Setelah beristirahat selama dua hari, akhirnya hari di mana Baron menjalankan misi untuk memata-matai sebuah desa tiba. Ketika ia baru saja membuka pintu ruangan untuk pertemuan, ia langsung berdiri kaku di tempatnya dan tidak habis pikir ketika melihat siapa saja anggota serikat yang mengikuti misi ini bersamanya. Sepertinya seseorang mengeluarkan seluruh kekayaannya secara habis-habisan demi mendapatkan informasi dari desa kecil tempat di mana Baron akan melanjutkan misi selanjutnya.
Baron tidak pernah tahu siapa yang memulainya, tetapi di serikat terdapat sebuah peringkat mengenai kemampuan seseorang—baik dalam kecepatan, keefektifan dan juga keberhasilan—dalam menyelesaikan sebuah misi dan juga kekuatan dari anggota serikat tersebut.
Ketua serikat yang melihat potensi dari peringkat itu memasang harga yang sangat mahal jika seseorang ingin menyewa salah satu anggota serikat yang berasal dari peringkat untuk melakukan sebuah misi tertentu. Semakin tinggi peringkat seorang anggota serikat yang diminta khusus untuk mengerjakan misi, semakin tinggi pula harga yang ditentukan oleh ketua serikat.
Baron dan Fein masuk ke dalam sepuluh besar peringkat itu. Lalu saat ini, semua anggota serikat yang masuk ke dalam peringkat sepuluh besar hadir di dalam perkumpulan mengenai misi memata-matai desa tersebut.
Tidak hanya anggota yang masuk ke peringkat sepuluh besar, ada pula beberapa anggota serikat yang kemungkinan masih baru dan yang Baron anggap kemampuannya tidak buruk.
“Yo, Baron! Akhirnya kau datang juga!” sahut Fein dengan cengiran lebar yang terpasang di wajahnya.
Seorang lelaki yang tubuhnya tidak kalah besar dari Baron berjalan mendekatinya, kemudian menepuk punggung Baron sekuat tenaga. Semua orang yang berada di ruangan itu langsung mengernyitkan hidung mereka ketika suara dari pukulan orang yang bernama Alfred ini mendarat di punggungnya. “Aku sudah tahu kau pasti datang!”
“Misi macam apa ini? Kita diminta untuk memata-matai sebuah desa, atau menghancurkan sebuah kota?” tanya seorang gadis bernama Gita, ia membanting belati yang sebelumnya sedang ia bersihkan dengan sayang.
“Jangan marah seperti itu … ah, tapi wajah marahmu tetap cantik, Gita.”
Sebuah tinju langsung mendarat di wajah Kai, seorang lelaki yang disebut sebagai pemain hati para wanita—bahkan lebih parah dibandingkan dengan Fein—meski begitu, ia menempati peringkat pertama sebagai seseorang yang dapat dengan mudah menyelesaikan misi.
“Beri dia pukulan lagi, Gita! Jika wajah orang itu hancur, pasti peringkatnya akan menurun drastis dan aku yang akan menempati peringkat pertama!” sahut Fein dengan semangat.
Baron sempat ingat kalau Fein mengatakan Kai berada di peringkat pertama karena wajahnya yang tampan. Karena tidak menerima hal itu, Fein mengajak Kai untuk bertarung. Tentu saja, Fein kalah dalam hitungan detik. Hal ini berarti menandakan kalau Kai bukan seseorang yang hanya bermodalkan wajah dan pembicara yang halus.
“Ha? Kau juga ingin kuhajar, hm?” tanya Gita sambil mengepalkan tangannya di depan wajah Fein. Fein yang tahu kalau wajahnya akan menjadi korban selanjutnya langsung lari menjauhi Gita, yang tentu saja dikejar langsung olehnya.
Alfred mendesah panjang sambil menggelengkan kepalanya pelan, kemudian berkata, “Hentikanlah kalian berdua. Kau juga, Kai.”
Kai dengan jari tangannya yang bergerak seperti cacing menggeliat di belakang Gita dan wajah yang terlihat seperti seorang kakek tua hidung belang langsung kaku di tempatnya. Sekali lagi, tinju dari Gita mendarat di wajah Kai pada tempat yang sama.
Baron menyapa anggota serikat yang lain dengan sapaan singkat dan anggukan kepala, kemudian duduk pada kursi yang kosong.
Untuk beberapa menit, ruangan itu hanya dipenuhi oleh teriakan dari Fein, Gita, Kai dan Alfred. Ada juga beberapa bisikan dari anggota serikat yang lain yang sedang membicarakan misi yang terlihat cukup besar ini.
Akhirnya, ketika ketua serikat memasuki ruangan tempat di mana pertemuan itu diadakan, empat orang pembuat onar langsung mengatupkan mulut mereka rapat-rapat dan akhirnya duduk dengan tenang.
Setelah ketua serikat menyapa singkat, akhirnya ia mulai menjelaskan misi yang harus dijalankan oleh mereka. Seperti perkataan sebelumnya, misi yang harus dijalankan oleh Baron dan anggota serikat yang bisa dibilang sebagai ‘yang terhebat’ untuk memata-matai sebuah desa.
Informasi yang harus mereka dapatkan berbeda-beda. Ada yang hanya perlu melaporkan seluruh informasi mengenai demografi penduduk yang tinggal di desa itu, ada pula yang harus mencari siapa seseorang yang memiliki kedudukan tertinggi atau yang memegang kekuasaan terpenting di desa itu. Untuk Baron dan Fein, mereka hanya perlu mencari informasi mengenai pekerjaan yang sering diambil oleh penduduk desa, dan juga jumlah seluruh pemasukan desa itu.
Untuk Kai, Gita dan juga Alfred, mereka mendapat misi yang sedikit sulit. Mereka harus mencari tahu tentang sebuah organisasi rahasia yang didirikan di dalam desa itu, jika bisa mereka menjadi salah satu anggota di dalamnya.
Mendengar semua penjelasan dan permintaan dari seseorang yang mengerjakan serikat mereka, Baron hanya bisa menyimpulkan desa ini sepertinya sedang diperebutkan oleh beberapa petinggi di kota atau mungkin kerajaan terdekat.
Tidak hanya itu, orang yang mempekerjakan mereka juga berbaik hati untuk memberikan mereka puluhan keping koin emas untuk modal mengerjakan misi ini.
Misi ini sangat menggiurkan dan juga mencurigakan secara bersamaan. Namun, ketika melihat wajah senang anggota serikat yang lain, Baron memilih untuk tidak mengatakan apa pun.
.
.
Baron dan anggota serikat yang lain sampai pada desa di mana mereka harus memulai pekerjaan mereka dalam waktu, penampilan dan juga aksen yang sengaja dibuat berbeda. Setidaknya dengan melakukan hal ini mereka dapat mengecoh siapa pun yang bisa mempersulit kelancaran misi mereka. Tentu saja secara alami mereka pura-pura tidak kenal satu sama lain.
Tetapi seperti misi yang sering ia kerjakan, lagi-lagi ia dipasangkan oleh Fein. Baron tidak pernah tahu kenapa ketua serikat selalu memasangkan Baron dengan Fein, sampai-sampai kebanyakan anggota serikat menganggap kalau Baron dan Fein memiliki sebuah … hubungan … yang seperti itu.
Mengesampingkan hal itu, Baron dan Fein memilih untuk mencari sebuah tempat untuk dijadikan tempat tinggal sementara. Meski mereka diberi puluhan koin emas sebagai modal untuk menjalankan misi ini, karena Baron dan Fein tidak pernah yakin berapa lama batas waktu misi yang harus mereka jalani ini, akhirnya mereka setuju untuk menyewa sebuah kamar untuk mereka berdua. Tentu saja, dengan harga yang cukup murah.
Setelah bertanya pada orang-orang yang ada di sekitar mereka, akhirnya mereka menemukan tempat yang pas untuk dijadikan tempat tinggal sementara.
Bentuknya hampir sama dengan penginapan yang biasa mereka kunjungi selama misi yang mereka lakukan di berbagai desa dan kota. Meski dari luar bangunannya terlihat cukup tua, ketika Baron dan Fein memeriksa bagian dalamnya ternyata sangat bersih, dan sangat nyaman. Di kamar itu terdapat dua kasur yang empuk dan bersih, meja dan juga kursi serta lemari pakaian. Meski sangat sederhana, ruangan seperti ini sudah cukup memuaskan untuk mereka berdua. Ditambah lagi … penginapan menyediakan sarapan dan juga makan malam!
Setelah selesai melihat kamar itu, Fein langsung berlari dengan cepat ke meja penjaga penginapan. Di sana, seorang pria tua sedang menuliskan sesuatu di selembar kertas sambil meminum sesuatu pada cangkir yang ia pegang. “Pak Tua! Kami berdua akan menyewa satu kamar dalam waktu satu bulan!” sahut Fein dua oktaf lebih tinggi. “Berapa harga kamar perharinya?”
Penjaga penginapan yang Fein panggil dengan sebutan ‘pak tua’ langsung menyemburkan minuman yang belum sempat ia telan. Dengan suara yang terdengar kencang seperti teriakan, ia berkata, “Apa pendengaranku sudah mulai salah? Apa kau baru saja bilang kau akan menyewa sebuah kamar selama satu bulan!?”
“Ya! Apa wajahku terlihat seperti seseorang yang pandai untuk berohong?” balas Fein dengan suara yang tidak ingin kalah kencang.
“Ya. Karena wajahmu terlihat seperti seseorang yang selalu mempermainkan hati seorang gadis!”
“Wow, tepat sekali, Pak Tua,” cetus Baron sambil menganggukkan kepalanya mengiyakan perkataan pak tua itu.
“Aku tidak pernah mempermainkan hati seorang gadis, aku hanya seseorang yang tidak pernah bisa menolak seseorang yang sudah memberikan hatinya padaku!” sangkal Fein.
“Apa bedanya, hah!?” sahut pak tua itu lagi dengan suara yang lebih keras. “Lagi pula, apa kalian memiliki uangnya? Penginapanku yang terbaik di seluruh desa ini meski terlihat cukup tua.”
“Kami tahu, kami sudah melihatnya,” gumam Fein.
Pak tua itu langsung mengerutkan keningnya. “Kapan aku mengizinkan kalian?”
“Tadi saat kau sedang sibuk menuliskan sesuatu,” jawab Fein.
“Iya kah?”
‘Sebenarnya tidak, Pak Tua,’ kata Baron dalam hati.
“Katakan saja, berapa harga kamar itu untuk satu bulan?”
“Seharinya dihargai sepuluh tembaga, jika kau ingin menyewa selama satu bulan, berarti tiga koin emas. Jika kau tidak memiliki uang sebanyak itu, jangan harap untuk menawar, karena kami menyediakan sarapan dan juga makan malam.”
“Apa tiga koin emas sangat mahal?” gumam Fein pelan kepada Baron.
“Karena ini desa kecil, sepertinya mereka menganggap satu koin emas itu sangat mahal,” balas Baron dengan suaranya yang dipelankan juga.
Dari dalam kantong celananya, Fein mengeluarkan tiga keping koin emas dan langsung melemparkannya ke atas meja tepat di depan wajah pak tua itu.
Dengan kedua alis yang terangkat, pak tua itu mengangkat koin emas yang baru saja diberikan oleh Fein satu persatu, kemudian menggigitnya untuk memeriksa apakah koin emas yang baru saja dipegangnya asli atau palsu.
“Ini … asli?”
“Kau kira kami akan memberimu koin emas palsu?” Fein balik bertanya.
“Oh, oh! Selamat datang anak muda.” Pak tua itu langsung merubah sikapnya. “Anna! Anna! Bantu aku!”
Di belakang meja yang pak tua itu duduki ada sebuah ruangan yang kemungkinan dijadikan kamar pribadi pemilik penginapan itu. Dari dalam, sana keluar seseorang yang membuat perut Baron serasa diremas seketika.
Seorang gadis dengan rambut pendek sebahunya keluar dari ruangan itu. Wajahnya yang terlihat kecil dan pipinya yang sedikit tembam mengingatkan Baron pada sebuah roti daging, mulutnya yang kecil dengan warna merah alami tersenyum kepada Baron dan Fein.
“Ada apa, Ayah?”
“Antar kedua orang ini ke kamar yang paling bagus dan besar. Mereka akan menginap di tempat kita selama satu bulan.”
Seorang gadis yang dipanggil Anna itu tersenyum dengan kaku, kemudian membisikkan sesuatu kepada pak tua itu. Sedetik kemudian, pak tua itu memperlihatkan tiga koin emas yang baru saja diberikan oleh Fein. Sepertinya Anna ingin memeriksa apakah Baron dan Fein tidak sedang mencoba untuk menipu ayahnya.
“Kalau begitu, akan kuantar,” kata Anna dengan suara yang entah kenapa membuat hati Baron terasa sakit.
Seketika, sebuah gambaran yang saling tumpang tindih menghalangi pandangannya. Gambaran itu terasa sangat nyata, bahkan ia bisa mendengar pekikan pelan dari seseorang yang tercekik. Kedua tangan Baron mencengkeram leher seseorang. Semakin lama, denyut nadi yang terasa pada leher orang itu semakin lemah dan menghilang.
“Apa kau baik-baik saja?”
Pertanyaan itu mengembalikan Baron pada kenyataan. Untuk sesaat, apa yang dilihat oleh Baron saat ini dengan gambaran yang saling tumpang tindih itu terlihat sama. Membuatnya sedikit kebingungan.
“Sebaiknya kita cepat ke kamar, sepertinya kau butuh istirahat,” tambah Anna.
Meski tangan dan kakinya terasa dingin, entah kenapa kening dan punggung sangat Baron berkeringat. Rasanya ia melupakan sesuatu yang sangat penting. []