CHAPTER 3

5182 Words
Hujan kadang datang bersamaan. Membawa angin atau sebuah pengakuan "Ad-Adrian?" Satu kata itu berhasil keluar dari bibir Avi ketika ia menemukan Adrian berdiri di depan rumah David. Ia sama sekali tidak menyangka jika Adrian akan datang jauh ke sini. Apalagi cuaca malam hari begitu dingin, dan pria itu hanya mengenakan kaos dan jaket kulit. "Kamu kenapa ke sini?" tanya Avi sambil berjalan mendekati Adrian. Ia menggenggam jemari Adrian dan memintanya masuk ke dalam. Adrian lantas menolaknya. Ia menepis tangan Avi dan membuat Avi meringis. "Kamu kenapa?" tanya Avi khawatir. Seperti ada yang Adrian sembunyikan. Adrian mendongak dan ia begitu terkejut melihat mata Adrian yang merah. Avi hendak menyentuh wajah Adrian, tapi lagi-lagi tangannya ditepis. "Adrian!" teriak Avi kesal. "Jangan kayak anak kecil." Adrian mengepalkan tangannya dan ia merengkuh tubuh mungil Avi. Kemudian, Avi tertegun. Ia mendengar isakan Adrian. Oh astaga, apa sepupunya itu sedang menangis? Karena demi apa pun, ini kali pertama ia mendengar isakan Adrian. "Seriously, I love you..." Mulut Avi terbuka seiring dengan debaran jantungnya. Ia bahkan tidak mempercayai pendengarannya. Bagaimana bisa Adrian yang notabene adalah sepupunya, mencintainya. "Adrian, aku nggak ada wakt---" "Kan, kamu nggak mungkin percaya. Lagipula, kamu udah nikah dan kecil kemungkinan aku bisa miliki kamu." Avi termenung. Ia melepaskan pelukannya untuk melihat sekilas cahaya kesedihan di mata sepupunya itu, tapi Adrian lagi-lagi memeluknya. Ia tidak menyangka Adrian yang selama ini ada di sisinya dan selalu menjahilinya ternyata memiliki perasaan lebih kepadanya. Sekalipun Avi tidak pernah membayangkan hal ini. "Kamu pulang aja, Adrian. Aku nggak mau ada kesalahpahaman di mata David." Adrian melepaskan pelukannya dan senyuman sinisnya masih terpasang di wajah tampannya. Ia menatap dalam-dalam mata Avi dan mencari tahu bagaimana perasaan sepupunya itu kepadanya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan kasihan. Miris memang. "Sepertinya ada tamu yang tidak diundang." Avi dan Adrian menoleh ke belakang Avi dan menampilkan David yang baru saja bangun dari tidurnya. "David, kamu kenapa bangun?" David tidak merespon. Ia berjalan ke arah mereka dan menggenggam tangan Avi dengan kuat. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi di hadapan Adrian dan memberikan pria itu tatapan yang mematikan. "Avi sekarang sudah menjadi istri saya, jadi bisakah anda pergi dan tidak berbuat seenaknya kepada Avi? Apa anda memiliki hak untuk memeluknya?" Adrian semakin mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras mendengar perkataan David. Ia pun maju selangkah dan wajahnya berjarak sedikit di wajah David. "Aku sahabat dan sepupunya, jadi jelas aku punya hak," balas Adrian tajam. Kemudian, ia mundur selangkah dan menenangkan diri. "Aku harap kamu jadi suami yang baik untuk Avi, karena kalau kamu sampai buat Avi nangis sekali aja, aku yang akan maju untuk membunuhmu. Persetan dengan hukum dan kekuasaan yang kamu punya, Tuan Alvareno." "Tentu saja, kamu bisa ngelakuin apapun ke aku kalau Avi terluka. Lagipula, nggak ada alasan yang jelas untuk aku lukain Avi," terang David merubah nada bicaranya. Adrian tersenyum sinis dan maju ke arah Avi. "Aku pegang janjimu. Kalau hari itu tiba, kamu harus mempersiapkan diri nyerahin Avi." "Aku bukan barang, Adrian," seru Avi mengingatkan. Adrian menoleh ke arah Avi. "Memang, tapi kamu berhak dapatin yang baik." "Bukan baik atau buruknya, tapi aku memang membutuhkan David," ucap Avi lembut. Adrian mengembuskan napasnya, ia berjalan ke arah Avi dan mengusap pipi lembut itu. "Aku tahu kamu kuat, tapi kamu tetap perempuan lemah yang harus dilindungi. Dan aku siap menjadi pelindung kamu kalau si berengsek ini menyakiti kamu." Adrian langsung membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan pasangan yang mulai canggung itu. Avi sendiri melihat punggung Adrian dengan tatapan iba, ia bisa melihat keseriusan di mata Adrian tadi. Dan ia sendiri bingung, kenapa Adrian yang ada di hadapannya ini benar-benar menunjukkan sikap seorang pria yang sangat mencintai wanitanya. Terdengar helaan napas David. Pria itu sudah melepaskan genggaman tangan Avi dan menatap perempuan itu dengan lekat-lekat. "Maaf..." "Buat apa kamu minta maaf?" Avi terdiam. Ia meminta maaf karena sudah membuat David ikut campur ke dalam urusan pribadinya. "Jangan pernah minta maaf ke aku. Aku ini suamimu, jadi bersikaplah seolah-olah kita sudah hidup puluhan tahun. Dan juga, aku melakukan itu atas keinginanku sendiri. Sekarang, kamu adalah milikku dan sudah sepatutnya aku melindungimu dan menjauhimu dari pria manapun. Ini sudah malam, tidurlah. Aku nggak mau Ibu dari bayiku sakit, kamu tahu sendiri itu akan berpengaruh ke janin." David langsung pergi dari tempat ia berdiri dan berjalan ke kamar. Helaan napas Avi keluar kali ini. Ia pun mengikuti David dari belakang menuju kamarnya. *** Hal yang pertama kali Avi dapatkan ketika bangun adalah sentuhan lembut David yang membangunkannya untuk sarapan. Setelah ia berganti pakaian, ia langsung menuju ruang makan dan terkejut karena melihat banyaknya makanan di sana. "Pelayannya sakit dan aku minta mereka semua libur. Kamu tadi malam belum makan, kan? Aku buat banyak, jadi kamu harus habisin." David menatap tajam ke arah Avi. Sepertinya pria itu benar-benar berniat membuat Avi menghabiskan makanan buatannya. "Kalau nggak habis gimana? Kan mubazir," seru Avi seraya duduk di kursi yang berada tidak jauh dari tepat David duduk. David mengembuskan napasnya dan memangku wajahnya menatap Avi. "Nanti aku bantuin habisin. Aku juga butuh makan, Avi," serunya sambil menyantap makanannya. Tanpa David sadari, Avi tersenyum manis melihat perlakuan David sekarang. Ia tidak menyangka bahwa kehidupannya jauh lebih baik. Dulu, ia sempat berpikir yang ada di kehidupannya hanyalah masalah, tapi ternyata tidak sesuai dengan imajinasinya. "Kenapa ngeliatin aku? Aku tahu aku tampan, Avi. Tapi anakku juga butuh nutrisi, makan!" Avi mendecak kesal dan menyuap nasinya dengan cepat. Tanpa Avi sadari juga, David sedikit tersenyum melihat raut wajah kesalnya. David lebih dulu selesai dan makanannya masih banyak. Avi pun mencoba untuk makan lebih banyak. Saat David berjalan untuk mengambil beberapa buah, Avi terus-menerus menatap punggung pria yang sudah sah menjadi suaminya itu. Seriously, aku benar-benar mencintaimu. Ingin sekali Avi mengatakan hal itu pada David, tapi ia memiliki harga diri. Jadi, ia tidak mungkin membuang harga dirinya itu. Avi paling anti dengan hal itu. "Ini." David langsung memberikan potongan buah apel ke tangan Avi. Avi pun menerimanya dan David beranjak untuk membuatkan Avi s**u cokelat. "Aku mau yang strawberry," sela Avi. David menoleh dan mengerutkan keningnya. "Kamu kan suka cokelat, lagipula aku nggak punya s**u indomilk strawberry." "Beli lah." David mengembuskan napasnya. Ia pun meletakkan kembali s**u cokelat Avi dan berjalan ke luar. Avi tersenyum kecil dan mengikuti David dari belakang. "Hati-hati, ya," seru Avi dari kejauhan. David hanya melambaikan tangannya dan tetap berjalan. Sebenarnya, ia bisa saja meminta seseorang untuk membelikannya, tapi hari ini ia meliburkan semua pelayannya. Setidaknya, ia ingin menjadi suami yang baik untuk Avi. Saat langkahnya lumayan jauh dari rumah, David berhenti. Di depannya sudah berdiri perempuan yang akhir-akhir ini berhasil memenuhi pikirannya selain Avi. "Lavi..." David terkejut melihat kantung mata milik Lavi. "Aku akan mencoba melupakanmu, Vid." Hanya satu kalimat itu, dan setelah itu hanya punggung Lavi yang bisa David rasakan. David merasa bersalah. Seharusnya ia menikah dengan Lavi, tapi takdir membuatnya menikah dengan Avi melalui sebuah anak. David mengembuskan napasnya. Ia juga akan mencoba melupakan Lavi dan membuang rasa cintanya itu jauh-jauh. Tapi... Sungguh, aku sangat mencintaimu, Lavi. David tahu ia yang salah, dan sudah seharusnya ia memperbaiki kesalahan itu sebaik mungkin. *** Hujan menghadirkan basah, begitupula cinta menghadirkan kekhawatiran Pagi ini, rumah besar Alvareno sedang sibuk. Para pelayan sibuk memasak untuk disajikan pada tamu nanti malam. Avi sendiri sedang disibukkan untuk mengecek grafik pasiennya minggu ini. "Avi, makan dulu, nak." Suara lembut Devine membuyarkan fokus Avi. Ia pun meletakan kacamata bacanya dan keluar dari kamarnya. Di anak tangga berdiri Devine dengan segelas s**u. "Kok Mama yang bawa. Avi kan bisa minum di sana," ucap Avi sambil mengambil gelas itu. "Suka-suka Mama, dong. Kan kamu menantu Mama," balas Devine seraya mencubit gemas hidung Avi. Avi hanya tertawa dan mencoba s**u cokelat itu. "Bagaimana?" "Enak kok, Ma. Tapi lebih enak buatannya David," goda Avi. Devine mengerucutkan bibirnya. "Masa sih? Mama tahu David itu pintar masak, tapi masakan Mama juga nggak kalah enak." Avi tertawa mendengar nada cemburu Devine. "Tapi masih enakan buatan Mama Avi," jawabnya. "Iya sudah, yang penting Avi suka sama buatan Mama, oke?" Avi mengagguk. Mereka pun menuruni anak tangga dan berjalan ke ruang makan. Avi duduk di depan Devine dan ia melihat satu persatu masakan Devine. "Ini Mama buat sendiri atau gimana?" "Dibantu Bik Ijah," bisik Mama. "Coba tadi Mama kasih tahu Avi, mungkin bisa Avi bantu." "No, sayang. Kamu itu istirahat aja, masa baru nikah udah dikasih tugas. Besok aja kamu tugasnya waktu udah lahiran," seru Devine lembut sambil meletakan ayam goreng kesukaan Avi di piringnya. "Oh iya, Ma. Nanti semuanya harus datang, ya?" Devine mengangguk. "Mama udah ngundang keluarga kamu juga. Memangnya kenapa, sayang?" "Avi ada operasi nanti malam, Ma." "Loh, kamu nggak cuti?" Avi menggeleng. Sebenarnya Alena memberinya cuti selama satu minggu, tapi pasien ini benar-benar tidak bisa Avi serahkan ke orang lain, kecuali Adrian. Sayang, ia dan Adrian sedang bermasalah, jadi ia tidak bisa meminta bantuannya lagi. "Bilang dulu sama David. Kalau dia ngizinin, kamu pergi aja. Tapi ingat, jaga kesehatan dan jangan dekat peralatan yang menimbulkan radiasi. Nggak baik buat bayi," ujar Devine mengingatkan. "Siap, Ma." *** David pulang cepat hari ini. Pukul empat sore, pria itu sudah berada di rumah. Avi berjalan di belakang David sambil membawa jas hitamnya. "Kata Mama kamu mau operasi nanti?" tanya David sambil melepaskan dasinya. Avi mengangguk. "Pasiennya nggak bisa aku serahin ke dokter lain." David menoleh ke arah Avi. "Nggak usah pergi, aku cari cara nanti." "David," rengek Avi. "Kamu kalau dibilang suami, nurut ya? Nanti kualat loh." Avi mengerucutkan bibirnya dan melempar jas David ke ranjang. "Aku tetap pergi, lagipula pasien itu lebih penting. Aku ini dokter dan aku sudah bersumpah bahwa kesehatan pasien yang paling utama." David memandang tajam ke arah Avi. "Siapa nama pasienmu itu? Aku kirimkan dokter pribadi keluarga Alvareno untuk operasi." "David!" "Ikutin kata aku, Avi. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, khususnya bayi aku. Semua tempat itu bahaya dan aku nggak bisa jamin kamu aman di sana. Sudahlah, sekarang kamu siap-siap saja, sebentar lagi akan ada perias yang datang untuk mendandani kamu," kata David panjang lebar. Avi menghentakkan kakinya kesal dan keluar dari kamar itu. David sendiri mendecak kesal dan mengejar Avi. "Avi!" "Kenapa, sayang?" tanya Devine ketika ia melihat Avi menghambur ke pelukannya. "Ma, masa David nggak ngizinin aku. Dia jahat banget, Ma," rengek Avi. David sendiri hanya menggelengkan kepalanya dan berjalan ke arah Avi. "Udah lah, Vid. Biarin aja, lagipula itu profesi Avi." "Ma, kalau Avi terluka gimana? Aku nggak bisa jaga dia di sana karena aku harus ngerjakan laporan untuk besok," ucap David. "Yaudah, kamu ikut aja sama Avi ke sana. Kamu kerja di ruangan Avi. Beres, kan?" Ide Devine memang bagus. Tapi tetap saja David tidak bisa membiarkan Avi menjalani operasi saat ini. "Nggak. Avi, jangan pernah keluar dari rumah ini. Kalau kamu keluar, maka jangan harap kamu bisa keluar di hari selanjutnya." "David..." David tidak menggubris Devine dan Avi. Ia membalikkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan dua wanita yang menatapnya dengan kesal. "Ma, kok gitu sih anaknya Mama?" Devine hanya menggelengkan kepalanya tidak tahu. David memang keras kepala dan ia sendiri sempat kewalahan menangani kekeraskepalaan putra tunggalnya itu. *** Sepertinya David benar-benar yakin dengan perkataannya. Pria itu tidak membiarkan Avi keluar dari rumah dan malah meminta Avi berdandan. Karena kesal dengan sikap David, Avi seringkali melakukan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang diminta David. "Kok pakai sandal itu?" tanya David seraya menunjuk high heels berwarna silver yang ingin Avi kenakan. "Lah kenapa? Ini sandal pesta." David menggelengkan kepalanya. Ia menunduk dan mengambil sandal itu. Lalu, ia meletakannya di kotak dan menyimpannya di walk-in closet. "Kok ditaruh lagi..." "Kamu itu lagi hamil, nggak usah pakai alat yang bisa buat kamu capek." "Astaga, David, kandungan aku aja masih kecil. Nggak apa-apa kali, lagipula nanti aku kebanyakan duduk." David tidak merespon ocehan Avi. Ia berjalan melewati Avi dan mengambil flat shoes berwarna silver dengan hiasan mutiara biru di atasnya. "Pakai ini," pinta David sambil berjongkok di depan Avi. Avi diam saja. "Avi..." geram David. Avi pun merasa kesal dan menggunakannya dengan paksa. David tersenyum. Ia mengangkat dagu Avi dan menatap mata cokelat itu dengan lembut. "Kamu pakai swallow aja udah cantik, kok. Ingat, Vi, kecantikan itu bisa didapatkan dari berbagai cara, nggak selalu yang mewah." Avi tertegun. Ia tersenyum dan demi apa pun ia bersukur bisa mencintai pria seperti David. "Ayo, ke ruang tengah, aku buatin s**u. Sekalian kamu ngobrol sama keluarga kamu." Avi mengangguk dan mengikuti David dari belakang. Setibanya di sana, Aleta langsung menghambur ke pelukan Avi. Sedangkan Fabian, ia hanya berdiri seraya melirik David dengan tatapan tidak suka. Sepertinya Fabian masih marah dengannya. "Aku ke dapur dulu, ya," ujar David. Ia berjalan ke dapur dan mulai membuatkan Avi s**u. "David, strawberry, ya!" "Iya," jawab David. Beberapa menit kemudian, David kembali dari dapur dan berjalan ke ruang tengah. Di sana sudah duduk Aleta, Fabian, Nick, Devine, Alena, dan Steven. "Kenapa berdiri?" tanya David sambil memegang gelas. "Nggak ada tempat lagi, aku mau duduk di mana coba?" David melihat sekitar dan benar saja. Kebanyakan tempat dihabiskan ibu-ibu yang sedang bergosip ria. "Nick, bisa geser?" pinta David pada Nick. Nick langsung menyingkir dan menyisakan tempat hanya untuk seorang. "Cuma muat satu orang, siapa yang duduk?" tanya Avi. Tanpa menjawab pertanyaan Avi, David langsung duduk dan dengan cepat ia menarik tangan Avi sampai perempuan itu duduk di pangkuannya. "Astaga, David..." "Udah diam aja." Avi merasa malu. Sekarang, semua pasang mata sedang menoleh ke arahnya. Demi apa pun, ia benar-benar malu saat ini. "Ini minum," ujar David sambil memberikan gelas yang berisi s**u strawberry. "Minum di sana aja, ya," pinta Avi dengan wajah yang sudah memerah. "Minum, Avi. Anakku butuh nutrisi!" Avi mengembus napas kesal. Ia mengambil gelas itu dan menyeruputnya sedikit demi sedikit. "Pelan-pelan," desis David. "Ini udah pelan, kok," jawab Avi kesal. Suasana di ruang tengah ini benar-benar berubah total. Tadi yang penuh dengan gosip-an para ibu-ibu, sekarang mendadak hening karena dua insan yang menurut semua orang sangatlah romantis itu. "Jangan dilihatin, maklum, mereka udah pada tua, iri," ucap David. Ia berusaha menenangkan Avi yang masih malu dan sering melirik ke arah mereka. "Ini." Avi menyerahkan kembali gelas minuman itu. David menerimanya dan meletakkannya di meja. Avi berniat untuk turun dari pangkuan David, tapi David belum mengizinkannya. "Kenapa lagi?" "Bentar." David mengambil selembar tisu dan membersihkan sisa s**u di sudut bibir Avi. Avi pun dibuat tertegun, bahkan ia mengumpat di dalam hatinya, karena debaran jantungnya yang tidak menentu. Jika David bisa mendengarnya, maka semua akan kacau dan ia tidak mengharapkan itu sama sekali. "Udah, sekarang kamu ke ruang makan dulu, makan pertama supaya nanti nggak kehabisan." Avi mengangguk. Tidak lupa ia mengajak semua orang. Sekarang, yang ada di ruang tengah hanya ada David dan Fabian. Sepertinya akan ada pembicaraan yang serius. "Saya lihat kamu sangat menjaga Avi," ucap Fabian memulai percakapan. "Dia istri saya, jadi sudah seharusnya saya menjaganya," jawab David. "Baguslah, saya pegang omongan kamu untuk jaga Avi. Buktikan kalau kamu memang ayah dan suami yang baik untuk anak dan cucu saya," kata Fabian penuh penekanan. Ia kemudian beranjak dari sofa dan berjalan ke ruang makan. Sedangkan David, ia mengembuskan napasnya dan mengusap wajahnya gusar. Ia pun berdiri dan berniat untuk mendatangi mereka, tapi langkahnya terhenti ketika sosok Lavi muncul di ambang pintu utamanya. Lavi tampak cantik dengan gaun pesta selututnya dan rambut yang tergulung rapi. "Maaf aku terlambat," ucap Lavi. Kemudian ia pergi ke ruang makan setelah Alena memanggilnya. David sendiri hanya memandang Lavi dengan kening yang berkerut. Ia pikir Lavi tidak akan datang, tapi dugaannya salah besar. David pun berjalan ke ruang makan dan memilih untuk berdiri di belakang Avi. Sedangkan di depan Avi, duduk Lavi dengan tenang seraya menyiapkan diri untuk makan malam terlebih dulu sebelum pesta dimulai. "Jangan makan sambal, kalau mencret kaya kemarin baru tahu rasa," bisik David di telinga Avi. Dan hal itu langsung membuat Avi merasa kesal. Terpaksa, ia memakan makanan yang direkomendasikan David, atau lebih tepatnya makanan paksaan David. Di tengah adegan itu, Lavi melihatnya dengan perasaan yang campur aduk. Selama beberapa menit ia menahan diri untuk tidak pergi dan bersikap seolah-olah itu semua tidak terjadi. Namun, hati tetaplah hati yang akan sakit jika melihat seseorang yang dicintainya bersama dengan orang lain, apalagi bersama saudara kembarnya. *** Pesta pun dimulai. Setelah acara inti, sebagian tamu memilih untuk menikmati beberapa potong kue di tepi kolam, termasuk Lavi. Ia mengambil segelas es jeruk dan membawanya ke tepi kolam. Kedua sepatunya ia lepaskan dan kaki mulusnya ia tenggelamkan ke dalam kolam. Inilah kesukaannya, merasakan dinginnya kolam dan angin malam secara bersamaan. Kebiasaan yang yang aneh. "Itu Lavi, kan?" "Aku dengar dia membatalkan kontrak kerja sama dengan perusahaan Alvareno, tapi kenapa dia bisa datang kemari?" "Kamu bodoh, ya. Dia itu kan kembaran istri Pak David." "Benarkah? Aku rasa, Tuhan berpihak ke kembarannya. Lihat saja, yang bisa mendapatkan hati David Alvareno adalah saudara kembar dari model ternama. Aku pikir, dia yang akan mendapatkan hati Pak David yang dingin." "Tuhan memang ajaib." Berbagai bisikan yang lebih Lavi anggap sindirin terngiang di telinganya. Ingin sekali ia berdiri dan menjambak rambut kedua perempuan itu. Namun, ia tidak akan melakukannya di rumah iparnya. Merasakan dingin yang semakin menjadi-jadi, Lavi berniat untuk berdiri, tapi tiba-tiba saja kakinya kram dan itu membuat dirinya terjatuh ke dalam kolam. Ia ingin berenang, tapi kram di kakinya benar-benar tidak terduga. Byur... "Kamu nggak apa-apa?" Hal pertama yang Lavi lihat adalah mata cokelat David, pria yang sangat ia rindukan. "Kaki aku kram." David masih setia memeluk pinggang Lavi dan menahan tubuhnya agar tidak terlepas. Terlepas dari adegan itu, Avi melihatnya dengan hati yang meringis. Baginya, ini pesta terburuk yang pernah didatanginya. Tanpa dirinya sadari, avi mengepalkan tangannya melihat pemandangan itu. Semampunya, ia menahan air mata yang pasti akan meluncur jika ia berkedip. Dengan segenap hatinya, Avi berjalan ke arah David yang menggotong Lavi. Lavi terlihat kelelahan di pelukan David, dan itu sudah cukup membuat Avi sakit. "Kak Lavi nggak apa-apa?" Lavi hanya mengangguk dan kembali membenamkan wajahnya di d**a bidang David. Oh astaga, tentu saja itu membuat hati Avi tercabik-cabik. "Aku akan bawa Lavi ke Mama dan memintanya untuk merawat Lavi, kamu jangan dekat-dekat kolam, kalau butuh sesuatu, panggil Nick atau Mama, ya?" Avi hanya mengangguk dan membiarkan punggung David menjauh dari sana. Kemudian Avi mengembuskan napasnya. Sebelumnya ia sudah menduga bahwa akan ada masalah jika Lavi datang. Namun, ia diam saja dan berpikir akan baik-baik saja. Demi apa pun, Avi tidak bisa tenang. Ia pun memilih untuk duduk di ayunan yang memang ada di dekat kolam. Semua orang sudah mulai kembali ke ruang tengah, karena setelah ini akan ada dansa berpasangan. Seharusnya Avi senang malam ini, tapi itu semua hilang karena kejadian yang sama sekali tidak pernah ia harapkan terjadi. "Boleh gabung?" Avi mendongak dan mata cokelatnya langsung menampilkan sosok tampan bermata biru. Lalu, Avi mengangguk dan mempersilakan pria itu duduk di ayunan yang ada di sebelahnya. "Kenapa Nyonya rumah ada di sini? Sebentar lagi pesta dansanya akan dimulai," ucap pria itu memulai percakapan. "David melarangku berdansa," jawab Avi malas. "Kenapa?" Kenapa dia kepo sekali? "Nggak tahu juga, aku aja bingung," jawab Avi asal. Terlihat sekali ia terlalu malas meladeni pria itu. "Oh iya, namaku Daniel Geraldo Smith," ucap pria bule itu. Avi tersenyum. "Aku..." "Navila Keegen atau Navila Alvareno?" Avi diam. Ia juga bingung, sekarang siapa namanya? "Mungkin Navila Keegen Alvareno?" Tanpa Avi sadari, candaannya membuat mereka berdua tertawa di tepi kolam. Dan hal itu seketika membuat mood Avi meningkat. "Kamu bukan asli Indo, ya?" Daniel mengangguk. "Ibuku blasteran Jerman-Korsel, dan Ayahku Jerman asli, tapi sangat pandai berbahasa Indonesia." Avi mengangguk paham. Pantas saja pria ini terlihat sangat bule, tapi pandai berbahasa Indonesia. "Ngomong-ngomong, ingin berdansa?" "Ak---" "Kita dansa di sini, ya? Lagunya juga terdengar sampai sini." Avi agak ragu. Ia sudah berjanji pada David untuk tidak berdansa, tapi ia sama sekali tidak menyangkal fakta bahwa ia ingin sekali menari. "Aku yang akan bertanggung jawab kalau suamimu marah," kata Daniel meyakinkan. Persetan dengan ucapan David. Siapa yang tidak tertarik ketika diajak berdansa. Avi pun tersenyum dan menerima uluran tangan Daniel. Mereka akhirnya berdansa dengan santai dan nyaman. Avi pun merasa bebannya hilang seketika karena kehangatan yang Daniel berikan. Cukup lama mereka berdansa, sampai-sampai mereka tidak menyadari kedatangan David yang sedang bersedekap d**a. Terlihat jelas sekali amarah di mata itu. "Ehem..." Dehamannya pun berhasil membuat mereka melepaskan tautan tangannya. David yang sudah berganti pakaian, langsung berjalan ke arah Avi dan mengamit tangannya. Ia membawa Avi masuk ke dalam rumah dan terus menarik Avi ke lantai dua, di mana kamar mereka berada. David membuka pintu kamar dan mendudukkan Avi di ranjang mereka. "Sudah jam sembilan, tidur!" "Tap---" Belum selesai Avi melanjutkan perkataannya, David sudah berjalan ke walk-in closet dan keluar dengan sepasang piyama di tangannya. "Pakai ini, bersihkan wajah, sikat gigi, dan tidur!" "David..." rengek Avi. "Pestanya masih berlangsung," lanjut Avi. "Pestanya akan berakhir dalam waktu satu jam. Aku akan kembali ke pesta, dan saat aku kembali ke sini, aku mau kamu sudah tidur." Selepas mengatakan itu, David berjalan keluar dari kamar dan mengunci pintu kamar itu dari luar. Sepertinya, ia benar-benar mengurung Avi. Sikap David yang seperti itu membuat Avi kesal. Ia bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah galak dan memintanya melakukan ini itu sesuai kehendaknya. Tidak adil sama sekali. Sesuai dengan keinginan David, Avi mencoba untuk tidur, meski itu sangat sulit untuk ia lakukan. Ia bahkan sudah melakukan segala cara agar dirinya mengantuk, tapi tetap saja tidak mempan. Alhasil, ia memilih untuk memainkan candy crush saga dalam keheningan. Satu jam kemudian, David benar-benar muncul. Pria itu tampak lelah, tapi rasa lelahnya seketika hilang saat melihat Avi belum juga tidur. David mendecak kesal dan mengabaikan Avi. Ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dulu. Setelah mengenakan piyamanya, David keluar dan langsung merampas iPod Avi. "David..." "Tidur," tatap David dengan tajam. Avi memgerucutkan bibirnya. "Aku nggak bisa tidur." "Paksa, Avi." kemudian David menyimpan iPod Avi di dalam nakas dan ia berbaring di samping Avi. Avi belum juga berbaring saat David memintanya tidur. Alhasil, David menarik tangan Avi dan membawa istrinya itu ke pelukannya. "Sesak, David..." "Tidur." Avi berhenti meronta ketika nada suara David sedikit melemah, tapi masih memerintah. Akhirnya, mau tak mau, Avi membiarkan David memeluknya sangat erat. Seharusnya David tahu jika hal itu membuat detak jantung Avi berpacu dengan sangat cepat, bahkan Avi masih sempat menahan napasnya yang memburu. Oh ya ampun, aroma maskulin David benar-benar membunuh Avi. "David..." "Em?" "Besok aku boleh ke rumah sakit?" "Untuk?" "Operasi." "Tidak." "David..." "Baiklah." Terdengar helaan napas David. Dan entah mengapa, Avi terlihat senang. "Terima kasih," ucap Avi sebelum ia memejamkan matanya. Tanpa Avi ketahui, David tersenyum mendengar nada ceria Avi. Namun, tiba-tiba saja senyuman itu mulai hilang dan tergantikan dengan kerutan di keningnya. David khawatir. Ia khawatir, kelak dirinya akan menyakiti Avi. Karena bagaimanapun caranya, di dalam pikirannya masih ada Lavi. Entah bagaimana cara yang mantap agar ia bisa melupakan Lavi. Tidak bisakah, sekali saja perempuan itu tidak datang ke pikirannya? David menghela napasnya. Ia memejamkan matanya dan ingatannya kembali disaat ia melihat Lavi untuk pertama kalinya. Saat itu, hujan sedang mengguyur kota Jakarta. Di halte bus, ia melihat gadis cantik dengan senyuman terbaiknya. David yang sedang berhenti karena mobil mogoknya dan memilih untuk bermain di bawah hujan, tiba-tiba saja membeku karena senyuman wanita itu. Dan siapa sangka, wanita itu dapat ia temui lagi di agensi model milik temannya. Wanita hujannya. Dan pertemuan itu membuat ia mengenali wanita hujannya, Lavina Keegen. Cinta pertamanya dan ia tidak yakin bahwa dirinya bisa melupakan cinta pertamanya dengan baik-baik saja. *** "Tukang tidur, bangu.!" David mencoba untuk membangunkan Avi yang masih terlelap. Tubuh mungil itu terus-menerus memeluk bantal gulingnya. "Avi..." "Sebentar, Ma, Avi masih ngantuk." David menggelengkan kepalanya. Ia pun menggendong tubuh Avi dan membawa dirinya beserta Avi ke sofa cokelat yang ada di kamar itu. David duduk di sofa dan Avi ia dudukkan di pangkuannya. Posisi mereka benar-benar romantis untuk pengantin baru "Hei, tukang tidur." David terus menepuk-nepuk pipi kenyal Avi. Dan karena kesak, David menarik hidung Avi sampai membuat istrinya itu bangun dan hampir saja jatuh jika David tidak segera menahan pinggang Avi. "Kok aku dibangunin?" "Udah pagi, katanya kamu ada operasi jam sembilan. Ayo, cepat mandi, Mama juga udah siapin makanan." Avi mengangguk dan turun dari pangkuan David. Ia berjalan ke kamar mandi dengan tertatih dan setengah mengantuk. David yang melihat itu pun hanya tersenyum dan kembali ke ruangan pribadinya untuk mengambil beberapa laporan. Setelah sarapan, David langsung menggandeng Avi ke luar rumah dan membantunya naik ke mobil. Setibanya di rumah sakit, David belum juga melepaskan tangannya dari Avi. "Udah sana, kamu pergi," usir Avi. "Kalau sudah pulang, telepon aku. Jangan pulang sama siapapun, mengerti?" Avi mengangguk dan mulai masuk ke dalam ruangannya. Saat punggung Avi menghilang, David juga pergi dari sana. Avi meletakkan tasnya di meja dan ia duduk di meja kerjanya dengan tenang. Bayangan tentang Lavi dan David yang semalam kembali muncul di kepalanya. Ia sama sekali belum melupakan hal itu. Tok... Avi terkesiap dan ia langsung mempersilakan orang itu masuk. "Bibi..." serunya ketika melihat Alena masuk. "Tadi Bibi ketemu sama David di lobi, Bibi pikir kamu nggak kerja lagi," ucap Alena sambil duduk di sofa yang ada di ruangan itu. "Aku udah capek-capek dapat lisensi, masa aku lepas gitu aja," ucap Avi seraya duduk di depan Alena. "Oh iya, Bibi mau kenalin kamu sama dokter bedah baru," seru Alena mengalihkan pembicaraan. Avi tampak semangat. "Siapa, Bi?" "Ada, dia baru saja kembali dari Jerman. Dia itu anak sahabat orangtua kamu." "Benarkah? Kok aku nggak tahu." "Pokoknya kamu harus baik-baik sama dia," ucap Alena. "Siap!" Setelah pembicaraan itu, merek berdua pergi ke ruangan dokter bedah baru itu. Dan dokter itu benar-benar mengejutkan Avi, karena faktanya, ia adalah Daniel. Pria bermata biru yang ia temui di pesta tadi malam. "Kamu dokter juga?" tanya Avi tidak percaya. Daniel mengangguk. Alena sedikit bingung karena kedua orang itu sudah saling kenal. "Kita ketemu tadi malam, Bi, di pesta," ucap Avi mencoba untuk menjelaskan. "Oh begitu, baiklah, lebih baik kalian mengobrol, Bibi ke ruangan dulu." Alena pun pergi dari ruangan Daniel dan membiarkan kedua orang itu mengobrol. "Aku kira Nyonya Alvareno nggak akan kerja," ucap Daniel. "Aku nggak bisa gitu aja lepas lisensi aku. Jadi dokter itu sulit, tauk!" Daniel terkekeh geli. Ia mencubit pipi Avi yang menurutnya sangat menggemaskan. *** Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore dan David belum juga menjemput Avi. Ia sudah mencoba menghubungi pria itu berkali-kali, tapi ponselnya tidak diangkat juga. Ia merasa kesal. Ia menghentakkan kakinya dan kembali duduk di kursi panjang yang ada di ruang tunggu. "Ke mana sih," gerutu Avi kesal. Ia menekan lagi layar ponselnya dan mulai menghubungi David, tapi tetap saja. Panggilannya tidak diangkat David. "Belum dijemput juga?" sebuah suara yang ia kenali membuat Avi menoleh. Ia mengangguk langsung ke arah Daniel yang baru keluar. Faktanya, Daniel baru saja menjalankan operasi yang cukup berat di hari pertama kerjanya. "Suami kamu mana?" terdengar nada sinis Daniel di telinganya. "Nggak tahu, mungkin selingkuh." jawaban asal Avi itu membuat Daniel tergelak. Pria itu pun berjalan ke arahnya dan duduk di sampingnya. "Kalau aku tawarin pulang, nanti kaya sinetron gitu." Avi menoleh ke arah Daniel dengan kening berkerut. "Kok bisa?" "Emang kamu nggak pernah nonton sinetron, ya? Aku sering karena Mom, ceritanya ya seperti ini, diantar pulang." "Nggak pernah, Papa ngelarang anaknya nonton drama Indonesia, katanya nggak baik. Ya udah, kita lebih banyak nonton drama Korea. Makanya, aku dan Kak Lavi itu penggemar Korea banget, apalagi EXO dan SUJU, dramanya juga keren." Daniel mengerutkan keningnya tidak paham. Ia tidak tahu menahu mengenai hal itu, meskipun ibunya ada darah Korea. Entah apa yang ada di pikiran ibunya, tapi ibunya itu lebih suka menonton sinetron Indonesia di youtube. Karena kecanduannya itu, alhasil Daniel sering menontonnya saat kecil dan entah kenapa ia masih mengingat jalan cerita itu. Jika boleh jujur, Daniel lebih baik menonton film horor 10 kali daripada sinetron. "Aku setuju dengan Papa kamu. Mending jangan nonton sinetron, nggak baik buat janin." "Loh kenapa?" tanya Avi penasaran. Bahkan, ia sampai melupakan kekesalannya pada David yang tak kunjung datang menjemputnya. "Mom selalu nangis kalau nonton itu, terus bawaannya selalu pengin mukul orang. Dad saja pernah nggak pulang setelah dipukul." Entah apa yang lucu di dalam cerita itu, tapi Avi tertawa dengan bebasnya. Bahkan, ia hampir saja jatuh dari kursi jika Daniel tidak segera menahan tangannya. "Lucu, ya?" "Banget, Niel. Mom kamu itu aneh, ya? Tapi aku salut karena beliau suka sama produk Indonesia, sedangkan aku? Aku merasa miris, tapi mau gimana lagi? Udah kecanduan Korea." Daniel tersenyum dan tiba-tiba saja ia menyentuh puncak kepala Avi. "Yang penting kamu tetap cinta sama kewarganegaraan kamu. Itu udah cukup, kok." Ucapan Daniel membuat Avi tersentuh. "Udah, ayo pulang, aku antar pulang, like sinetron," ucap Daniel seraya bangkit dan mengulurkan tangannya. Avi masih ragu. Ia sudah berjanji tidak akan pulang bersama siapapun. Namun, ini sudah hampir malam dan David belum juga menjemputnya. Avi menggeleng dan tersenyum. "Aku masih nunggu suami aku, maaf." Daniel terlihat kecewa. Ia pun menghela napasnya dan kembali duduk di samping Avi. "Kalau begitu, aku akan menemanimu menunggu pria yang sudah membuatmu menunggu itu, oke?" Avi pun tersenyum. Dan, mereka bergurau ria seraya menunggu kedatangan David. *** "Lavi, kembalikan ponselku!" teriak David. Ini kesepuluh kalinya ia berteriak ke arah Lavi yang menyita ponselnya. Sekarang, mereka berada di ruang kerja David. Lavi datang kemari untuk menarik surat pengunduran dirinya, tapi tidak David izinkan. Ia memang ingin Lavi tetap bekerja sebagai model perusahaannya, tapi ia harus melepaskan Lavi untuk melupakan perempuan itu. "Tarik surat aku dan izinin aku kerja di sini lagi." "Jangan konyol!" bentak David. Ia berjalan ke arah Lavi untuk merebut ponsel itu dan berhasil. Dengan kening berkerut, David melihat sepuluh panggilan tak terjawab dari Avi. Astaga, ia benar-benar lupa. Dengan cepat, ia menyambar jasnya dan segera keluar dari sana. "Kamu benar-benar pilih dia?" teriak Lavi ketika David menyentuh handle pintu ruangannya. David mematung, tanpa membalikkan tubuhnya. "Aku benar-benar cinta sama kamu, Vid." Tiba-tiba saja David membalikkan tubuhnya. "Maaf, Vi. Aku adik ipar kamu sekarang." Setelah itu, David berlari dengan cepat meninggalkan Lavi yang terisak sejadi-jadinya. *** Dengan cepat David memarkirkan mobilnya dan segera berlari ke ruang tunggu. Setibanya di sana, ia terkejut melihat Avi yang tertidur pulas di bahu Daniel. Dengan perasaan bersalah, ia berjalan ke arah dua orang itu. Daniel menoleh dan tersenyum sinis. David tidak menghiraukannya dan memilih untuk menggendong Avi ala bridal style. "Melupakan seorang istri yang sedang hamil, tindakan yang bagus, suami," ujar Daniel sinis. David pun menatap tajam mata Daniel. Ia tidak tahu darimana Daniel bisa sedekat ini dengan Avi, dan ia juga tidak tahu darimana Daniel tahu bahwa Avi sedang hamil. Yang jelas, ia membenci setiap kata yang pria itu keluarkan. "Jangan dekati Avi lagi, cukup sepupunya itu yang berada di sisi Avi," ucap David penuh makna dan pergi meninggalkan Daniel yang menatapnya dengan datar. Daniel menghela napasnya. Ia tidak tahu mengapa David sangat membencinya, tapi semakin ia mencari tahu alasan dibalik semuanya, ia semakin kesal dengan pria yang sempat ia kagumi itu. "Kak Daniel?" Daniel menoleh ke asal suara dan ia menemukan Dara yang duduk di kursi roda dengan nyaman. Ia pun menghampirinya dan berjongkok di depan Dara. "Kak Daniel menepati janji," ucap Dara lembut. Daniel tersenyum dan mencubit gemas pipi Dara. "Kakak datang untuk Dara, oke?" Dara semakin tersenyum dan itu membuat detak jantung Daniel berpacu dengan cepat. Ia, Daniel Geraldo Smith, hanya mencintai satu gadis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD