Olivia merentangkan kedua tangannya ke atas lalu menoleh ke samping, bernafas lega ketika melihat sosok Felix. Semalam saat Olivia akan tidur, Felix belum pulang, itu artinya, Felix pulang setelah ia tertidur. Olivia berbalik menghadap Felix, senyum tipis menghiasi wajahnya saat melihat betapa pulasnya tidur sang suami.
"Pasti semalam dia mabuk bersama teman-temannya." Setelah melihat penampilan Felix yang sedikit berantakan, Olivia yakin kalau semalam, Felix menghabiskan waktunya untuk mabuk-mabukan.
Apa Felix sering bermain wanita? Pertanyaan tersebut tiba-tiba muncul dalam benak Olivia. "Tidak mungkin dia dan teman-temannya mabuk tanpa di temani wanita?" lanjutnya penuh kesedihan.
Dengan perasaan takut, Olivia memberanikan diri membelai wajah Felix.
"Eungh...." Felix melenguh, merasa terganggu dengan sentuhan Olivia.
Lenguhan Felix mengejutkan Olivia. Olivia langsung menarik tangannya, dan pura-pura tertidur. Olivia kembali membuka matanya, menghela nafas lega saat tahu kalau Felix tidak terbangun. "Untung aja dia enggak bangun."
Secara perlahan, Olivia menyibak selimutnya lalu menuruni tempat tidur. Olivia pergi mandi.
Tak sampai 1 jam kemudian, Olivia keluar dari kamar mandi. Olivia terkejut ketika melihat sang suami sudah terbangun, dan saat ini sedang duduk di pinggir tempat tidur.
Felix dan Olivia beradu pandang.
Olivia meneguk kasar ludahnya ketika melihat Felix menyeringai. Tidak biasanya Felix menyeringai, jadi Olivia sedikit merasa takut.
Felix memindai penampilan Olivia, mulai dari atas sampai bawah.
Tatapan intens Felix membuat Olivia tidak nyaman. Seandainya saja Olivia tahu kalau Felix akan terbangun, tadi Olivia pasti akan langsung berpakaian, bukannya malah mengenakan bathrobe. Olivia bergegas pergi menuju walk in closet. Olivia merasa jika ia harus segera pergi dari hadapan Felix.
Felix menuruni tempat tidur, berlari mengejar Olivia.
Olivia panik saat tahu kalau Felix berlari mengejarnya.
Felix berhasil menarik tangan kanan Olivia, lalu memutar tubuh Olivia menghadap ke arahnya sampai akhirnya tubuh mereka saling beradu.
Olivia memekik, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Olivia mencoba melepaskan tangannya, tapi tak bisa, tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Felix.
"Ada apa?" Dengan susah payah, Olivia bertanya. Olivia mencoba tenang, meskipun tubuhnya memberi reaksi berbeda, sekujur tubuhnya menggigil ketakutan.
"Wangi," bisik Felix tepat di depan wajah Olivia. Felix menyukai aroma yang menguar dari tubuh Olivia.
Olivia memalingkan wajahnya saat mencium aroma alkohol dari mulut Felix. "Ka-kamu mabuk," bisiknya terbata.
Felix mencengkram wajah Olivia menggunakan tangan kanannya.
"Akh!" Olivia merintih kesakitan. Olivia mencoba melepaskan tangan Felix dari wajahnya, tapi lagi-lagi usahanya gagal. "Sa-sakit," ucapnya dengan susah payah.
Rintihan kesakitan Olivia sama sekali tidak membuat Felix iba. Felix memaksa Olivia untuk kembali menatapnya. "Kita sudah lama menikah, tapi kita belum pernah berhubungan badan bukan?" tanyanya sambil memindai tubuh Olivia. Senyum lebar menghiasi wajah Felix ketika melihat belahan d**a Olivia.
"Ja-jangan," pinta Olivia memelas sambil menggelengkan kepalanya.
Felix menyeringai. "Kamu pasti akan menyukainya, Olivia," bisiknya sambil tersenyum lebar. Felix membenamkan wajahnya di ceruk leher Olivia. Olivia tidak bisa menghindar karena Felix langsung mendorongnya ke dinding, lalu mengunci setiap pergerakannya. Olivia ingin sekali melawan, tapi tak bisa karena tubuhnya tiba-tiba terasa lemas tak bertenaga.
"Akh!" Olivia memekik, kali ini karena Felix baru saja menggigit lehernya, dan setelah itu menghisapnya dengan cukup kuat.
Olivia memberontak, mencoba lepas dari Felix, namun sayangnya gagal. Olivia tidak bisa menandingi kekuatan fisik Felix yang jauh lebih kuat.
Setelah puas bermain-main di leher Olivia, Felix menyeret Olivia, lalu mendorong Olivia ke atas tempat tidur. Olivia mencoba untuk kabur. Felix sudah bisa membaca pergerakan Olivia, jadi langsung meraih kedua kaki Olivia, dan mengunci pergerakannya sampai akhirnya Olivia tidak bisa bergerak dengan leluasa.
"Lepas!" Olivia akhirnya bisa berteriak.
Felix membungkam teriakan Olivia dengan cara mempelkan bibirnya pada bibir ranum Olivia. Felix melumat dengan rakus bibir Olivia.
Olivia terkejut, dan lagi-lagi tidak sempat menghindari ciuman Felix. Olivia yang sudah sangat ketakutan akhirnya menangis. Tangisan Olivia mengejutkan Felix, sekaligus membuat Felix tersadar dari apa yang baru saja ia lakukan. Felix memundurkan wajahnya, membuat tautan bibirnya dan Olivia terlepas.
"Sial!" Umpat Felix yang langsung menyingkir dari atas tubuh Olivia. Dengan langkah gontai, Felix memasuki kamar mandi, meninggalkan Olivia yang sampai saat ini masih berbaring di tempat tidur dalam keadaan shock berat. Tadi adalah kali pertama Felix bersikap seperti itu pada Olivia setelah mereka menikah selama hampir 2 tahun lamanya, jadi wajar kalau Olivia sangat shock.
Sebelumnya Olivia selalu berharap kalau Felix akan menyentuhnya, memberinya nafkah secara batin, tapi ketika tadi Felix menyentuhnya, Olivia malah ketakutan.
Jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, Olivia tahu kalau Felix menyentuhnya bukan karena Felix sudah bisa mencintainya, tapi karena Felix mabuk, Felix tidak sadar. Seandainya Felix sadar, Felix pasti tidak akan mau menyentuhnya.
Olivia segera menyeka air mata yang membasahi wajahnya, lalu bergegas pergi menuju walk in closet. Olivia tidak mau bertemu Felix, jadi Olivia berpakaian dengan sangat terburu-buru. Saking terburu-burunya, Olivia sampai lupa untuk menutupi kissmark yang ada di lehernya.
Biasanya sebelum berangkat ke kantor, Olivia akan terlebih dahulu sarapan, tapi kali ini Olivia memutuskan untuk langsung pergi ke kantor.
Olivia lega begitu melihat Vero sudah datang. "Kita berangkat sekarang."
"Baik, Nyonya."
Olivia dan Vero memasuki mobil.
Olivia bernafas lega begitu mobil pergi meninggalkan mansion.
Reaksi lega Olivia tak lepas dari pengamatan Vero. Sejak Olivia memasuki mobil, Vero sudah memperhatikannya melalui kaca spion tengah, dan Olivia terlihat sekali sangat ketakutan.
Olivia akhirnya sampai di kantor, dan baru aja memasuki lift ketika Crisstian datang. Olivia tidak mau bertemu Crisstian, jadi sengaja tidak menahan pintu lift, dan membiarkannya tertutup, namun sayangnya, Crisstian berhasil menahan pintu lift sampai akhirnya lift kembali terbuka.
Awalnya Crisstian tersenyum, tapi senyum di wajah Crisstian luntur begitu melihat tanda kissmark yang ada di leher jenjang Olivia. "Apa dia sengaja tidak menutupi kissmarknya?" teriaknya dalam hati.
Olivia menyadari perubahan ekspresi wajah Crisstian, tapi memilih untuk tak ambil pusing. Olivia menyandarkan punggungnya di lift, lalu memejamkan matanya. Olivia masih shock, dan saat ini mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.
Crisstian berbalik membelakangi Olivia. Kilat amarah terlihat jelas di kedua matanya, bahkan kini kedua tangannya mengepal sempurna.
Selama lift bergerak naik, Crisstian dan Olivia sama-sama diam. Keduanya memang tidak berniat untuk memulai obrolan.
Crisstian sudah berada di ruangannya, begitu juga Olivia yang sudah berada di balik meja kerjanya.
"Enggak seharusnya lo marah, Crisstian." Crisstian mengejek dirinya sendiri yang saat ini sangat marah. "Felix dan Olivia suami istri, jadi wajar kalau mereka berdua melakukan hubungan suami istri," lanjutnya sambil tersenyum sinis.
Crisstian menarik dalam nafasnya, lalu menghembuskannya secara perlahan-lahan. Crisstian mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Crisstian baru saja akan melepas jas yang dikenakannya begitu Steve datang. "Ada apa?"
"Kita ada meeting, Tuan." Steve menatap bingung Crisstian yang terlihat sekali sangat marah.
"Sekarang juga?"
"Iya, Tuan sendiri yang meminta supaya meetingnya di majukan." Suasana hati Crisstian sedang tidak baik, jadi Steve sama sekali tidak terkejut ketika Crisstian melupakan meeting pagi ini.
Crisstian mengumpat, sekarang ia sudah kembali mengingat pembicaraannya dengan Steve beberapa hari yang lalu. "Ok, ayo kita pergi."
Crisstian dan Steve keluar secara bersamaan. Sebelum memasuki ruang kerja Crisstian, Steve sudah meminta Olivia untuk segera bersiap, jadi begitu keduanya keluar, Olivia sudah menunggu.
Ketika dalam perjalanan menuju ruang meeting, Crisstian dan Olivia tidak mengobrol sedikit pun, membuat Steve sudah bisa menebak apa alasan Crisstian terlihat marah.
Awalnya, perkiraan meeting tersebut akan selesai dalam kurun waktu 2 jam, namun nyatanya memakan waktu yang jauh lebih lama. Selama meeting berlangsung, ada banyak sekali pegawai yang terkena amukan Crisstian.
Crisstian sudah berada di ruangannya, begitu juga Olivia. Crisstian melonggarkan ikatan dasi di lehernya yang terasa sangat mencekik.
"b******k!" Crisstian meraih pas bunga yang ada di meja, lalu melemparkannya ke dinding sampai akhirnya pas bunga tersebut pecah. Crisstian terus membayangkan ketika Felix dan Olivia berhubungan intim dan itu membuat emosinya tidak stabil. Crisstian mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi tak bisa.
Suara dari pecahan pas di dengar Olivia. Olivia terkejut dan langsung berlari menuju ruangan Crisstian.
Olivia membuka pintu tanpa meminta izin terlebih dulu. Olivia semakin terkejut ketika melihat betapa berantakannya ruang kerja Crisstian. "Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamnya tanpa sadar.
"Keluar!" Suara Crisstian sangat pelan, tapi penuh penekanan.
"Saya akan segera memanggil OB untuk membersihkan ruangan Anda, Pak," jawab lirih Olivia. Olivia takut kalau pecahan beling yang saat ini berserakan di lantai mengenai kaki Crisstian.
Crisstian berbalik menghadap Olivia.
Sekujur Olivia menggigil ketakutan ketika melihat betapa menyeramkannya Crisstian saat ini. Tatapan matanya sangat dingin.
"Saya bilang, keluar!" Ulang Crisstian penuh penekanan.
"Sa–"
"Keluar, Olivia!" Crisstian akhirnya membentak Olivia sambil menunjuk ke arah pintu.
Bentakan Crisstian mengejutkan Olivia. Saking terkejutnya, Olivia bahkan sampai terlonjak. Olivia langsung berlari keluar dari ruang kerja Crisstian.
"f**k!" Umpat Crisstian sambil menyugar rambutnya menggunakan tangan kanannya.
Begitu keluar, Olivia bertemu Steve. Sejak tadi, Steve sudah berdiri di depan pintu ruang kerja Crisstian.
Olivia pergi menuju toilet, sedangkan Steve memasuki ruangan sang atasan.
Crisstian menoleh untuk melihat siapa yang datang. Crisstian bernafas lega ketika tahu kalau Stevelah yang datang, bukan Olivia. Crisstian membaringkan tubuhnya di sofa.
Steve menghela nafas panjang ketika melihat betapa berantakannya ruang kerja Crisstian saat ini. Pecahan beling ada di mana-mana. Steve meraih ponselnya, lalu menghubungi OB untuk membersihkan ruang kerja Crisstian. Steve lalu duduk santai di sofa, berhadapan langsung dengan sofa yang Crisstian tiduri.
"Tuan, tidak seharusnya Anda membentak Olivia." Steve berbicara dengan tenang dan santai, sama sekali tidak takut dengan aura menyeramkan yang Crisstian keluarkan. Steve sudah lama menjadi asisten pribadi Crisstian, jadi Steve sudah cukup mengenal Crisstian, membuatnya tahu apa yang harus ia lakukan jika sang atasan sedang marah.
"Saya tahu," balas lemah Crisstian.
"Olivia terlihat sekali sangat ketakutan." Steve menyandarkan tubuhnya di sofa sambil memejamkan matanya.
Bayangan wajah Olivia yang ketakutan langsung memenuhi pikiran Crisstian, membuat Crisstian langsung merasa sangat bersalah karena sudah membentak Olivia. "Sial," gumamnya.
"Kontrol emosi Anda, Tuan. Ingat, Tuan Anton mempunyai mata-mata yang bekerja di kantor ini. Kalau sampai mereka mengadu pada Tuan Anton, cepat atau lambat, Tuan Anton akan tahu apa alasan Anda menjadi tidak terkontrol, dan saya tidak perlu memberi tahu Anda tentang apa yang selanjutnya akan terjadi, kan? Anda pasti sudah bisa menebaknya."
"Ya, saya sudah menebak apa yang selanjutnya akan terjadi," jawab lirih Crisstian.
Tak lama kemudian, OB yang Steve panggil datang. Steve kembali ke ruang kerjanya setelah memastikan kalau ruangan Crisstian bersih seperti semula, sedangkan Crisstian memilih untuk mengistirahtkan diri di kamar.
Crisstian baru saja berbaring di tempat tidur ketika ponselnya berdering. Crisstian bergeser mendekati nakas, lalu meraih ponselnya dan kembali memejamkan matanya setelah melihat siapa orang yang menghubunginya. "Ada apa?" tanyanya lirih.
"Olivia ditemukan pingsan di toilet, Tuan."
"s**t!" Crisstian menuruni tempat tidur, berlari keluar dari ruang kerjanya. Begitu keluar, Crisstian melihat Steve menggendong Olivia.
"Bawa ke kamar saya, Steve."
Steve membawa Olivia ke kamar Crisstian. Setelah membaringkan Olivia di tempat tidur, Steve langsung menghubungi dokter untuk memeriksa kondisi Olivia.
"Olivia." Crisstian mencoba untuk menyadarkan Olivia, namun sayangnya, Olivia tidak kunjung mau membuka matanya. Crisstian panik, apalagi ketika bisa merasakan betapa tingginya suhu tubuh Olivia. Olivia demam. Rasa bersalah langsung menghantui pikiran juga hati Crisstian. Crisstian merasa sangat bersalah karena tadi sudah membentak Olivia. "Please Baby, ayo bangun," gumamnya sambil terus mengecupi punggung tangan Olivia.