergegas menyahut, "Iya, Ma."   Aku buru-buru merapikan buku yang berserakan ke  dalam tasku. Setelah itu aku merapikan seragam kotak-kotakku dan mematut diri di depan cermin. Kupoles bedak tipis-tipis lalu membubuhkan lipcream di bibirku. Berikutnya tanganku menyisir rambut sebahuku dengan perlahan. Aku tersenyum. "Alana, cantik banget sih lo," kataku narsis. Aku terkekeh kecil. Kalau sedang sendiri, aku kadang sering bercermin dan mengagumi diriku sendiri.   Tanganku membuka pintu kamar, lalu tiba-tiba sebuah ingatan menghantamku. "Jasmin pasti akan sepertiku saat usianya tujuh belas tahun, dan jika ia masih hidup."   Aku menggelengkan kepalaku, menepis pikiran itu. Aku bergegas membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Begitu membuka pintu kamarku, aku langsung mendapati pemandangan yang sudah biasa kutemui. Papa, Mama, Alika, dan Deon sudah menantiku untuk sarapan. Aku tersenyum menghampiri mereka.   "Good morning," sapaku. Aku mengacak rambut Alika lalu mencubit pipi Deon. Sontak aku mendapatkan respon yang sama dari keduanya. Mereka serempak memprotes tindakanku.   "Kak, ih."   "Na!"   Aku menjulurkan lidah. "Lo gak sarapan di rumah atau emang sengaja pengen makan bareng kita?" tanyaku saat bersitatap dengan Deon. Cowok itu memutar bola matanya.   "Gue kangen masakannya Tante Ratih," balasnya sambil mencebik bibir.   "Idih." Aku mengalihkan tatapan. Lalu bergegas mengambil nasi goreng.   "Makan yang banyak, Deon." Mama bersuara. Ia tersenyum pada Deon dan mengambilkan telur goreng untuk cowok itu. Sejak dulu memang Mama sangat menyayangi Deon. Mungkin karena di keluarga kami hanya ada dua anak perempuan, dan Mama menginginkan anak laki-laki. Jadi Mama sudah menganggap Deon seperti kembaranku. Em, iya kembaran. Karena sejak kecil kami selalu kesana-kemari bersama.   "Makan yang banyak, dek." Aku tersenyum meledek pada Alika.   Adikku itu kini berusia lima belas tahun. Hanya selisih dua tahun di bawahku. Ia sekarang kelas tiga SMP, dan hubungan kami memang sejak dulu tidak pernah akur. Ada saja hal yang membuat kami bertengkar.   "Wle." Alika balas meledekku. Ia menatap Mama lalu menyodorkan piringnya. "Alika mau telor juga," katanya lembut. Ia mengedip-ngedipkan matanya.   "Ambil sendiri." Mama membalas dengan jutek. Sudah kuduga balasan Mama akan seperti itu.   "Aku kadang mikir siapa anak kandung Mama..." Alika menggumam. Ia memanyunkan bibir, pura-pura merajuk.   "Mama denger loh." Mama mendelik. Membuat Alika kicep.   Aku menyaksikan semuanya dengan tawa tertahan. Jika Deon ada di sini, Mama memang memperlakukannya bak tamu agung, atau bisa kusebut bagai anak sendiri. Mama akan terus mengumbar senyum dan memandangi wajah Deon yang menurut Mama ganteng itu, lalu menyodorkan berbagai makanan di rumah yang kami punya. Seperti sekarang. Aku bahkan merinding melihat Mama tersenyum sendiri sambil memandangi Deon yang memakan nasi gorengnya dengan khitmad. Lalu tambah merinding kala Mama mengucap kalimat yang membuat Deon tersedak.   "Kenapa kamu gak nikahin Alana aja biar bisa jadi anak Tante juga?"     °°°°   Aku dan Lita sejak tadi saling bertatapan di meja kami. Bel istirahat sudah berdering sejak sepuluh menit yang lalu, namun kami masih betah di meja kami. Tidak seperti biasanya. Biasanya kami akan bergegas ke kantin untuk mengantri siomay kesukaan Lita, atau mengantri batagor kesukaanku. Atau menghampiri kelas Deon yang berada di koridor sebelah. Namun tidak untuk kali ini.   "Gimana?" tanya Lita memecah keheningan semenjak kami hanya saling bertatapan, seolah berbicara lewat tatapan.   Aku mendesah. Berikutnya menarik napas, lalu menghela napas. "Gue rasa ... sekarang waktu yang tepat."   Lita menghela napas juga, lalu menggenggam tanganku. "Lo yakin?" tanyanya lagi.   Aku mengangguk mantap. "Iya. Gue yakin."   "Kalian lagi mainin scene drama korea, ya?"   Aku dan Lita yang sejak tadi sedang bercakap serius serempak menghadap pintu kelas di mana suara itu berasal. Di ambang pintu ada Deon yang menyenderkan badannya dengan tangan terlipat di depan d**a. Cowok itu menghembuskan napas kasar. Lalu berjalan ke arah kami.   "Gue cariin di kantin gak ada, di-chat gak di-read, taunya masih di kelas," sergahnya. Lalu ia kembali bersuara, "Lagi ngapain?" tanyanya. Ia mengangkat sebelah alisnya menyaksikan tanganku dan tangan Lita yang sedang bertautan.   Aku sontak melepaskan genggaman tangan Lita. "Lagi diskusi."   "Diskusi apa?"   "Anu ..." Aku terbata. Mataku melirik Lita dan menyampaikan pertanyaan lewat isyarat. Namun sayangnya Lita tidak menangkap sinyalku.   "Diskusi tentang Pak Keano." Ia malah santai menjawab pertanyaan Deon. Aku membelalakan mataku. Lita memang belum kuceritakan tentang sikap Deon yang menentangku. Aduh, sekarang aku malah yang bingung sendiri harus menjawab apa. Deon menanti penjelasanku. Cowok itu menatapku dengan tatapan menuntut.   "Gue ..." Aku tiba-tiba gugup.   "Gue kan udah bilang, Na. Pak Keano gak akan percaya," geramnya. Ia makin mendekat ke bangkuku.   Aku menelan ludah susah payah. "Ini bukan masalah itu, De."   "Terus?"   "Pak Keano sekarang jadi Pembina OSIS, Alana disuruh ketemu beliau karena sering bolos kumpul rapat OSIS." Lita menjelaskan. Sepertinya melihatku yang mendapatkan pertanyaan bertubi itu merasa kasihan. Syukurlah ia membantuku.   "Iya, De. Karena itu. Bukan perihal lain." Aku menatap mata Deon yang entah mengapa menjadi lebih dingin. Sorotnya terlihat tidak suka.   "Lo yakin bukan karena lo mau nyeritain mimpi itu?" tanyanya menelisik.   "Gue ..." aku lagi-lagi terbata. Lalu memberanikan diri menjelaskan. "Gue juga harus tanya dia. Gue harus tau tentang kebenaran semuanya, De."   Deon terdiam. Rahangnya mengeras. Aku melihat tangannya terkepal, seolah menyalurkan amarahnya. "Terus, kalau dia gak percaya, lo bakal ngapain?"   "Gue akan yakinin dia. Gue akan bikin dia percaya sama gue. Gue-"   "Alana!" bentak Deon memotong ucapanku. Matanya menyorotkan kemarahan. Tatapan yang jarang ia tunjukkan padaku. "Plis dengerin gue."   "Gue harus kasih tahu Keano, De. Ini juga pesan Jasmin. Gue merasa Keano harus tahu hal ini."   Deon tertawa sumbang. "Lo gila. Lo udah benar-benar percaya sama mimpi itu?" tanyanya tidak percaya. "Kemana Alana yang dulu cuek-cuek aja sama mimpi itu?"   "Deon."   "Alana dengerin gue, jangan dengerin Lita. Gue gak mau lo dipandang aneh sama Pak Keano, dia bisa aja sebarin ke semua orang kalo lo gila atau gak waras karena ngomongin hal yang gak masuk akal." d**a Deon naik turun.   "Kok gue sih yang disalahin?" Lita tidak terima. Ia mendorong d**a Deon dengan sewot.   "Iya, lo kan yang pengaruhin Alana?"   "Loh? Maksud lo apa?!" geram Lita. Ia kini berkacak pinggang.   "Iya, gara-gara lo!" Deon menunjuk Lita dengan kesal.   Aku rasanya ingin membenturkan kepalaku ke tembok saja saat ini. Melihat kedua teman dekatku bertengkar dan berdebat seperti ini membuatku ikut marah. "CUKUP!" Aku menjerit. Jeritanku membuat Deon dan Lita berhenti berdebat. Mereka serempak memandangku.   "Kalian kayak anak kecil tau gak?!" Aku menatap keduanya dengan kesal. Tanganku terkepal. Mereka menatapku dengan tidak percaya. "Ini urusan gue, hidup gue, masalah gue. Bukan urusan lo, hidup lo, atau masalah lo pada!" geramku. Aku melanjutkan sambil menatap Deon, "Sebelum Lita nyuruh gue jelasin ke Pak Keano, gue emang udah berpikir buat ngasih tau Pak Keano. Dan lo, gak berhak buat ngelarang." Mataku memancarkan amarah.   Mendengar hal itu, Deon sontak terkejut. Ia menatapku tidak percaya. "Na?"   "Gue mau ke kantor guru sekarang sebelum bel masuk berdering," putusku pada akhirnya. Aku melewati tubuh Deon yang tepat di sampingku sejak tadi. Namun baru sekali langkahku, ia sudah menahannya. Tanganku digenggam erat sekali.   "Na, gue bakalan marah beneran kalau lo kesana sekarang." Suara Deon terdengar datar di telingaku. Aku tahu niat Deon baik. Ia tidak ingin membuatku seperti orang gila yang membicarakan hal tidak masuk akal di depan guru baru itu. Aku tahu ia tidak ingin aku tersakiti. Tapi aku pun merasa kalau aku harus cepat mencari tahu tentang Keano. Di mana semuanya berawal dari guru baru itu, Pak Keano.   Aku mengelus punggung tangan Deon sebentar sebelum akhirnya menurunkan lengan itu dari tanganku. Aku menatap cowok itu. "Gue harus kesana, De. Pertama, ini urusan OSIS. Kedua, gue belum tahu kalau dia beneran orang yang gue cari, atau bukan. Jadi gue hanya akan mastiin." Aku menjelaskan dengan nada lembut. Selanjutnya aku tersenyum.   "Tapi ..."   Tidak mendengar lagi perkataan Deon, aku bergegas melangkah menjauh dari sana. Langkahku terayun menuju ambang pintu kelas. Yang ternyata sejak tadi opera sabun kami sudah disaksikan beberapa murid di kelasku. Beberapa pasang mata menatapku dengan raut penasaran.   "Alana ..." Deon masih berusaha menggoyahkan pikiranku.   Namun keputusanku sudah bulat. Ada yang harus kucari tahu tentang Pak Keano. Aku tidak bisa mundur ke belakang. Aku berharap jika memang benar Pak Keano adalah Keanoku.     °°°°                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD