Lift terbuka. Sebelum benar-benar keluar dari dalam lift, Olivia terlebih dahulu memeriksa situasi di luar, lega ketika melihat loby hotel dalam keadaan epi, tidak seramai yang Olivia bayangkan. Olivia bergegas keluar dari lift, menghentikan sejenak langkahnya untuk kembali memeriksa penampilannya. Olivia mengangkat wajahnya ketika mendengar suara ramai dari arah samping kanannya. Olivia bergegas keluar dari loby hotel ketika melihat mulai banyak orang yang memasuki loby.
Olivia memutuskan untuk pergi menuju halte bus terdekat. Untung saja halte dalam keadaan sepi, jadi Olivia bisa bersantai tanpa harus pusing memikirkan, apa reaksi orang-orang ketika melihat penampilannya yang bisa di katakan sangat berantakan, terutama rambutnya. Olivia menyandarkan punggungnya sambil memejamkan matanya, lalu menarik dalam nafasnya sebanyak yang ia bisa, dan menghembuskannya secara perlahan-lahan.
"Bodoh! Dasar bodoh!" Umpat Olivia sambil memukul-mukul keningnya sendiri. Olivia terus mengumpati dirinya sendiri yang baru saja melakukan hal sangat bodoh, benar-benar bodoh. Setelah itu, Olivia diam termenung, mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi sampai akhirnya ia bisa berakhir di kamar salah satu hotel bersama dengan seorang pria bernama Crisstian. "Sial, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa gue enggak bisa ingat apa-apa?"
Tak lama kemudian, taksi yang Olivia pesan datang. Kepulangan Olivia ke mansion disambut oleh para pelayan. Semua pelayan terkejut ketika melihat betapa berantakannya penampilan Olivia.
"Nyonya, apa Anda baik-baik saja?" tanya salah satu pelayan bernama Nani.
"Saya baik-baik aja, Bi," jawab pelan Olivia sambil tersenyum tipis. "Apa suami saya sudah bangun?" tanyanya harap-harap cemas.
"Tuan Felix belum pulang, Nyonya."
Jawaban dari sang pelayan mengejutkan Olivia. "Felix belum pulang?" tanyanya memperjelas.
"Iya, Nyonya, Tuan Felix belum pulang."
Di saat yang sama, Olivia merasa sedih sekaligus juga bahagia. Saat tahu kalau Felix belum pulang, Olivia bahagia, karena itu artinya, Felix tidak akan melihatnya yang pulang dalam keadaan berantakan, tapi sedih karena ia tidak tahu, di mana Felix saat ini?
Dengan langkah gontai, Olivia pergi ke kamar. Olivia memilih untuk memasuki kamar tamu. Sesampainya di kamar, Olivia tak lupa untuk mengunci pintu kamar, lalu bergegas melepas satu persatu pakaian yang ia kenakan. Olivia melangkah mendekati cermin besar yang ada di samping kanan meja riasnya. Dengan tangan bergetar hebat, Olivia menyentuh lehernya yang penuh kissmark, bukan hanya bagian lehernya yang di penuhi oleh kissmark, tapi dadanya juga penuh oleh kissmark. "Bagaimana ini?" gumamnya dengan mata yang kini mulai berkaca-kaca.
Olivia jatuh terduduk di lantai sambil menangis.
"Gue ko-kotor," ucap terbata Olivia sambil menggosok-gosok tubuhnya, berharap kalau kissmark yang kini menghiasi tubuhnya hilang.
"Akh!" Olivia akhirnya berteriak, menyalurkan rasa frustasi yang saat ini tengah ia rasakan.
Kamar Olivia kedap suara, jadi teriakan Olivia barusan tidak akan didengar oleh orang yang ada di luar kamar Olivia.
Olivia terus menangis, menyesali apa yang baru saja terjadi padanya.
Tak terasa, berjam-jam sudah berlalu sejak Olivia pulang ke mansion. Sampai saat ini, Olivia masih mengurung diri di kamar. Sejak tadi Olivia terus menangis, membuat kedua matanya tampak sembab sekaligus memerah, begitu juga hidungnya, bahkan kini suaranya berubah menjadi serak.
"Teruslah berpikir, Olivia," ucap Olivia pada dirinya sendiri, memaksa supaya dirinya mengingat kejadian tadi malam. Sayangnya, tak peduli seberapa keras pun Olivia mencoba mengingat apa yang sebenarnya sudah terjadi, Olivia tidak bisa mengingatnya. Hal terakhir yang Olivia ingat adalah, dirinya duduk santai di club sambil menikmati minumannya.
Olivia terlonjak kaget ketika mendengar suara nyaring dari pintu kamarnya yang baru saja di ketuk, di susul oleh suara pelayan yang memanggilnya sekaligus meminta izin untuk masuk.
"Masuk!" Teriak Olivia dengan suara seraknya.
Pelayan memasuki kamar Olivia begitu izin diberikan.
Olivia sengaja berbaring dengan posisi membelakangi pintu kamar. Olivia tidak mau sang pelayan melihat penampilannya yang bisa dikatakan sangat berantakan. "Ada apa?"
"Nyonya tidak makan?" Sejak datang, Olivia belum keluar dari kamar, bahkan Olivia melewatkan makan siangnya.
"Saya belum lapar," jawab pelan Olivia. "Apa Felix sudah pulang?"
"Tuan Felix baru saja datang, Nyonya."
Olivia seketika merasa lega. Awalnya Olivia pikir, Felix tidak akan pulang. "Syukurlah kalau dia sudah pulang."
"Tapi tadi Tuan Felix berpesan kalau Tuan tidak mau diganggu, Nyonya. Tuan Felix juga mengatakan kalau tidak akan makan malam."
Senyum di wajah Olivia kembali luntur. Padahal Olivia berharap kalau ia bisa makan malam bersama sang suami. "Saat ini saya belum lapar, saya akan memanggil pelayan kalau saya memang lapar."
"Baik, Nyonya." Pelayan pergi meninggalkan Olivia.
Olivia kembali melamun, kedua matanya melotot ketika sadar kalau tadi ia pulang tidak membawa tasnya. "Tas gue di mana ya? Jangan-jangan tas gue ketinggalan di club?"
Olivia adalah member VVIP club Heaven, jadi Olivia mengenal beberapa pegawai di sana, membuatnya memiliki beberapa nomor pegawai club.
"Halo, dengan Becca di sini."
"Becca, ini gue, Queen." Para pegawai di Club Heaven mengenal Olivia dengan nama Queen, karena Olivia memang tidak mau menggunakan nama aslinya.
"Oh, hai, Queen," sapa Becca penuh semangat. "Ada apa?"
"Semalam gue ke club, dan sepertinya tas gue ketinggalan di sana." Olivia berharap kalau tasnya memang tertinggal di club. "Bisa tolong bantu cek in gak?"
"Ok, sebentar, gue cek dulu ya."
"Ok, terima kasih Becca." Olivia mendengar Becca berbincang dengan pegawai club, menanyakan apa ada tas yang tertinggal atau tidak? Olivia menunggu dengan jantung berdebar hebat.
"Queen."
"Gue di sini," sahut cepat Olivia.
"Tas lo memang tertinggal di club, dan sekarang ada di gue."
"Syukurlah," gumam Olivia dengan perasaan luar biasa lega. "Ok, gue titip dulu ya di lo, nanti gue akan minta supir gue buat ambil tasnya ke sana."
"Ok, gue tunggu."
"Thanks, Becca."
"Sama-sama, Queen."
Setelah panggilan telepon antara dirinya dan Becca berakhir, Olivia langsung menghubungi Four, salah satu pengawal pribadi yang selalu mengantarnya pergi ke club Heaven. Olivia meminta Four untuk mengambil tasnya di club Heaven.
Tak sampai 20 menit kemudian, tas Olivia sudah kembali dalam genggaman sang pemilik.
Olivia akhirnya bisa bernafas lega ketika tak ada satupun barang yang hilang, semuanya masih lengkap.
Barang pertama yang Olivia ambil adalah ponselnya. Olivia langsung menghubungi Anya.
Pada panggilan pertama, Anya tidak mengangkat panggilan Olivia. Olivia tidak menyerah, dan kembali menghubungi Anya. Olivia bernafas lega karena akhirnya Anya mau mengangkat panggilannya. "Halo, Anya."
"Hai, Olivia, ada apa?"
"Kenapa semalam lo enggak datang ke club?" Alasan semalam Olivia pergi ke club karena Anya. Anya mengajak Olivia pergi ke club, dan Olivia setuju. Awalnya Olivia memang menolak, tapi karena Anya memaksa, Olivia pun setuju untuk bertemu Anya di club. Olivia sampai terlebih dahulu di club ketimbang Anya.
Anya sontak terkekeh. "Lo pura-pura lupa atau lupa beneran sih?"
Raut wajah Olivia pun berubah menjadi bingung. "Tentang apa?" tanyanya tidak sabaran.
"Kan semalam gue udah kirim pesan ke lo, bilang kalau kita enggak jadi ketemu karena gue ada urusan mendesak."
Olivia tidak menanggapi ucapan Anya, tapi dengan cepat memeriksa ponselnya, untuk memastikan, apa ucapan Anya benar atau tidak? Ternyata benar, semalam tak berselang lama setelah ia sampai di club, Anya mengirim pesan, mengatakan kalau Anya tidak bisa datang karena adiknya yang sakit harus segera di bawa ke rumah sakit.
"Olivia!" Anya menegur Olivia.
"Oh iya, gue lupa," sahut Olivia sambil terkekeh. Olivia tidak mau Anya curiga.
Anya ikut terkekeh.
"Sekarang lo ada di mana?" Olivia memutuskan untuk basa-basi terlebih dahulu, tidak mau segera mengakhiri sambungan teleponnya dengan Anya, karena itu hanya akan membuat Anya curiga.
"Gue ada di rumah sakit, Olivia."
"Bagaimana kondisi adik lo?"
"Kondisinya semakin memburuk," jawab Anya penuh kesedihan.
10 menit adalah waktu yang Olivia habiskan untuk mengobrol dengan Anya, membahas tentang kondisi adik Anya yang saat ini sedang menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Olivia segera menghubungi kedua pengawal yang semalam menemaninya pergi ke club, Four dan Bram, tapi Olivia memutuskan untuk menghubungi Four.
"Iya, Nyonya."
"Apa semalam Anya tidak datang ke club?"
"Semalam Anda tidak jadi bertemu dengan Anya, Nyonya."
"Lalu, setelah itu, apa yang terjadi?" Olivia benar-benar tidak ingat apa yang terjadi tadi malam, membuatnya ingin segera tahu.
"Anda meminta saya dan Bram untuk pulang lebih dulu."
"Saya meminta kamu dan Bram pulang?" tanya Olivia dengan kedua mata melotot.
"Iya, Nyonya. Semalam Anda meminta saya dan Bram pulang karena Anda ingin pergi jalan-jalan sendiri."
Olivia memejamkan kedua matanya, mencoba mengingat, apa benar jika semalam ia meminta Bram dan Four untuk pulang, karena ia ingin pergi jalan-jalan sendiri?
"Saya tidak berani menolak perintah Anda karena Anda mengancam akan melaporkan saya dan juga Bram pada Nyonya Emily kalau kita berdua tidak menuruti kemauan Anda." Four kembali berbicara.
"Ya sudah, terima kasih," balas lirih Olivia.
"Sama-sama, Nyonya."
"f**k!" Umpat Olivia sambil melemparkan ponselnya. Olivia sudah tidak bisa lagi bertanya pada Four tentang apa yang selanjutnya terjadi, karena ia meminta Four dan Bram untuk pulang. Sekarang Olivia harus bertanya pada dirinya sendiri, apa yang terjadi ketika ia pergi sendiri? Siapa orang yang ia temui?
"Gue harus mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi semalam," gumamnya penuh tekad.