35 - Luka

1665 Words
           Matahari sudah terbenam sepenuhnya ketika Syville akhirnya tiba di markas. Bagian luar pada tenda yang dijadikan sebagai ruang medis berada dipenuhi oleh banyak orang. Syville langsung melompat turun tanpa menunggu kuda yang ia tunggangi berhenti sepenuhnya.            “Nona Syville!” sahut salah satu petugas medis yang berada di luar tenda.            “Bagaimana keadaan ayah?” tanya Syville sambil berjalan cepat memasuki tenda.            Petugas medis itu menyibakkan kain tenda dan membiarkan Syville masuk terlebih dahulu. “Tuan Watson mendapat tusukan di perut bagian kanannya. Tetapi untung saja tusukan itu tidak terlalu dalam, sehingga tidak terlalu berbahaya.”            Syville yang sudah masuk ke dalam tenda langsung berlari ke kasur di mana ayahnya berada. Di dalam tenda yang menjadi ruang medis itu, tidak terlalu banyak orang. Hanya ada ayahnya yang terbaring di atas kasur, dua orang petugas medis yang lain, dan juga Cainelle.            Cainelle yang sadar kalau Syville sudah datang langsung jatuh berlutut dan menempelkan kepalanya di atas tanah. “Maaf! Karena kelalaianku, ayahmu jadi terluka!”            “Cain, ini bukan salahmu!” sela ayahnya. “Syville, karena aku tidak mendengarkan perkataan Cain untuk tidak pergi terlalu jauh darinya, aku jadi terluka seperti ini.”            Syville mengabaikan Cainelle yang bersujud di atas tanah, dan melihat keadaan ayahnya dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Apa kau mendapatkan luka yang lain selain tusukan pada perutmu itu?”            “Tidak ada. Luka kecil seperti ini tidak perlu membuatmu khawatir,” kata ayahnya. “Untung saja aku mendapatkan luka ini ketika aku dan pasukan Cain berhasil merebut kembali benteng yang ada di bagian timur.”            “Apa ayahku mengatakan hal yang sesungguhnya?” tanya Syville pada dua orang petugas medis yang berada di dalam ruangan itu.            Kedua orang itu sempat saling lirik untuk beberapa saat, kemudian salah satu di antara mereka akhirnya menjawab, “Tidak ada luka lain yang didapatkan oleh Tuan Watson. Tetapi, luka tusukan di perutnya tidak termasuk luka kecil … sepertinya untuk beberapa saat Tuan Watson tidak bisa ikut dalam perang dan harus beristirahat di atas kasur untuk beberapa bu— maksudnya minggu— maksudku hari.”            Merasa kalau petugas medis yang mengganti perkataannya beberapa kali itu terasa mencurigakan, Syville langsung memutar tubuhnya untuk kembali melihat ayahnya yang saat ini sedang memasang wajah mengancam.            “Kau dengar itu? Sebaiknya kau beristirahat dulu selama beberapa bulan,” kata Syville sambil mengusap keningnya pelan. “Tapi untunglah kau tidak apa-apa …”            Wajah ayahnya langsung berubah. Syville sedikit terpekik ketika tiba-tiba tangan ayahnya mengelus kepalanya dengan lembut. Ia tidak pernah ingat apakah ayahnya pernah melakukan hal ini kepadanya. Sepertinya tidak pernah.            “Bagaimana dengan benteng timur laut?”            “Kami berhasil merebutnya kembali,” jawab Syville singkat kemudian ia baru sadar kalau Cainelle masih bersujud di atas tanah. Sedikit panik, Syville langsung menariknya untuk bangun dari posisi itu dan berkata, “Ah! Maaf! Aku terlalu panik dan tidak sadar kau masih—”            “Tidak apa-apa! Biarkan aku seperti ini selama tiga hari dua malam, Nona Syvillia!” potong Cainelle kembali bersujud di atas tanah. “Ini salahku karena tidak melindungi Marquis Lyttleton dengan baik!”             Mendengar seseorang yang memiliki kedudukan keluarganya lebih tinggi dan memanggil dirinya dengan nama panjang membuatnya sedikit grogi. “Jangan mengatakan hal seperti itu. Tanpa bantuan Tuan Cainelle, kami tidak akan bisa merebut benteng yang ada di bagian timur dengan mudah.”            “Ka-kalau begitu izinkan aku melakukan sesuatu untuk meminta maaf!”            Syville langsung melirik pada ayahnya, mengirim kode meminta pertolongan. Ayahnya hanya mendesah pelan kemudian berkata, “Kalau begitu, aku akan memaafkanmu jika kau memanggil anakku dengan panggilan ‘Syville’. Begitu juga denganmu, Syville. Lakukan seperti ayahmu, panggil dia Cain.”            Rasanya Syville hampir saja tersedak oleh ludahnya sendiri. Dengan kening yang berkerut, ia berkata, “Ayah … apa yang kau kata—”            “Sungguh? Aku boleh melakukannya?” kata Cainelle dengan suara dua oktaf lebih tinggi. Wajah penuh dengan rasa bersalah miliknya langsung menghilang dalam sekejap digantikan senyuman yang lebar.            “Tentu saja boleh! Bukankah setelah ini kalian akan bertunangan? Kenapa kalian masih sangat kaku? Kenapa tidak mencoba untuk mendekatkan diri kalian satu sama lain?”            Syville hanya bisa menepuk keningnya dan menggeleng pelan. “Uhh … Tuan Cain.”            “Cain,” timpal ayahnya.            “Cain …”            “Ya, Syville!” kata Cainelle cepat tanpa kesulitan sedikit pun. Entah kenapa, rasanya ia sudah melatih dirinya sendiri untuk memanggil nama Syville dengan panggilan kecilnya.            “Apa kau sudah melupakan kesalahanmu?”            Senyuman di wajah Cain menghilang seketika, dan ia kembali menekan keningnya di atas tanah. “Maaf!”            Syville tertawa satu kali sambil membantu Cain untuk berdiri. “Aku hanya bercanda.”            Ayahnya langsung mendesah panjang dan berkata, “Aku harap tidak ada p*********n lagi di sekitar sini. Mana Dan? Aku harus berbicara dengannya.”            “Ah, kalau begitu aku akan memanggilnya,” jawab Syville. Ia menganggukkan kepalanya satu kali pada Cain dan keluar dari ruang medis tersebut. Vayre dan juga Dan sudah berada di luar tenda dengan wajah mereka yang sangat panik.            “Kenapa kalian tidak masuk?” tanya Syville dengan pandangan bingung.            “Syville, keadaan ayah?” tanya Vayre sambil mencengkeram kedua bahu Syville.            Syville mengedipkan matanya satu kali kemudian menjawab, “Ayah terkena luka tusuk di perutnya. Tetapi lukanya tidak terlalu dalam dan berbahaya, ia hanya perlu istirahat selama satu bulan atau mungkin lebih.”            Vayre langsung mendesah lega sambil mengusap dadanya seperti berusaha untuk menenangkan jantungnya, begitu pula dengan Dan.            “Oh, iya. Ayah ingin berbicara padamu, Dan.”            Dan mengangkat kedua alisnya, kemudian berkata, “Apa … apa aku boleh masuk?”            Syville memutar kedua bola matanya, mendengar pertanyaan itu dari Dan rasanya sangat aneh. “Apa itu bisa menjelaskan kenapa kalian berdua tidak langsung masuk ke dalam setelah sampai di sini?”            “Ka-kalau begitu aku akan masuk …” Dan langsung melirik ke arah Vayre. Bertanya apakah ia juga ingin ikut bersamanya untuk melihat keadaan ayah.            Vayre yang mengerti pandangan dari Dan langsung menggelengkan kepalanya, kemudian berkata, “Karena hanya Dan yang dipanggil, aku akan melihat keadaan ayah setelah memeriksa pasukan.”            “Kalau begitu, saya permisi,” kata Dan menganggukkan kepalanya satu kali kemudian masuk menuju ruang medis.             Syville mendesah panjang dengan bahu yang merosot. Vayre yang melihat hal itu langsung terkekeh pelan sambil mengelus kepalanya. “Ada apa?” tanyanya dengan suara yang lembut seperti biasa.            “Seseorang dari keluarga Livanto itu benar-benar membuatku kelelahan …” gumam Syville pelan, kemudian menarik tangannya dan mencari tempat yang tidak banyak orang di sekitar mereka. “Karena keadaan sebelumnya sedikit kacau, aku jadi tidak sempat memberi tahumu.”            Vayre mengangkat sebelah alisnya menunggu perkataan Syville selanjutnya.            “Apa kau tahu alasan kenapa keluarga Livanto datang jauh-jauh ke tempat ini dengan membawa pasukan dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang singkat?”            “Uhh … karena … sebuah kerja sama?”            “Apa sebuah pertunangan bisa disebut sebagai kerja sama?”            “Ya … tunggu. Apa?”            “Tanpa membicarakannya padaku, ayah menerima lamaran dari putra ketiga keluarga Livanto,” tambah Syville.             Seperti sedang memproses perkataan Syville, Vayre hanya bisa terdiam. Setelah beberapa saat, akhirnya ia berkata, “Bukankah kau masih terlalu muda?”            Syville mengangkat kedua bahunya. “Aku juga sudah mengatakannya, tetapi ayah bilang Cainelle itu benar-benar … menyukaiku semenjak kami berdua bertemu dahulu sekali.”            “Uh, entah kenapa perasaanku tidak enak.”            Mendengar perkataan itu dari kakaknya, Syville hanya bisa menyetujui hal itu di dalam hati.            .            .            p*********n dari kerajaan lain masih berlangsung sepanjang hari. Untungnya tempat yang diserang sedikit jauh dari wilayah keluarga Lyttleton. Sehingga, Syville dan pasukan keluarganya tidak perlu kembali berperang dan hanya perlu menjaga benteng yang terdekat.            Meski Syville merasa tidak nyaman, ayah dan kakaknya mengatakan kalau rencana yang Syville buat untuk kembali merebut benteng yang sudah jatuh ke tangan musuh dalam satu hari … tidak, dalam beberapa jam saja sudah sangat luar biasa.            Ayahnya mengatakan, p*********n seperti ini bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun lamanya.            Dengan napas yang sangat panjang, Syville berharap hal itu tidak akan terjadi. Siapa yang mau menghabiskan masa mudanya di medan perang seperti ini?            Saat ini, Syville sedang memeriksa berapa banyak pasukan yang dimiliki oleh keluarga Lyttleton dan juga Livanto yang masih bisa bertarung dengan baik. Yang berarti, tidak memiliki luka sedikit pun, dalam stamina yang baik dan juga moral yang tinggi.            Setelah merangkum semua hal yang perlu ia sampaikan pada ayahnya yang saat ini masih beristirahat di tenda yang dijadikan ruang medis, Syville langsung pergi ke tempat itu untuk menyerahkannya.            Meski sudah cukup malam, karena mereka sedang berada di medan perang, keadaan di sekitarnya masih cukup ramai.            Ruang medis sengaja dibuat sedikit jauh dari tempat yang kemungkinan ramai oleh pasukan atau kegiatan lainnya, karena seseorang yang terluka harus banyak istirahat dan sebagainya.            Dengan perlahan-lahan, Syville menyibakkan kain tenda untuk masuk ke ruang medis. Keadaan di dalam cukup gelap, sehingga ia sedikit sulit untuk bergerak.            ‘Apa ayah sudah tidur? Kenapa gelap sekali?’ batin Syville.            Kemudian, hidungnya mencium sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Meski Syville baru pertama kali berada di medan perang seperti ini, tetapi apa yang tercium oleh hidungnya cukup ia kenali.            Darah. Bau darah …            Meski ini ruang medis, dan kemungkinan ada seorang prajurit yang terluka parah … tidak mungkin Syville hanya mencium bau darah. Apalagi baunya sangat kuat.            Perasaan yang membuatnya tidak nyaman itu semakin lama semakin kuat. Sampai akhirnya ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya terasa berhenti berdetak seketika.            Kasur dengan seprai berwarna putih yang ayahnya tempati dibasahi oleh merah darah. Tidak hanya itu, sebuah belati tertusuk tepat di dadanya. Berkas yang dibawa oleh Syville langsung terjatuh ke tanah.            “A …”            Tenggorokan Syville yang terasa tercekat membuatnya tidak bisa mengeluarkan suara. Seketika kakinya mulai menyerah dan ia terjatuh ke tanah.            Dengan tangan yang bergetar, Syville menggapai tangan ayahnya untuk memeriksa denyut nadi. Seberapa keras pun usahanya, Syville tidak bisa menemukan apa yang ia cari.            Rasanya, otak Syville membeku seketika. Ia tidak bisa mengerti bagaimana seseorang bisa melakukan hal ini terhadap ayahnya. Apalagi kejadian ini terjadi di dalam markasnya. [] 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD