Olivia yang sedang fokus bekerja dikejutkan oleh suara nyaring dari telepon yang ada di samping kanan layar komputernya.
Olivia tidak langsung mengangkat telepon tersebut, dan mencoba menebak, kira-kira, siapa orang yang menghubunginya?
"Semoga bukan Crisstian," gumam Olivia sambil meraih gagang telepon.
Olivia baru saja akan menyapa ketika suara tegas Crisstian sudah terlebih dahulu terdengar.
"Ke ruangan saya, sekarang!" Titah tegas Crisstian.
"Baik, Pak."
Setelah itu, panggilan pun berakhir.
"Kira-kira ada apa ya?" Olivia merasa penasaran sekaligus juga takut, tapi karena Olivia tidak mau membuat Crisstian menunggu kedatangannya, Olivia bergegas pergi meninggalkan meja kerjanya.
Sekarang Olivia sudah berdiri di depan ruang kerja Crisstian. Olivia gugup, terlihat jelas dari raut wajahnya juga kedua tangannya yang kini saling bertaut, dan mulai mengeluarkan keringat.
Olivia menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Olivia mengangkat tangannya, mengetuk pelan pintu sebanyak 3 kali.
"Masuk!" Teriak Crisstian memberi izin.
Olivia membuka pintu ruang kerja Crisstian begitu izin sudah diberikan.
Sekilas, Crisstian melirik ke arah Olivia, setelah itu kembali fokus pada pekerjaannya.
Dengan langkah ragu, Olivia melangkah mendekati Crisstian.
"Ada apa, Pak?" tanya Olivia yang kini sudah berdiri di hadapan Crisstian.
"Dududklah." Crisstian malah meminta Olivia untuk duduk di sofa.
Olivia bingung, tapi memilih untuk menuruti perintah Crisstian. Olivia duduk di sofa.
Tak berselang lama kemudian, ada yang mengetuk pintu ruang kerja Crisstian, dan orang tersebut adalah Steve.
"Masuk," ucap Crisstian sambil beranjak bangun dari duduknya, lalu duduk di sofa.
Steve memasuki ruangan Crisstian, lalu duduk di hadapan Olivia.
Pembicaraan pun di mulai.
Crisstian, Steve, dan Olivia membahas tentang proyek yang sebentar lagi akan di kerjakan.
Kurang lebih, 2 jam waktu yang ketiganya habiskan untuk berdiskusi. Awalnya Olivia tampak canggung, tapi seiring dengan berjalannya waktu, Olivia mulai terlihat santai.
Sebelum pergi meninggalkan ruang kerja Crisstian, Steve terlebih dahulu bertanya, di mana Crisstian akan makan siang? Di kantor atau di luar kantor?
Crisstian memutuskan untuk makan siang di luar kantor.
Setelah itu, barulah Steve dan Olivia pergi meninggalkan ruangan Crisstian, keduanya kembali fokus bekerja.
Alarm di ponsel Olivia berdering.
Sebelumnya, Olivia memang sengaja memasang alarm supaya ia tidak melewatkan jam makan siangnya.
"Waktunya makan siang." Olivia merentangkan kedua tangannya ke atas, merenggangkan otot-ototnya yang terasa pegal.
Olivia merapikan meja kerjanya, setelah itu merapikan penampilannya. Olivia baru saja akan berdiri ketika mendengar pintu ruang kerja Crisstian terbuka. Secara refleks, Olivia menoleh ke samping, bertepatan dengan Crisstian yang kini menatap Olivia.
Crisstian dan Olivia saling tatap.
Ketika sadar dengan apa yang terjadi, Olivia salah tingkah, malu karena tertangkap basah terus memperhatikan Crisstian.
"Pak." Mau tidak mau, dengan perasaan canggung Olivia menyapa Crisstian.
Crisstian hanya mengangguk.
Olivia tidak mau satu lift dengan Crisstian, jadi Olivia akan pergi setelah Crisstian pergi. Olivia kembali duduk, berpura-pura sibuk merapikan meja kerjanya.
Olivia berpikir kalau Crisstian melangkah menuju lift, namun ternyata salah, karena kini Crisstian malah melangkah ke arahnya.
"Kamu belum makan siang?"
"Belum, Pak." Dengan gugup, Olivia menjawab pertanyaan Crisstian.
"Kalau begitu, ayo kita makan siang." Alasan sebenarnya Crisstian ingin makan siang di luar adalah karena Olivia. Crisstian ingin berbicara 4 mata dengan Olivia.
"Sa–"
"Bukankah ada hal penting yang harus kita bicarakan, Queen?" Crisstian menekan setiap kata yang baru saja ia ucapkan, dan secara sengaja memanggil Olivia dengan nama Queen, supaya Olivia tahu, apa yang ingin ia bicarakan.
Dalam hitungan detik, raut wajah Olivia berubah menjadi tegang.
"Ayo, kita makan siang di luar." Tanpa menunggu respon Olivia, Crisstian berlalu pergi dari hadapan Olivia, melangkah menuju lift.
Olivia meraih tasnya, lalu menghampiri Crisstian yang sudah menunggunya di dalam lift. Olivia memilih untuk memposisikan dirinya di belakang Crisstian.
Setelah lift tertutup, Crisstian meraih ponselnya, kemudian menghubungi Carlos.
"Iya, Tuan."
"Saya mau makan siang di luar, jemput saya di basement." Biasanya Crisstian akan ke luar melalui loby, tapi karena hari ini Crisstian akan pergi makan siang bersama Olivia, Crisstian tidak akan melewati loby yang pasti sangat ramai mengingat saat ini adalah waktunya jam makan siang. Crisstian tidak mau kepergiannya dengan Olivia di lihat oleh para karyawannya yang lain, jadi memilih basement, tempat paling aman sekaligus sepi.
"Baik, Tuan."
Setelah itu, tidak ada lagi yang bersuara. Crisstian memilih diam, begitu juga Olivia.
Saat ini ada banyak sekali pertanyaan yang memenuhi pikiran Olivia.
"Kira-kira, apa yang nanti akan terjadi?" Itulah pertanyaan yang paling besar.
Lift yang Crisstian dan Olivia naiki akhirnya sampai di basement.
Begitu lift terbuka, Crisstian dan Olivia keluar dari dalam lift secara bersamaan. Keduanya melangkah mendekati Carlos yang baru saja datang.
"Tuan," sapa Carlos sambil membungkukkan tubuhnya.
"Kamu tidak perlu menemani saya, Carlos. Saya hanya ingin pergi berdua dengan sekretaris saya."
Ucapan Crisstian barusan mengejutkan Olivia.
Olivia ingin sekali protes, mengatakan pada Crisstian kalau dirinya tidak mau pergi berdua saja dengan Crisstian. Tapi sayangnya, Olivia tidak mampu melakukannya.
"Baik, Tuan." Carlos menyerahkan kunci mobilnya pada Crisstian.
Crisstian mengucap terima kasih, lalu menolehkan kepalanya ke arah Olivia, melalui isyarat mata meminta supaya Olivia melangkah mendekatinya.
Dengan langkah gontai, Olivia melangkah mendekati Crisstian.
Crisstian membukakan pintu mobil untuk Olivia.
Olivia terkejut dengan apa yang baru saja Crisstian lakukan. Olivia sama sekali tidak menyangka jika Crisstian akan membukakan pintu mobil untuknya.
"Terima kasih," ucap lirih Olivia sesaat sebelum memasuki mobil.
Crisstian hanya mengangguk. "Jangan lupa, pakai sabuk pengamannya."
Seusai memastikan kalau Olivia duduk dengan benar, dan sudah memakai sabuk pengamanan, barulah Crisstian menutup pintu mobil. Crisstian berlari memasuki mobil, duduk di kursi kemudi.
"Kamu mau makan apa, Olivia?" tanya Crisstian tanpa memandang ke arah Olivia, tetap fokus pada jalanan di hadapannya.
"Terserah." Olivia menjawab dengan singkat, padat, dan jelas pertanyaan Crisstian.
Crisstian tidak lagi bertanya dan langsung melajukan mobilnya menuju restoran terdekat favoritenya.
Setelah mobil terparkir secara sempurna, Crisstian melepas sabuk pengamannya, begitu juga Olivia. Keduanya keluar dari dalam mobil secara bersamaan.
Olivia tidak mau Crisstian membukakan pintu mobilnya, itulah alasan ia bergegas keluar dari mobil.
Restoran yang saat ini Crisstian dan Olivia datangi letaknya cukup dekat dengan perusahaan Crisstian.
Crisstian tahu kalau ada banyak sekali pegawai di kantornya yang terkadang makan siang di restoran tersebut, karena itulah Crisstian memutuskan untuk mengajak Olivia makan di ruang VVIP.
Ketika tahu kalau dirinya dan Christian akan makan di ruangan yang sangat tertutup, Olivia ingin sekali menolak, tapi entah kenapa dia tak berani melakukannya. Olivia hanya diam dan terus mengikuti ke mana kedua kaki Crisstian melangkah.
"Silakan duduk." Crisstian menarik sebuah kursi untuk Olivia duduki.
Perlakuan manis Crisstian lagi-lagi mengejutkan Olivia.
"Terima kasih," ucap pelan Olivia.
"Sama-sama," balas Crisstian sambil melangkah menuju kursinya.
Tak lama kemudian, pelayan datang.
Crisstian dan Olivia langsung memesan menu makanan untuk mereka nikmati.
"Sambil menunggu makanan kita siap, bagaimana kalau kita membahas tentang pertemuan kita di hotel beberapa minggu yang lalu." Crisstian berbicara dengan sangat santai, tapi respon yang Olivia berikan justru sebaliknya.
Sejak awal, Olivia sudah merasa sangat gugup, dan ucapan Crisstian barusan semakin membuat Olivia merasa gugup..
"To-tolong jangan beri tahu suami saya tentang kejadian itu, Pak," ucap lirih Olivia sambil menundukkan wajahnya. Olivia tidak berani menatap Crisstian yang sejak tadi terus menatap lekat Olivia.
Setelah tahu kalau Crisstian mengenal Felix, bahkan perusahaan keduanya akan menjalin kerja sama, Olivia selalu diselimuti rasa takut. Olivia takut kalau Crisstian akan memberitahu Felix tentang apa yang sudah terjadi diantara mereka berdua.
Olivia benar-benar takut kalau Crisstian akan memberitahu Felix jika mereka berdua pernah melakukan hubungan yang tidak seharusnya mereka lakukan, yaitu berhubungan seks.
Crisstian tersenyum tipis. "Bagaimana kalau saya tidak mau menuruti permintaan kamu, Olivia?" tanyanya sambil tersenyum sinis. "Bagaimana kalau saya memutuskan untuk memberi tahu suami kamu tentang apa yang sudah terjadi diantara kita berdua?"
Dengan cepat, Olivia mengangkat wajahnya, menatap sang atasan dengan mata melotot.
"Saya mohon, tolong jangan beri tahu suami saya tentang kejadian itu, Pak." Olivia tak punya pilihan lain selain memohon.
Ketakutan Olivia justru membuat Crisstian senang, senang karena itu artinya ia bisa memanfaatkan ketakutan yang saat ini sedang Olivia rasakan.
"Baiklah, saya tidak akan memberi tahu Felix tentang apa yang sudah terjadi di antara kita berdua."
Olivia langsung merasa tenang, tapi itu hanya terjadi dalam hitungan detik, karena ucapan Crisstian selanjutnya membuat Olivia kembali merasa tak tenang.
"Tapi ada syaratnya, Olivia." Crisstian tidak akan membuat semuanya mudah.
"Syarat? Apa syaratnya?" tanya Olivia tidak sabaran.
Crisstian menatap lekat Olivia.
Olivia menunggu jawaban Crisstian dengan jantung berdetak hebat.
"Saya mau, kamu menjadi kekasih saya, Olivia," jawab Crisstian sambil tersenyum tipis.
Untuk sesaat, Olivia terdiam, mencoba mencerna jawaban yang baru saja Crisstian berikan.
"Apa Anda sudah gila?" Tanpa sadar Olivia berteriak, bahkan kini menatap Crisstian dengan kedua mata melotot.
Bukannya merasa tersinggung karena Olivia baru saja mengatakan kalau dirinya sudah gila, Crisstian malah terkekeh. "Iya, saya memang sudah gila dan saya gila karena kamu, Olivia," ucapnya sambil memasang raut wajah tegas.
Perubahan ekspresi wajah Crisstian yang terbilang sangat cepat cukup mengejutkan Olivia sekaligus membuat Olivia ketakutan. Awalnya Crisstian tersenyum, tapi dalam hitungan detik, Crisstian berubah menjadi sangat menyeramkan.
"Kalau kamu tidak mau menuruti semua perintah saya, maka saat ini juga saya akan memberitahu Felix tentang apa yang sudah terjadi diantara kita berdua." Crisstian akhirnya mengancam Olivia.
"Silakan!" Olivia yang sudah sangat emosi mulai tidak bisa berpikir dengan jernih.
"Apa kamu yakin?" tanya Christian sambil mengangkat salah satu alisnya, dan menaruh kedua tangannya di d**a, tak lupa untuk memberi Olivia tatapan mengintimidasi.
"Felix akan jauh lebih percaya pada saya dari pada kepada Anda, Tuan Crisstian yang terhormat," sahut sinis Olivia dengan penuh percaya diri.
"Benarkah?" Crisstian pun terkekeh. "Apa kamu yakin kalau Felix tidak akan percaya pada saya ketika saya menunjukkan buktinya?"
"Bukti? Bukti apa?" Perasaan Olivia mulai tak enak, bahkan kini jantungnya semakin berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
"Bukti kalau hari itu kita melakukan hubungan sexs," jawab Crisstian sambil tersenyum lebar.
Kedua mata Olivia melotot.
"Enggak, itu enggak mungkin," gumam Olivia sambil menggelengkan kepalanya, menolak percaya pada ucapan Crisstian barusan.
Crisstian beranjak mendekati Olivia, lalu meletakkan ponselnya tepat di hadapan Olivia. "Lihatlah," ucapnya sambil memposisikan dirinya di belakang Olivia.
Olivia menatap ponsel Crisstian, sekujur tubuhnya seketika berubah menjadi lemas ketika melihat gambar apa yang kini tertera di layar ponsel meskipun ia belum memutar videonya.
Crisstian menumpukan kedua tangannya di kursi yang Olivia duduki, lalu memposisikan wajahnya di samping kanan wajah Olivia. "Apa kamu tidak mau melihat apa isi dari video itu, Olivia?" bisiknya mesra.
Olivia menggeleng, menolak untuk melihat video di ponsel Crisstian, karena Olivia sudah bisa menebak apa isi dari video tersebut.
Crisstian akan memutar video, tapi dengan cepat, Olivia menahan pergerakan tangan kanan Crisstian.
"Ja-jangan," ucap Olivia terbata. Olivia tidak mau melihatnya, karena itu hanya akan membuat dirinya semakin merasa hina.
"Apa kamu yakin tidak mau melihatnya?" Crisstian kembali berbisik, kali ini bahkan secara sengaja meniup-niup leher jenjang Olivia, membuat bulu kuduk Olivia langsung berdiri.
Apa yang Crisstian lakukan barusan mengejutkan Olivia.
Olivia yang saat ini ketakutan hanya bisa mengangguk.
"Apa saya harus mengirim video ini pada Felix?"
Dengan cepat, Olivia menggelengkan kepalanya. "Tolong jangan lakukan, itu. Saya mohon, tolong jangan kirimkan video itu pada suami saya," ucapnya penuh ketakutan.
"Saya tidak akan mengirim video ini pada Felix kalau mau menjadi kekasih saya, Olivia," ucap tegas Crisstian.
Olivia menarik dalam nafasnya, mencoba meredam emosinya yang bergejolak. "Pak, saya rasa saya tidak perlu memberi tahu Anda apa status saya saat ini, karena Anda pasti sudah mengetahuinya, kan?"
Crisstian mengangguk-anggukan kepalanya. "Saya tahu kalau kamu sudah menikah dengan Felix, Olivia. Tapi saya sama sekali tidak peduli pada status kamu, yang saya mau, kamu menjadi kekasih saya, hanya itu. Saya tidak akan meminta yang lain."
Lagi-lagi Olivia dibuat shock atas jawaban yang baru saja Crisstian berikan.
"Pria ini memang benar-benar sudah gila!" Umpat Olivia dalam hati. Crisstian sudah mengetahui tentang statusnya yang bukan wanita lajang, tapi wanita yang sudah menikah, tapi Crisstian malah tak peduli, bukankah itu artinya Crisstian memang gila?
Permintaan Crisstian memang tidak banyak, hanya 1, tapi itu sangatlah sulit.
Tanpa sadar, Olivia memejamkan kedua matanya sambil memegang erat tas dalam pangkuannya.
Crisstian tentu saja menyadari ketegangan sekaligus ketakutan yang saat ini Olivia rasakan. Crisstian mendekatkan wajahnya ke arah kepala Olivia, kemudian memejamkan matanya sambil menghirup dalam-dalam aroma yang menguar dari tubuh Olivia.
Aroma yang entah sejak kapan sangat Crisstian sukai.
Tanpa bisa Olivia cegah, air mata kini mengalir deras membasahi wajahnya.
Crisstian sama sekali tidak terkejut ketika melihat Olivia menangis. Sejak awal, Crisstian sudah yakin kalau Olivia pasti akan menangis.
"Jangan menangis, Olivia!" Crisstian segera menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Olivia begitu mendengar suara pelayan yang meminta izin untuk masuk.
Crisstian kembali duduk di kursinya, sedangkan Olivia mencoba untuk menenangkan dirinya supaya tidak lagi menangis.
Pelayan masuk, kemudian menghidangkan makanan yang tadi Crisstian dan Olivia pesan.
Keduanya kembali ke kantor seusai menikmati makan siang bersama.
Olivia mencoba untuk fokus mengerjakan tugasnya, tapi pembicaraannya dengan Crisstian ketika makan siang membuat Olivia tidak bisa berkonsentrasi, dan itu berlanjut sampai jam kerja selesai.
Saat ini, Olivia dalam perjalan pulang. Olivia tidak pulang sendiri, tapi pulang bersama Vero.
Olivia memijat pelan keningnya yang terasa pusing. Pikiran Olivia saat ini benar-benar kacau, dan itu semua karena Crisstian.
Sepanjang perjalan pulang, Olivia terus melamun, memikirkan tentang pembicaraannya beberapa jam yang lalu dengan Crisstian.
"Apa yang harus gue lakukan?" gumam Olivia penuh kesedihan.
Olivia sama sekali tak pernah menyangka jika semuanya akan menjadi rumit seperti sekarang ini.
Hal yang paling Olivia sesali adalah pergi ke club. Olivia terus berandai-andai, seandainya saja hari itu ia tidak pergi ke club, pasti kejadian buruk itu tidak akan menimpa dirinya. Pasti dirinya tidak akan bertemu dengan Crisstian.
"Apa sebaiknya gue ikuti kemauan Crisstian?" Olivia bingung, di satu sisi, Olivia tidak mau menuruti kemauan Crisstian, tapi di satu sisi, Olivia sadar kalau ia tidak menuruti kemauan Crisstian, Crisstian pasti akan memberi tahu Felix dan keluarganya tentang apa yang sudah terjadi di antara mereka. Jika sampai hal itu terjadi, maka sudah bisa Olivia pastikan kalau rumah tangganya dengan Felix akan berakhir, lalu orang tuanya dan orang tua Felix pasti akan sangat membenci dirinya. Olivia tidak mau itu semua terjadi. Tidak mau! Hanya dengan membayangkannya saja, Olivia sudah tidak sanggup.
Olivia tidak mau kehilangan Felix, dan di benci oleh orang tua Felix, terutama oleh Emily, wanita yang sudah menyayanginya dengan sepenuh hati.
Untungnya, Crisstian memberi waktu 2 hari pada Olivia untuk berpikir, apa Olivia mau atau tidak menjadi kekasih Crisstian?
Ponsel yang sejak tadi ada dalam genggaman tangan kanan Olivia berdering, mengejutkan Olivia, sekaligus menyadarkan Olivia dari lamunannya.
"Mommy," gumam Olivia sambil tersenyum tipis.
"Mom," sapa ramah Olivia.
"Hai, Sayang. Bagaimana? Apa pekerjaan kamu di hari pertama berjalan dengan lancar?" Emily terdengar sekali sangat bersemangat.
"Pekerjaan Olivia hari ini brrjalan lancar, Mom." Olivia ingin sekali mengatakan pada Emily kalau sebenarnya saat ini ia tidak sedang dalam kondisi baik-baik saja. Olivia ingin memberi tahu Emily kalau atasannya adalah pria b******k, tapi Olivia sudah bisa membayangkan apa yang selanjutkan akan terjadi.
Emily pasti akan meminta Darius atau Felix untuk membantunya keluar dari CRI, lalu jika sampai hal itu terjadi, Olivia yakin kalau Crisstian tidak akan tinggal diam saja. Crisstian pasti akan langsung menghancurkan hidupnya.
"Benarkah?" Emily meragukan jawaban yang baru saja Olivia berikan.
"Iya, Mom."
"Tapi kenapa kamu terdengar sangat sedih, Sayang?" Nada bicara Olivia tidak seceria biasanya, itulah sebabnya Emily meragukan jawaban yang tadi Olivia berikan.
"Olivia hanya lelah, Mom. Ini kan hari pertama Olivia kerja."
Pembicaraan antara Emily dan Olivia terus berlanjut sampai akhirnya Olivia sampai di mansion.