CHAPTER 2

8627 Words
Biarkan setiap kejadian yang berlalu larut dalam basahnya hujan *** Tidak pernah Avi bayangkan sebelumnya jika apa yang selama ini ia jaga direnggut paksa oleh pria yang sama sekali tidak mencintainya. Direnggut secara sadis oleh pria yang menyangka bahwa dirinya adalah Lavi. Ini benar-benar gila. Sekarang ini tubuhnya bergetar dengan hebat. David sudah sadar dan pria itu hanya menundukkan kepalanya ke bawah. Terlihat jelas bahwa pria itu merasa bersalah. Avi terus menahan air matanya agar tidak keluar, tapi itu semua tidak bisa ia lakukan. Tangannya mencengkeram selimut yang menutupi tubuhnya dengan kuat. Ia berharap bahwa ini adalah mimpi buruk. Namun, faktanya ini adalah nyata. Di hadapannya sekarang ada David yang sudah mengenakan kembali pakaiannya. Terekam dengan jelas bagaimana peristiwa menjijikkan ini dimulai. Semua berawal dari penolakan Lavi. Kembarannya itu meninggalkan David sendirian dan membuat emosi seorang iblis tertanam di hatinya. Dan dengan polosnya, Avi yang masih mencintainya datang, tanpa memasang pengamanan yang kuat. David emosi. Ia mabuk dan melampiaskan semuanya kepada Avi yang ia pikir adalah Lavi. Dan saat itu pula kejadian menjijikkan itu terjadi. David bangkit, dan berjalan ke sisi ranjang Avi. Avi tidak berani menoleh saat David berdiri dan mengulurkan tangannya. Avi membuang mukanya jauh ke lemari pakaian. Rintik air matanya terus mengalir. Antara sakit dan harga diri yang ia pikirkan saat ini. Semua direnggut paksa hanya dalam satu malam. Tanpa ikatan apa pun. Meski dirinya mencintai David, tetapi ia sama sekali tidak mengharapkan hal ini. Ia ingin David melakukannya karena ada ikatan dan cinta. Bukan karena pelampiasan atas bisikan iblis. “Kamu harus mandi, Avi.” Mandi? Bahkan ia tidak memiliki tenaga untuk memikirkan hal itu. Ia merasa jijik terhadap dirinya. Merasa tidak ada respon, David menunduk dan mengangkat tubuh Avi. Avi tidak menolak, karena ia masih merasakan sakit di bagian bawahnya. David meletakkan tubuh Avi yang masih terbalut selimut ke bathub. “Mandilah, aku sudah menyiapkan handuk dan pakaian untukmu di sana,” tunjuk David ke meja yang diletakkan tidak jauh dari bathub. Avi sama sekali tidak menoleh. “Mandilah, dan aku akan mengantarmu pulang.” David berdiri tegak kemudian pergi meninggalkan Avi. Selepas kepergiannya, Avi mulai menangis dengan keras. Berkali-kali ia menendang tepi bathub dan menarik rambutnya frustrasi. Sekali lagi ia tegaskan, ia memang mencintai David, tapi ia masih tidak bisa menerima apa yang David lakukan kepadanya. Ia wanita baik-baik dan ia tidak pernah memiliki keinginan untuk menghilangkan gelarnya itu. Butuh waktu lama bagi Avi membersihkan diri dan meredakan rasa sakitnya. Ia keluar dari sana dengan pakaian yang entah kapan David beli. Ia berjalan melewati David dan memunguti kembali pakaiannya. Tidak lupa ia mengambil handphone dan mengecek notifikasi. Ada beberapa panggilan dari Lavi, Aleta, Fabian, dan Adrian. Avi mengembuskan napasnya dan mulai mengirimi mereka pesan bahwa ia akan segera pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas. Apakah ia bisa diterima di rumah? Avi berjalan ke pintu kamar dan berusaha membukanya, tapi pergelangan tangannya dicekal oleh David. Ia pun menoleh dan memandang David dengan tanda tanya. “Aku akan mengan---” “Tidak perlu. Aku bisa memesan taksi.” “Tidak, Avi. Aku akan mengantarmu,” kata David. Ia menarik tangan Avi dan menyeret tubuh mungil itu ke parkiran. Avi mencoba untuk meronta, tetapi kekuatan wanita selalu tidak sebanding dengan pria. Di dalam perjalanan, mereka membisu. Tidak ada yang ingin memulai percakapan. Sampai-sampai mereka tiba di perkarangan rumah Avi. “Maaf...” Bukan kata itu yang ingin Avi dengar. Apa kata maaf bisa merubah segalanya? Apa kata maaf bisa mengembalikan mahkotanya? Tidak akan. “Aku benar-benar minta maaf, Avi.” Avi memejamkan matanya. Ia menyampirkan tasnya dan membuka pintu mobil David. Ia berjalan dengan cepat ke rumahnya, bahkan ia tidak mendengar panggilan David. Ia membuka pintu dengan kunci cadangan dan berlari dengan cepat ke lantai dua. Ia langsung membuka pintu kamarnya dan merebahkan diri di ranjangnya. Ia mulai menangis sejadi-jadinya. Beruntung kamarnya dilengkapi kedap suara, jadi tidak akan ada orang lain yang mendengarnya. Masih di tempat yang sama, David turun dari mobilnya dan bersandar di sisi kiri mobil. Ia masih mengamati rumah yang menjadi istana Avi. Ia mengembuskan napasnya dan menarik rambutnya frustrasi. “Sedang apa kamu di sini?” David menoleh ke asal suara. Ada Lavi yang baru saja selesai pemotretan. Entah mengapa, David tidak memiliki niatan untuk meladeni Lavi. Ia tidak menjawab pertanyaan Lavi dan hanya masuk ke dalam mobilnya. Setibanya di rumah mewah nan indah itu, David melempar dirinya di sofa dan memijit kepalanya yang pening. Di dalam hatinya, ia berharap Avi akan baik-baik saja. “Kamu sudah pulang?” David menegakkan badannya dan menoleh ke arah Devine, ibunya. “Apa terjadi sesuatu?” tanya Devine sambil duduk di samping David. David mengangguk. Ia merubah posisinya. Kepalanya ia letakkan di pangkuan Devine dan menikmati hangatnya pangkuan sang ibu. “Ada apa, sayang? Cerita sama Mama.” David menggeleng. “Ini bukan waktu yang tepat, Ma.” “Kenapa? Kamu ditolak?” David diam. Sekarang pikirannya benar-benar tertuju ke Avi. Perempuan itu tampak rapuh, dan David benci melihat kerapuhan seseorang, terutama perempuan. Mengenai penolakan Lavi, entah mengapa hal itu lenyap seketika. “Ya sudah, kamu istirahat dulu,” ucap Devine. Ia tahu jika putra semata sayangnya itu memiliki masalah, tapi ia tidak akan memaksa David cerita sekarang ini. Mendengar nada perintah Devine yang lembut, David segera memejamkan matanya dan berusaha untuk melupakan mimpi buruk yang sudah membuat Avi menangis. *** “Kita harus bicara,” pinta David. Saat ini keduanya berada di ­rooftop Rumah Sakit. Keesokan hari setelah kejadian itu, David mencoba untuk menghubungi Avi, tetapi wanita itu tidak mengangkatnya. Sehingga ia terpaksa menemui Avi di tempat bekerjanya dan segera tahu di mana keberadaan Avi. “Tidak ada yang perlu kita bic---” “Tentu saja ada,” potong David. Avi menyerah. “Aku tahu aku salah, tapi percayalah, itu semua hanya kesalahan.” Benar, kesalahan kecil yang menjadi masalah besar untukku, batin Avi. “Aku sedang mabuk malam itu, dan itu semua karena Lavi.” Avi menjadi pendengar yang baik. Ia mendengar seluruh nada penyesalan David. “Oleh karena itu, aku ingin melupakan semuanya.” Jantung Avi serasa berhenti berdetak. Melupakan semuanya? Mudah bagi David mengatakan hal itu, tapi bagaimana dengan dirinya? Ia wanita dan seharusnya David paham akan fakta itu. Seorang wanita selalu sulit untuk melupakan kejadian yang membuat harga dirinya hancur dan David mengatakan hal itu. “Lagipula kita tidak saling kenal.” Egois dan menyebalkan. Avi baru menyadari bahwa David, pria hujannya, tak sebaik yang ia lihat. Ia pikir David akan bertanggung jawab dan memikirkan rencana untuk menyelesaikan masalah ini, tapi itu semua tidak akan terjadi. “Aku bebas, kamu bebas. Itu keuntungan yang bagus, kan?” David mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk, dan menatap Avi dengan lekat. “Kamu tahu sendiri aku akan melamar kembaranmu, dan aku benar-benar tida---” "Baik, kita lupakan semuanya. Anggap tidak pernah terjadi apa-apa. Anggap semuanya hanya lelucon belaka. Sekarang, pergi dari tempat ini,” ucap Avi pedas. David merasa bersalah, tapi hanya ini yang bisa ia lakukan. Ia pun pergi dari tempat itu. Sedangkan Avi? Ia hanya bisa menangis, menahan rasa sakit yang yang lebih sakit dari sebelumnya. Sekarang, ia harus melupakan David Alvareno, pria hujan yang sangat ia cinta. *** Dua bulan sudah berlalu sejak kejadian mengerikan itu. Selama dua bulan pula Avi selalu menjaga jarak dari David, karena faktanya hubungan yang terjalin antara David dengan Lavi mengalami kemajuan. Hubungan itu bukannya menjauhkan dirinya dari David, tetapi malah mendekatkannya. Avi tidak tahu cara apa yang David lakukan untuk meluluhkan hati Lavi. Apakah caranya sama seperti malam itu? Atau Lavi terlalu munafik untuk tidak terpengaruh dalam pesona seorang David? Entahlah. Yang jelas, Avi harus menjalani drama yang menyedihkan; berpura-pura bahwa tidak ada hubungan yang terjalin antara dirinya dengan David. Toh sampai sekarang dirinya baik-baik saja. Hari ini, seperti biasa, Avi berangkat lebih awal ke rumah sakit. Ada operasi besar yang harus ia pimpin bersama Adrian. Dan betapa senangnya ia karena Adrian sudah menunggunya di lobi. “Aku bisa lihat grafik pasiennya?” Adrian memberikan grafik itu dan Avi membacanya dengan teliti. “Tumornya sudah menyebar ke saraf matanya dan aku khawatir pengangkatan total akan memiliki efek samping pada matanya.” terdengar nada suara Adrian yang cemas. “Pengangkatan sel di bagian otak akan selalu memiliki efek samping, Adrian. Ini operasi yang besar, jadi kita harus hati-hati. Sedikit kesalahan saja, semuanya akan kacau.” Akhirnya mereka tiba di ruangan Avi. Avi melepaskan cardigan-nya dan mengenakan jas dokternya. Saat ia akan keluar dari ruangan, ia merasakan pening yang amat luar biasa sakitnya. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Adrian. Avi mengangguk. “Sepertinya aku terlalu kelelahan.” “Jika kamu tidak kuat, aku yang akan memimpin operasi. Kamu istirahat saja.” Avi menggeleng. “Aku sudah berjanji pada keluarga pasien kalau aku yang akan mengoperasinya. Ayo pergi, aku sudah biasa seperti ini.” Adrian pasrah. Percuma bicara dengan Avi. Perempuan itu sangat keras kepala. Ia pun hanya berjalan di sisi Avi dan sesekali memerhatikan bahwa Avi baik-baik saja. Setelah melakukan persiapan, keduanya pun memulai operasi yang dipimpin oleh Avi. pun memulai operasinya. Dengan hati-hati Avi memulai pengangkatan tumor, tapi penglihatannya tiba-tiba saja buram dan menyebabkan kesalahan kecil. Hal itu menyebabkan pendarahan. Semuanya begitu panik dan beberapa perawat keluar dari ruangan untuk mengambil stock darah. “Avi...” Avi terdiam. Ia melihat banyak darah yang keluar. Seketika saja ia bingung. Dan rasa cemas beserta kepalanya yang pusing mulai menyatu. “Avi, kita harus menghentikan pendarahannya dulu,” ucap Adrian cemas. Avi tidak merespon. Tangannya gemetar bersamaan dengan keringat yang terus mengalir dari keningnya.Merasa tidak ada gunanya, Adrian mengambil alih posisi Avi san melanjutkan operasi. Avi merasa takut. Suara mesin yang stabil mulai menenangkannya, sekarang adalah tahap di mana Avi harus mengangkat tumornya. “Kalau kamu tidak bisa melakukannya, mak---” “Aku akan menyelesaikannya,” sela Avi dan kembali mengambil posisi. Ia menarik napasnya terlebih dulu sebelum mulai. Operasi pun berakhir dalam beberapa jam, dan karena kejadian itu, Avi dipanggil Alena ke ruangannya. “Kamu kenapa, Avi? Tidak biasanya kamu gegabah seperti itu? Jika saja Adrian tidak bergerak, maka pasien akan kehilangan nyawanya.” “Maaf,” ucap Avi lemah. Ia sendiri tidak tahu mengapa kondisinya seperti ini. “Pergilah ke ruang pemeriksaan, aku tidak ingin salah satu dokterku sakit.” Avi mengangguk dan izin untuk pergi. Saat dirinya berjalan di koridor, ia bertemu kembali dengan David. Anehnya, David sedang sibuk mendorong seorang gadis kecil yang Avi kenal sebagai Dara. Gadis itu adalah pasiennya, dan ia menderita kanker sumsum tulang belakang. “Dokter...” panggilan dari bibir Dara sudah dapat membuyarkan lamunan Avi. Avi pun tersenyum dan berjalan ke arah Dara. “Kenapa Dara ada di luar? Bagaimana kalau terjadi infeksi?” “Dara cuma mau menghirup udara taman sebentar saja, bolehkah?” Avi tersenyum dan mengusap lembut pipi Dara. “Boleh, tapi hanya lima belas menit, mengerti? Setelah itu kembalilah ke kamar.” Dara mengangguk dan tiba-tiba saja gadis itu tersenyum bahagia kepada Avi. “Iya sudah, Dara pergi dulu.” Avi mengangguk dan masih menatap punggung David dan Dara dalam kebingungan. Sepertinya ada hubungan di antara mereka. Apa mungkin saudara? Tapi nama belakang mereka berbeda. Lagipula David itu anak tunggal. *** David menunduk di depan Dara dan tersenyum manis pada adik sepupunya itu. Dara adalah putri kedua dari adik Devine. Darasya Alkeno, remaja berusia 17 yang mengidap kanker sumsum tulang belakang. “Kak David, dokter tadi pasti bahagia,” kata Dara. David mengerutkan keningnya. “Bahagia gimana?” “Iya bahagia,” jawab Dara cepat. “Sebentar lagi dokter Avi bakalan punya seseorang yang lucu.” David semakin bingung. Keponakan? Kira-kira apa yang ingin Dara katakan? Jika boleh jujur, Dara berbeda dengan gadis remaja lainnya. Atau bisa dibilang indigo child. Ia memiliki kemampuan pendengaran yang sangat baik dan kepekaan yang luar biasa. Awalnya David memang tidak percaya akan hal itu, tapi setelah ada beberapa kejadian yang memang Dara tunjukkan dan itu benar, membuat David percaya jika sepupunya ini memang berbeda. “Tadi Dara dengar ada dua jantung, termasuk jantung dokter yang berdetak di perut Dokter Avi.” Kemudian, perasaan David semakin berbeda. Seperti ada hawa hitam di sekelilingnya. *** Avi mengembuskan napasnya perlahan. Ia menutup pintu ruang pemeriksaan itu dan kedua matanya menatap lembaran yang sedang dipegangnya dengan lemas. Kamu hamil, Avi Ia tidak percaya. Dan karena ketidakpercayaan anehnya itu, ia meminta testpack dan hasilnya sama. Kini ada dua garis merah di alat pendeteksi itu. Ia tidak ingin percaya lagi, tetapi dirinya dokter dan ia bisa dianggap gila karena hal ini. “Avi.” Avi mendongak, menatap David dengan kedua mata polosnya. Detak jantungnya kembali menjadi tak karuan hanya karena kedatangan pria itu. “Ke---” “Ayo kita menikah.” Sebelum Avi menyelesikan ucapannya, David sudah berlari menghampirinya dan mengatakan sesuatu yang sangat aneh. Ini aneh. Benar-benar aneh. Ia tak bisa memikirkannya. Avi bingung mengapa David tiba-tiba saja mengajaknya menikah. "Apa maksudmu?" "Kamu hamil." Avi terkejut. Bagaimana David bisa mengetahuinya? Lagipula, ia baru tahu tadi dan akan aneh jika David tahu hanya karena sebuah tebakan atau yang lain. "Ka-kamu tahu dari mana?" Ia mencoba untuk menanyakannya supaya jelas. "Kamu nggak perlu tahu, tapi yang jelas aku akan bertanggungjawab dan juga itu sudah pasti anakku, karena waktunya, aku bisa menduganya dengan baik. Bahkan aku tahu itu pertama kali untukmu, jadi aku akan meni---" “Jangan pernah berpikir jika aku mau menerima pertanggungjawabanmu, meskipun dia memang benar anakmu,” ucap Avi pedas seketika. Ia mungkin mencintai David, tetapi menerima kekhilafan David setelah apa yang pria ini lakukan benar-benar merusak kepercayaannya. “Avi, ini bukan masalah kamu mau atau enggak. Tapi ini masalah bagaimana aku mencoba untuk menjadi ayah yang baik bagi dia.” David tidak ingin kalah untuk saat ini. Ia akan terus mempertahankan argumennya. Tidak akan ia biarkan Avi melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ia inginkan. “Ayah yang baik berawal dari pria yang baik. Dan apa kamu begitu? Apa pria yang membiarkan wanita menangis sendirian adalah pria yang baik? Apa pria yang bersifat pengecut dan mencoba lari dari masalah adalah pria yang baik? Tidak. Dan untuk kesekian kalinya, kamu bukan pria yang baik, bahkan tidak akan pernah menjadi ayah yang baik. Camkan itu!” “Avi...” “David, dengar! Seperti yang pernah kamu bilang, kita tidak saling mengenal dan bukan pernikahan paksa yang aku inginkan. Dan juga, kamu sudah bertunangan dengan kak Lavi. Aku nggak mau ngerusak semuanya hanya karena satu orang yang bahkan belum lahir di dunia.” David diam. Ia tidak tahu lagi harus mengatakan apa dan hanya membiarkan Avi pergi dari hadapannya. *** Avi terus menggigit bibir bawahnya. Ia ingin sekali tiba dengan cepat di rumah. Tadi, saat dirinya sedang istirahat di rumah neneknya, ia mendapatkan panggilan dari Fabian. Ayahnya itu meminta dirinya pulang secepat mungkin karena ada seorang pria yang datang ke rumah mereka. Dan pria itulah yang membuat Avi mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang tinggi. Napas Avi terengah-engah. Ia masuk ke dalam rumah dengan kedua manik cokelatnya yang langsung menangkap sosok David. Pria itu kini duduk di hadapan Fabian dan Aleta, sedangkan di sampingnya ada Nick dan Lavi. “Kamu sudah pulang. Kemari,” ajak Aleta. Avi mengangguk dan berjalan ke sisi Aleta. Dilihatnya mata David yang terus mengarah kepadanya. Ia mulai memikirkan sesuatu hal yang negatif sejak Fabian memberitahukannya mengenai kedatangan David. Ini benar-benar kacau. “Katanya ada yang mau David bicarakan dan dia nunggu kita semua kumpul,” bisik Aleta. Lalu semua perhatian tertuju pada David. “Jadi begini, saya kemari ingin melamar...” Avi menelan salivanya. Mungkinkah David akan melamar Lavi? Namun, jika itu terjadi, apa itu tidak aneh setelah ajakan yang David katakan kepada dirinya tadi? “Avi...” Avi beserta seluruh keluarganya membelalakkan mata tak percaya. Semua mata yang memiliki warna yang sama itu memandangnya dengan pandangan antara bingung dan tidak tahu apa yang terjadi. “Saya akan menikahi Avi secepatnya,” sambung David. “Bagaimana dengan Lavi?” tanya Fabian bingung. Avi menggigit bibir bawahnya. Ia merasa tegang dan keringat dinginnya mulai bercucuran. Lalu kedua matanya beralih memandangi Lavi yang tampak tidak tahu juga bahwa David mengatakan hal ini. Ia melihat kedua tangan Lavi dan terlihat sekali genggaman yang erat di tangan itu. Tiba-tiba saja David bangkit dan berlutut di hadapan Fabian. Oh Tuhan, ini momen yang sangat bersejarah. Pewaris dari Group Alpa berlutut di hadapan Fabian. Ini momen yang mungkin bisa saja menjadi viral jika para jurnalis atau wartawan datang dan merekamnya. “David, apa yang kamu lakukan?!” tanya Fabian sedikit membentak. “Izinkan saya menikahi Avi secepatnya,” kata David dengan tegas. “Dan saya tanya kenapa kamu memilih untuk menikahi Avi disaat kamu dan Lavi sudah bertunangan?!” “Tidak perlu alasan untuk hal itu,” jawab David. Ia merasa bahwa memberitahukan alasannya sekarang bukanlah waktu yang tepat. “Lalu apa dengan alasan tidak masuk akal kamu, akan saya izinkan? Apa kamu mencoba untuk mempermainkan kedua putri saya?!” nada Fabian sedikit lebih meninggi, dan itu seperti ia merasa kecewa dan marah kepada David. “Avi hamil, Pa...” Entah ada angin apa hingga kalimat itu sendiri keluar dari mulut Lavi yang lebih banyak diam sejak Fabian memaksanya untuk ikut berkumpul malam ini. Lavi sengaja menceritakannya. Dengan alasan agar ia tidak perlu lagi mendengar kalimat itu dari bibir David untuk kedua kalinya. Sebelumnya, David langsung memberitahunya, tanpa memikirkan perasaan senangnya karena suatu hal. Hari yang seharusnya menjadi spesial baginya malah menjadi musibah. “Apa maksud kamu, Lavi?” tanya Aleta bingung. Lavi mengangkat kepalanya dan tersenyum miring, lalu ia memandang ke arah David yang juga tengah memandanginya. “Aku benar, kan? Avi hamil dan kamu yang menghamilinya.” “Kak Lavi---” “DIAM!” bentak Lavi disaat Avi menyerukan namanya. “Memang itulah faktanya. Aku sudah tahu, jadi jangan coba untuk menyangkalnya.” Lalu Lavi mulai berdiri. “Kalian berdua benar-benar menjijikkan.” Kemudian ia mulai berlari ke kamarnya, dan David berdiri untuk mencoba mengejarnya. Brug... Avi, Lavi, dan semua orang yang ada di ruang tengah terkesiap. Mereka menutup mulut mereka dengan kedua tangan mereka saat melihat aksi Fabian yang menghajar David. Avi ingin berlari dan memegang bahu David, tapi Lavi sudah lebih dulu melakukannya. Wanita itu yang tadinya berniat menjauh, malah mendekat dan merasa cemas dengan apa yang Fabian lakukan pada David. “Pergi!” “Om, saya harus menik---” “Apa kamu pikir kamu bisa menikahi anak saya setelah menghamilinya? Iya? Asal kamu tahu David, saya menjaga Avi lebih ketat karena saya tahu bagaimana sikapnya, dan kamu sudah merusak anak saya! Bukan hanya itu, kamu juga sudah membuat Lavi seperti ini. Jangan harap kamu bisa menikah dengan salah satu dari mereka mulai saat ini.” Ucapan Fabian begitu pedas. Ia berbalik dan perg meninggalkan ruang tengah disusul Aleta. Sedangkan David sendiri, ia kembali berdiri dan menatap Lavi yang tampak sedih. “Lavi...” “Pulanglah,” pinta Lavi. Ia berbalik dan mencoba mengikuti Fabian, tetapi David mencekal tangannya. David memandang sekali lagi mata indah itu. Mata wanita yang sangat ia cintai. Oh Tuhan, jika saja Lavi yang sedang mengandung anaknya, mungkin ia akan bahagia. Jika saja malam itu tidak terjadi, maka wanita yang akan ia nikahi sepenuhnya adalah Lavi. Lavi. Lavina. Ia ingin wanita ini untuk mendampinginya. Tetapi ia pria. Ia David. Ia tidak bisa lari dari tanggung jawabnya. Sekarang wanita yang harus ia nikahi adalah Navila, bukan Lavina. Karena wanita itu saat ini sedang mengandung anaknya. Mengandung darah dagingnya. Penerus dari Alpa grup. “Maaf...” “Aku tahu kejadiannya karena kesalahan, tetapi tetap saja. Kamu akan menikah dengannya dan tidak akan pernah kembali.” “Lavi...” Lavi mengabaikan David dan menatap adiknya, Nick. “Bisa kamu antar dia pergi dari rumah ini?” Nick dengan cepat mengangguk. Sedangkan Lavi, ia berjalan dengan cepat meninggalkan mereka bertiga di ruang tengah. Brug... David lagi-lagi merasa sakit di bibirnya. Ia menoleh ke arah Nick dan menatap tajam lelaki di hadapannya ini. “Apa yang coba kamu lakukan?!” “Itu untuk Kak Avi, dan...” Brug... “Ini untuk Kak Lavi.” David mengerutkan keningnya dan mencoba untuk menyanggah, tetapi Nick tidak membiarkannya. “Pulang, apa perlu aku yang antar?!” Nada Nick begitu sinis saat mengatakannya. “Aku bisa pulang sendiri,” sela David saat Nick menarik tangannya. David segera berbalik untuk pergi, tetapi ia memandang Avi terlebih dulu. “Siapkan saja dirimu, semuanya aku yang siapkan.” Avi tidak menjawab dan hanya memalingkan wajahnya dari David. Ia benci melihat David saat ini. Pria itu menikahinya hanya karena ia hamil, hanya itu. *** “Kamu kenapa nggak cerita, Sayang?” Avi terus menangis saat Aleta memintanya untuk menceritakan semuanya. Ia ingin cerita, tapi bibirnya terlalu lemah untuk mengatakan peristiwa itu. Ia mencoba untuk tidak terlihat rapuh di depan Aleta, tapi semuanya begitu sulit. Ia butuh teman sekadar keluh kesahnya. Disaat Lavi adalah satu-satunya orang yang tepat, ia malah tidak bisa menceritakannya. Ia tahu bahwa kembarannya itu saat ini begitu sakit hati. “Sudah berapa minggu?” “9 minggu, Ma.” Aleta mengembus napasnya. “Jadi, apa yang mau kamu lakukan sekarang? Mama akan ikuti apa keputusan kamu.” Avi berhenti terisak. Ia mendongak dan menatap mata indah Aleta, mata yang sama dengan dirinya. “Mama kenapa nggak marah sama Avi?” Aleta menggeleng. “Kamu putri Mama, dan kenapa Mama harus marah? Lagipula, Mama pernah hamil di luar nikah. Dan mungkin saja Tuhan ngasih cobaan ini semua untuk kamu karena mama pernah mengalaminya. Berpikir positif saja, Tuhan pengin ngasih Mama cucu.” Avi tidak tahu harus mengatakan apa, ibunda tersayangnya mendukungnya dengan sepenuh hati, tetapi bagaimana dengan ayahnya? “Tapi Papa marah besar.” Aleta tersenyum. “Tentu saja, sayang. Karena dia sayang sama kamu. Kamu kesayangannya dan dia ngak mau putrinya terluka sampai seperti ini. Nanti biar Mama yang bicara,” ucapnya seraya mencubit gemas hidung Avi. Avi tersenyum senang. Namun, tiba-tiba saja senyuman itu menghilang. “Kak Lavi gimana?” “Kita cari jalan keluarnya sama-sama ya,” ujar Aleta seraya mengelus lembut rambut Avi. Sebenarnya Aleta sendiri bingung harus mengatakan apa. Di satu sisi ia memikirkan Avi, tetapi di sisi lainnya ia juga memikirkan Lavi. Putri tertuanya itu sangat mencintai David sekarang dan Aleta begitu tahu bagaimana rapuhnya Lavi saat ini. “Aku mencintai David, Ma. Meskipun malam itu David tidak melihatku sebagai Avi, tapi Avi nggak pernah berhenti cinta sama dia. Dia David, pria hujan yang selalu aku tunggu di halte bis.” Aleta terperangah. Avi mencintai David? Haruskah ia senang atau sedih karen putrinya ini mencintai pria yang akan menjadi ayah dari anaknya? “Avi takut, Ma. Avi takut kalau David buat hidup Avi sulit.” Aleta mengembuskan napasnya, ia merengkuh tubuh mungil Avi dan membiarkan putrinya itu menangis di pundaknya. “Sayang, itu pendapat dari sisimu. Bagaimana dengan anakmu? Dia butuh seorang ayah dan Mama yakin David ayah yang baik. Buktinya dia nekad menikahimu dan membuat Papamu marah. Saran Mama, jalani dulu dengan David.” “Jalani gimana, Ma, sedangkan David sendiri masih cinta sama Kak Lavi. Mereka berdua saling cinta. Bukannya ini terlalu egois untuk mementingkanku dan merusak kebahagiaan dua orang?” Aleta berpikir bahwa perkataan Avi ada benarnya. Namun, jika mereka berdua egois –Lavi dan David- maka mereka juga akan menyakiti dua orang, Avi dan anaknya. “Kalau aku nikah sama David, sepertinya aku nggak akan bahagia.” “Sayang...” “Aku mencintainya, tapi dia mencintai orang lain. Bukan kebahagiaan ini yang aku mau, Ma. Disaat semua orang mengatakan hanya memiliki tubuhnya saja sudah bahagia, maka itu nggak berlaku bagiku. Aku butuh David, baik jiwa dan hatinya.” Avi benar. Aleta juga memikirkan hal yang sama. Memiliki tubuhnya saja tidak akan membuatnya bahagia. *** “Kak Lavi.” Lavi yang berdiri di pintu kamarnya langsung menoleh ke arah Avi yang baru juga keluar dari kamarnya. “Kak, bisa bicara?” “Gue sibuk.” Avi diam. Ia melihat kepergian Lavi yang sudah menuruni anak tangga satu persatu. Ia sempat mendengar nada bicara Lavi. Berubah. Dan ia tahu apa maksudnya. Lavi marah dan kecewa padanya. Lavi membencinya dan tidak punya niatan untuk bicara dengannya. Namun, jika mereka berdua tidak sempat bicara, maka semua akan terasa aneh. Ia harus bicara dengan Lavi. Ia pun ikut turun ke lantai bawah dan mulai mencari diman Lavi berada. beruntung Nick memberi tahu bahwa saat ini Lavi tengah berada di ruang kerja ayah mereka. Ia pun berjalan perlahan dan mencoba untuk melihat atau mendengar apa yang sedang mereka lakukan. “Pa, Papa nggak bisa buat David nikah sama Avi,” pinta Lavi. Avi semakin tertarik untuk mendengarkan lebih. “Kalau mereka nggak nikah, siapa yang akan menjadi ayah dari janin itu?” “Adrian, Pa. Buat mereka nikah. Lagipula mereka udah kenal sejak kecil. Mereka udah tau sifat masing-masing. Papa hanya menolak tawaran David dan membuat mereka berdua melupakan segalanya.” “Lavi!” Avi yang mendengarnya cukup terkejut. Terkejut karen perkataan Lavi dan bentakan yang Fabian berikan. “Apa Papa nggak bisa sekali aja ngelakuin hal yang Lavi mau?” “Apa Papa pernah menolak semua yang kamu katakan? Tidak Lavi, tetapi beda untuk masalah ini. Papa akan tetap menikahkan mereka setelah melihat perjuangan David seperti apa. Papa tidak akan membiarkan dia memiliki Avi dengan semudah itu.” “Lalu bagaimana dengan Lavi, Pa? Papa Cuma melihat dari sisi Avi, tapi nggak lihat dari sisi Lavi. Lavi cinta sama David, dan David juga. Hanya karena janin sialan itu, semuanya kacau seperti ini.” “Jaga ucapan kamu, Lavina Keegen!” “Aku nggak akan diam, Pa. Kalau Papa ngizinin mereka nikah dan buat aku sengsara, maka jangan harap kehidupan anak kesayangan Papa akan bahagia. Aku akan buat David kembali. Dia akan aku buat menceraikan Avi setelah bayi itu lahir. Dan Papa jangan coba ikut campur, jika Papa masih mau melihat Lavi di kota ini. Ingat, Pa, aku nggak akan bertahan di rumah ini kalau bukan karena Mama.” Avi bergerak cepat setelah ia mendengar langkah kaki Lavi yang mulai menjauh. Ia bersembunyi di tempat kosong dan memerhatikan Lavi yang pergi dengan langkah beratnya. Setelah Lavi pergi, ia melihat ke arah Fabian yang tampak pusing. “Masuklah, Avi, Papa tahu kamu di sana.” Avi tidak terkejut. Ia mengikuti kata Fabian dan berjalan ke arahnya. “Kamu mendengarnya?” Avi mengagguk. Semuanya ia dengarkan, bahkan ia masih ingat dengan jelas perkataan Lavi. “Kamu akan menikahi David?” tanya Fabian langsung tanpa basa-basi. “Akan kupikirkan.” “Jawab sekarang, Avi.” “Pa...” “Jawab sekarang atau tidak sama sekali.” “Aku sayang David, Pa, tapi aku juga sayang kak Lavi.” “Jangan pikirkan Lavi untuk saat ini.” “Kak Lavi nggak akan tinggal diam.” “Papa tahu.” “Hidupku akan terus kesulitan.” “Papa tahu.” “Pa...” “Skenario Papa adalah; kamu menikah dengan David, dan membiarkan Lavi melakukan apa yang dia inginkan.” “Papa...” Avi tidak percaya dengan perkataan Fabian. Ia tidak percaya dengan apa yang Fabian pikirkan. “Atau kamu pergi ke Jerman, hidup di sana dan membiarkan David serta Lavi bahagia.” “Papa...” Jadi ini pilihan ayahnya untuk dirinya? Kenapa tiba-tiba seperti ini? Apa karena perkataan Lavi tadi? Sebegitu berubahya kah? “Papa akan kasih waktu sampai besok pagi. Keluarlah, Papa pusing.” Kacau! Semuanya kacau. Ia meremas gaunnya dan keluar dari ruangan Fabian dengan berat hati. Ia berjalan dan terus berjalan sampai ia menemukan Lavi yang sedang menenggak jus buahnya. Ia berjalan dengan cepat ke Lavi dan memandang kembarannya itu. “Kita harus bicara.” Lavi melirik sekilas, “Nggak ada yang perlu kita bicarakan.” “Tentu saja ada. Ini masalah kita, Kak.” “Bukan. Ini masalah lo. Lo yang hamil, jadi jangan sangkut pautkan dengan gue.” “Kakak!” “Sebaiknya lo urus anak haram itu.” “Kak Lavi!” “Kenapa? Gue salah? Anak lo itu nggak akan diakui.” “Kak Lavi, berhenti! Ini anakku, bukan anak haram. Dia punya ibu, dan akan segera punya ayah.” Lavi menarik sudut bibirnya ke atas. “Ayah? Benar, hanya ayah. Hanya sebatas ayah.” “Aku nggak tau kakak sekejam ini.” Avi tidak habis pikir dengan seluruh perkataan Lavi. Mengapa kembarannya ini harus mengatakan sesuatu yang sangat kejam seperti itu? Boleh saja Lavi menghinanya, tetapi tidak untuk anaknya. “Kenapa? Lo mau ngadu ke Mama, Papa, atau David? Silakan.” Oh ya Tuhan, mengapa Lavi beruah seperti ini? Apa yang terjadi pada kembarannya ini. Dia bukan Lavi yang Avi kenal. Lavi adalah orang yang berbeda. Ia tidak mengenalnya sama sekali untuk saat ini. “Ka---” Belum sempat Avi melanjutkan ucapannya, Lavi sudah meletakkan gelasnya dn pergi dari sana. “Aku akan menikah dengan David!” Teriakan Avi yang sedikit gugup membuat Lavi berhenti bergerak, tetapi tidak menoleh ke arah Avi. Wanita itu mengepalkan kedua tangannya dan mencoba untuk melirik Avi, meski sedetik. “Dan aku harap Kakak nggak ikut campur ke dalam pernikahanku.” Di balik itu Lavi hanya tersenyum sinis dan melanjutkan gerakannya meninggalkan Avi yang tampak menahan napasnya saat mengatakan hal itu. *** Avi berjalan di sekitar lorong rumah sakit. Pagi ini ia sudah merasa buruk dari hari sebelumnya. Fabian dan Lavi sama sekali tidak berniat menatap matanya tadi pagi. Sepertinya dua orang yang ia sayangi itu masih marah kepada dirinya. Bahkan suasana di meja makan tadi pagi benar-benar berbeda dari biasanya. Suasana yang awalnya sangat hangat seketika saja berubah menjadi mencekam dan dingin hanya karena dirinya. Tidak ada lagi kehangatan yang begitu dalam kembali. Tidak ada lagi canda tawa yang selalu terlontar dari bibir mereka masing-masing. Yang ada hanyalah keheningan. Suasana seperti itu membuat Avi tidak tahan dan memilih untuk pergi ke rumah sakit dan meninggalkan sarapannya. Setibanya di rumah sakit pun ia hanya berjalan tak keruan di lorong-lorong rumah sakit. Seharusnya ia libur saat ini, tetapi jika ia diam saja di rumah, maka kemungkinan besar ia tidak akan tahan. “Dokter...” Avi menoleh ke asal suara. Ada Dara dan David di hadapannya. Dara tampak anggun dengan gaun cokelatnya, sedangkan David seperti biasa tampak tampan dengan pakaian biasanya. Ini seperti sekarang pria itu sedang libur. “Dokter setuju nggak sama lamaran Kak David?” “Eh?” “Diterima ya, Dok.” Avi terdiam. Ia melirik ke David sekilas dan pria itu tetap saja memasang wajah datarnya. “Kak David mau ngomong, Dok.” Avi mengerutkan keningnya. Ia menatap David dengan tanda tanya. “Bisa kita bicara?” Avi ingin menolak, tetapi melihat bagaimana Dara tersenyum sambil memohon membuat dia tak tega untuk menolak. Akhirnya ia mengiyakan dan mereka mulai berbicara di taman setelah membawa Dara kembali ke dalam kamarnya. “Bagaimana kabarnya?” Avi tahu siapa yang dimaksud David. “Baik.” “Bagaimana?” “Apanya?” “Lamaranku. Kamu belum menjawabnya.” “Entahlah.” “Avi...” “Aku butuh waktu. Menjalin sebuah rumah tangga tanpa dilandaskan cinta adalah hal yang harus dipikirkan baik-baik.” “Cinta bisa dibangun, Avi.” “Tidak semudah itu ketika kamu masih mencintai wanita lain.” “Aku bisa.” “Tidak akan.” “Lalu bagaimana denganmu? Aku dengar dari Lavi, kamu cinta sama seorang pria.” “Iya, aku sangat mencintainya.” “Kita lupakan mereka. Mulai membangun cinta yang baru. Lagipula semua berasal dari kebersamaan.” Tidak semudah itu Avi bayangkan. Ia tahu bagaimana cinta David dan pria itu hanya tidak tahu bahwa di balik semuanya, ia yakin cinta mereka tidak akan tumbuh jika Lavi masih andil dalam kehidupan mereka kelak. Jika ia hanya akan merasa lelah untuk semuanya, maka mengapa harus ia lakukan? “Kamu cinta Kak Lavi.” “Tapi aku lebih mencintai anakku. Ada darah Alvareno. Dia akan menjadi pewaris grup dan-” “Apa kamu menginginkannya hanya karena dia seorang pewaris?” Avi terkejut. Jangan salahkan dirinya jika ia berasumsi seperti itu. “Avi, dengarkan aku.” David mulai menatap ke mata Avi setelah sekian lamanya mereka hanya duduk berdampingan tanpa ada kedua mata yang saling melirik. “Kita jalani dulu pernikahan ini. Kita coba untuk menumbuhkan cinta itu. Jika memang tidak bisa, maka aku akan melakukan apa yang ingin kamu lakukan. Kalau nantinya kamu ingin cerai atau apa pun, akan aku lakukan. Tetapi untuk sekarang, mari kita fokus ke anak kita dan buang jauh-jauh ego kita. Kita buat dia merasakan kasih sayang. Lagipula, aku pikir, tidak sulit untuk mencoba mencintaimu yang memiliki wajah yang sama dengan Lavi. Dan juga kamu, aku harap kamu punya niatan untuk mencoba menyukaiku.” Avi tertawa dalam hatinya, alasan David ingin mencintainya membuat ia ingin sekali tertawa dengan keras. Ia akan mencintai Avi sebagai Lavi, itu maksud David. Miris disaat kita mencintai seseorang, tetapi seseorang itu mencintai kita hanya karena kemiripan dengan wanita yang mungkin saja akan menjadi masa lalunya kelak. *** Hujan akan tetap datang, meski itu bukan keinginan musim. Pencipta membuatnya turun membasahi bumi, untuk menjelaskan bahwa hujan selalu ada di antara kita. Manusia seringkali mengeluh, tetapi bumi membutuhkan. *** Semuanya terjadi secara tak terduga, dalam waktu yang tak terduga, dan tempat serta kondisi yang tak terduga. Kehidupan yang awalnya sinar benderang, kini berubah menjadi gelapnya senja. Atau hidup yang kian penuh dengan warna-warni kini berubah menjadi abu-abu. Tak dapat diikatkan dengan warna yang lebih menghitamkan, karena bagi Avi sendiri warnanya tetaplah netral, bukan putih ataupun hitam. Bukan bewarna atau gelap. Ternyata benar adanya bahwa hidup kadang melambungkan seseorang dan kadang menghantamnya. Baru Avi sadari bahwa apa yang dulu sempat ia imajinasikan, bahagia bersamanya, tidak seindah itu. Jika kebahagiaannya dimulai dengan kecelakaan dan berakhir dalam drama yang menyedihkan di atas kesedihan seseorang, maka ia tak akan berpikir untuk mencobanya. Namun, Tuhan dengan paksa melakukannya. Tanpa cobaan ataupun simulasi, bahkan tanpa imajinasi yang selalu berkembang di kepalanya. Segelas green tea, batinnya. Aromanya menyegarkan, rasa hangat dan sensasi green tea-nya membuat kerongkongan serta tubuhnya segar. Ia penyuka minuman yang menurut sebagian orang tidaklah sedap. Ia tidak tahu mengapa kebanyakan mereka tidak menyukainya. Green tea lebih enak daripada minuman pahit-pahit yang sering mereka minum, terutama alkohol. –ia pernah merasakannya saat pesta kelulusan, itupun karena ia dijahili para lelaki berengsek yang membuat taruhan tentangnya-. Katanya menghilangkan stres. Padahal ada berbagai macam cara untuk menghilangkan kegelisahan dan stres. Bagi Avi, green tea adalah penghilang segalanya. Dihirupnya aroma minuman ini dengan nikmat. Hanya aromanya saja, ia sudah merasa tenang dan damai, seperti tidak ada lagi masalah yang dibebaninya. “Avi.” Avi menoleh, mendapati sosok tinggi tegapa yang akhir-akhir ini seering ia temui ketimbang keluarnya. Ya, ia adalah David, calon suaminya. “Acaranya diadakan lusa.” “Kenapa cepat sekali?” “Mama sudah tahu dan beliau ingin semuanya berlangsung dengan cepat.” “Tapi nggak secepat ini.” “Ini lebih baik, Avi.” “Why?” “Intinya kita akan menikah lusa, dan acaranya tertutup. Kecuali resepsi, akan terbuka. Kamu jangan memikirkan hal lainnya, karena yang perlu kamu siapkan hanyalah dirimu sendiri.” Avi hanya menghela napasnya berat, lalu ia menyeruput minuman kesukaannya agar pikirannya dapat tenang saat ini karena perkataan David. “Green tea?” Avi menatap David. “Iya,” “Aku juga suka Green tea,” ujar David, dan tepat saat itu juga seorang pelayan membawakannya minuman yang sama persis dengan miliknya, green tea. Satu hal baru yang ia ketahui dari David. “Suka jenis apa?” “Matcha,” jawab Avi. “Pernah menyoba Gyokuro?” Avi mengangguk. Saat dirinya dan keluarga berlibur ke Jepang beberapa tahun yang lalu, jenis teh hijau pertama yang ia coba adalah Gyokuro. Gyokuro merupakan teh terpilih dari daun teh kelas atas yang disebut Tencha. Teh dinamakan Gyokuro karena warna hijau pucat yang keluar dari daun teh. Daun dilindungi dari terpaan sinar matahari sehingga mempunyai aroma yang sangat harum.Ia suka Gyokuro, tapi ia lebih menyukai Matcha, teh hijau berkualitas tinggi yang digiling menjadi bubuk teh dan dipakai untuk upacara minum teh. Matcha mempunyai aroma yang harum sehingga digunakan sebagai perasa untuk es krim rasa teh hijau, berbagai jenis kue tradisional Jepang (wagashi), berbagai permen, dan coklat. “Kamu menyukainya?” Avi meletakkan gelasnya dan tampak gelasnya sudah habis. “Aku suka, tapi lidahku lebih tertarik ke Matcha.” “I see, wanita lebih suka sesuatu yang berbau manisan,” balas David. “Tidak. Aku menyukainya karena aromanya.” “Sama saja.” “Itu adalah sesuatu yang berbeda,” balas Avi tak ingin mengalah. “Saat kamu mencoba sesuatu dengan menghirup aromanya, itu akan lebih nikmat ketimbang meminumnya karena tak tahan ingin mencicipi.” “Oke, aku paham.” Tidak, kamu tidak paham. Ini sama dengan apa yang kamu lakukan. Saat kamu menikahiku hanya karena anak, itu sama saja dengan sebuah fakta bahwa kamu tidak mencoba untuk menikmati hidupmu, David Alvareno, batin Avi. “Sepertinya hujan.” Avi kembali ke alam bawah sadarnya. Ia menoleh ke sisi kaca bagian kiri tempat ia duduk. Kaca itu kini sudah terkena oleh air hujan yang begitu cepat membumi. “Ini memang hujan,” ujarnya membalas ucapan David. “Ingin kembali sekarang atau---” “Kita nikmati saja hujannya di sini. Terlalu dingin untuk berada di luar sana.” Sebenarnya, Avi ingin menerobos hujan itu dan berteriak sesukanya, tetapi sekarang ia memikirkan dirinya dan bayinya. Ia tidak bisa sakit saat menjelang pernikahannya hanya karena ego dan keinginannya untuk bermain hujan. “Kamu suka hujan?” Tiba-tiba saja pertanyaan itu David lontarkan. Avi menoleh kepadanya dan bingung dengan pertanyaan yang sangat tiba-tiba itu. “Kenapa diam?” tanya David saat pertanyaannya tak kunjung terjawab. “Hujan bukanlah sesuatu yang layak untuk disukai,” jawab Avi akhirnya. Tetapi hujan hanyalah layak untuk dinikmati, lanjutnya dalam hati. “Kenapa?” “Karena hujan tak menentu. Kadang kamu diberi topan, lalu pelangi, dan terakhir perhentian. Egois sekali.” David diam. Keduanya saling diam. Hujan membekukan bibir mereka, tapi tidak dengan kepala mereka. “Bagiku hujan adalah destinasi terakhir yang kita datangi disaat gelisah. Bagiku hujan adalah pertanda akan kerinduan, dan bagiku hujan adalah tempat di mana pertemuan tak terduga datang.” Setelah mengatakan hal itu, David menenggak green tea-nya dan melanjutkan, “Dulu aku benci hujan, tetapi setelah hujan membawa pelangi, aku menyukainya. Aku selalu menanti hujan dan mencoba untuk mendapatkan pelangi itu.” Aku juga, aku dulu menyukai hujan, tetapi melihat apa yang terjadi saat ini, aku berpikir dua kali untuk menyukai hujan sehebat dulu sebelum aku dan kamu terlibat dalam masalah ini, batin Avi. “Ayo, pulang. Ini sudah terlalu malam.” “Tapi hujan,” sanggah Avi. “Tidak apa-apa, ayo.” Tanpa mendengarkan Avi, David memaksanya dengan menarik kedua tangannya dan membawa Avi keluar dari kafe. Mereka sempat berhenti sebentar untuk memastikan bagaimana derasnya hujan. Namun, akhirnya mereka memberanikan diri untuk menerobos menuju parkiran. Sebenarnya bukan mereka, melainkan David yang memuat Avi menerobosnya. Ia menggenggam erat tangan Avi dan mencoba untuk melindungi kepala Avi dengan tangan kanannya, meski ia tahu bahwa Avi akan tetap basah. Saat hal yang seperti mimpi ini terjadi, maka Avi tidak bisa berkata-kata. Detak jantungnya melaju dengan cepat seiring dengan kakinya yang lemas. Berada sedekat ini dengan David membuat semuanya tak keruan. Ia hanya memanjatkan satu doa dalam hatinya; semoga David tidak mendengar detak jantungnya. “Akhirnya,” ujar David, dan tidak menghentikan gerakannya untuk membukakan Avi pintu. Begitu Avi masuk, kini gilirannya. Ia masih ingin menikmati hujan, karena rindunya pada seseorang. Namun kesehatan Avi dan bayinya lebih penting saat ini. “Dingin, ya?” Avi mengangguk. Bukan hanya karena dingin hujan, tetapi karena dingin berada di dekat David. “Pakai ini.” David mengambil sebuah selimut di belakang dan merentangkannya kepada Avi. “Buka aja bajumu. Itu akan lebih baik.” Avi menggeleng. Meski ia dan David pernah melakukannya, tetapi tetap saja aneh melakukan hal itu. “Aku lebih suka seperti ini.” “Buka saja. Aku punya kemeja besar, pakai itu dan kamu akan hangat.” Avi tetap menolak. Mana mungkin ia melepaskan pakaiannya. “Begini juga sudah hangat. Jalankan saja mobilnya. Aku mau pulang.” David menyerah. Ia tidak tahan dengan penolakan Avi. Ia menghela napasnya dan mulai menghidupkan mesin mobil. Meski ia khawatir dengan Avi, tetapi ia mencoba untuk menjalankan mobil dengan hati-hati. “Bagaimana?” “Apanya?” “Hujannya.” “Biasa saja.” “Kamu benar tidak menyukai hujan?” Saat pertanyaan itu keluar, kepala Avi menangkap sesuatu. “Kamu membawaku di bawah hujan hanya untuk membuatku menyukai hujan?” David menggeleng. Avi mengerutkan kening. Padahal ia sudah yakin. “Aku hanya berbagi kesenanganku denganmu. Hanya itu.” Avi diam. Membagai kesenangannya denganku? batinnya. “Apa maksudmu?” “Lusa kamu akan menjadi Nona Alvareno, dan sudah sepantasnya kamu kuberi kebahagiaanku. Lagipula seperti yang aku katakan kemarin, aku mencoba untuk mencintaimu, bahkan membantumu untuk mencintaiku.” Alasan apaan itu? Benarkah yang ada di hadapannya sekarang adalah David Alvareno. Ia pikir David pria yang dingin, tapi ini berbeda. Ada apa dengan pria ini? Kepala Avi mulai dipenuhi berbagai pertanyaan seputar David. Ia tidak tahu apa-apa tentang David. Meski ia mencintainya, ia tidak mengenalnya dengan sangat baik. Ia bingung. Ternyata cinta bukan hanya seputar kamu mengetahui segalanya tentang seseorang yang kamu suka. *** Lucid Dream, Avi merasakannya. Lucid dream/ mimpi sadar adalah sebuah mimpi ketika seseorang sadar bahwa ia sedang bermimpi. Dan Avi merasakannya. Ia sadar bahwa ini adalah mimpi. Ia sangat paham sekali. Dan hal yang harus ia lakukan saat ini hanyalah keluar dari mimpinya dan kembali ke dalam realita hidupnya yang jauh dari kata ketidaktenangan. “Bangun, Navila!” “Kamu capek?” Avi tersentak. Ini bukan mimpi seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Ia melihat ke sekeliling gedung resepsi, di mana pernikahannya berlangsung. Semua orang berlalu lalang mencicipi makanan yang telah disediakan. Gedung yang mewah dan makanan yang mewah. Semuanya sangat mewah dan itu karena David yang mengaturnya. Ini benar-benar nyata. Kini ia dan David resmi bersama. Resmi memiliki ikatan sebagai suami istri. Semua orang mendoakan yang terbaik, tetapi mereka tidak tahu dengan faktanya. “Kita pulang, ya? Nggak baik buat kamu dan bayinya.” “Perhatian kamu buat aku risih, David.” “Aku suamimu, jadi aku wajib beri perhatian lebih ke kamu. Kita udah janji mau mulai dari awal, kan?” Tiba-tiba saja Avi mengangkat sudut bibirnya sedikit. Percuma saja memulai dari awal jika David belum bisa melupakan sosok kembarannya, Lavi. Tanpa David sadari, Avi terus memantaunya yang terus-menerus melirik Lavi diam-diam, dan itu tentu saja sukses membuat hati Avi sesak. Disaat di sampingnya ada istri yang harus ia perhatikan, David malah melirik diam-diam ke arah Lavi. Semua orang juga akan tahu bahwa tatapan yang David beri itu adalah tatapan cinta tulus. “Aku cuma nggak mau kamu perhatian ke aku hanya karena bayi ini. Itu sama aja kamu nggak tulus, dan aku nggak butuh.” Entahlah Avi tidak tahu bagaimana ini semua mempengaruhi dirinya. Sekarang ia gampang sekali tersinggung dan bersikap dingin. Mungkin karena faktor kehamilannya. Semoga saja karena ia tidak ingin dianggap bersikap dingin dan tak mengenakkan. “Aku perhatian bukan hanya karena bayi itu, tapi juga karena aku tahu tanggung jawabku,” balas David menjelaskan. Namun, Avi tidak mendengarkan atau memikirkan hal itu. Pikirannya ia alihkan kembali ke seluruh gedung untuk mencari sosok yang sedari pagi ini tidak datang mengunjunginya. Sosok yang sangat ia butuhkan untuk saat ini. Sosok yang akan mendengar keluh kesahnya. Sosok yang selalu ada untuknya, baik saat dirinya sedih, bahagia, dan segalanya. Namun, disaat cobaan berat ini muncul, sosok itu semakin jarang muncul. Adrian... Ia terus mencari pria itu. Tepat setelah ia memberitahukannya melalui ponsel, karena ia tidak berani menatapnya secara langsung, pria itu tidak merespon. Adrian menjauh seperti ditelan bumi. Sudah ia tanyakan pada semua orang bahkan teman-temannya, tetapi pria itu tak kunjung ditemukan. Bahkan semua orang merasa khawatir, termasuk dirinya dan orangtua Adrian. “Kamu nyari seseorang?” “Iya,” jawab Avi tanpa mengalihkan perhatiannya. “Ke mana dia?” “Kamu nggak mau istirahat? Kamu udah di sini lumayan lama, lagipula bisa saja pria itu nggak bisa datang.” “Dia pasti datang,” sanggah Avi tegas. Adrian pasti datang. Pria itu pernah menjanjikan sesuatu kepadanya. Jika kelak ia menikah, maka Adrian akan hadir dan membawa sebuah bunga dan balon untuknya. Namun sekarang apa? Pria itu mengingkari janjinya dan menghilang begitu saja. “Dia pria yang kamu sukai?” Kedua mata Avi berhenti bergerak. “Aku ke toilet dulu,” lanjut David. Sedangkan Avi, ia berhenti mencari dan memikirkan Adrian, lalu menatap punggung David yang mulai menjauh dari jangkauannya. Sebenarnya ia tidak mencoba untuk mengabaikan David, tetapi ia ingin sekali bertemu dengan Adrian saat ini. Ia sangat meirndukan sepupunya itu. “Kamu cari Adrian?” Avi menoleh ke sumber suara dan mata cokelatnya langsung bertemu dengan mata cokelat Lavi. Seketika saja Avi benar-benar melihat wajahnya sendiri. Wajah mulus Lavi, wajah inilah yang David cintai hingga saat ini. Wajah yang membuat David tergila-gila. Namun fakta mengatakan bahwa tanggung jawab David mengalahkan rasa cintanya. “Adrian nggak akan datang.” “Kenapa?” “Karena dia emang nggak akan datang.” “Kakak tahu kenapa?” “Tentu saja gue tahu.” “Kenapa?” “Gue nggak bisa bilang.” “Kenapa?” Lavi terlihat kesal dengan pertanyaan Avi yang bertubi-tubi kepadanya. Ia pun memutarkan bola matanya dan menjadikannya simbol bahwa ia benci itu. “Lo bahagia?” Avi terdiam. Bagaimana mungkin ia bisa sangat bahagia ketika ada orang yang ia sakiti. Terlebih orang itu adalah kembarannya. “Iya.” Lavi mengngkat sudut bibirnya. “Lo tahu nggak, gue udah nerima lamaran David dua hari sebelum dia datang ke rumah dan berontak pengin nikahin lo.” Avi tahu itu. Ia mendengarkan ceritanya dari Aleta, bukan dari Lavi secara langsung. “Lalu?” Lagi-lagi Lavi mengangkat sudut bibirnya. “Lo perusak.” “Yes, I am,” jawab Avi tegas. “Aku perusak seperti yang kakak bilang, tetapi kakak yang lalai. Seharusnya kakak nggak telat nerima cinta David.” “So, gue yang salah?” “Aku nggak bilang kakak yang salah,” sanggah Avi. “Lo bermaksud kayak gitu,” balas Lavi. “Lavi.” Baik Avi dan Lavi, keduanya menoleh bersamaan ke sumber suara. Ada David yang sudah kembali dari toilet. “Kamu nggak harus bicara seperti itu ke Avi,” ujar David. “Kenapa? Dia saudaraku, dan aku bebas mengatakan apa saja,” balas Lavi. “Tapi sekarang dia juga istriku. Aku punya hak yang lebih tinggi saat ini.” Perkataan David membuat Lavi tersenyum sinis. Sudut bibirnya naik dan merasa geram dengan perkataan David sendiri. Ia pun memilih untuk pergi dari sana karena ia merasa frustrasi hanya karena melihat dua orang yang membuat cintanya berantakan. “Kamu nggak apa-apa?” Avi hanya mengangguk, kemudian ia memilih duduk di kursi pelaminannya bersama David. “Rasanya aku pengin muntah.” “Kamu mual?” tanya David cemas. Ia menyentuh pundak Avi dan membuat Avi menolehinya secara langsung. Seketika kedua mata itu saling menatap. “Kita pulang, ya.” Avi menggeleng. “Nggak baik. Acaranya belum selesai.” David kembali menghela napasnya. Kekeraspalaan Avi membuat ia lelah. Akan sangat melelahkan jika membujuk wanita hamil. Itu yang ia dengar dari ibunya. Dan ia bersyukur bahwa Avi tidak keras kepala waktu ia meminta mereka menikah dengan cepat. Jika saja kekeraspalaannya dia timbul saat itu juga, maka mungkin saja bahwa mereka tidak akan menikah sampai ia memaksanya dengan berbagai cara. *** “Kita tidur sekamar?” tanya Avi. David mengangguk. “Aku harus jaga kamu 24 jam. Aku nggak ingin kamu terbangun di malam hari terus butuh sesuatu tanpa aku. Semua pakaian kamu sudah diletakkan di kamar, jadi nggak ada yang perlu kamu beresin.” Tanpa menunggu Avi membukanya mulutnya, David menggenggam tangan Avi dan membawanya masuk ke kamar bernuansa maskulin yang memang cocok dengan David. Kamar yang sederhana, tetapi tetap menunjukkan kemaskulianan David. Avi mengembuskan napasnya. Berarti ia harus sekamar dengan David untuk seterusnya. Membayangkan hal itu membuat ia diam. Akhirnya hari di mana ia sekamar dengan seorang pria tiba. Kini ia dan David sudah sah menjadi sepasang suami istri dan berarti segala hal tentang dirinya dan David tidak akan menjadi tertutup, kecuali untuk perasaannya. Mengenai perasaannya, Avi tidak tahu apakah ia senang atau tidak dengan semua kejadian ini. Semuanya abu-abu. Tak bewarna apapun. Seperti tidak ada maknanya. Ini seperti hambar. “Ada yang mau aku bicarakan nanti, kamu mandi di sini,” kata David lalu keluar dari kamar. Sepertinya David akan mandi di kamar yang lain. Dan ini berarti bahwa memang David sepenuhnya akan menjaga jarak. Mengenai pembicaraan David, Avi dapat menebak bahwa itu tentang pernikahan mereka. Setelah keduanya membersihkan diri masing-masing, tiba saat di mana keduanya saling duduk berhadapan di meja makan dan mulai membahas apa yang akan menjadi tujuan mereka dalam pernikahan ini. Seperti yang Avi duga, David akan membicarakan hal itu. “Aku punya pilihan untukmu, ini bukan untukku. Tapi hanya untukmu. Karena seperti yang aku katakan sejak awal, pernikahan ini untukmu.” Avi tahu itu. David sempat mengatakan kalimat itu ketika mereka bersama-sama ke butik untuk mencoba gaun pernikahan Avi. Saat itu David mengatakan bahwa pernikahan ini dilakukan untuk Avi dan bayinya. David tidak akan meminta apapun dalam pernikahan ini selain Avi siap menjadi istrinya selama Avi menginginkan pernikahan ini. Dan Avi tentu saja menyetujuinya. “Aku tahu kamu pasti punya rencana masa depan yang lebih baik, jadi aku akan mengikuti semua yang kamu inginkan. Karena seperti faktanya, yang salah di sini adalah aku. Kelak kalau kamu lelah dengan pernikahan ini, maka aku akan melakukan apa yang kamu minta. Tetapi sebelum itu, aku mohon bertahanlah sampai anak ini lahir. Namun setelah itu, aku akan tetap menjadi ayah yang baik untuk anak kita. Dan aku mohon juga supaya kamu mencoba untuk mencintaiku, sama seperti aku mencoba untuk mencintaimu,” jelas David panjang lebar. Aku sudah mencintaimu, bodoh, batin Avi. “Jadi ini terserah aku?” David mengangguk. “Anggap ini penebusan dosaku kepadamu.” “Bagaimana kalau akhirnya kita nggak saling mencintai, tetapi aku tidak ingin pernikahan ini berakhir?” pertanyaan Avi mungkin terbilng sulit, tetapi ia tetap ingin David menjawabnya dengan jawaban yang tetap dan sesuai dengan keinginannya. “Sudah kukatakan ini terserah kamu. Jadi kenapa harus berakhir kalau kamu nggak ingin mengakhirinya?” Avi mengerti. Ini semua terserah kepadanya. Bukan David yang memegang kendali, tetapi dirinya. “Lalu bagaimana dengan kak Lavi? Kamu masih sayang kepadanya.” David diam. Raut wajahnya seketika berubah. Sepertinya nama itu memiliki efek yang sangat besar kepada David. “Aku percaya satu hal, Vi; kalau jodoh pasti akan bersama. Aku memang mencintainya, tapi aku nggak bisa egois untuk saat ini hanya karena dia. Kamu sama bayi kita lebih membutuhkan aku daripada dia.” “Tau dari mana kalau aku membutuhkan kamu?” David menarik napasnya dalam lalu kedua matanya bertemu dengan mata cokelat Avi yang sama persis dengan milik Lavi. “Kalau kamu nggak butuh aku, kamu nggak akan nerima pernikahan ini dan memilih untuk pergi ke manapun bersama kandungan kamu. Dengar Avi, aku David Alvareno. Aku menjadi sekuat ini dalam hidup bukan karena keluargaku yang sudah kaya, tapi karena aku berusaha dan mencoba untuk mengetahui seluk beluk dunia. Dan kamu salah satu dunia yang sudah kupahami.” “You don’t know me so well,” tolak Avi mengenai kepahaman David tentang dirinya. “Nggak butuh waktu yang lama untuk tahu bagaimana kamu sebenarnya, Avi.” Avi memalingkan wajahnya ke sebelah kanan. Ia mengedipkan matanya berulang kali dan mencoba untuk mencerna setiap ucapan David. Ia pusing. Ia ingin istirahat. Ini sangat melelahkan tubuh dan pikirannya. “Aku capek.” “Baiklah, kamu harus istirahat.” Tanpa menunggu David yang akan bangun untuk membantunya, Avi mulai berdiri dan berjalan ke lantai dua menuju kamar David. Ia memasuki kamar itu dan langsung merebahkan tubuhnya pada kasur empuk milik David. Ia mematikan semua lampu dengan remot kontrol yang ada dan mulai menarik selimut sampai menyentuh pundaknya. Kemudian ia mulai memejamkan matanya, mencoba untuk menghilangkan masalah yang sekarang dihadapinya. “Selamat malam.” Avi mendadak kaku. Ia tetap memejamkan matanya sampai bibir David berhenti memberi kecupan pada keningnya dan berjalan mengitari ranjang dan merebahkan tubuhnya di samping Avi. Avi rasanya tidak dapat bernapas saat ini juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD