02 - Rasa ingin memilikimu.

2420 Words
"Eungh...." Olivia melenguh sambil merentangkan kedua tangannya ke atas. "Kenapa badan gue rasanya pegel-pegel semua sih?" keluhnya ketika merasakan sakit di setiap area tubuhnya, terutama di area intim juga pahanya. Perlahan tapi pasti, kedua mata Olivia mulai terbuka. "Ini di mana ya?" gumamnya sambil mengucek-ngucek matanya, lalu mengamati suasana di sekitarnya. "Ini kamar siapa ya?" Olivia tahu kalau saat ini dirinya bukan sedang berada di dalam kamarnya. Olivia memijat keningnya terasa pusing sambil kembali memejamkan matanya, tapi tak lama kemudian, kedua mata Olivia kembali terbuka. Dengan cepat, Olivia menoleh ke samping, matanya melotot ketika melihat seorang pria tengah tertidur pulas sambil memeluk erat tubuhnya. Pantas saja Olivia merasa ada beban berat di atas perutnya, ternyata karena ada tangan dari pria yang sama sekali tak ia kenal kini bertengger manis di pinggangnya. Untuk sesaat, Olivia terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. "Gue pasti lagi mimpi, kan?" Olivia memejamkan matanya, selang beberapa menit kemudian kembali membuka matanya, dan pria yang saat ini memeluknya tidak mau menghilang, itu artinya saat ini ia tidak sedang bermimpi. Olivia mencoba mengingat kembali, apa yang semalam terjadi padanya, sampai akhirnya ia bisa tidur dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal. Samar-samar, bayangan ketika dirinya mendesah, menikmati setiap sentuhan dari seorang pria tiba-tiba muncul. "Jangan bilang kalau gue dan dia baru aja melakukan hubungan seks?" Olivia menatap horor pria di samping, lalu dengan gerakan sangat cepat, menyibak selimut yang ia gunakan. Kedua matanya melotot tak kala melihat jika saat ini ia dalam keadaan telanjang bulat, tidak mengenakan apapun. "What the f**k!" Secara spontan, Olivia mengumpat. Umpatan Olivia mengusik tidur pulas Crisstian, dan pergerakan dari Crisstian membuat panik Olivia. "Please, jangan bangun," ucap Olivia dalam hati. Raut wajah Olivia berubah menjadi tegang. Olivia takut kalau pria di sampingnya akan bangun. Sekujur tubuh Olivia menegang, dan Olivia terlihat semakin panik saat merasakan pria di sampingnya mulai bergerak, mencari posisi yang nyaman. Olivia memejamkan matanya, dalam hati terus berdoa, semoga saja pria tersebut tidak terbangun. Ketika tak lagi merasakan adanya pergerakan dari pria di sampingnya, Olivia memberanikan diri untuk membuka matanya. "Untung aja dia enggak bangun," bisiknya sambil menghela nafas panjang. Tanpa sadar, Olivia memperhatikan tubuh si pria yang ternyata juga sama seperti dirinya, telanjang bulat. "Sial! Kenapa gue bisa ada di sini sih?" Olivia berusaha keras untuk mengingat apa yang semalam terjadi padanya. "Gue enggak bisa ingat semuanya," lanjutnya frustasi. Olivia hanya bisa mengingat ketika dirinya dan pria di sampingnya berkenalan, lalu ketika mereka berdua akhirnya saling memuaskan satu sama lain. "Ini bukan mimpi, kan?" Olivia mencubit tangannya sendiri, dan rasanya sakit, membuat Olivia akhirnya sadar jika yang saat ini terjadi padanya bukan mimpi. Olivia mengamati kamar, jantungnya semakin berdetak hebat ketika melihat pakaiannya dan pakaian pria di sampingnya berserakan di lantai, sebelum akhirnya kembali menatap ke arah tubuhnya yang tanpa busana. "Gue, gue baru aja melakukan hal hi-hina," lanjutnya dengan suara bergetar hebat. Dalam diam, Olivia akhirnya menangis, menyesali apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan pria yang saat ini tertidur pulas di sampingnya. Olivia segera menyeka air mata di wajahnya. "Gue harus segera pergi dari sini." Secara perlahan, Olivia menyingkirkan tangan Crisstian dari atas pinggangnya, kemudian bergeser mendekati pinggiran tempat tidur. Olivia bergerak secara perlahan-lahan, tidak mau membuat Crisstian terbangun. Pergerakan Olivia terhenti saat mendengar Crisstian mulai meracau. Olivia menoleh ke arah Crisstian, bernafas lega ketika apa yang ia takutkan tidak terjadi. "Ugh, badan gue rasanya sakit semua." Olivia menggigit kuat bibirnya, menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, terutama di bagian pahanya. Setelah bersusah payah, Olivia akhirnya bisa berdiri. Dengan gontai, Olivia melangkah mendekati dressnya yang teronggok di lantai dalam keadaan telanjang bulat. Awalnya Olivia ingin memakai selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya, tapi Olivia takut kalau Crisstian akan bangun ketika ia menarik selimutnya, mengingat hanya ada 1 selimut, dan saat ini, Crisstian menggunakannya. "Ini beneran pakaian gue?" Olivia mengangkat dress yang baru saja ia ambil dari lantai, kedua matanya melotot, dan secara spontan, Olivia melemparkan dress tersebut ke sofa. "Perasaan, tadi malam gue enggak pakai dress yang itu deh." Ya, Olivia 100% yakin kalau semalam, ia mengenakan dress berwarna hitam, bukan berwarna merah seperti yang baru saja ia pegang. "Sialan! Sialan! Sialan!" Umpat Olivia sambil meremas kuat rambutnya. Olivia mulai frustasi karena masih belum bisa mengingat apa yang sebenarnya terjadi padanya. "Badan gue bau banget lagi." Olivia baru saja mencium aroma tubuhnya sendiri, dan ternyata ia sangat bau. Bukan hanya bau, tapi kulitnya juga terasa lengket. Olivia melirik ke arah Crisstian, kemudian menatap jam yang terpasang di dinding kamar. "Ternyata masih pagi, apa sebaiknya gue mandi dulu ya?" Setelah berpikir cukup lama, Olivia memutuskan untuk mandi terlebih dulu. Dengan langkah tertatih-tatih, Olivia memasuki kamar mandi. Olivia berharap kalau Crisstian tidak akan bangun selama dirinya mandi, begitu pun ketika nanti ia selesai dengan kegiatannya. Olivia memilih berendam dengan harapan kalau rasa sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya bisa sedikit berkurang, dan setalah berendam, Olivia merasa sedikit jauh lebih baik dari sebelumnya. Secara perlahan, Olivia membuka pintu kamar mandi, kemudian memeriksa, apa Crisstian sudah bangun atau belum? Olivia bernafas lega begitu melihat kalau Crisstian masih tidur. "Dia beneran masih tidur, kan? Bukan pura-pura lagi tidur?" Olivia bergegas keluar dari kamar mandi secara mengendap-endap, lalu dressnya yang tadi ia letakkan di atas sofa. Olivia tidak punya pilihan lain selain memakai dress merah tersebut, meskipun sebenarnya Queen tidak menyukainya, alasannya karena belahan di dadanya terlalu terbuka. "Bagaimana ini?" Olivia mulai panik karena ternyata dress yang ia gunakan tidak mampu menutupi kissmark di lehernya. "Sial! Kenapa kissmarknya banyak banget sih?" Olivia menoleh ke arah tempat tidur, menatap Crisstian dengan amarah yang terlihat jelas di matanya. Olivia marah karena Crisstian membuat banyak sekali kissmark di lehernya, dan bukan hanya itu alasan kenapa Olivia marah. Olivia meraih bantal yang ada di sofa, lalu mendekati Crisstian. Olivia mengarahkan bantal yang ia pegang ke wajah Crisstian, namun belum juga bantal tersebut mengenai wajah Crisstian, Olivia melemparkannya ke lantai. "Astaga, apa gue baru aja berniat membunuh pria ini?" gumamnya dengan perasaan takut. Olivia menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, memeriksa apa ada kain yang bisa ia gunakan untuk menutupi kissmark di lehernya? Olivia meraih kemeja Crisstian, lalu memakainya. Setelah merapikan penampilannya, Olivia bergegas keluar kamar. Olivia baru saja keluar dari kamar ketika di waktu yang bersamaan, Carlos baru saja keluar dari lift. Carlos tidak tahu kalau ada seorang wanita baru saja keluar dari kamar Crisstian, karena Carlos sedang fokus pada ponsel dalam genggaman tangannya. Olivia dan Carlos sempat berpapasan, saat itulah Carlos melihat wajah Olivia, sedangkan Olivia tidak memperhatikan Carlos. "Wajahnya terasa sangat familiar," gumam Carlos yang sesekali menoleh ke belakang, memperhatikan Olivia yang baru saja memasuki lift. Carlos memang tidak melihat jelas wajah Olivia, tapi Carlos yakin kalau ini bukan kali pertama mereka bertemu. Carlos mencoba mengingat di mana dirinya pernah bertemu dengan wanita yang baru saja berpapasan dengannya, tapi Carlos tidak mampu mengingatnya. "Ah, mungkin hanya perasaan gue aja," gumamnya. Kamar yang Crisstian dan Arsen tempati saling berdampingan, tapi Carlos terlebih dahulu menghampiri kamar Crisstian. Carlos menekan bel sebanyak 3 kali. Pintu di hadapannya tidak kunjung terbuka, membuat Carlos berpikir kalau Crisstian masih tertidur. Carlos beralih ke kamar Arsen yang ada di samping kanan kamar Crisstian. Carlos baru saja akan menekan bel ketika pintu tiba-tiba terbuka. "Tuan Arsen," sapanya sambil menundukkan sedikit kepalanya. Arsen membalas sapaan Carlos. "Di mana Crisstian?" "Tuan Crisstian masih tidur, Tuan." "Kapan kita akan pulang?" "1 jam lagi, Tuan." "Ya sudah, saya mau siap-siap dulu." "Baik, Tuan." Arsen kembali memasuki kamar, sedangkan Carlos mulai memesan makanan untuk Crisstian dan Arsen. 1 jam setelah Olivia pergi meninggalkan hotel, barulah Crisstian bangun. Crisstian meraba-raba tempat tidur di sampingnya, matanya langsung terbuka ketika tahu kalau wanita yang semalam tidur bersamanya tidak ada di sampingnya. "Ke mana dia?" gumamnya sambil mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar. "Enggak ada," lanjutnya ketika tak melihat Olivia di mana pun. "Queen?" Dengan suara yang masih serak, Crisstian berteriak. Pintu kamar mandi dalam keadaan tertutup, membuat Crisstian berpikir kalau pasti Olivia ada di sana. Crisstian kembali berteriak, namun sayangnya, tak kunjung ada balasan dari, membuatnya akhirnya yakin kalau Olivua sudah pergi meninggalkannya. Ponsel Crisstian yang ada di nakas tiba-tiba berdering, mengejutkan Crisstian. Dengan perasaan malas, Crisstian meraih ponselnya, kembali menaruh ponselnya setelah melihat nama Mommylah yang tertera di layar ponselnya. Crisstian tidak akan mengangkat panggilan Sein. Crisstian sudah tahu, apa yang nanti akan Sein katakan. Sein pasti akan memarahinya karena semalam ia tidak pulang ke mansion, dan tidak memberi tahu Sein ke mana dirinya semalam pergi. Crisstian menyibak selimut yang menutupi kakinya, saat itulah, ia melihat bercak darah di atas sprai. Senyum lebar menghiasi wajah tampan Crisstian. Crisstian masih tak menyangka jika ternyata dirinyalah pria pertama yang menyentuh Olivia. Ponsel Crisstian kembali berdering. Tanpa melihat pun, Crisstian sudah tahu kalau yang menghubunginya pasti Sein. Crisstian tidak mengangkat panggilan Sein, dan malah berlalu pergi menuju kamar mandi. Kurang lebih 1 jam waktu yang Crisstian habiskan di dalam kamar mandi. Selesai mandi, Crisstian menikmati sarapan bersama Arsen, setelah itu keduanya memutuskan untuk pulang. Saat ini, Crisstian dan Arsen dalam perjalanan pulang menuju mansion. Sepanjang perjalanan, Crisstian terus memikirkan Olivia. "Queen," gumam Crisstian sambil tersenyum tipis. Crisstian jadi penasaran, apa nama wanita itu memang benar-benar Queen? Atau justru, nama Queen hanyalah nama samaran? Crisstian menoleh ke arah Arsen. "Ar!" Arsen tidak menoleh, dan tetap fokus pada game di ponselnya. Saat ini Arsen memakai headseat, dan sepertinya volumenya sangat tinggi sampai Arsen tidak bisa mendengar panggilan dari Crisstian. Setelah yakin kalau Arsen tidak akan mendengar suaranya, barulah Crisstian memanggil Carlos. "Carlos." "Iya, Tuan Crisstian." "Apa kamu sudah melaksanakan perintah yang saya berikan tadi malam?" "Sudah, Tuan." "Bagus," balas Crisstian sambil tersenyum tipis. Crisstian menyandarkan punggungnya, dan begitu matanya terpejam, kejadian tadi malam kembali muncul. Selang beberapa menit kemudian, Crisstian dan Arsen akhirnya sampai di mansion. Sein sedang duduk santai di sofa sambil menonton televisi ketika mendengar suara langkah kaki dari Crisstian dan Arsen. Sejak tadi, Sein memang menunggu kepulangan dari anak serta cucunya. Di saat yang bersamaan, datang Anna dan anaknya, Noah. Anna menitipkan Noah pada Sein. Setelah itu, Anna pergi menuju dapur untuk membuat cemilan bagi Noah. "Kalian berdua dari mana aja? Kenapa baru pulang?" Sein menatap tajam Crisstian dan Arsen. Tadi malam Sein tidur lebih cepat dari biasanya, jadi tidak tahu kalau semalam Crisstian dan Arsen tidak pulang. Sein baru tahu kalau keduanya tidak pulang tadi pagi, beberapa menit sebelum sarapan di mulai. "Club." "Main." Crisstian dan Arsen menjawab kompak pertanyaan Sein, tapi dengan jawaban yang berbeda. Arsen menjawab jujur pertanyaan Sein, mengatakan jika dirinya dan Crisstian baru saja dari club, sedangkan Crisstian mengatakan jika ia dan Arsen pergi main. "Makanya, harusnya tadi ada brifieng dulu." Sean yang sejak tadi berdiri tak jauh dari ruang keluarga langsung tertawa begitu mendengar jawaban berbeda dari Crisstian dan Arsen. "Lupa, Kak," keluh Crisstian sambil memasang raut wajah masam. "Jadi ... semalam kalian berdua pergi ke club?" Sein memberi tatapan sangat tajam pada Crisstian. "Iya, Oma." Arsen menjawab pertanyaan Sein, sedangkan Crisstian menjawab pertanyaan Sein hanya dengan anggukan kepala. "Oma, Arsen ke kamar dulu ya, capek." Arsen tahu kalau Sein pasti akan melakukan ceramah panjang lebar, jadi lebih baik ia kabur. "Iya, Sayang." Arsen menepuk ringan bahu kanan Crisstian, setelah itu berlalu pergi meninggalkan Crisstian yang menatap kepergian Arsen dengan raut wajah masam, tapi Arsen tiba-tiba menghentikan langkahnya. Sein menatap bingung Arsen begitu juga dengan Crisstian. "Oma." Arsen berbalik menghadap Sein. "Ada apa, Sayang? Apa kamu kehilangan sesuatu?" Arsen menggeleng. "Arsen tidak kehilangan barang, Oma. Arsen hanya mau memberi tahu Oma kalau Om Crisstian sedang jatuh cinta," jawabnya sambil menunjuk ke arah Crisstian. "Arsen sialan!" Crisstian langsung mengumpat, sementara Arsen malah tertawa terbahak-bahak ketika melihat betapa menggemaskannya raut wajah Crisstian saat ini. "Cialan!" Kata tersebut terucap dari mulut Noah yang saat ini ada dalam pangkuan Sein. Semua orang menoleh ke arah Noah yang kini malah tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang belum tumbuh merata. Crisstian tahu kalau Anna pasti akan marah padanya, jadi Crisstian langsung lari terbirit-b***t, pergi meninggalkan ruang keluarga. "Crisstian!" "Kan, emaknya beneran ngamuk," ucap Crisstian sambil terkekeh. "Maaf ya, Kak," lanjutnya sambil tertawa terbahak-bahak. "Sini lo, jangan kabur!" Anna menatap tajam Crisstian yang saat ini sedang menaiki anak tangga. "Mommy cialan!" Noah kembali berbicara. Dengan gerakan sangat cepat, Anna menoleh ke arah Noah, menatap putranya dengan raut wajah shock. Anna tak menyangka kalau Noah akan berbicara seperti itu padanya, sedangkan yang lainnya malah tertawa ketika mendengar Noah mengumpati Anna. Sayangnya, tatapan tajam Anna sama sekali tidak membuat Noah takut, Noah malah tertawa. Menurut Noah, Anna sangat lucu. "Dad, jangan tertawa!" Anna memukul bahu Juan yang baru saja datang. "Anak kamu baru saja mengumpat, Dad!" lanjutnya sambil menunjuk ke arah Noah. "Anak kita, Sayang." Juan meralat ucapan Anna. "Lagipula, Noah masih kecil, dia belum paham kalau apa yang baru saja ia ucapkan adalah kata yang tidak seharusnya ia ucapkan." "Ya makanya, Daddy jangan malah tertawa, nanti Noah berpikir kalau itu lucu, jadi dia akan kembali mengulanginya." "Ya soalnya dia emang lucu." Juan terkekeh, tapi tak lama kemudian tawanya berganti menjadi ringisan. Anna baru saja mencubit pinggang Juan. "Sakit, Mom," ucapnya sambil memasang raut wajah sedih. "Mommy sedang serius, Dad, bukannya sedang bercanda," balas tegas Anna sambil memasang raut wajah datar. "Maaf, Mom." Juan tahu ia salah, jadi tak ragu untuk meminta maaf. "Kalian berdua sangat menggelikan," ucap Crisstian yang ternyata sejak tadi memperhatikan interaksi yang terjadi antara Juan dan Anna dari atas anak tangga. "Halah, nanti kamu juga akan kaya Kakak, Criss." Juan menyahut santai. "Enggak akan ya," sahut cepat Crisstian. "Hati-hati ya kalau ngomong, nanti kena karma loh. Kakak sumpahin, nanti kamu jadi yang paling bucin." Setelah itu, Juan tertawa terbahak-bahak. "Crissrtian enggak akan seperti Kak Juan," sahut Crisstian penuh percaya ditri. "Crisstian, sini lo! Urusan kita belum selesai." Anna kembali berteriak sambil melambaikan tangan kanannya, meminta Crisstian untuk mendekat. "Crisstian bodoh kalau Crisstian mendekati Kakak." Setelah itu, Crisstian kembali berlari, mengabaikan Anna yang terus berteriak memanggil namanya. Crisstian mengunci pintu kamar, lalu membaringkan tubuhnya di tempat tidur dengan posisi terlentang. Kedua mata Crisstian terpejam, saat itulah, bayangan ketika dirinya dan Olivia berhubungan intim muncul. Desahan erotis Olivia terus terngiang-ngiang, membuat Crisstian frustasi. Frustasi karena sekarang, ia kembali ingin menghabiskan waktunya bersama Olivia, lebih tepatnya ingin kembali mengulang kejadian tadi malam. "Ah, sial!" Crisstian mengacak kasar rambutnya, mengerang tat kala juniornya mulai tegang. "Kenapa gue jadi gampang nafsuan sih?" Sebelumnya Crisstian tidak pernah seperti ini, bahkan ketika melihat wanita nyaris telanjang bulat di hadapannya, atau ketika mendapatkan banyak sekali godaan dari wanita-wanita lain, tapi sekarang, hanya dengan kembali mengingat kejadian tadi malam, nafsunya mulai membara, bahkan kini deru nafasnya mulai memburu. "Queen, lo harus jadi milik gue," gumamnya penuh penekanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD